Monday, April 20, 2015

Pilihan Hati (Part 6)

Part 6
Hari sudah semakin sore. Langit yang tadinya cerah oleh terik matahari, kini berubah menjadi gelap. Matahari sudah berlindung dibalik awan. Sepertinya akan turun hujan sore ini.

Sekolah sudah sepi. Beberapa jam yang lalu, bel pertanda pulang sekolah sudah berbunyi. Membuat seluruh siswa-siswi berhamburan keluar gedung sekolah. Kecuali dua murid Global Bintang yang sangat malang ini. Mereka masih terjebak di dalam gudang.

Rio yang bingung dengan suasana saat ini memilih untuk mengelilingi gudang yang tidak terlalu besar itu. Melihat-lihat isi gudang. Siapa tau ada yang bisa digunakannya untuk menghilangkan mumet. Sedangkan Ify hanya terduduk di salah satu sudut gudang, memikirkan nasibnya yang hari ini begitu sial sampai-sampai bisa terkunci di dalam gudang seperti ini.

JEDEER JEDEER

Bunyi petir yang memekakan telinga itu mengagetkan Ify yang sejak dulu memang sangat takut dengan yang namanya petir dan juga gelap. Ify berteriak dan langsung menutup kedua telingnya serta menelungkupkan wajahnya di antara kedua lututnya. Rio yang mendengar teriakan Ify langsung menoleh pada Ify namun tak berniat untuk bertanya. Ia kembali melanjutkan aktifitasnya. Berkeliling gudang.

Beberapa kali bunyi petir menggelegar membuat Ify ketakutan setengah mati. Ify semakin menelungkupkan wajahnya dan memeluk lututnya. Ia tak tau harus meminta perlindungan pada siapa sekarang. Biasanya jika petir sedang menyambar-nyambar seperti ini, Ia akan memeluk boneka bantal kesayangannya, hadiah ulang tahun Ify ketika Ify berumur tujuh tahun dari sang bunda. Bantal itu mampu membuatnya tenang. Tapi sekarang? Ia hanya bisa memeluk lututnya erat-erat.

Rio akhirnya lelah dengan kegiatan tak jelasnya tadi. Iapun duduk di sebelah Ify yang tengah memeluk lututnya erar-erat. Tapi tunggu... Bahu gadis ini bergetar. Bergetar hebat. Dan Rio merasa pernah melihatnya. Tapi Ia lupa kapan dan di mana.

Rio memperhatikan gadis di sampingnya itu lekat-lekat. Keringat mengucur deras dari pelipisnya. Ada apa dengan gadis ini?

"Lo kenapa?" tanya Rio.

Ify menggeleng. Tak mampu menjelaskan apapun pada Rio. Ia benar-benar takut setengah mati pada petir dan juga gelap. Untung saja ada lampu yang menyala di gudang. Sehingga tetap ada penerangan walaupun langit sudah menjadi gelap.

Rio hanya mengangkat alisnya. Bingung. Namun mencoba untuk tak mengacuhkannya. Ia menyenderkan tubuhnya pada dinding. Bosan. Tidak ada yang bisa dilakukan di sini. Hanya ada pemandangan barang-barang sekolah yang sudah tidak terpakai.

Rio mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut gudang. Ia menemukan jendela yang lumayan besar di salah satu sudut gudang. Terbesit sebuah cara untuk keluar dari gudang ini. Riopun bangkit menuju jendela tersebut.

Karena jendela yang lebih pantas disebut ventilasi besar itu berada di atas gudang, Riopun mengambil tangga yang tadi digunakan Ify. Dibukanya ventilasi itu. Dan ternyata bisa. Namun jika Ia nekat lompat dari sana, resikonya adalah Ia akan basah kuyup karena hujan yang turun benar-benar sedang deras-derasnya. Rio nampak berfikir.

Iapun turun dari tangga itu, dan dihampirinya Ify yang nasih memeluk lututnya.

