Thursday, April 30, 2015

Pilihan Hati (Part 16)

Hai yang masih baca cerita ini. Makasih banyak yang sebesar-besar buat kalian yang udah apresiasiin tulisan aku. Aku seneng banget masih ada yang mau baca. Ini dua part aja di postnya. Soalnya besok kan libur. Kayanya sih ngga bisa posting hehe.
Sekali lagi makasih buat yang udah mau baca dan selalu nunggu. Apalagi yang  ninggaling komentar. Makasih banyak. Semoga cerita ini membawa inspirasi atau setidaknya bisa menghibur hehe.
Love you readers :-*

Part 16


Hari ini hari Minggu. Hari libur. Hari yang tepat untuk refreshing, untuk menghabiskan waktu bersama sang kekasih. Seperti yang Alvin lakukan dengan Via.

Saat sang mentari belum menampakan diri di langit yang masih berwarna hitam, Alvin sudah menjemput Via di rumahnya. Setelah mempersiapkan diri dan membawa peralatan yang diperlukan, Via dan Alvin pamit kepada orang tua Via. Merekapun akhirnya berangkat menuju Bogor

Setelah menempuh perjalan sekitar satu jam lebih, akhirnya mobil Alvin memasuki pekarangan taman yang berada di pinggiran kota Bogor. Sesaat setelah keluar dari mobil Alvin, Via langsung berlari sambil merentangkan tangannya. Berteriak bahagia sambil menghirup udara pagi yang terasa amat sejuk.

Alvin tertawa melihat tingkah Via bak anak kecil yang menemukan sebuah taman bermain yang banyak mainannya. Alvin melangkah menghampiri Via.

"Suka nggak?"

"Suka banget!"

"Ayo, kita ke danau!"

Alvin menarik tangan Via dan mengajaknya menuju ke danau. Setelah sampai di danau, mereka berdua menaiki perahu dayung yang tersedia di pinggir dermaga. Dengan dibantu Alvin, Via akhirnya berhasil naik ke atas perahu. Alvin mengambil dayungnya, lalu mulai mendayung perahunya untuk memutari danau.

"Udaranya sejuk banget, Kak."

"Berarti aku nggak salah pilih tempat kan?" Via mengangguk antusias sambil tersenyum.

Setelah perhau berada di tengah danau, Alvin meletakan dayungnya di perahu. Lalu Alvin berdiri di atas perahu.

"Kak Alvin pelan-pelan," seru Via sambil memegang kedua sisi perahu karena perahunya mulai oleng.

"Tenang aja, Vi."

Alvinpun merentangkan kedua tangannya. Lalu menghirup udara pagi Bogor yang masih sejuk dan jauh dari polusi. Tubuhnya terasa fresh. Andai saja udara di Jakarta sesejuk dan sebersih ini. Pasti penduduknya jarang yang mati muda.

Tiba-tiba saja perahu yang tadinya sudah seimbang itu kembali oleng lagi karena angin kencang yang tiba-tiba berhembus. Kali ini lebih oleng dari yang sebelumnya tadi. Viapun mulai panik.

"Loh, loh, Kak. Oleng. Kak Alvin, oleng!" seru Via panik sambil menggenggam kuat kedua sisi perahu.

Namun perahunya bukannya semakin normal, malah menjadi semakin oleng. Alvin mencoba menjaga keseimbangannya, namun ternyata perahu semakin oleng dan akhirnya Alvinpun jatuh tercebur ke dalam danau.

"KAK ALVIIIN!!"

Kepanikan Via semakin menjadi. Iapun berusaha berteriak mencari sosok Alvin yang menghilang ketika tercebur tadi. Via celingak-celinguk ke bawah. Berusaha menemukan sosok Alvin. Namun Ia tetap tak dapat menemukannya.

"Kak Alvin! Kak Alvin di mana? Kak, jangan bikin aku panik gini dong! Kak Alvin!"

Saking paniknya, Viapun ikut menceburkan diri ke dalam danau. Berenang ke sana kemari, namun tetap tak menemukan Alvin.

Via putus asa. Ia berenang ke tepi danau, menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Terisak di dalam sana. Viapun kembali melihat ke sekeliling danau. Lalu matanya berhenti di satu titik. Ia melihat seseorang pingsan di pinggir danau. Via bangkit lalu berlari menghampiri orang itu.

Via membelalakan mata mendapati Alvinlah yang tengah terkapar itu. Seluruh tubuhnya basah.

"Kak Alvin!!!"

Via menepuk-nepuk pipi Alvin. Namun Alvin tak kunjung bangun. Via menggigit bibirnya. Rasa panik kembali menyergapnya. Iapun berusaha menggotong Alvin menjauh dari danau dengan susah payah.

Via berusaha membangunkan Alvin dengan berbagai macam cara. Menekan-nekan perutnya. Memukulnya, mencubitnya, hingga menggelitikinya. Namun Alvin tetap saja tak sadar-sadar.

Tiba-tiba saja sebuah ide terbesit di benaknya. Cara yang pernah Ia baca di buku-buku. Cara yang paling ampuh untuk membagunkan orang yang pingsan karena tenggelam.

Namun Via bimbang. Haruskah Ia menerapkan cara itu? Namun ini demi keselamatan Alvin. Ah, sudahlah. Ini demi keselamatan sang kekasih.

Dengan ragu, Via memencet hidung Alvin. Lalu perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Alvin. Semakin mendekat ke wajah Alvin. Dengan jantung yang berdebar kencang, Via terus menjalankan aksinya. Meyakinkan dirinya sendiri, ini semua demi keselamatan Alvin.

Ketika wajahnya sudah berjarak kurang dari sepuluh centi dengan wajah Alvin, Via menghentikan aktifitasnya. Ia memadangi wajah Alvin yang jika dilihat dalam jarak yang sangat dekat ternyata benar-benar menawan. Membuat debaran di dadanya meningkat berkali-kali lipat.

Namun dalam hati, Via benar-benar mensyukuri anugrah Tuhan yang tercipta untuknya itu. Alvin adalah anugrah terindah yang pernah Tuhan berikan untuknya selain kedua orang tuanya. Via tersenyum melihat wajah menawan itu.

Tersadar, Via kembali melanjutkan aksinya yang tertunda tadi. Ia semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Alvin. Ketika hidungnya sudah menyentuh hidung Alvin, tiba-tiba saja mata Alvin terbuka. Membuat Via terkejut dan terjengkang ke belakang. Untung saja kedua tangannya segera menumpu tubuhnya, hingga Ia tidak benar-benar terjatuh ke belakang.

"Hahahahaha..."

Tawa Alvin membahana di seluruh penjuru taman yang sepi itu. Alvinpun mengubah posisinya menjadi duduk. Alvin tertawa melihat ekspresi terkejut Via.

"Kak Alvin?"

"Seneng deh dikhawatirin sama kamu."

"Kak Alvin nyebelin! Huh!"

Via mendorong wajah Alvin dengan telapak tangannya lalu bangkit dan berlari pergi. Ia dongkol sekali karena merasa Alvin mempermainkannya. Untung saja tadi Alvin langsung terbangun. Jika tidak.... Ah, Alvin benar-benar menyebalkan.

"Via!"

Alvin berlari mengejar Via. Iapun berhasil menangkap tangan Via, hingga membuat Via mau tak mau berhenti. Dengan wajah cemberut, Ia membalikan tubuhnya menghadap Alvin.

"Jangan marah dong?! Akukan cuma bercanda."

"Bercandanya kelewatan! Aku khawatir tau!"

"Iya deh, iya. Maafin aku dong. Maaf ya."

Via melipat kedua tangannya di dada lalu memalingkan wajahnya dari Alvin sambil menggelembungkan kedua pipinya, bete.

"Maafin aku, ya, please."

Alvin menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Memohon pada Via agar dimaafkan. Tadinya Ia hanya berniat mengerjai Via saja. Ia hanya ingin tau, apakah Via benar-benar takut kehilangannya. Dan Ia mendapatkan jawaban yang memuaskan. Namun Ia tak tau jika Via akan menjadi benar-benar marah padanya.

"Ayolaaaah, maafin aku."

Bukannya menjawab ya atau tidak, Via malah mencubit perut Alvin sekeras mungkin hingga membuat Alvin meringis.

"Aw aw. Sakit Vi. Kok dicubit sih?" Alvin mengelus-elus perutnya yang terasa perih akibat cubitan dahsyat Via.

"Hukuman!"

"Iya deh, iya. Aku rela deh dicubit-cubitin sama kamu, asal kamu mau maafin aku. Maafin aku ya," pinta Alvin memelas. Membuat Via tak tega melihatnya. Iapun kembali mencubit-cubiti perut Alvin, hingga Alvin meliuk-liukan tubuhnya karena bukan hanya merasa sakit, namun juga geli.

Setelah Via merasa puas, Iapun menghentikan cubitannya pada Alvin. Lalu mengerucutkan bibirnya.

"Aku kesel sama kamu! Huh!"

"Tapi sayang kan?" goda Alvin sambil menaik-turunkan alisnya.

Via memukul lengan Alvin namun akhirnya Ia tersenyum malu.

"Iya, sayang sama cowok nyebelin kaya Kak Alvin."

