Part 11
Semua mata tertuju kepada kedua insan Tuhan ini. Menatap iri pada Via yang tengah berjalan berdampingan dengan Alvin. Yang lebih menghebohkan lagi, tangan mereka yang saling bertautan. Semua 'menggigit jari' melihatnya. Ingin sekali berada di posisi Via.
Begitupun dengan Via. Senyum tak hentinya merekah di bibir tipisnya. Hatinya berbunga-bunga pagi ini. Bahagia sekali mendapat perlakuan istimewa dari sang pujaan hati. Tiba-tiba saja pagi tadi motor Alvin sudah bertengger di depan rumahnya, lengkap dengan Alvin dan senyumnya.
Dan kini, Alvin menggenggam tangannya. Mengabaikan seluruh tatapan-tatapan iri yang seolah ingin memisahkan mereka berdua. Alvin tetap melangkah dengan santai bahkan mempererat genggaman tangannya pada Via. Pagi ini adalah pagi terindah dalam hidupnya semenjak Via masuk ke sekolah ini.
"Hayoooo, udah jadian ya?!" Ify yang entah datang dari mana, mengejutkan keduanya dengan godaannya yang berhasil membuat keduanya merona.
"Pake acara pegangan tangan lagi. Haduh, itu Via udah pengen diterkam sama fans-fans lo, Kak."
"Belum jadian, Fy. Tapi tenang aja, Via aman di genggaman gue."
Ucapan Alvin itu membuat pipi Via memanas. Ify tertawa melihat tingkah senior dan sahabatnya itu.
"Wetss, Alvin udah mulai nakal ya ternyata," ceplos Cakka yang baru saja datang bersama Rio. Sedangkan Rio terkekeh melihat tangan Alvin dan Via yang sepertinyadirekatkan oleh sebuah perekat hingga tak mampu dilepaskan.
Mereka semua tertawa pagi itu. Menyambut pagi dengan hati yang cerah. Namun tidak dengan sepasang mata yang memperhatikan mereka tidak jauh dari tempat mereka berada.
Ia menatap tajam semua yang tengah tertawa di sana. Mengepalkan tangan seolah ingin menghacurkan kebahagiaan yang terpancar di wajah mereka. Ia tak suka. Terpancar kebencian yang mendalam daritatapan tajamnya. Tak ada ampun untuk mereka semua.
Mereka telah menghacurkannya. Dan mereka harus membayar kehancurannya.
*****
Langit malam semakin menghitam. Bulan sedikit bersembunyi di balik awan malam. Dan bintang yang malam itu entah mengapa enggan menunjukkan kerlipnya. Malam itu, langit benar-benar hampa.
Dan langit malam itu, menyaksikan seorang gadis berambut panjang melangkah dengan sempoyongan dan membuka pintu mobilnya secara susah payah. Maklum saja, Ia sedang dalam keadaan mabuk.
Setelah berkali-kali berusaha membuka pintu mobil yang menurutnya menjadi lebih sulit dari biasanya,Iapun tersadar bahwa Ia belum membuka kunci pintumobilnya. Ia tertawa sendiri melihat kunci mobilnya itu berada di saku hot pantsnya. Setelah pintu berhasil terbuka, gadis itupun masuk ke dalam mobilnya dan mulai mengemudikan mobilnya.
Dalam keadaan mabuk seperti itu, tentu saja alam sadarnya sangat tipis. Gadis itupun mengendarai mobilnya dalam keadaan ugal-ugalan. Untung saja jalanan sudah mulai sepi kala itu. Dan polisi lalu lintaspun sudah selesai bertugas hari itu. Gadis itu sedikit aman.
Di tikungan jalan, Ia berbelok namun tak menginjak pedal rem. Mobilpun tergelincir, namun masih bisa dikendalikannya. Hingga sampai pada beberapa meter dari tikungan tadi, seorang gadis tengah menyebrang jalan dan terkejut ketikaIa menoleh ke arah kirinya dan mendapati sebuah mobil berjalan dengan ugal-ugalan dan dalam kecepatan tinggi.
"AAAAAAA!!!!"
Untung saja seseorang berhasil mendorongnya ke pinggir jalan sehingga tubuhnya tak hancur dihantam mobil yang melaju dalam kecepatan tinggi dan ugal-ugalan itu.
"Vi, lo nggak apa-apa kan?"