"Fy, lo mau keluar dari sini nggak?" tanya Rio yang berdiri di depan Ify. Ify mendongak, menatap Rio dengan sayu. Lalu mengangguk lemah.

"Tapi kita nanti ujan-ujanan. Nggak apa-apa kan?" tanya Rio ragu melihat keadaan Ify yang tidak memungkinkan untuk bertarung dengan hujan.

Ify kembali mengangguk lemah. Walaupun sebenarnya Ify sendiripun ragu untuk menerobos hujan. Ia takut jika nanti petir menyambar bumi ketika Ia sedang berada di bawah guyuran hujan. Di dalam ruangan saja Ia takut. Apalagi di luar, berhadapan langsung. Namun Ia tak mau lebih lama lagi terkurung di sini. Akhirnya dengan pasrah Ia mengikuti ide Rio. Toh, ada Rio ini.

Ketika Rio hendak menaiki tangga, tiba-tiba saja seluruh penerangan mati. Membuat gudang menjadi gelap gulita.

"HUAAAA!!" teriak Ify histeris mendapati ruangan yang kini benar-benar tak bercahaya sedikitpun. Sontak saja Ify langsung menjerit dan memeluk Rio. Membuat Rio mengurungkan niatnya untuk menaiki tangga. Tak ada hal yang paling Ia takuti di dunia ini kecuali gelap.

"Ck," Rio berdecak kesal. Mengapa lampu padam saat Ia sudah menemukan jalan keluar? Sekarang bagaimana bisa Ia keluar melewati ventilasi itu jika tak ada sedikitpun cahaya?

"Kak Rio, Kak Rio, gue takut, Kak!" Ify menjadi semakin histeris dan memeluk Rio lebih erat lagi. Ia seperti orang buta, benar-benar tak menangkap cahaya sedikitpun.

"Apaan sih lo?!" tanya Rio yang risih dengan perlakuan Ify yang memeluknya dengan tiba-tiba. Ia memang belum pernah memeluk atau dipeluk oleh wanita manapun kecuali dengan sang bunda. Ia tidak suka jika ada gadis yang bergelayutan di tubuhnya. Untuk alasan apapun.

Namun Rio mengurungkan niatnya untuk melepaskan pelukan Ify di tubuhnya. Mengingat gadis ini sepertinya sangat takut dengan keadaan yang menimpa mereka kini. Ia biarkan gadis cantik ini memeluknya, mengurangi sedikit ketakutannya.

"Gue takut, Kak. Gelap banget," lirih Ify yang sudah tidak sehisteris tadi, namun masih belum bisa mengurangi rasa takutnya. Hanya saja, menyalurkan rasa takutnya dengan memeluk laki-laki belagu namun berwajah manis itu, membuatnya merasa sedikit lebih tenang.

Aneh. Dan lagi-lagi rasa tak wajar itu kembali menyergapnya. Menyusup ke dalam hatinya tanpa permisi. Dan Ify tidak bisa menyangkal bahwa detak jantungnya kini berdebar lebih cepat dari keadaan normal. Ada apa ini? Ada apa dengan detak jantungnya? Ada apa dengan perasaannya? Ada yang salahkah?

Mengapa jika Ia di dekat laki-laki itu, debar jantungnya tidak pernah bisa biasa saja? Apalagi semenjak Ia mendengarkan suara indah yang menyanyikan lagu favoritenya, Your Guardian Angel, yang ternyata adalah suara Rio di ruang OSIS tempo hari. Entah mengapa semenjak saat itu, debaran jantuknya tak pernah bisa normal-normal saja ketika Ia berhadapan dengan laki-laki itu.

Ia akui, Ia memang sangat jatuh cinta dengan suara indah itu. Tapi bukan berarti Ia harus merasakan perasaan yang menyiksanya namun membuat debaran yang terasa indah itu setiap berhadapan dengan Rio kan?