"Biar nyebelin yang penting kan sayang," Alvin terkekeh karena ucapannya sendiri.

Alvinpun mencubit lembut pipi Via, lalu mengelus lembut rambut Via. Ia yakin Ia takkan menyesal dengan apa yang dipilihnya. Via. Vialah yang dipilihnya. Ia sangat menyayangi gadis cantik berambut panjang itu.

Merekapun melangkah berdua mengelilingi taman dengan tawa canda dan senyuman bahagia yang menghiasi wajah keduanya. Sama-sama mensyukuri anugrah terindah Tuhan. Saling memiliki adalah anugrah terindah yang pernah Tuhan berikan untuk mereka berdua.

Jika Tuhan menginzinkan mereka untuk mengajukan sebuah permintaan, hanya satu permintaan yang mereka inginkan. Jangan pernah bunuh segala rasa yang ada itu. Rasa yang membuat mereka selalu berseri dan berbunga. Rasa yang selalu menciptakan senyum bahagia. Cinta.

Mereka terus melangkah dengan satu keinginan pasti. Semoga cinta itu selalu tumbuh dan tumbuh, tak pernah layu apalagi mati. Mereka ingin selalu terus bersama.

Semoga saja Tuhan mengabulkan apa yang mereka impikan saat ini. Doa mereka di setiap langkah mereka.

*****



TOKTOKTOK

Terdengar ketukan pintu yang lebih tepat disebut dengan gedoran. Ify yang sedang berada di ruang keluarga, akhirnya bangun dari duduknya dan melangkah ke pintu untuk melihat siapa yang sudah membuat rusuh di depan rumahnya.

"Iya, iya, sabar."

Setelah memutar kunci, ditariknya pintu itu ke dalam. Terlihatlah sosok Alvin, Via, dan Cakka berdiri di hadapannya dengan wajah panik. Ify mengerutkan kening melihatnya.

"Kalian? Ada apa?"

"Fy, Rio mau pergi!" ujar Alvin, membuat Ify kembali mengerutkan kening.

"Pergi?"

"Iya. Dia lulus test di Humboldt Universität Jerman, Fy."

"Jadi, Kak Rio mau pergi ke Jerman?"

Alvin dan Cakka mengangguk. Raut cemas masih tergambar di wajah Alvin dan Cakka.

"Dia nitip ini, Fy. Buat lo," Cakka menyerahkan secarik kertas yang diterimanya dengan perasaan gusar. Ada rasa tak rela mendengar Rio akan melanjutkan pendidikan di negeri orang. Ifypun membuka kertas itu.



Gue minta maaf karna udah ngeluarin kata-kata kasar buat lo waktu itu. Gue pergi. Gue mau lo hilang dari hidup gue, juga hati gue.....

Mario



Surat singkat itu seperti menyentil hatinya. Rio ingin Ia hilang dari hidup pemuda itu. Rasa sesak kembali menyeruak ke hatinya. Rio sudah tak mau mengenalnya lagi. Rio sangat membencinya. Memikirkannya, air matanyapun tak terbendung lagi.

"Fy....," panggil Alvin bingung melihat Ify yang tiba-tiba menangis. Mendengar panggilan Alvin, Ify segera menghapus air matanya lalu memaksakan sebuah senyum kepada tiga temannya.

"Lo nggak apa-apa kan, Fy?" tanya Via khawatir. Namun Ify menggeleng sambil tersenyum.

"Sebenernya gue pengen banget nonjok nih orang. Cuman orangnya nggak ada di sini. Haha. Jadinya nggak bisa deh," Ify tertawa gusar. Air matanya kembali turun namun dengan segera dihapusnya.

"Lo nggak mau susul dia? Cegah dia gitu...," tanya Alvin heran.

Ify menggeleng.

"Nggak, Kak. Hak dia buat nentuin masa depannya. Gue nggak punya hak buat ngelarang dia."

Ify menunduk meremas surat Rio, meluapkan emosi. Dadanya naik turun akibat menahan emosinya. Namun Ia tak tau harus bagaimana melampiaskannya.

Ia biarkan Rio memilih pilihan yang menurutnya adalah jalan terbaik untuk Rio. Ia tak memiliki hak untuk merubahnya. Toh, akhir menyedihkan ini akibat kebodohannya juga. Meskipun ada rasa tak rela, namun Ia takkan menahan pemuda itu untuk meninggalkannya.

Rio, aku iklaskan kamu tinggalkan aku. Jika menurutmu melupakan aku adalah cara terbaik untuk menghapus lukamu, aku coba untuk merelakannya. Meski ada serpihan hati yang tak rela jika kamu pergi. Namun aku tau, inilah jalan terbaik yang Tuhan tunjukan untuk kita. Dan aku harus menerimanya dengan lapang dada sebagai konsekuensi dari kebodohan yang telah aku perbuat. Maafkan untuk luka yang telah tercipta. Terima kasih karena pernah menjadi sepenggal kisah indah yang telah mewarnai sebagian perjalanan hidupku. Serpihan cinta ini akan selalu mengenang semuanya.

*****



Pilihan Hati (Part 15)

Part 15

"Tak ku mengerti mengapa begini
Waktu dulu ku tak pernah merindu
Tapi saat semuanya berubah
Kau jauh dari ku, pergi tinggalkanku

Mungkin memang ku cinta
Mungkin memang ku sesali
Pernah tak hairaukan rasamu, dulu

Aku hanya ingkari kata hatiku saja
Tapi mengapa kini
Cinta datang terlambat..."

(Maudy Ayunda - Cinta Datang Terlambat)

Jemari-jemari lentik Ify menari-nari di atas tuts-tuts hitam putih piano. Menghayati sebuah lagu milik Maudy Ayunda dengan judul Cinta Datang Terlambat. Meresapi setiap makna lirik yang mengalun dari bibirnya. Lagu yang seolah menjelaskan segala penyesalan yang dirasakannya. Rasa tak tenang yang selalu saja menghantuinya. Rasa ingin mengulang waktu yang menyiksanya karena Ia tau waktu hanya untuk dijalani, bukan untuk diulangi.

Ketika jam istirahat tiba, Ify lebih memilih berlari ke ruang musik. Mengisi waktu istirahat dengan mencurahkan segala kegundahan hatinya yang tak mampu Ia jelaskan dengan kata apapun. Melampiaskan segala perasaan aneh yang bercampur aduk, yang membuatnya ingin meledakan diri agar terbebas dari rasa menyiksa tersebut.

Ia tau ini tak seharusnya terjadi. Iatau, tak pantas jika Ia menyesali pilihan yang Ia putuskan sendiri tanpa campur tangan siapapun. Namun rasa sesal itu hadir tanpa dimintanya.Dan Ia tak tau siapa yang harus disalahkannya atas perasaan itu. Dirinyakah, karena telah memutuskan pilihan besar tanpa berpikir panjang ke depan? Atau hatinyakah yang mengkhianati pilihannya?

Ify memejamkan matanya. Menguji perasaannya. Meminta jawaban jujur pada hatinya. Siapa yang benar-benar berada di dalam sana. Yang pantas menempatinya. Seseorang dari masa lalunyakah? Atau pemuda manis yang tanpa disadarinya telah berhasil mencuri perhatiannya?

Seketika sekelebat bayangan yang pernah dilewatinya bersama Rio berputar di benaknya bagaikan sebuah film. Masa-masa menyebalkan namun berhasil menjelma menjadi serpihan cerita manis yang ternyata Ia rindukan kehangatannya. Segala macam bentuk kelakuan Rio yang awalnya membuatnya ingin meninju wajah manis itu, namun berakhir dengan dikenangnya masa itu dengan senyuman. Ia merindukan Rio.

Bulir-bulir air mata perlahan menetes dari pelupuk matanya. Rasa rindu yang tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam hatinya itu kembali membuat perasaannya tak tenang. Ingin sekali rasanya Ia menghampiri pemuda itu dan memeluknya seerat mungkin. Mengatakan segala perasaan yang menyiksanya.

Tuhan, bolehkah Ia mengharapkan sebuah keajaiban dari-Mu? Bolehkah Ia meminta satu kesempatan saja untuk mengungkapkan ketidakjujuran hatinya? Ia hanya ingin bahagia. Ia hanya ingin mendapatkan sebuah kisah manis yang seharusnya Ia dapatkan. Bukan rasa menyiksa yang selalu membuat tidurnya tak lelap. Hanya satu kesempatan saja. Ia berjanji.

*****



Hari semakin terik. Mataharipun berada semakin dekat dengan bumi. Sinarnya bak membakar siapapun yang berada di bawahnya tanpa pelindung apapun. Sekolahpun sudah bubar sejak tiga puluh menit yang lalu.Namun Rio tak memperdulikan sang mentari yang terus saja mencoba mengalahkan semangatnya. Ia terus saja berlari sambil membawa bolanya ke sana kemari. Bermain basket di tengah hari bolong adalah satu-satunya cara Ia untuk melampiaskan segala emosi hati yang tak mampu Ia luapkan.

Dengan penuh luapan emosi, Rio mendrible bola orange itu. Lalu dilemparkannya menuju ring dan masuk secara nulus tanpa cacat. Rasa sesak yang menyulutkan emosinya itu membuatnya kalut hingga mengabaikan tubuhnya yang telah basah kuyup karena keringat.