Via -gadis yang tadi hendak menyebrang jalan- menggeleng lemah. Masih shock atas apa yang hampir saja terjadi dengannya jika Alvin tidak menyelamatkannya.
Tak lama terdengar suara benturan kerasyang cukup mengejutkan mereka berdua dan mungkin juga warga-warga di sana. Alvin dan Via menoleh ke arah sumber suara. Mata mereka melongo melihat mobil Honda Jazz berwarna putih susu yang tadi hendak menabrak Via kini menghantam pohon beringin tak jauh dari tempat Alvin dan Via berada.
Mobil itupun ringsek dan mengeluarkan asapdi bagian depannya. Alvin bangkit dan membantu Via untuk bangkit juga. Tadinya mereka hendak menghampiri lokasi kecelakaan yang telah dipenuhi oleh warga-warga. Namun mereka mengurungkan niatnya karena melihat seseorang berjalan sempoyongan keluar dari kerumunan.
Shilla, melangkah menghampiri Alvin dan Via yang sedang terkejut melihat Shilla yang berjalan sempoyongan dan tertatih-tatih dengan pelipis yang mengucurkan darah lumayan banyak. Mereka berdua saling menatap dan mempunyai pemikiran yang sama.
"Jangan-jangan...," gumaman Via terhenti karena Ia bingung bagaimana melanjutkan kalimatnya. Namun Alvin menyambungnya.
"Dia sengaja mau nabrak lo, Vi."
Via dan Alvin kembali menatap Shilla yang semakin mendekat ke arah mereka. Via masih sedikit shock dengan kejadian tadi. Hampir saja acara makan malamnya dengan Alvin berakhir tragis. Untung saja Alvin sempat menyelamatkannya. Jika tidak, Ia benar-benar takkan pulang ke rumah lagi mungkin.
"Hai, Via, Kak Alvin," Shilla menyapa dalam keadaan mabuk.
"Lo sengaja mau nabrak Via?!" cecar Alvin langsung. Shilla tertawa miring.
"Rupanya lo beneran udah ngelupain gue ya, Kak Alvin. Haha," Shilla tertawa.
"Secepet itu, Kak?"
"Dan cewek cupu ini yang ngegantiin gue?"
Shilla maju melangkah mendekati Via. Ditelusurinya rambut Via dengan senyum miring yang terlukis di wajahnya. Via menjauhkan wajahnya dari Shilla ketika mencium bau alkohol dari mulut Shilla.
"Kak Alvin, dia mabok,"bisik Via. Alvin menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dia, nggak pantes, Kak! Nggak pantes ngegantiin gue!" Shilla mendorong kasar bahu Via sehingga Via yang tak siappun jatuh terjengkang ke belakang.
"AW!!" pekik Via kala tulang punggungnya menghantam trotoar jalan. Membuat sakit yang luar biasa di punggungnya. Ia meraba punggungnya sendiri.
"Shilla! Keterlaluan lo!" bentak Alvin yang langsung berjongkok memeriksa kondisi Via. Lalu membantu Via untuk bangkit kembali. Sedangkan Shilla tertawa miring untuk yang ke sekian kalinya.
Kini Shilla menghampiri Alvin. Ditatapnya pemuda tampan itu dengan lirih. Lalu dibingkainya wajah Alvin dengan kedua tangannya.
"Selama ini cuman lo yang belain gue, yang selalu ada buat gue. Tapi sekarang? Lo udah nggak peduli lagi sama gue."
Shilla berkata lirih sambil mengelus wajah Alvin yang terasa halus di tangannya. Alvin hanya mengatupkan mulutnya melihat Shilla yang sedang mabuk bertingkah seperti itu. Via yang masih merasakan sakit di punggungnyapun hanya terdiam menyaksikan adegan Alvin dan Shilla di hadapannya itu.
Alvin mencengkram kedua tangan Shilla yang masih membingkai wajahnya, lalu menjauhkan tangan itu dari wajahnya.
"Dulu gue dibutain sama kecantikan fisik lo yang bikin gue akhirnya jatuh semakin dalam sama perasaan yang seharusnya nggak pernah ada buat lo. Tapi setelah gue tau kelakuan memuakkan lo, gue baru sadar. Selama ini gue udah ngelakuin kesalahan terbesar dalam hidup gue. Mencintai cewek pshyco kaya lo!"