Dan Ia bahkan lupa dengan ketakutannya sekarang. Hanya karena Ia memikirkan laki-laki yang sedang dipeluknya itu. Ah, benarkah ini semua? Menyadarinya, Ify langsung melepaskan pelukannya. Pipinya memanas. Hatinya tergelitik. Ini benar-benar aneh. Ia berharap Rio tidak merasakan debaran di dadanya yang tak karuan itu.

"Lo kenapa sih? Takut?" tanya Rio yang sudah bisa bernafas normal lagi. Karena semenjak Ify memeluknya tadi, Ia tidak bernafas normal akibat pelukan Ify yang terlalu kencang.

"Iya, gue takut gelap sama petir. Gue phobia," jawab Ify yang masih berusaha menetralkan detak jantungnya dan mencoba menyembunyikan kesaltingannya. Berharap Rio tidak menyadari perubahan sikapnya.

"Sampe deg-degan gitu.. Ckck."

DEG.

Ify terkesiap ternyata Rio merasakan jantungnya yang berdetak dengan kecepatan tinggi tadi. 'Pasti Kak Rio langsung gede kepala deh,' pikirnya jengkel.

"Lo kok tau?" tanya Ify memastikan.

"Ya, orang berasa. Lo lebay banget deh takut sampe deg-degan kaya gitu."

Ify melebarkan matanya walaupun Ia tetap tak menemukan sedikitpun cahaya di sana. Namun Ia bernafas lega mendengar jawaban Rio itu. Berarti Rio mengira Ify deg-degan karena takut. Syukurlah. Dan Ify lebih bersyukur lagi karena gelap membuat Rio tidak melihat pipinya yang pasti sekarang sudah semerah kepiting rebus. Baru kali ini Ify mensyukuri gelap.

Rio menggeser tangga yang tadi diambilnya untuk naik ke ventilasi namun digagalkan oleh pemadaman lampu yang tidak tepat pada waktunya itu. Rio kembali merutukinya dalam hati.

Merasa lelah dan kantuk mulai menyerangnya, Rio kembali duduk menyender pada dinding. Ingin tidur.

"Kak, lo di mana?" tanya Ify sedikit panik mendengar Rio melangkah menjauhinya. Ia meraba-raba udara berharap menemukan tubuh Rio. Namun karena Rio sudah duduk, Ia tidak mendapatinya.

"Di belakang lo," jawab Rio sekenannya tanpa membuka matanya karena Ia tau membuka atau menutup mata rasanya sama saja, gelap.

Ify mundur beberapa langkah dan mendapati dinding yang terasa sangat dingin itu. Seperti orang buta, Ia meraba-raba dinding itu dan duduk di lantai. Lalu meraba sebelahnya. Ify bernafas lega mendapati tangan Rio. Iapun duduk memejamkan matanya. Baru kali ini Ia bisa memejamkan mata untuk tertidur disaat gelap gulita menyerang. Hari ini benar-benar aneh.

*****

Penjaga sekolah membuka pintu gudang dan masuk ke dalam untuk mengecek keadaan gudang yang memang rutin dilakukannya setiap jam sembilan pagi. Dan alangkah terkejutnya Ia melihat ada dua murid yang sedang tertidur di salah satu sudut gudang.

"Mas, Mbak, bangun."

Suara penjaga sekolah dan sinar matahari membuat kedua insan ini terbangun secara paksa dan mengerjapkan matanya masing-masing. Mencoba berdamai dengan sinar sang mentari yang secara tiba-tiba seperti menusuk mata mereka. Ify yang tertidur di bahu Rio langsung bangkit berdiri diikuti dengan Rio yang ketika tertidur tadi kepalanya menindih kepala Ify.

"Kok kalian bisa ada di sini?" tanya si penjaga sekolah.

"Iya, Pak. Kita kekunci kemaren," jawab Ify yang masih mengucek-ngucek matanya.