Ia sudah lelah dengan semuanya. Ia lelah merasakan sakit hati yang terus menyiksanya, merapuhkan jiwanya. Ia lelah terus bertahan pada luka yang tak pernah berhenti menyayat. Ia ingin mengakhiri penderitaan batin yang dirasakannya itu. Ia menyerah. Menyerah untuk memenangkan perasaan Ify. Menyerah untuk merubah takdir. Menyerah untuk mendapatkan apa yang seharusnya Ia dapatkan. Ia takkan lagi berharap. Takkan lagi memperdulikan apapun yang hanya akan membuatnya merasakan lagi sesak itu.

Ia menutup pintu hatinya.

Rio membungkukan tubuhnya sambil memegang lututnya sebagai penumpu. Ia sangat lelah. Keringatnya mengucur deras. Nafasnyapun tersengal.

Tiba-tiba saja sebuah botol tersodor dihadapannya. Membuatnya mau tak mau mendongak melihat tangan siapa yang mengulurkan air mineral itu padanya. Seketika tubuhnya membeku. Nafasnya tercekat. Gadis itu berdiri di depannya. Namun di detik ke sekian, Rio berusaha bersikap biasa saja. Ia menegakan kembali tubuhnya. Lalu menatap tajam gadis cantik yang telah berhasil mengobrak-abrik hatinya.

"Buat Kak Rio. Pasti haus," Ify berusaha memperlihatkan senyum yang biasanya.

"Nggak perlu," ketus Rio datar. Ia membalikan tubuhnya lalu melangkah ke tepi lapangan. Menyampirkan tasnya ke bahu kanannya, lalu melangkah pergi. Namun baru beberapa langkah, Ify langsung menahan tangannya yang langsung dihentakannya hingga tangan Ifypun terlepas.

"Kak Rio, gue mau minta maaf sama lo. Maaf buat semua luka yang udah gue buat di hati lo. Maaf karna udah nyia-nyiain perasaan lo."

Rio menatap lurus ke depan tanpa membalikan tubuhnya. Rahangnya mengeras mendengar permintaan maaf Ify.

"Maaf juga karna gue udah ngebohongin perasaan gue."

"Itu bukan urusan gue!" ujar Rio dengan emosi yang masih mampu ditahannya. Melihat gadis yang telah membuatnya hancur membuat emosinya selalu tersulut.

"Tapi gue udah nggak sanggup nahan semuanya lagi, Kak. Gue sayang sama lo. Gue sakit kalau gue kangen sama lo. Gue nggak kuat nyimpen kebohongan ini lagi. Gue nyesel, Kak."

Tangan Rio terkepal. Emosinya semakin tersulut. Rasa sakit itu kembali menyergapnya mendengar penuturan Ify. Rahangnya kembali mengeras.

"Kak Rio, gue nggak mau hidup tanpa lo."

Ify menundukan kepala sedalam-dalamnya. Benar-benar menyesali semua pilihan bodohnya. Menyesali keterlambatannya menyadari ada hati yang sangat berharga untuknya yang ternyata telah Ia sia-siakan. Menyesali kebodohannya memilih pengorbanan masa lalu dan mengacuhkan pengorbanan seseorang yang ternyata telah mengisi seluruh ruang di hatinya tanpa menyisakan celah untuk laki-laki lain.

Emosi Riopun memuncak. Iapun membalikan tubuhnya menghadap Ify yang tengah menundukan kepalanya.

"Brengsek lo!" sentak Rio langsung, membuat Ify mendongakan kepalanya terkejut mendengar makian Rio.

"Lo brengsek! Waktu gue bilang gue sayang sama lo, apa balesan lo? Apa?! Lo lebih milih cowok itu daripada gue! Lo pergi sama dia! Lo nggak perduli sama gue! Lo tau nggak gimana perasaan gue waktu itu?! TAU NGGAK?! Gue hancur setiap gue ngeliat lo berdua mesra-mesraan! Sakit, sakit saat gue dapetin kenyataan itu. Kenyataan kalau gue kalah! Gue kalah dari masa lalu lo! Gue udah hancur sekarang! Lo udah puas belum?! HA?!"

Air mata Ify tak mampu ditahan lagi. Semuanya menyeruak turun membasahi pipinya. Hatinya seperti dibunuh saat itu juga. Sakit. Sakit yang paling sakit diantara sakit yang pernah dirasakannya. Bentakan Rio itu bagaikan sebuah pisau yang menyayatkan kembali luka hatinya. Hatinya kembali berdarah.

"Sekarang lo dateng ke gue, lo bilang lo nyesel, dan lo mau gue. Otak lo di mana?! HA?! Brengsek banget lo!"

"KAK RIO!!!" bentak Ify. Membuat Rio mengatupkan bibirnya dan menatap Ify tajam dengan nafas yang memburu akibat emosi.

Rasa sakit Ify bertambah dua kali lipat saat Rio mencacinya. Ia tau Ia bersalah. Namun di manakah hati Rio? Ify hanyalah seorang gadis biasa. Ia masih memiliki hati. Bukan hanya Rio yang terluka, Ia bahkan terluka lebih dalam. Tak bisakah berbicara dengan suara yang dikecilkan sedikit?

"Gue tau gue salah! TAPI LO NGGAK PERLU MAKI-MAKI GUE KAYA GITU! Sakit Kak Rio! Sakit! Gue udah nyeselin semuanya dan gue mau perbaikin kebodohan gue. Tapi kenapa lo malah maki-maki gue seakan gue nggak punya harga diri kaya gini?" bentak Ify di awal kalimatnya, namun melirih di akhir. Air mata yang terus turun tanpa henti menjelaskan bahwa ada luka berdarah yang tengah tersayat dihatinya.

Rio terdiam. Menyesali ucapan kasarnya. Air mata Ify membuat hatinya semakin teriris.

"Gue benci sama lo!" Ify berlari pergi setelah menghapus kasar air matanya. Hatinya sudah sakit karena penyesalannya. Mengapa harus dilukai lagi dengan kata-kata yang menyakitkan?

Tak ada luka yang paling membunuh, selain luka karena kobodohan sendiri.

*****



Gabriel memperhatikan Ify yang menatap kosong mangkuk mie ayam di hadapannya. Ify seperti mayat hidup hari ini. Itu juga yang Via tuturkan padanya. Memang semenjak tadi Gabriel menjemputnya, Ify sudah seperti orang mati. Tak fokus dengan ucapannya, memberikan senyum yang selalu dipaksakan.

Gabriel menghela nafas melihatnya.

"Fy, kamu kenapa?"

Ify terkesiap lalu menggelengkan kepalanya sambil memaksakan sebuah senyum untuk meyakinkan Gabriel.

"Kamu sakit?"

"Aku nggak apa-apa, Kak."

Gabriel bangkit berdiri lalu memutari meja dan duduk di sebelah Ify. Digenggamnya lembut tangan Ify. Lalu dipaksanya Ify untuk menatap kedua matanya.

Ify yang sedang tidak bergairah untuk melakukan apapun akhirnya memilih menuruti saja. Iapun menatap kedua manik mata Gabriel. Tiba-tiba saja perasaan aneh kembali menyergapnya. Mata itu mengingatkannyadengan mata Rio. Mata yang selalu mampu menghipnotisnya.Mata yang selalu membuat dadanya berdebar kuat. Mata yang ternyata menjadi daya tarik utama Rio. Mata yang meluluhlantahkan hatinya.

Rasa sesak itu kembali menyerangnya. Ia sangat merindukan mata itu. Merindukan keteduhan yang dipancarkan dari mata itu. Merindukan debaran yang selalu membuatnya tak mengerti ada apa dengan hidupnya jika Ia berada di dekat Rio. Karena setiap di dekat Rio semua berubah menjadi taman bunga yang indah. Rio selalu tau bagimana cara untuk membuatnya berbunga-bunga. Ia benar-benar merindukan Rio.

Bukan hanya matanya. Ifypun merindukan senyumnya. Kehangatan senyumnya yang selalu berhasil membuat perasaan Ify bertambah semakin dalam dan dalam lagi. Namun hatinya terlanjur sakit atas perkataan kasar Rio kemarin.

"Fy, aku sayang banget sama kamu. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Dan aku yakin sekarang lagi ada yang nggak beres sama kamu. Aku nggak pernah ngeliat kamu sampe kaya orang yang raganya hidup tapi jiwanya mati kaya gini. Kamu kenapa?"

Ify hanya mampu menggelengkan kepalanya. Ia menunduk. Menyembunyikan matanya yang sudah berkaca-kaca siap untuk meluncurkan air matanya kapanpun.

"Ify..."

"Aku nggak apa-apa, Kak."

"Yasudah kalau emang menurut kamu kamu nggak kenapa-napa. Tapi kalau ada apa-apa, kamu bilang sama aku ya?"

Ify mengangguk sambil lagi-lagi menyunggingkan sebuah senyum yang sangat dipaksakan. Gabriel menghela nafas. Lalu kembali menatap Ify.

"Aku mau ngomong sesuatu, Fy."

"Apa?"