Lagi-lagi Shilla tertawa miring. Lalu Ia melangkah maju mendekati Alvin. Dan melingkarkan tangannya di leher Alvin. Alvin tak bertindak. Ia ingin tau apa yang akan Shilla lakukan setelah Shilla mengetahui cinta yang besar untuknya dulu menguap entah ke mana tergantikan rasa muak.
"Gue cantik kan, Kak?" tanya Shilla dengan lirih.
"Terus kenapa lo bisa-bisanya move on ke cewek cupu ini?"
"Lepasin gue, Shil! Sebelum gue main kasar!" ancam Alvin.
Shilla menatap mata Alvin tepat di manik matanya. Tangannya kembali melingkar di leher Alvin. Bukannya menuruti perintah Alvin tadi, Ia semakin mendekatkan tubuhnya pada Alvin. Meniadakan jarak antara mereka. Membuat tubuh mereka menempel satu sama lain. Rasa risih mulai menjalari Alvin.
"Shilla, lepas!!!" Alvin kembali menyuruh masih dengan emosi yang ditahan.
Namun Shilla malah memeluknya dengan erat. Membuat Alvin tak bisa benafas saking kencangnya pelukan Shilla. Alvin geram. Emosinyapun membuncah tak dapat ditahan lagi. Dengan kasar, Alvin mendorong tubuh Shilla menjauh dari tubuhnya. Hingga Shillaterjatuh ke belakang dalam keadaan terduduk. Untung saja tangannya menunpu tubuhnya. Jika tidak, kepala Shilla akan terbentur aspal dan mungkin geger otak.
"Lo! Gue bener-bener muak sama tingkah lo! Menjijikan! Lo cewek. Tapi di mana harga diri lo?!" bentak Alvin sambil menujuk wajah Shilla.
Shilla tak terima. Ia diperlukan tidak hormat oleh Alvin. Membuatnya geram. Shilla bangkit. Lalu menghampiri Via. Ditatapnya Via sengit. Lalu ditariknya rambut Via ke belakang. Membuat Via meringis merasakan perih di kepalanya.
"Sakit!!!"
"Shilla LEPAS!" bentak Alvin mencoba melepaskan tangan Shilla dari rambut Via. Namun tenaga Shilla yang tengah kesetanan itu tak mampu dikalahkannya.
"Kak, lepas! Sakit!" Via memohon karena kulit kepalanya serasa bagai tertarik lepas dari tempatnya. Saking sakitnya, setitik air mata punjatuh di tepi matanya.
"Sakit? Lo bilang sakit? Sakitan mana sama hati gue?! Rio! Gue nggak bisa dapetin dia karna temen lo yang sok kecantikan itu dateng di hidup Rio! Dan Alvin! LO AMBIL DIA DARI GUE!! Elo, sama temen lo itu sama-sama nggak tau diri!" bentak Shilla seraya menguatkan jambakannya di rambut Via. Membuat Via makin meringis.
"Shilla! Rio nggak suka sama lo itu bukan karna Ify! Dan gue, gue yang milih buat mundur dan ngubur perasaan gue karna KELAKUAN LO! GUE MUAK NGELIATNYA! Sekarang, lepasin rambut Via, atau lo bakalan ngerasain yang lebih sakit dari yang Via rasain sekarang?! LEPAS!!!"
"Gue nggak takut ya, Kak Alvin!" tantang Shilla membuat Alvin geram. Alvin mengepalkan tangannya kuat-kuat. Shilla harus diberi pelajaran.
PLAAK!
Satu tamparan dengan bumbu emosi melayang ke pipi Shilla. Membuat rasanya terasa sangat pedas. Alvin tak main-main dengan ancamannya. Shilla sampai terjatuh kembali ke aspal.
Alvin langsung menarik Via ke belakang tubuhnya. Melindungi Via yang masih shock.
"Pulang ini, lo ngaca ya di rumah! Gue kasian sama lo, Shil! Lo cantik, tapi sayang, lo nggak punya harga diri! Gue suruh lo ngaca, biar lo tau, betapa buruknya diri lo! Sekali lagi lo berani gangguin Via, gue nggak akan segan-segan buat bikin lo lebih sakit dari ini! Ngerti lo?!"
Setelah berkata panjang lebar pada Shilla, Alvin menarik tangan Via dan melangkah pergi dari sana. Meninggalkan Shilla yang masih merasakan perih di pipinya. Bukan hanya di pipinya, tapi juga di hatinya.