"Yasudah, lebih baik kalian cuci muka dan segera masuk kelas. Sekarang sudah jam sembilan," ujar si penjaga sekolah.

"Iya, Pak. Makasih ya," Riopun melangkah keluar diikuti Ify yang sebelumnya mengucapkan permisi kepada penjaga sekolah.

*****

Via meratapi bangku sebelahnya yang kosong tak berpenghuni. Dari awal Ia datang tadi, Ify tidak terlihat wujudnya. Via jadi bingung sendiri. Apa Ify tidak masuk? Tapi jika Ify tidak masuk, mengapa tasnya ada di atas meja? Lalu ke mana teman semejanya itu? Atau jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Ify? Tiba-tiba saja Via deg-degan karena memikirkan alasan terkahir yang dipikirkannya itu.

Terjadi sesuatu dengan Ify? Ada apa dengan Ify? Pasalnya sejak kemarin, pesan singkatnya tidak mendapat jawaban sama sekali dari Ify. Tidak biasanya Ify seperti itu. Via semakin curiga. Penasaran dengan pikirannya, Via membuka tas Ify. Mencari handphone Ify. Dan benar saja, ponsel keluaran terbaru dari Apple itu kini dalam genggamannya. Semakin penasaran, Via menyalakan handphone itu. Dislidenya tombol unlock. Dan Via melongo melihat banyaknya jumlah missed call dan SMS yang tertera di layar handphone Ify.

"Gilaaaaaa, jadi Ify beneran ngilang ini dari kemaren?! Tuh anak ke mana sih?" gumam Via yang jadi panik sendiri.

Tiba-tiba saja pintu kelas diketuk, membuat seluruh isi kelas yang sedang memperhatikan penjelasan Bu Rina, guru IPA kelas 10, juga Via yang tidak memperhatikan penjelasan Bu Rina menoleh ke pintu kelas. Dan Via terbelalak mendapati temannya yang sejak tadi memenuhi pikiran negatifnya berdiri diambang pintu.

"Kamu terlambat?" tanya Bu Rina meminta penjelasan mengapa bisa-bisanya Ify baru masuk kelas jam segini. Ify menggigit bibirnya, bingung bagaimana memberikan penjelasan kepada Bu Rina.

"Em, saya sebenernya kekunci di gudang, Bu, dari kemaren," Ify menundukkan kepalanya dalam-dalam mendapatin ekspresi kaget dari Bu Rina dan juga teman-teman sekelasnya. Tak terkecuali Via yang juga tak kalah shock dengan apa yang didengarnya tadi. Benarkan apa yang dipikirkannya?

"Bagaimana bisa, Alyssa?" tanya Bu Rina yang masih kaget mendengar jawaban anak didiknya ini.

Baru saja Ify mau menjawab pertanyaan Bu Rina, bermaksud untuk menjelaskan kesialan yang menimpa dirinya kemarin, tiba-tiba saja pintu ruangan kelas kembali diketuk. Membuat seluruh penghuni kelas kembali menoleh ke arah pintu.

"Maaf, Bu, permisi. Alyssa dipanggil ke ruang BP, Bu," kata seorang murid yang sepertinya diperintahkan oleh guru BP dengan sopan.

Ify menghela nafas, merutuki kejadian yang benar-benar menjadi kesialan tiada akhir kemarin. 'Gara-gara bolanya Kak Rio nih,' serunya dalam hati.

"Saya permisi dulu ya, Bu," pamit Ify lesu dan melangkah keluar dari kelas. Sudah dari kemarin belum makan, ditambah lagi Ia pasti akan menjadi seleb mendadak hari ini. Karena pasti banyak pertanyaan-pertanyaan yang menunggu untuk dimintai keterangannya. Memikirkannya membuat Ify menjadi frustasi sendiri.

*****



Via melongo melihat pesanan Ify yang sudah datang. Dan lebih melongo lagi melihat Ify yang melahap makanannya seperti singa yang baru mendapatkan daging segar setelah seminggu mencari daging. 'Kuli saja kalah dengan Ify sekarang,' pikir Via.