"Kamu mau nggak janji sama aku? Apapun yang terjadi, kita nggak akan terpisah. Kamu akan selalu ada di samping aku apapun yang terjadi. Kamu mau janji?"

Ify menatap Gabriel dan menangkap keseriusan dari wajah Gabriel. Ia menelan ludah mendengar permintaan Gabriel itu. Ifypun menunduk.

"Fy..."

"Maaf, Kak Gabriel. Aku nggak bisa," Ify melepaskan tangan Gabriel yang tadi menggenggamnya.

"Kenapa, Fy?"

Gabriel merasakan hatinya dilanda ketakutan yang sangat besar. Ia takut apa yang ditakutkannya akan benar-benar terjadi. Ia tak mau kehilangan Ify. Ia tau Ia egois. Namun Ia benar-benar menyayangi Ify. Ia takkan mau jika harus kehilangan Ify untuk alasan apapun. Dan Ia biarkan keegoisannya menang.

Namun mendengar jawaban Ify tadi membuat rasa takut itu kembali menghantuinya. Ketakutan yang merajalela di dadanya. Ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi sekarang ini.

"Kak, aku udah nggak bisa lagi bohongin perasaan aku. Semuanya udah berubah, Kak. Perasaan itu udah nggak sama lagi. Cinta itu udah bukan milik kamu."

"Rio kan? Dia kan yang udah nyingkirin aku dari hati kamu."

Ify menggeleng kuat.

"Bukan. Bukan Kak Rio yang udah nyingkirin kamu dari hati aku. Tapi kamu sendiri yang bergerak keluar dari hati aku. Dan saat kamu coba buat masuk lagi ke hati aku, hati aku udah kekunci dan cuman Kak Rio yang punya kuncinya."

"Fy, aku nggak mau kehilangan kamu."

"Kamu nggak akan kehilangan aku kok. Kita bisa jadi temen. Tapi aku mohon, lupain semua yang pernah terjadi sama kita. Anggep itu semua cuma masa lalu yang nggak akan mungkin diulang lagi."

Ifypun bangkit dari duduknya dan melangkah pergi dari kantin. Memeberikan waktu pada Gabriel untuk sendiri. Memikirkkan ucapannya tadi. Karena masa lalu memang bukan untuk diulang. Masa lalu hanya untuk dikenang dan dijadikan pelajaran. Agar mampu menjadi pribadi yang lebih baik dari yang lalu.

Masa lalu bagaikan buku catatan yang sudah penuh. Disimpan untuk bekal masa depan. Jika ujian tiba, barulah kita buka dan pelajari buku catatan itu agar dapat melewati ujian itu dengan baik.

Meskipun ini berat untuk Gabriel, namun Ify yakin Gabriel bisa menerimanya. Ify tak ingin ada yang terluka lebih lagi dari ini.

*****

Wednesday, April 29, 2015

Pilihan Hati (Part 14)

Part 14




Di tengah keramaian kantin yang rutin terjadi setiap jam istirahat, kedua sahabat karib ini tetap berbaur dengan keramaian tersebut. Mereka berbincang yang terkadang diselingi dengan gurauan dan juga canda tawa. Sambil memakan makanan pesanan mereka, Ify mendengarkan cerita Via tentang Alvin.

"Pokoknya Kak Alvin tuh cowok best banget. Nggak nyesel gue sayang sama Kak Alvin. Bangga banget punya Kak Alvin," jelas Via berbinar.

"Heem tau deh yang lagi falling in love mah beda. Berbunga terus tiap nyebut namanya," goda Ify seraya melipat kedua tangannya di atas meja karena Ia baru saja menghabiskan makanannya.

"Iya, Fy. Gue nggak pernah se-berbunga ini. Kak Alviiiiiin, I love you so much," seru Via berseri dengan suara yang dikecilkan sambil menusuk bakso terakhirnya dengan garpu lalu menatap Ify.

Ify terkekeh mendengar ungkapan hati Via. Ungkapan hati yang terdengar begitu berbunga. Ungkapan hati yang sepertinya mencurahkan rasa bahagia yang menyejukan jiwa. Sesungguhnya dalam hati Ify memiliki hasratingin seperti Via. Ia merasa iri dengan Via. Via dapat mendapatkan kebahagiaan yang diimpikannya, yang memang seharusnya dirasakan. Tak seperti dirinya. Raut wajah Ify seketika berubah. Senyumnya perlahan memudar.

Setelah selesai menyeruput es teh manis pesanannya tadi, Via melipat kedua tangannya di atas meja lalu menatap Ify. Tadinya Ia ingin melihat reaksi Ify atas ungkapan hatinya tadi. Namun yang didapatkannya adalah ekspresi wajahIfy yang aneh yang tiba-tiba saja berubah muram. Via mengerutkan kening.

"Lo kepikiran sesuatu?"

Ify menatap Via sebentar lalu menunduk, memperhatikan roknya yang bergerak-gerak karena kakinya yang digerak-gerakan. Ia menghembuskan nafas keras. Seperti berusaha mengeluarkan beban berat yang memikulnya, membuatnya tersiksa karena pilihan yang diputuskannya sendiri. Setelah itu, Ify kembali menatap Via. Lalu menyunggingkan senyum masam.

"Gue envy sama lo, Vi."

Via mengerutkan kening mendengar pernyataan Ify. Tak mengerti maksudnya.

"Lo bisa ngerasain kebahagiaan yang lo impiin selama ini," jawab Ify yang mengerti ketidakpahaman Via atas pernyataannya.

"Fy, kalau lo mau bahagia itu cuman satu kuncinya, ikutin apa kata hati lo."

Ify kembali menunduk. Merasa tertohok dengan ucapan Via tadi. Lagi-lagi perasaan aneh itu kembali dirasakannya. Perasaan aneh yang bercampur aduk. Perasaan aneh yang menyiksanya. Sesak. Sesak yang bercampur dengan rasa sesal, yang membuatnya ingin meledak seketika itu juga.

Bukankah Ia sudah meyakinkan pada dirinya bahwa pilihan yang diambilnya itu memang jalan yang terbaik? Namun mengapa Ia tak merasakan kebahagiaan yang seharusnya Ia rasakan?

Dan itulah jawaban yang memang Ify perlukan. Ikuti apa kata hati. Karena yang terbaik bukanlah yang dilihat atau didengar, melainkan apa yang dirasakan.

Pilihan yang diambilnya, tidak mengikuti apa yang hatinya bilang padanya. Ify tidak mendengarkan apa kata hatinya. Jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Ify sangat menginginkan Rio. Rasa itu ada, untuk Rio. Namun pilihan yang dipilihnya adalah membohongi dirinya sendiri dan mengacuhkan kata hatinya.

"Gue salah ya, Vi? Gue cuman nggak mau egois mikirin perasaan gue sendiri."

"Menurut gue, lo malah egois banget. Lo mentingin perasaan orang lain di masa lalu lo dan ngorbanin perasaan lo sama perasaannya Kak Rio. Lo pernah nggak mikirin perasaannya Kak Rio setelah lo nggak ngehirauin perasaannya?"

"Gue cuman nggak mau nyakitin Kak Gabriel, Vi."

"Justru dengan kaya gini lo nyakitin Kak Gabriel. Lo bukan cuma nyakitin Kak Gabriel. Lo juga nyakitin Kak Rio. Dan yang paling tersakiti dari pilihan lo itu adalah hati lo. Coba lo bayangin, gimana sakitnya Kak Gabriel kalau suatu hari nanti dia tau, ada laki-laki lain di hati cewek yang dia anggep pacarnya? Apa nggak lebih luka lagi dia?"

Ify mengalihkan pandangannya dari Via. Mencoba mencerna setiap kalimat yang Via ucapkan. Perasaan Rio. Benarkah hal itu yang membuat tidurnya tak tenang setiap malam? Benarkah hal itu yang menjadi beban yang selalu menyiksanya setiap saat?

Ia memang memutuskan segala pilihan tanpa pikir panjang. Yang Ia pikirkan saat Ia lebih memilih menghancurkan dua hati yang seharusnya dapat bahagia bila saling tertaut ialah pengorbanan Gabriel untuknya tanpa memikirkan pengorbanan Rio untuknya.

Ify memejamkan mata, menyesal.

Ify masih memikirkan keputusannya yang tiba-tiba saja disesalinya itu, sebelum sebuah suara membuyarkan semua lamunannya dan terpaksa membuat Ify dan Via menoleh.

*****



Shilla mengatupkan bibirnya rapat-rapa tsambil menatap tajam ke arah Ify dan Via yang tengah saling berbincang. Ia benar-benar muak mendengar Ify dan Via menyebutkan nama Rio dalam percakapan mereka. Rio sudah menjadi miliknya. Dan tak ada satupun yang boleh menghancurkan itu semua.

Shilla geram. Ia melangkah menghampiri dua karib yang tengah berbagi curahan hati satu sama lain itu. Dengan tangan terkepal, Shilla menyerukan nama Ify.

"IFY!"

Ify dan Via menoleh bersamaan ke sumber suara yang berada di belakang Ify. Seketika Via membulatkan matanya melihat Shilla dengan wajah memerah menatap Ify dengan penuh emosi. Mereka berdua bangkit dari duduknya. Sebagai persiapan takut-takut jika Shilla berbuat diluar dugaan, Via melangkah memutari meja untuk menghampiri Ify.