Ia tak takut dengan ancaman Alvin. Dengan menatap tajam Alvin dan Via yang sudah melaju dengan motor Alvin dan semakin menjauhi pandangannya, Shilla berjanji dalam hati, Ia akan menghancurkan mereka semua seperti mereka menghancurkannya. Ia berjanji.
*****
Ify memperhatikan wajah pemuda menawan di sebelah kanannya yang kini tengah fokus pada jalanan Ibu Kota yang meski langit masih berwarna biru muda dan masih menyisakan seburat jingga menandakan bahwa waktu masih sangat pagi namun sudah ramai dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan yang hendak memulai rutinitas sehari-hari.
Entah mengapa pemuda yang dulu begitu menyebalkan baginya ini, perlahan namun pasti mencuri perhatiannya. Ify masih memandangi wajah menawan Rio yang hanya terlihat dari samping saja. Mencoba mencari jawaban, apa yang membuatnya tertarik pada laki-laki menyebalkan itu.
Ify mengetahui pasti jika Ia bukanlah tipe gadis yang mudah mempersilahkan lawan jenisnya memasuki pintu hatinya. Namun entah mengapa semua pemikirannya tentang Rio selama ini berubah 180 derajat dalam waktu yang cukup singkat. Ify sendiri tak mengerti sejak kapan debaran menggelitik itu hadir di dadanya ketika Ia bersama dengan pemuda itu.
Seperti sekarang ini. Hanya dengan memandanginya saja, hatinya tergelitik entah untuk alasan apa. Menerka-nerka apakah benar pesona pemuda ini mampu meruntuhkan kebencian yang dulu dirasakannya pada pemuda itu.
"Walaupun mata lo nggak kedip sampe seminggu ke depan, muka gue nggak akan berubah kok."
Ify terkesiap kala mendengar Rio buka suara. Ternyata sedari tadi Rio sadar jika Ify memperhatikannya. Ify menundukan kepala dalam-dalam, menyembunyikan wajahnya yang memerah akibat malu karena kepergok si pemilik wajah.
"Lo nyari apaan sih di muka gue? Gue nggak ngumpetin barang lo di muka gue kok."
Ify melirik Rio yang sesekali menoleh kapadanya, alih-alih menyetir. Ia melihat Rio yang menarik tepi bibirnya dan terkekeh geli. Dan lagi-lagi hatinya berdesir menyaksikan pemandangan itu. Ify kembali menunduk lalu menekan dadanya yang seperti digelitiki oleh ribuan kupu-kupu yang menari-nari di dalam dadanya.
Mobil Rio memasuki parkiran sekolah. Rio memarkirkan mobilnya di tempat biasa Ia memarkir mobil. Setelah membuka seatbelt, Riopun turun dari mobil dan melangkah ke pintu kiri tempat Ify duduk. Lalu mebukakan pintu untuk Ify.
Namun ada yang aneh yang membuat kening Rio berkerut. Ify bergeming saat Rio membuka pintu. Ify tetap menunduk sambil memegangi dadanya.
"Fy."
Ify terlonjak kaget mendengar panggilan Rio. Ify langsung celingukan seperti orang kebingungan. Lalu meringis malu ketika mendapati Rio berdiri di sebelahnya sambil mengerutkan kening.
"Hehe."
"Lo kenapa sih, Fy? Aneh banget dari tadi."
"Ha? Eng..enggak kok, nggak apa-apa."
"Yakin lo nggak apa-apa?"
Ify mengangguk-anggukan kepalanya lalu turun dari dalam mobil Rio. Rio menutup pintu mobilnya. Sedangkan Ify merapikan penampilannya yang takut-takut jika berantakan.
"Ayo!" ajak Rio. Ifypun mengangguk.
Ketika mereka ingin melangkah keluar dari parkiran hendak menuju ke gedung sekolah yang berada di belakang lahan parkir, tiba-tiba ada sebuah mobil Mitsubishi Outlander berwarna hitam parkir di sebelah mobil Rio. Kaget, mereka mengurungkan niat untuk melangkah ke gedung sekolah.
Si pengendarapun turun dari mobil.
Tubuh Ify membeku saat melihat sesosok pemuda yang sudah hampir dilupakannya, kini berdiri di hadapannya dengan memamerkan senyumannya pada Ify. Senyuman yang pernah dirindukan Ify.