Ya, setelah Ify menjadi saksi atas kejadian yang menimpanya dengan Rio kemarin, Ia langsung menghampiri Via di kelas dan mengajak paksa Via ke kantin. Kebetulan Ify selesai diwawancarai bertepatan dengan bunyi bel istirahat.

"Gilaaa, Fy! Lo kelaperan?" tanya Via takjub. Ify mengangguk-ngangguk mengiyakan pertanyaan Via. Semenjak kemarin, perutnya melilit karena tidak mendapat asupan makanan selama semalaman penuh.

"Lagian kok bisa sih lo kekunci di gudang gitu? Sama Kak Rio lagi," tanya Via yang memang sudah penasaran ingin mendengarkan langsung kronologi kejadiannya dari Ify.

Ify menelan siomay terakhir di mulutnya. Setelah itu mengambil es jeruk hasil mengutang pada Via karna uangnya habis. Ify menyandarkan tubuhnya ke kursi. Kenyang. Namun mengingat pertanyaan Via yang belum dijawabnya, Ify kembali menegakan tubuhnya. Lalu menatap Via yang menunggu jawaban dari Ify.

"Kemaren itu kayanya emang hari tersial dalam hidup gue," Ify memulai curhatnya. Via memasang telinganya dengan baik.

"Kemaren gue tuh niatnya pengen tiduran di kelas. Karna lo ngilang entah ke mana," Ify memanyunkan bibirnya nengingat kemarin Ia mencari-cari Via di mana-mana, namun tetap tak berhasil menemukan sosok sahabatnya itu.

"Hehe, maaf, Fy. Kemaren itu....," Via terdiam mengingat kejadian di taman kemarin. Tiba-tiba saja rasa sesak itu kembali menjalari seluruh permukaan hatinya. Dadanya berdenyut-denyut merasakan perih yang tiba-tiba menyergapnya lagi. Via menghela nafas, kesal.

"Lanjut!" suruh Via berusaha mengalihkan perhatiannya dari sesak di hatinya.

"Are you okay?" tanya Ify yang menyadari perubahan gelagat Via. Ify memajukan tubuhnya beberapa centi dan menatap Via dengan alis terangkat.

"Yeah, I'm okay, baby," jawab Via diakhiri dengan cengiran untuk meyakinkan Ify. Ifypun manggut-manggut mendengar jawaban Via, walaupun Ia tau sebenarnya telah terjadi sesutu pada temannya itu.

Ifypun melanjutkan ceritanya. Mulai dari ketika Ia disuruh Pak Bowo untuk menyimpan foto di gudang sampai tadi Ia dibangunkan oleh penjaga sekolah. Via memberikan respon atas cerita Ify dengan berbagai ekspresi. Kadangan takjub, kadang kaget, kadang tertawa.

*****
Shilla menarik tangan Via dan membawa Via ke ruang musik. Memang ruang musik adalah salah satu tempat yang strategis untuk digunakan bila ada urusan pribadi. Via yang tangannya ditarik oleh kakak kelas yang paling menyebalkan sejagad raya itu meronta minta dilepaskan. Meskipun Shilla tidak mengindahkan permintaan Via.

Sesampainya di ruang musik, Shilla membanting tubuh Via ke kursi yang berada di belakang grand piano berwarna hitam yang terletak di tengah-tengah panggung. Panggung kecil yang dilapisi keramik putih itu memang sengaja disediakan pihak sekolah agar menampilkan kesan konser istimewa jika sedang ada pengambilan nilai musik.

"Lo tuh ngapain sih, Kak?!" seru Via sambil mengelus-elus pergelangan tangannya yang memerah dan terasa panas.

"Hai, cupu," sapa Shilla yang berdiri di depan Via. Membuat Via mendongakan wajahnya dan menyipitkan matanya menatap tajam Shilla yang sedang tersenyum mengejeknya.