"Nggak tau diri banget ya lo?! Masih berani bahasin Kak Rio. Lo lupa kalo Kak Rio itu punya gue?!"

"Lah? Lo nguping? Nggak sopan lo!" seru Ify.

"Gue nggak suka kalo lo bahas cowok gue!"

"Heh, Kak Shilla! Kenapa jadi lo yang repot sih?! Kak Rionya aja biasa aja!" Via angkat bicara.Membuat Shilla mengalihkan pandangannya pada Via. Lalu menatap Via dengan tajam.

"Lo nggak usah kaya petir, nyamber-nyamber! Gue nggak ngomong sama lo, cupu!" Shilla mendorong bahu kanan Via dengan tangan kirinya.

"Lo santai dong, nggak usah pake dorong-dorong!" Via balas menatap tajam Shilla.

"Kak Shilla, lo tuh kaya nggak punya sopan santun ya? Dateng tiba-tiba marah-marah nggak jelas, bentak-bentak orang. Nggak malu lo diliatin orang-orang di sini?" cecar Ify.

Shilla mengalihkan pandangan pada penjuru kantin. Seisi kantin sudah mempertontonkan mereka. Namun Shilla tak perduli. Ia kembali memandang Ify dengan tajam.

"Biarin aja! Malah biar sekalian aja mereka semua tau. Cewek yang selama ini diidolain di sini ternyata busuk! Nggak tau diri!"

"Eh, Kak! Lo ngaca dulu dong kalo mau ngejudge orang! Asal aja ngejudge Ify kaya gitu. Lo pikir lo udah bener?"

"Heh, cupu! Gue nggak ngomong sama lo!"

Shilla kembali mendorong bahu Via. Kali ini mendorong kedua bahunya.

"Heh heh, apa-apaan sih lo, Shil?!"

Alvin datang bersama dengan Cakka. Membuat semuanya terdiam dan menoleh pada Alvin yang kini sudah berdiri di sebelah Via.

"Tuh cewek lo! Kasih tau, gue nggak suka dia ngomongin Kak Rio sama temennya satu ini yang tergila-gila sama cowok gue!" Shilla menunjuk Ify dengan dagunya. Lalu melipat kedua tangannya di dada sambil mencibir.

"Ha? Nggak salah denger gue, Shil? Bukannya elo yang tergila-gila sama Rio?"

"Ada apa lagi ini?"

Suara Rio yang datang secara tiba-tiba membuat semuanya kembali diam dan menoleh pada Rio. Rio melangkah ke sebelah Shilla yang membuatnya berhadapan langsung dengan Ify. Rio sempat melirik Ify, namun langsung dialihkannya pandangannya agar tidak membuat perasaannya yang sudah dengan susah payah Ia tata agar kembali normal kembali hancur.

Shilla langsung memeluk lengan Rio dan bergelayut manja. Membuat Ify dan Via juga Alvin dan Cakka ingin sekali memuntahkan isi perutnya di wajah Shilla.

"Itu tuh sayang, masa Ify sama Via ngebahas tentang kamu. Aku kan nggak suka," ujar Shilla dengan nada manjanya yang terdengar memuakan.

Rio menatap Ify yang tengah menghembuskan nafasnya kesal. Ada sedikit rasa penasaran dalam hatinya. Apa yang Ify dan Via bicarakan tentang dirinya? Namun rasa penasaran itu tak mungkin Ia kemukakan dalam sebuah pertanyaan untuk Ify. Rio lebih memilih menyimpannya dalam hati saja.

Riopun mengalihkan pandangannya pada Alvin.

"Lo urusin deh, Yo, tuh cewek lo," ujar Alvin sambil menunjuk Shilla dengan dagunya.

"Tau! Urusin tuh pacarnya! Jagain yang bener. Jangan sampe lepas dari kandangnya terus malah ngamuk bikin sekolah gempar."

Ucapan Ify itu ternyata menyinggung Shilla. Shilla tak terima disindir seperti itu. Ia menatap tajam Ify, bak ingin menerkam adik kelasnya itu. Shilla melepaskan pelukannya di lengan Rio. Ia mengambil air mineral kemasan gelas yang tersedia di meja kantin, juga dengan sedotannya. Di tusuknya air mineral itu dengan sedotan hingga terbuka. Setelah bagian atasnya terbuka lebar, Shillapun menyiramkan air itu ke wajah Ify. Ify menganga kaget.

"Shilla!"

"Kak Shilla!"

Alvin, Cakka, dan Via membelalakan mata kaget melihat kelakuan Shilla.

Ify menatap tajam Shilla dengan nafas yang memburu, menahan emosi. Tangannya terkepal siap untuk memberikan pelajaran pada kakak kelas yang tidak punya rasa hormat pada siapapun itu. Namun Ify sadar jika Ia sedang berada di kantin. Jika Ia berbuat kasar, Ia berarti sama saja bercermin pada Shilla. Tak ada bedanya dengan gadis itu.

Ifypun menghela nafas berusaha meredam emosinya.

Shilla tersenyum miring melihat wajah, sebagian rambut, dan kemeja Ify basah. Meskipun Ia kurang puas karena hanya menyiram Ify dengan air putih saja, namun Ia rasa itu sudah cukup mempermalukan Ify di depan Rio dan orang banyak. Dan cukup memberikan pelajar untuk adik kelas yang menurutnya tidak tau sopan santun terhadapnya.

Rio memejamkan matanya lalu menghembuskan nafasnya. Ia tak tau apa yang harus dilakukannya sekarang. Ingin sekali Ia memaki Shilla saat itu juga, namun itu tak mungkin Ia lakukan di depan Ify. Ify bisa merasa bahwa Ia telah berhasil mempermainkan Rio. Riopun memilih tak memihak siapapun.

"Rasain tuh!"

"Lo tuh kelewatan ya, Shil! Otak lo di mana?!" Gabriel datang secara tiba-tiba ketika Ia melihat ada keributan di dalam kantin dan langsung mencerca Shilla. Gabriel menghampiri Ify dan mengambil tissue di meja kantin dan mengelap wajah Ify. "Kamu nggak apa-apa?"

Ify hanya menggeleng, masih berusaha mengontrol emosinya yang masih bisa meledak jika dipancing.

"Upss, pangerannya dateng."

Rio mengepalkan tangannya melihat Gabriel yang berlaku sok mesra dihadapannya. Emosinya meningkat menyaksikan adegan yang sebenarnya wajar dilakukan oleh sang kekasih kepada kekasihnya. Demi meredakan emosinya, Rio mengalihkan pandangannya dari adegan di hadapannya itu.

"Kak Shilla lo tuh... Erggggh!" Via mengepalkan kedua tangannya di depan wajah Shilla seolah ingin meremukan wajah Shilla yang tertawa puas kala itu. Memuakkan sekali wajah berseri penuh kemenangannya itu. Ingin sekali rasanya benar-benar meremukan wajah itu hingga tak berbentuk.

"Fy, berenti ganggu hidup gue."

Kalimat datar yang diungkapkan Rio itu membuat semuanya menoleh pada Rio. Menatap Rio tak percaya. Terlebih Ify. Ify tak menyangka jika Rio akan menuturkan pernyataan seperti itu padanya. Apakah selama ini Ia menganggu hidup Rio? Sebegitu bencinyakah Rio padanya, hingga Rio lebih membela Shilla?

Rasa sesak yang baru saja menguap entah ke mana itu kini menyergapnya kembali. Namun sesak itu lebih menyakitkan dari yang tadi dirasakannya akibat penyesalannya. Kalimat singkat itu menggoreskan luka di hatinya.

Ify menghela nafas untuk menggagalkan air matanya turun. Ia tak ingin memperlihatkan luka itu pada Rio. Dan Ia juga tak menyakiti Gabriel jika melihatnya menangis untuk laki-laki lain.

Pernyataan Rio itu membuat senyum kemenangan terukir di wajah Shilla. Shilla benar-benar puas mendengar kalimat yang Rio ucapkan itu. Bahkan Riopun sudah tak mau berurusan lagi dengan Ify. Shilla benar-benar merasakan kemenangan telah diraihnya.

"Lo denger sendiri kan cowok gue bilang apa? Jangan ganggu hidupnya lagi! Emang dasar nggak tau diri lo!"

"Ayo, Shil!"

Rio menarik tangan Shilla. Membawa Shilla keluar dari kantin. Ify, Via, dan Alvin, serta Cakka masih tak percaya jika Rio mengucapkan pernyataan seperti itu pada Ify. Dan yang lebih membuat dada Ify seperti dipalu, Rio mengucapkannya di depan Shilla. Mengapa harus di depan Shilla?

Ify tak mampu mengatakan apapun. Bahkan untuk menelan ludahpun rasanya sulit. Ia hanya memandangi punggung Rio dan Shilla yang semakin menjauhi pandangannya dan akhirnya benar-benar menghilang setelah keluar dari pintu kantin. Ify memejamkan matanya mencoba mengusir rasa sesak itu. Jika Ia tidak sedang berada di kantin, Ia pasti sudah berteriak sekuat tenaga untuk mengusir rasa sesak itu.