Ify terpaku menatap pemuda bermata hitam dan berkulit coklat manis khas orang Indonesia, berhidung bangir dan bibir yang tipis namun sedikit lebar, bertubuh tinggi dan sedikit berisi, meski tidak seatletis Rio.Seketika jantungnya berdebardan rasa sesak menjalari hatinya. Teringat kejadian beberapa bulan lalu di bandara.
"Hai, Fy?!" sapanya seraya mengembangkan senyum bahagianya melihat Ify di hadapannya.
"Kaaakk... Ryan, ngapain di sini?" tanya Ify gelagapan, shock.
"Aku sekolah di sini, Fy, mulai hari ini."
Ify membelalakan matanya, "See... sekolah di sini?!"
Pengendara mobil yang Ify panggil dengan sebutan Kak Ryan itu mengangguk antusias.
"Kok bisa?"
"Kemaren aku nanya sama mama kamu, kamu sekolah di mana. Mama kamu jawab di sini. Yaudah aku daftar ke sini aja."
"Kak Ryan, mau lo tuh apa sih?! Lo udah ninggalin gue seenak lo, terus sekarang lo balik lagi ke hidup gue dengan seenak lo juga! Lo pikir nggak sakit apa?!"
Ucapan Ify itu membuat senyum Ryan memudar. Setelah berucap seperti itu, Ify berlari pergi meninggalkan Ryan dan juga Rio yang masih berdiri di sana.
"Ify!"
*****
Air mata tak henti-hentinya mengalir, menjadikan sebuah aliran sungai di pipinya. Terisak merasakan sesak yang kembali hadir di hatinya, setelah beberapa bulan ini Ia coba untuk kubur dalam-dalam. Namun entah apa yang dipikirkan pemuda yang telah meninggalkannya tanpa alasan yang tak dapat diterima dengan akal sehatnya itu. Sehingga kini, ketika rasa itu hampir terkubur dan tergantikan, dengan sengaja namun tanpa sadar pemuda itu mencoba membangkitkan kembali rasa menyakitkan itu.
Ify menggenggam batu yang ada di hadapannya. Mencoba meluapkan emosi yang meluap-luap di dadanya. Karena merasa menggenggam kuat batu tidak sedikitpun melunturkan emosinya, digenggamnya semakin kuat batu berukuran sebesar bola bekel itu. Masih berusaha meluapkan emosinya yang entah mengapa tak mampu dibendungnya lagi namun juga tak mudah diluapkannya. Karena sudah tak kuat menahanemosi yang membuncah di dada, Ifypun berteriak sambil melemparkan batu itu ke sembarang arah.
"EEEEERGH!!"
"Ify! Aw!"
Seru dan pekikan seseorang membuat Ify terlonjak. Ia langsung mencari keberadaan sumber suara tersebut. Lalu melihat Rio tengah meringis dan memijit kepalanya di salah satu sisi taman sekolah. Ifypun terbelalak lalu menutup mulutnya. Jangan-jangan lemparannya tadi mengenai kepala Rio?Ify langsung bangkit dan berlari menghampiri Rio.
"Aduh, Kak Rio. Batunya kena kepala lo ya? Maaf ya, Kak. Sakit ya?"
"Aw!" ringis Rio.
Ify berusah berjinjit untuk memeriksa kepala Rio yang tadi terkena lemparan batunya. Rasa bersalah semakin menghimpitnya ketika Ify melihat ada sedikit luka dan darah yang tergores di pelipis Rio. Sedangkan Rio masih menunduk sambil mengurut kepalanya yang terasa perih dan berdenyut-denyut.
"Masya Allah! Yah, Kak Rio berdarah. Yah, yah, maaf ya, Kak," sesal Ify masih meraba kepala Rio untuk mencari apakah ada luka lain di kepala Rio selain luka di pelipis.
"Fy." Rio mendongakan kepalanya berniat ingin menenangkan Ify dari rasa bersalahnya. Namun sepertinya, lagi-lagi waktu kembali berhenti berputar untuknya. Dan mungkin juga untuk Ify. Ketika mata Rio menatap tepat pada manik mata Ify, dan begitupun sebaliknya, debaran itu kembali mereka rasakan. Menggelitik seluruh dinding hati. Menciptakan irama detakan yang indah. Membuat desiran liar dalam dada. Ify dan Rio terpaku beberapa saat.