"Kalo lo ngajak gue ke sini cuman mau ngehina gue, maaf, gue nggak ada waktu," Via bangkit dari duduknya namun Shilla langsung menahan tangannya.

"Buru-buru amat sih adek kelasku yang manis," Via memutar bola matanya, muak. Menjijikan sekali mendengar ucapan Shilla yang terdengar sok manis itu.

"Cih!" Via mencibir.

"Heh!" Shilla menekan bahu kiri Via dengan telunjuknya. "Elo sama temen lo yang sok kecantikan itu emang sama aja, ya? Sama-sama belagu!" ujar Shilla tajam. Ia menatap Via dengan tatapan yang meremehkan.

"Denger ya, Kak Shilla yang katanya cantik, Ify itu nggak pernah sok kecantikan kaya yang lo bilang. Dia emang cantik. Alami!" Via mengucapkan semua kata-kata itu dengan penuh penekanan. Ia lalu membuang pandangannya ke arah lain dan melipat kedua tangannya di dada. "Bukannya kaya make-up berjalan," sindir Via tajam. Ia melirik ekspresi Shilla dengan ekor matanya. Setelah itu kembali memutar kedua bola matanya, mendapati Shilla yang lagi-lagi tersenyum mengejeknya.

"Mending gue, make-up berjalan. Punya gaya. Daripada lo, CUPU!" Shilla menekan kata cupu dalam mengucapkannya tadi. Ia memandang Via dari atas hingga bawah dan kembali ke atas lagi dengan tatapan jijik. Merasa tersinggung, Via menatap tajam Shilla sambil mendengus berkali-kali menandakan bahwa Ia sedang menahan emosinya yang sudah hampir meluap itu.

"Gue heran ya, kenapa manusia macem lo bisa jadi most wanted di sekolah ini. Apa ini sekolah kekurangan cewek cantik ya, sampe-sampe kuntilanak berdadan kaya gini jadi most wanted? Ckck," Via menggeleng-gelengkan kepalanya berlagak bingung. Dalam hati sedikit puas karena Ia sudah mulai berani melawan kakak kelas sengak di hadapannya ini. 'Kemajuan,' pikirnya.

Kini gantian Shilla yang menatap Via dengan tajam. Dalam tatapannya, Ia menjelaskan bahwa Ia tersinggung dengan ucapan Via barusan. Nafasnya mulai tak bisa diatur karena emosi yang ditahannya. Shilla mengepalkan tangannya.

"Kurangajar banget sih lo! Berani sama gue!" bentak Shilla seraya mendorong bahu Via dengan kedua tangannya. Hampir saja Via terjengkang ke belakang jika Ia tidak dengan sigap menahan keseimbangan tubuhnya.

"Harus banget gitu takut sama lo?! Cih!" Via mencibir membuat emosi Shilla memuncak. Shilla kembali mengepalkan tangannya.

"Lo ternyata cupu cupu menghanyutkan ya? Jangan-jangan dibalik tampang cupu lo, lo itu simpenan om-om lagi." ujar Shilla tajam dengan nada seperti menyindir. Kali ini emosi Via yang memuncak mendengar perkataan Shilla yang keterlaluan itu.

"Elooooooo! Ergggggh!"

*****

Ify berlari-lari di sepanjang koridor hendak menuju ke toilet yang letaknya dekat dengan gudang, di pojok sekolah. Tiba-tiba saja Ia mendapat panggilan alam yang sudah berontak untuk segera dikeluarkan. Dengan membawa segelas plastik yang berisi jus jeruk yang tadi dibelinya, Ify berlari dengan resah.

Hingga Ia sampai di ujung koridor dan Ia tidak bisa mengerem langkahnya yang berkecepatan tinggi itu, Ia menabrak seseorang yang tengah merapikan seragamnya. Dan tak sengaja, gelas plastik yang berisi jus jeruk itu tumpah semua mengenai baju laki-laki yang ditabraknya itu.