Rasa sesak itu seperti mengoyak hatinya. Dadanyapun berdenyut perih, mendetakan luka.

*****



Rio berhenti melangkah ketika kakinya telah melangkah di atas rerumputan taman sekolah. Rio langsung menghentakan tangan Shilla secara kasar agar terlepas dari genggamannya. Perbuatannya itu membuat Shilla meringis.

Rasa sesak itu ternyata juga dirasakannya saat Ia mengatakan kalimat itu. Dan kini Rio merutuki kalimat yang keluar dari mulutnya tanpa bisa Ia kendalikan itu. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya akibat emosi yang membara di dalam dadanya tadi.

Riopun memejamkan matanya, mencoba melupakan sesak ituuntuk saat ini. Lalu menatap Shilla yang tengah memegang pergelangan tangannya yang mungkin terasa perih akibat dihentakan secara kasar oleh Rio tadi.

"Shil, kita putus!"

Seketika Shilla membelalakan mata tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Apa?! Putus?!"

"Ya! Putus!"

"Tapi kenapa, Kak Rio?"

"Gue muak sama lo, Shil! Lo nggak pernah berubah!"

"Kak Rio. Please, jangan putusin gue! Gue sayang banget sama lo."

"Harusnya gue nggak pernah minta lo buat jadi pacar gue."

"Kak Rio! Kak Rio jangan putusin gue! Kak Rio!"

Rio melangkah pergi meninggalkan Shilla. Tak menghiraukan panggilan Shilla yang terus menyerukan namanya. Ia tau Ia memang jahat. Menggunakan Shilla sebagai alatnya. Alat untuk pelariannya. Tapi Ia tak mampu bertahan lebih lama lagi dengan gadis itu. Gadis itu benar-benar keterlaluan.

Rio menyesal saat Ia teringat Ia tak bisa membela Ify tadi. Ia tak menolong Ify ketika Shilla menyiramkan air ke wajahnya. Dan Rio menyesal mengucapkan kalimat itu.

Namun emosinya memuncak saat Ia ingat Gabriel datang di saat yang tepat. Membela Ify dan menolong Ify. Melakukan yang seharusnya Ia lakukan. Mengambil alih posisinya. Mengapa harus ada laki-laki itu? Jika saja Gabriel tak muncul di antara Ia dan Ify, semua takkan menjadi seperti ini.

Jika Gabriel tak muncul, takkan pernah ada luka yang tergores di hatinya. Jika Gabriel tak muncul, Ify takkan menolaknya. Jika Gabriel tak muncul, Ia dan Ify akan menjadi pasangan terbaik di sekolah. Mengapa laki-laki itu harus muncul? Seandainya Gabriel tak pernah ada...

'Seharusnya dunia ini begitu indah, seharusnya hidupku ini penuh bermakna. Takkan gundah jiwaku bila kau bersamaku, takkan perih batinku ini bila kaupun milikku. Seharusnya dunia ini, punya kita berdua...' (Naff -Seharusnya Kita)

*****



Rio kembali melangkahkan kakinya ke kantin. Ingin ikut bergabung dengan Alvin dan juga Cakka dan mencurahkan kegundahan hatinya saat ini. Ia tak tau bagimana cara mengontrol hatinya. Dan Ia ingin mengetahui caranya dari Alvin ataupun Cakka.

Saat Ia ingin memasuki pintu kantin, tubuhnya membeku seketika. Kakinya seperti direm mendadak. Matanya menangkap sebuah adegan yang membuat hatinya kembali diselimuti rasa sesak.

Gabriel tengah mengelus puncak kepala Ify sambil tersenyum pada Ify. Ify membalas senyum Gabriel, membuat dada Rio berdenyut-denyut. Sakit. Ia terbakar cemburu. Ingin sekali Ia berlari menghampiri Ify dan Gabriel lalu memisahkan keduanya dan membawa lari Ify sejauh mungkin dari Gabriel. Namun kakinya tak mampu melanjutkan langkah ke dalam kantin. Membuat semuanya hanya menjadi bayangan saja.

Dengan kecewa dan rasa sesak yang masih menyergapnya, Rio membalikan tubuhnya dan melangkah pergi dari sana. Ia tau Ia tak berhak menganggu kebahagiaan dua insan Tuhan itu. Ia biarkan mereka menikmati setiap waktu yang bagaikan berputar hanya untuk merekam senyum kebahagiaan mereka. Membiarkan dirinya menelan segala pedih hati sendiri.

Bahkan untuk sekedar berharap keajaiban Tuhanpun Rio merasa tak pantas. Ia hanya berharap, Tuhan segera menghapuskan segala luka yang telah tergores, yang membuatnya hingga serapuh ini.

Tuhan, hapuskan segala sesak yang tak pernah Ia harapkan hadir dalam kisahnya...

*****



Tuesday, April 28, 2015

Pilihan Hati (Part 13)

Part 13




Ify membolak-balikan tubuhnya. Mencoba mencari posisi terpewe. Dan juga mencoba untuk memejamkan mata agar segera terlelap. Namun yang terjadi adalah perasaan aneh yang tengah mengobrak-abrik hatinya itu membuatnya tetap terjaga.

Perasaan aneh yang sejak tadi menyerang. Rasa bersalah dan hati yang tak tenang. Wajah kecewa Rio berputar di benaknya. Ia sungguh merasakan perasaan yang tak enak. Rasa bersalah karena telah membohongi hatinya. Rasa yang benar-benar sakit.

Mungkinkah ini memang pilihan yang paling baik?

Ify memukul-mukulkan dadanya. Mencoba mengusir rasa sesak yang membuatnya tak bisa terlelap. Ify bangkit untuk duduk. Ia mengelus-elus dadanya. Rasa sesak itu tak juga lenyap. Ify menghembuskan nafas keras. Jengah.

Ify menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba mengusir perasaan aneh yang tak seharusnya Ia rasakan. Ia tak boleh menyesali pilihan yang sudah dipilihnya. Ia tak boleh mengkhianati Gabriel. Tidak boleh!

Ify kembali menjatuhkan tubuhnya. Dengan bantal berbentuk wajah kartun Spongebob berwarna kuning, Ify membenamkan wajahnya dan memejamkan mata. Mencoba melupakan semua yang telah terjadi hari ini. Dan memulai hari baru dengan Gabriel besok.

*****



Via merasakan jantungnya ingin melompat keluar saat itu juga. Rasa berbunga yang menggebu-gebu tengah melandanya. Rasa bahagia yang selama ini diimpikannya. Rasa bahagia yang selalu muncul dalam doanya kini terkabul.

Alvin, sang pujaan hati, merasakan perasaan yang sama seperti yang dirasakannya. Dan saat ini, pemuda berkulit putih itu tengah menantikan jawabannya.

"Mau nggak, Vi?"

Via tersenyum mendengar pertanyaan Alvin. Sambil menunduk malu Via menganggukan kepalanya.

"Iya, Kak. Via mau."

Alvin terlonjak saking senangnya. Namun tak ingin terlihat orang lain karena posisi mereka kala itu sedang berada di kantin sekolah, Alvin mengurungkan hasratnya untuk melompat. Via tertawa melihat pemuda yang kini berstatuskan sebagai kekasihnya itu terlihat begitu bahagia.

Akhirnya impiannya selama ini dapat terwujud. Meskipun cara penembakan Alvin jauh dari kata romantic atau surprise seperti kebanyakan acara penembakan lainnya, tapi Via tetap bersyukur karena saat indah ini akhirnya tiba.

"Je t'aime," bisik Alvin membuat Via tersenyum.

"Me too," balas Via sambil menunduk malu.

Tiba-tiba saja tanpa diundang, Ify duduk di sebelah Via dengan nafas yang tersengal. Alvin dan Via yang salah tingkah karena kedatangan Ify yang tiba-tiba, langsung melepaskan tangan mereka yang sebelumnya saling menggenggam. Ify langsung mengambil jus jeruk Via yang isinya masih penuh dan langsung diseruputnya.

"Ifyyyyy!!!!! Itu minum gue!!!" seru Via tak terima jus jeruk yang belum disentuhnya sama sekali itu telah tandas tak bersisa.

"Heuh, gue cape tau nyariin lo ke mana-mana, taunya ada di sini," Ify mengibas-ngibaskan tangannya karena merasa gerah. Sepertinya Ify habis berlari-larian. Wajahnya merah.

Ify menghentikan aktifitasnya tadi kala melihat Alvin yang duduk di hadapan Via tengah menatap Via sambil senyum-senyum. Ifypun mengalihkan pandangannya ke Via yang juga senyum-senyum sambil menunduk malu. Ada yang tidak beres. pikir Ify.

"Hayooooo, kesambet dewi cinta ya lo berdua," goda Ify.

"Lo harus ngucapin selamat, Fy, sama gue."

"Ha? Selamat?"

Ify menatap Alvin dan Via bergantian. Curiga, Ifypun kembali bertanya.

"Lo berdua....."

Via mengangguk-angguk. "Jadian!"