Ryan, mantan kekasih Ify yang beberapa bulan lalu meninggalkannya dan memutuskan hubungan mereka di bandara, yang membangkitkan kembali rasa sesak yang telah Ify kubur dalam-dalam itu, terpaku melihat adegan yang terjadi tak jauh dari hadapannya. Melihat Ify dan Rio yang merasakan sebuah debaran bersama dengan tatapan yang memancarkan sebuah kasih yang tersirat yang mereka rasakan. Membuat hati Ryan mencelos menyaksikannya. Niatnya ingin menjelaskan apa yang telah terjadi sebenarnya, terurung karena tiba-tiba saja sebuah rasa yang membuatnya sulit untuk menghirup udara, mengerubungi rongga dadanya. Sesak.
Ingin sekali berlari menghampiri mereka, lalu memisahkan keduanya sejauh mungkin. Namun Ia merasa tak memiliki hak apapun untuk melakukan itu. Alhasil, Ia hanya mampu melangkah pergi dari sana. Mencoba menahan rasa sesak yang menjalari seluruh ruang di dadanya. Menyesali kepingan rasa hancur yang telah dibuatnya untuk Ify yang mungkin masih dirasakan Ify hingga sekarang.
Masih asik menikmati debaran jantung yang belakangan ini selalu menjadi backsound indah ketika mata mereka terpaku dalam satu titik, mereka saling mencari arti dari debaran itu. Benarkah ini adalah rasa cinta? Ataukah hanya debaran wajar yang dirasakan jika dua insan Tuhan yang berlawan jenis saling bertatap pada satu titik fokus?
Rio mengulum senyum ketika Ia tersadar dari alam khayalnya. Ia menurunkan tangan Ify perlahan yang seketika berhenti bergerak ketika tadi waktu seakan berhenti untuk mereka.
"Ify, gue nggak apa-apa," bisik Rio lembut membuat Ify terkesiap. Seketika Ify tersadar dari alam khayalnya. Ify kembali bernafas normal setelah sebelumnya berusaha untuk bernafas dengan susah payah.
"Em, maaf, Kak," ujar Ify berusaha menyembunyikan kesaltingannya. Rio tersenyum lebih lebar lagi.
"Nggak apa-apa kok. Lo abis nangis? Mata lo merah."
Ify menunduk lalu menghembuskan nafas keras. Rasa sesak itu kembali merasuki hatinya. Mengingat Ryan yang kini kembali hadir di hidupnya. Membuat bayang-bayang masa lalu yang sudah tersamar nyaris lenyap, kembali nyata. Menggoreskan kembali luka lama yang belum kering.
"Lo mau cerita sama gue?" Rio menuntun Ify untuk duduk di salah satu kursi taman.
"Dia balik. Setelah dia bikin hidup gue berasa nggak ada artinya lagi karna dia tinggalin gue buat alesan yang nggak bisa diterima sama akal sehat gue. Dia muncul lagi setelah berbulan-bulan pergi tanpa rasa bersalah udah ngehancurin perasaan gue. Kenapa dia harus balik lagi? Disaat gue lagi berusaha buat nyembuhin luka ini. Ergh!"
Tak terasa air mata mengiringi ceritanya. Hatinya mencelos mendengarkan curahan hatinya sendiri. Ada seburat emosi yang mengekor pada lukanya. Membuat perasaan tak menentu. Ingin rasanya Ia melemparkan benda apapun untuk menyurutkan apa yang dirasakannya sekarang.
"Semua orang itu punya masa lalu yang ngegores luka dihati. Tapi semua itu bukan alesan buat lo terpuruk dan terus nyimpen dendam. Luka itu bagian dari bumbu hidup. Kalo lo nggak pernah ngerasain luka, lo belum bener-bener hidup. Tapi luka itu juga jangan lo nikmatin. Yang harus lo lakuin, cuman belajar buat nerima semua yang udah terjadi di hidup lo, dan berusaha buat ngelakuin sesuatu yang lebih baik lagi buat ke depannya dengan belajar dari luka itu."
Ify menoleh kaget mendengarkan ucapan Rio. Menganga tak percaya jika Rio yang menyebalkan namun menawan itu mampu melihat hidup dari sudut pandang seperti itu. Bahkan Ify yang selama ini mampu menyembunyikan luka itupun tidak bisa berfikir seperti itu. Rasa kagum untuk pemuda itu muncul di hatinya. Memberikan lagi nilai plus untuk Rio.