Ify dan si 'korbannya' sama-sama melongo, meratapi baju seragam 'korbannya' yang awalnya berwarna putih bersih, kini berubah menjadi warna kuning. Ify yang shock langsung melempar asal gelas pastik yang isinya ludes tak bersisa itu ke sembarang arah. Lalu mendekati si 'korbannya' yang sedang mencoba membersihkan kemejanya yang terasa dingin itu.

"Shiit!" umpatnya.

"Ha? Kak Rio?!" pekik Ify yang kaget mengetahui 'korbannya' ternyata adalah Rio. Rio mengalihkan pandangannya mendengar namanya disebut oleh suara yang dikenalnya. Dan seketika rasa jengkel itu mengerubungi hatinya melihat Ifylah yang menjadi tersangka atas insiden ini.

"Huaaa, Kak Rio, maaf maaf gue nggak sengaja," Ify menyesali perbuatannya yang ceroboh itu. Iapun mengeluarkan bungkus tissue dari saku kemejanya, dan membantu Rio membersihkan kemeja Rio.

Ditatapnya Ify yang tengah membersihkan bajunya itu dengan tajam. Rasa jengkelnya itu kini berubah menjadi emosi yang memuncak mengingat bagaimana gadis ini selalu mencoba untuk balas dendam padanya. Dan kini, gantian Ia yang akan memberi pelajaran pada gadis ini.

Dicengkramnya kedua bahu Ify, lalu didorongnya tubuh Ify ke dinding. Membuat Ify meringis. Dengan tangannya yang ditumpu di dinding, Rio mengunci Ify agar tidak kabur ke mana-mana. Tatapannya makin menusuk, membuat Ify menjadi keringat dingin ditatapan seperti itu.

"Maksud lo apa?!" tanya Rio tajam.

"Gu...gue gak sengaja, Kak," jawab Ify gugup. Bagaimana tidak? Rio menatapnya dengan tatapan yang benar-benar menusuk. Seperti ingin menerkamnya hidup-hidup.

"Lo masih belum puas bales dendam sama gue?" Rio melangkah mendekat pada Ify. Membuat jarak diantara mereka semakin menipis.

Ify tersentak saat mendapati wajah Rio hanya berjarak kurang dari lima belas cm. Nafasnya tercekat. Segala umpatan yang ingin dikeluarkannya seperti menyangkut di tenggorokannya. Tubuhnya panas dingin. Dan debaran jantung berkekuatan tinggi itu membuat nyawanya serasa ingin lepas dari tubuhnya.

"Mau ngibarin bendera perang lagi sama gue?"

Ify tak sanggup menatap mata yang kini tengah menatapnya dengan sangat tajam itu. Seperti sebuah pisau yang siap mengoyaknya, mengoyak hatinya. Mata itu seperti menyihirnya. Membuatnya bungkam seribu bahasa. Untuk sekedar mengangguk atau menggelengpun Ify tidak bisa. Ada apa dengan dirinya? Mengapa semuanya menjadi terasa aneh? Dan Ifypun akhirnya memilih untuk menunduk, menyembunyikan ketidakberdayaannya kini berada di hadapan laki-laki ini.

Melihat Ify menunduk, Riopun melingkarkan tangannya di pinggang Ify dan menarik tubuh itu semakin mendekat dengannya. Dan kini jarak yang tipis itu benar-benar terhapuskan. Sejenak Rio merinding karena dengan jarak sedekat itu, Ia dapat mencium aroma Mountain Rose dari tubuh gadis itu. Dan wangi parfum itu seperti membiusnya.

Lagi-lagi Ify dibuat tersentak dan jantungnya benar-benar berdebar liar tak terkendali saat Ia merasakan hembusan nafas Rio menerpa wajahnya. Ify melenan ludah berkali-kali melihat wajah Rio benar-benar dekat dengannya.