Baru saja Ify mau bersorak mengucapkan selamat dan turut berbahagia pada Via dan Alvin, tiba-tiba saja seorang tamu tak diundang menyentuh bahu Via. Via sontak menoleh. Tak disangka, Shilla, si tamu tak diundang itu memencet botol saos dan menumpahkan isinya ke kemeja putih Via. Alvin, Ify, dan tentu saja Via membalalakan mata terkejut.

"Shilla!!! Lo apa-apaan sih?!" bentak Alvin yang langsung bangkit berdiri. Ifypun ikut bangkit. Sedangkan Via menarik tissue yang memang tersedia di setiap meja kantin, lalu berusaha membersihkan bajunya.

Seisi kantin mulai mempertontonkan mereka.

"Maksud lo apaan sih?!" cecar Ify.

"Gue nggak suka kalo cewek cupu yang sok kecakepan ini jadian sama Kak Alvin!"

"Lo nggak punya hak ya buat ngehakimin Via!"

"Gue nggak suka ada yang bahagia di atas sakit hati gue!!"

"Lo tuh kelewatan ya!" Ify mengambil gelas jus jeruk Alvin yang isinya masih tiga perempatnya. Diguyurkannya jus jeruk itu ke kepala Shilla. Setelah mengguyur Shilla, Ify meletakan gelas itu dengan penuh emosi sehingga menimbulkan suara kaca yang cukup membuat yang mendengar terlonjak.

Shilla menatap Ify geram. Kenapa anak kecil ini selalu berani melawannya? geram, Shilla mendorong bahu Ify.

"Erggh!!"

"Dasar pyshco lo!" Ify tak membalas, namun mengumpat. Setelah itu Ify menarik tangan Via pergi dari kantin segera menuju ke toilet untuk membersihkan baju. Alvin mengikuti Ify dan Via pergi dari kantin setelah sebelum melangkah keluar kantin melemparkan tatapan membunuhnya pada Shilla.

Melihat mereka keluar kantin meninggalkannya, Shilla menghentakan kakinya geram. Ia mengepalkan tangan kuat-kuat. Lalu meninjukannya ke meja kantin yang terbuat dari kayu itu.

"ERRRGHH!!"

*****



Semua mata terbelalak. Semua berkasak-kusuk melihat pemandangan tak biasa kini terjadi. Semua tak menyangka. Satu sekolah gempar melihat Shilla melangkah di sepanjang koridor sambil menggamit lengan Rio. Benar-benar pemandangan yang tak pernah terbayangkan oleh mereka.

Semua tau, jika sejak hampir dua tahun yang lalu, Rio tak pernah menggubris perasaan Shilla. Jangankan untuk membalasnya, menghargainyapun Rio enggan. Namun apa yang telah terjadi, hingga kini Shilla dan Rio terlihat berjalan dengan mesra?

Shilla tersenyum bangga. Bangga dapat menunjukan pada semua orang bahwa Rio kini adalah miliknya. Bangga karena Ia tak perlu bersusah payah mengambil alih Rio dari Ify. Bangga, bahkan Ia tak meminta Rio untuk menjadi miliknya.

Semalam, entah apa yang telah terjadi antara Rio dan Ify, hingga Shilla menemukan Rio dalam keadaan mabuk berat di pinggir jalan tengah bersender pada mobil. Melihat Rio, Shillapun menghampiri pemuda itu. Dalam keadaan tidak sadar, Rio memeluk Shilla sambil memanggil nama Ify.

Dan entah kerasukan apa, pagi-pagi Rio menjemputnya di rumah untuk mengajak Shilla berangkat bersama ke sekolah. Bukan hanya itu, Riopun meminta Shilla untuk menjadi kekasihnya. Tentu saja tanpa pikir panjang, Shilla langsung mengiyakan permintaan itu. Meskipun Shilla tak mengerti mengapa tanpa angin tanpa hujan Rio berubah pikiran seperti itu.

Namun Shilla tak ambil pusing. Yang terpenting, kini Rio sudah ada di genggamannya. Menjadi miliknya.

Shilla memeluk lengan lelaki di sebelahnya itu semakin erat. Melangkah dengan wajah terangkat. Membusungkan dada pada dunia. Shilla tau, Shilla bisa mendapatkan apa yang Ia inginkan.

Sedangkan pemuda di sampingnya, berjalan di sepanjang koridor dengan memasang muka tembok. Tak mengacuhkan pandangan-pandangan aneh orang-orang di sekitarnya. Mengabaikan kasak-kusuk yang sebenarnya membuatnya sangat risih. Namun Ia tau, inilah resiko dari pilihan yang telah diambilnya.

Shilla semakin merapatkan tubuhnya dengan Rio dan semakin mempererat pelukannya di lengan Rio, ketika Ia melihat Ify keluar dari dalam kelasnya yang memang terletak tak jauh dari koridor utama. Senyum kemenangannya semakin mengembang kala Ia melihat Ify menoleh ke arahnya.

*****



"Vi, kantin yuk! Laper nih belum sarapan."

Ify menggoyang-goyangkan lengan Via. Via menoleh menatap Ify.

"Yaudah, ayo!"

Ify tersenyum senang. Merekapun bangkit berdiri dan melangkah keluar kelas.

Saat berada di depan pintu kelas, Ify menoleh ke sebalah kanannya. Sesaat tubuhnya membeku. Ketika tak sengaja melihat adegan yang terjadi tak jauh dari hadapannya.

Via yang merasa Ify tak berada di sebelahnya, menoleh ke belakang. Ia mendapati Ify bergeming di depan pintu kelas. Iapun melangkah menghampiri Ify.

"Fy."

Via mengernyitkan kening melihat Ify tak menanggapi panggilannya. Heran, Viapun mengikuti arah pandang Ify. Seketika Via membelalakan matanya saat matanya menangkap sebuah pemandangan yang cukup mengejutkan.

Hati Ify mencelos melihat Shilla menggamit lengan Rio dengan mesranya. Senyum kemenangan yang menghiasi wajah Shilla membuat hati Ify semakin terasa seperti dipakukan.

DEG.

Sebuah perasaan aneh menyergapnya kala Shilla dan Rio melangkah semakin mendekat ke arahnya. Jantungnya tiba-tiba saja berdebar dengan kencang. Ada rasa tak rela ketika mendapati Shilla memeluk erat lengan Rio. Ify menghela nafas berat.

Shilla sengaja memperlambat langkahnya ketika Ia melintasi Ify dan Via. Ia tersenyum meremehkan lalu mengacungkan jempol terbaliknya pada Ify dan berbisik, "Hai, loser!" setelah berkata seperti itu, Shilla kembali menyunggingkan senyum penuh kemenangannya.

Ify mengatupkan bibirnya, menahan emosi. Tak terima disebut loser. Ia bukan loser!

Rio melirik Ify sedikit. Ingin melihat reaksinya. Dan senyum miring tipis tergambar dari bibirnya. Rio segera mengalihkan kembali pandangannya ke depan.

"Dasar mak lampir!" seru Via geram mendengar ucapan Shilla yang terlalu PeDe menyebut Ify sebagai loser. Shilla menoleh ke belakang dan kembali mengacungkan jempol yang dibaliknya seraya menyunggingkan senyum penuh kemenangan.

*****



Ify mencengkram sedotan yang seharusnya Ia gunakan untuk menyeruput jus alpukat yang tadi dipesannya. Ify tak bisa membohongi hatinya yang kini tengah membarakan api cemburu yang menyiksa.

"...... sebentar lagi. Iya kan, sayang?" Ify terus saja mengaduk-aduk minumannya dengan kasar. Tak menyahuti Gabriel.

"Sayang?! Fy? Ify!"

"Ha? Eeee... I... iya..."

Ify terkesiap kala mendengar panggilan Gabriel. Sejak tadi Ia tak menyimak ucapan Gabriel. Pikirannya terfokus pada sebuah meja yang letaknya tak jauh dari mejanya. Di meja itu, Ia melihat Rio dan Shilla tertawa bersama dan saling suap-menyuapi. Membuatnya ingin sekali menumpahkan isi dari gelas jus alpukat itu ke wajah Shilla.

Gabriel mengerutkan kening melihat kelakuan Ify yang sedikit aneh kala itu.

"Fy, kamu enggak apa-apa kan? Kamu sakit? Kok pucet gitu?" tanya Gabriel khawatir sambil menjulurkan tangannya dan menepelkan punggung tangannya di kening Ify. Memeriksa suhu tubuh Ify yang sedikut memanas.

Ify menggeleng. "Aku nggak apa-apa kok, Kak."

"Yakin? Badan kamu agak anget loh?" Ify mengangguk.

"Iya, Kak."

"Kita balik aja deh, yuk? Aku anterin kamu ke kelas." Ify mengangguk. Gabriel bangkit dari duduknya lalu menarik tangan Ify untuk mengikutinya. Merekapun melangkah hendak keluar dari kantin. Ifypun berjalan beberapa langkah di belakang Gabriel namun dengan tangan yang tetap ditarik Gabriel.

Saat melewati meja Rio dan Shilla, Ify menatap Rio yang menghentikan aktifitas sebelumnya yang tengah tertawa karena Rio melihatnya melintas dengan tangan yang digenggam Gabriel.