"Gue nggak nyangka, Kak, lo bisa ngomong kaya gitu."
"Gue ini dua tahun lebih tua dari lo. Sedikit banyak, gue pernah ngerasain apa yang lo rasain walaupun dalam wujud yang beda. Daripada lo galau nggak jelas, mendingan kita nyanyi aja, yuk?"
Mata Ify berbinar. "Ide yang bagus, Kak."
"Bentar, ya."
Rio melangkah pergi meninggalkan taman. Ify menatap punggung Rio yang semakin menjauhi pandanganya. Ia tersenyum kagum. Benar-benar laki-laki sempurna. Meskipun laki-laki itu dulu terlihat belagu, namun semakin mengenalnya, semakin banyak sisi lain Rio yang terbongkar. Dan itu semua membuat Ify benar-benar takjub.
Ada sebuncah perasaan yang meluap-luap di hatinya. Mungkin rasa kagum yang terlalu besar untuk Rio? Ataukah perasaan lain?
Riopun kembali dengan gitar yang ditentengnya. Ia kembali duduk di sebelah Ify.
"Kak Rio, tapi ini udah bel," ujar Ify yang tiba-tiba teringat bahwa Ia sedang berada di lingkungan sekolah, dan sudah terlalu lama berada di taman sekolah.
"Udah, sekali-sekali ngambil jam pelajaran buat refreshing," sahut Rio sambil mensetting gitarnya. Ify mengangguk-angguk.
Rio mulai menggenjreng gitarnya. Memulai intro awal lagu kesukaan mereka berdua. Ia tersenyum kala melihat mata Ify berbinar mendengarkan intro yang dimainkannya.Your Guardian Angel, lagu yang membuat mereka menjadi lebih saling mengenal. Menarik mereka dalam rasa saling penasaran akan diri keduanya. Menghasilkan sebuah rasa lain di samping rasa benci yang dulu mereka simpan untuk satu sama lainnya.
"When I see your smile
Tears run down my face
I can't replace
And now that I'm strong
I have figured out
How this world turns cold
And it breaks through my soul
And I know I'll find deep inside me
I can be the one
I will never let you fall
I'll stand up with you forever
I'll be there for you through it all
Even if saving you sends me to heaven
It's okay. It's okay. It's okay.
Seasons are changing
And waves are crashing
And stars are falling all for us
Days grow longer and nights grow shorter
I can show you I'll be the one
I will never let you fall
I'll stand up with you forever
I'll be there for you through it all
Even if saving you sends me to heaven
Cause you're my, you're my, my, my true love,
my whole heart
Please don't throw that away
Cause I'm here for you
Please don't walk away and
Please tell me you'll stay, stay
Use me as you will
Pull my strings just for a thrill
And I know I'll be okay
Though my skies are turning gray"
Mereka berdua menyanyikan lagu ini bersama. Sama-sama menikmati petikan gitar Rio, menikmati setiap nada yang tercipta, menikmati setiap lirik yang mengalun. Sama-sama menikmati langit biru pagi dan suasana menangkan taman sekolah yang menyaksikan keduanya bermain dalam rasa indah yang tengah bergelayut liar dalam hati keduanya. Sesekali menggerakan tubuh mengikuti irama lagu. Saling melempar senyum menikmati lagu tersebut. Tawapun tak jarang menemani dua insan Tuhan yang sama-sama tengah merasakan desiran yang sama itu.
Dan sang mentaripun tersenyum melihat keduanya tertawa riang tanpa beban. Meresapi perasaan yang Tuhan anugrahkan untuk mereka.
"I will never let you fall
I'll stand up with you forever
I'll be there for you through it all
Even if saving you sends me to heaven"
(The Red Jumpsuit Apparatus - Your Guardian Angel)
Dan mereka terus bernyanyi menyelesaikan lagu favorit mereka bersama. Membuat saksi bisu yang menyaksikan mereka ikut tersenyum bahagia. Dan membuat hati mereka berdua menghangat, karena mendapati kenyataan indah bahwa mereka bisa duduk berdua dengan tawa bahagia yang mengiringi keduanya. Ah, inikah indahnya cinta?
'Kepadamu pencuri hati, yang tak kusangka kan datang secepat ini...' (Giselle - Pencuri Hati)
*****