Rio menarik ujung bibir kanannya, membentuk sebuah senyuman miring. Lalu semakin mendekatkan wajahnya pada gadis itu. Membuat Ify berusaha menjauhkan wajahnya dari laki-laki itu. Sadar Rio terus mendekati wajahnya, Ify yang tidak mendapatkan cara untuk terlepas dari Rio akhirnya memilih menutup matanya dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Takut-takut jika Rio benar-benar akan berbuat nekat padanya, karena Ia merasakan hidung Rio kini menyentuh hidungnya.

Rio berhenti sejenak mengamati wajah cantik itu dengan teliti. Menelusuri setiap lekuk wajah indah itu. Dalam hatinya, sebagai seorang laki-laki normal yang memiliki selera, Rio mengakui bahwa wajah itu benar-benar ukiran Tuhan yang sempurna. Bibir tipisnya mampu menggoyahkan iman laki-laki normal manapun. Rio menyentuh pipi mulus Ify yang terasa panas itu, dan dielusnya perlahan.

Ify merasakan gejolak yang tak biasa di dalam dadanya. Sebuah rasa yang tak mampu dijelaskan dengan kata apapun. Sebuah desiran halus saat Ia merasakan tangan itu menyentuh wajahnya. Sepertinya Rio benar-benar ingin membunuhnya. Jantung Ify seperti ingin lompat dari tempatnya sekarang juga. Dan tiba-tiba saja kakinya melemas seperti mati rasa.

Perlahan Rio mendekatkan bibirnya ke telinga Ify. Membuat Ify kembali merinding saat merasakan hembusan nafas Rio di telinganya.

"Ketauan banget lo belum pernah disentuh cowok," bisik Rio yang membuat Ify malu setengah mati ditambah jengkel dengan kelakuan Rio yang membuat jantung hampir saja berhenti berdetak. Ify melebarkan kedua matanya.

Riopun melepaskan tubuh Ify dan mundur beberapa langkah. Senyum miringnya kembali merekah.

Ify mendengus jengkel melihat ekspresi puas Rio. Merasa sangat dipermainkan.

"Nggak tega jadinya gue. Masih perawan semua soalnya,"

Dan kalimat Rio itu membuat emosi Ify memuncak. Wajahnya sampai memerah akibat menahan emosi.

Ify melangkah maju mendekati Rio. Ditatapnya tajam laki-laki hitam manis itu. Lalu diinjaknya kuat-kuat kaki Rio.

"Aw!" Rio meringis merasakan kakinya yang tiba-tiba berdenyut-denyut.

"Rasain tuh! Makanya jadi cowok itu jangan rese!" geram Ify dan langsung berlari dan masuk ke dalam toilet dengan wajah yang merah padam. Merah karena marah dan malu yang bercampur menjadi satu. Membuatnya gondok setengah mati pada laki-laki itu

Rio terkekeh mendapati rona merah di pipi Ify. Lucu juga gadis itu. Dan satu hal yang membuatnya takjub dengan gadis itu. Di tengah gaya hidup kota metropolitan yang sudah terkontaminasi dengan budaya barat, masih ada gadis yang masih bersih dari sentuhan tangan bejat laki-laki. Itu adalah sebuah nilai plus yang dimiliki Ify.

Rio menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum mengingat detak jantung Ify yang dapat dirasakannya tadi benar-benar diluar batas wajar. Gadis itu, ah... Dia membuat gejolak aneh di dada Rio yang tak pernah Rio rasakan pada gadis manapun sebelumnya. Dan semua itu di luar kendalinya. Membuatnya tak mampu melupakan ukiran sempurna Tuhan itu. Jatuh cintakah Ia?

*****

1 comment:

  1. kyaaaaaaaa..... akhirnya di lanjut juga...


    tetep lanjut ka.. makin seru makin kece.. pokoknya makin-makin lope lope deh.. suka sama bagian rify nya di sini..



    nurdiana.web.id

    ReplyDelete