Rio kembali merasakan sebuah sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya. Ia kembali teringat kejadian di bawah guyuran hujan kemarin. Saat Ify lebih memilih meninggalkannya dan pergi bersama dengan Gabriel. Luka itu kembali berdarah melihat tangan Ify yang digenggam erat oleh Gabriel seakan tak ingin Ify terlepas. Dalam hatinya, Ia masih tak rela dengan keputusan Ify yang tanpa Ify sadari telah melukainya. Namun Ia tak dapat berbuat apa-apa. Bahkan memaksapun sepertinya tidak perlu.

Rasa sesal tiba-tiba menyergap Ify. Mengingat kejadian di bawah guyuran hujan kemarin. Akan keputusannya menyia-nyiakan Rio demi mantan kekasihnya yang kini telah kembali berstatus sebagai kekasinya lagi. Namun rasa sesal itu Ia coba usir sejauh mungkin. Ia tak mau menghianati Gabriel dan perjuangannya.

"Aw!" pekik Ify saat secara tak sengaja dengkulnya menubruk kursi kantin yang terbuat dari kayu itu. Gabriel berhenti melangkah saat mendengar pekikan Ify. Gabriel menoleh dan langsung menghampiri Ify yang sudah melepaskan genggamannya sejak Ify memekik tadi.

Rio ingin sekali menghampiri Ify yang kini tengah meniup sambil mengipasi dengkulnya dengan tangannya. Namun Ia segera mengurungkan niatnya saat melihat Gabriel berlutut memeriksa dengkul Ify.

"Dasar cewek gila. Matanya cuman buat pajangan kali ya? Ckck," gumam Shilla yang tadi langsung menoleh saat Ify memekik.

Rio tersenyum tipis lalu kembali memakan bakso pesanannya. 'Ify nggak butuh gue lagi. Jelas-jelas udah ada Gabriel di sebelahnya.' Rio membatin. Dan ketika Ia menoleh kembali ke tempat Ify tadi, kedua sosok itu sudah tidak terlihat lagi di sana. Rio menghela nafas.

'Sesungguhnya hatiku ingin menahanmu, kamu jangan pergi, kamu jangan pergi...' (Project Pop - Bohong)

*****



“Heartbeats fast, colours, and promises

How to be brave?

How can I love when I'm afraid to fall?

But watching you stand alone

All of my doubt

Suddenly goes away somehow



One step closer



I have died everyday waiting for you

Darling don't be afraid I have loved you

For a thousand years

I love you for a thousand more



And all along I believed I would find you

Time has brought your heart to me I have loved you

For a thousand years

I love you for a thousand more”



(Christina Perry - A Thousand Years)



Via menyanyikan lagu tersebut dengan iringan gitarnya. Dengan sepenuh hati, Via mencoba mengungkapkan apa yang dirasakannya dengan lagu itu. Mencoba melukiskan isi hatinya lewat lirik A Thousand Years milik Christina Perry itu. Dengan senyum bahagia yang mengembang, Via mengakhiri nyanyiannya.

"Gimana? Bagus nggak?"

Alvin mengganggukan kepalanya antusias. Sungguh suara yang luar biasa untuk Alvin. Suata lembut yang benar-benar menyentuh hatinya. Hatinya tergelitik meresapi 3 bait lagu yang Via bawakan untuknya tadi. Perasaan itu semakin menggebu-gebu di hatinya.

"I love you for a thousand years and a thousand more," bisik Alvin. Membuat hati Via tergelitik. Via menunduk tersanjung dengan bisikan Alvin. Melihat Via menunduk malu, Alvin menyentuh puncak kepala Via lalu mengelusnya. Alvin terkekeh.

"Aduh, kayanya asik banget nih berdua. Gabung boleh dong?"

Suara Shilla membuat keduanya mendongak. Mereka mendapati Shilla berdiri di hadapan mereka dengan memeluk lengan Rio. Melihatnya, Alvin langsung menurunkan tangannya dari puncak kepala Via lalu menghela nafas jengah. Sedangkan Via memutar kedua bola matanya.

"Sejak kapan sih, Yo, di lengan lo ada lem tikusnya?" sindir Alvin yang muak sekali melihat tangan Shilla yang bagaikan tertempel di lengan Rio.

Rio tersenyun simpul menanggapi sindiran Alvin yang terdengar jelas itu. Sedangkan Shilla dengan bangganya semakin mempererat pelukannya pada lengan Rio.

"Iya dong! Kitakan takkan terpisahkan!"

"Kaya tikus sama buntutnya?" Alvin kembali melontarkan sebuah sindiran. Shilla hanya mendengus kesal mendengarnya.

"Yo, gue mau ngomong sama lo. But, without your girlfriend."

Rio memejamkan matanya sesaat. Ia tau apa yang akan Alvin bicarakan padanya. Namun Ia tetap menuruti permintaan Alvin. Rio menatap Shilla dan memberi isyarat pada Shilla agar menjauh dulu darinya. Shilla merajuk. Namun Rio melepaskan tangan Shilla dari lengannya. Meski dengan bibir yang dimajukan beberapa centi, Shilla tetap pergi dari sana setelah sebelumnya menatap kesal Alvin dan Via karena telah memisahkan Ia dan Rio.

Rio duduk di hadapan Alvin dan Via yang memang meleseh di atas rerumputan. Rio menghembuskan nafas berat. Seperti berusaha mengeluarkan sebuah beban berat dari dalam dirinya. Wajahnya terlihat sangat sayu.

"Gue masih nggak ngerti kenapa lo bisa jadian sama cewek itu," ujar Alvin to the point sambil menatap sahabatnya lekat-lekat.

"Gue nggak punya pilihan lain, Vin," jawab Rio lirih.

"Kalo lo mau cari pelampiasan, jangan cewek itu juga kali, Yo. Emang nggak ada cewek yang lebih bagus apa?"

Rio kembali menghembuskan nafas berat.

"Ify nolak gue, Vin. Demi mantannya," ucap Rio tajam dengan rahang yang mengeras. Jika mengingat penolakan kemarin, emosi Riopun memuncak.

"Kalo jodoh nggak ke mana kan, Kak? Kenapa harus lo ambil pusing?" kali ini Via ikut angkat bicara.

"Nggak taulah. Gue pusing! Gue duluan ya."

Rio segera bangkit dari duduknya dan melangkah pergi. Pikirannya benar-benar kalut. Alvin hanya menggeleng-gelengkan kepala melihatnya. Ia tak mampu membantu banyak. Namun Alvin tetap tak habis pikir, mengapa bisa Shilla yang dipilih Rio?

Memang benar, cinta bukan hanya mampu mengobrak-abrik hati seseorang, tapi juga mampu mengobrak-abrik akal sehat seseorang.

*****



Gabriel mengajak Ify jalan-jalan sepulang sekolah. Sebenarnya Ify sedang tidak mood untuk pergi keluar. Namun wajah memelas Gabriel akhirnya mampu meluluhkannya. Alhasil, pulang sekolah mereka langsung meluncur ke salah satu mall di Jakarta.

Gabriel sangat antusias mengajak Ify untuk berbelanja barang apapun yang menarik menurut Gabriel. Ia menarik Ify untuk masuk ke dalam satu store ke store lainnya. Mulai dari toko baju, sepatu, emas, sampai jepitan-jepitan khusus wanita. Ify hanya pasrah mengikuti ke manapun Gabriel menarik tangannya. Raganya memang berada bersama Gabriel, namun jiwa dan pikirannya sedang melayang jauh entah ke mana.

Ify tak mengerti mengapa tak ada sedikitpun rasa bahagia ketika tangannya digenggam lagi oleh Gabriel seperti dulu. Padahal seingatnya, dulu Ia yang akan sangat antusias jika Gabriel mengajaknya jalan-jalan ke mall. Ia akan langsung menarik tangan Gabriel menuju bioskop dan dengan sangat antusias memilih film untuk ditonton. Setelah itu, Ify akan langsung menarik tangan Gabriel keluar dari bioskop dan mengajaknya ke cafe atau restaurant dan dengan sangat antusias memesan makanan kesukannya dan kesukaan Gabriel.

Namun mengapa ketika semua yang Ify harapkan dulu kini sudah dapat terwujud kembali, rasa bahagia yang membuncah itu tak dirasakannya?

"Fy, ini lucu banget. Yang ini juga. Ini juga. Wah, kamu suka yang mana? Atau mau beli tiga-tiganya aja?" tanya Gabriel ketika mereka masuk ke dalam toko boneka.

Ify memperhatikan tiga boneka yang tadi ditunjuk Gabriel. Boneka pertama adalah boneka beruang yang sangat besar berwarna pink. Boneka yang kedua adalah boneka panda berukuran seperti manusia. Sedangkan boneka ketiga adalah boneka bantal berbentuk Spongebob. Tak ada satupun dari ketiga boneka menggemaskan itu yang menarik minatnya. Ia malah semakin merasa bosan.

Merasa Ify tak menanggapi, Gabriel berhenti memilih lalu menoleh pada Ify.

"Kamu kenapa? Sakit?" Gabriel menyentuh kening Ify ketika mendapati wajah Ify yang terlihat lesu dan tak bersemangat. Ify tersenyum masam.

"Enggak kok, Kak. Aku nggak apa-apa. Cuman bosen aja. Kita pulang aja yuk, Kak."

"Kamu bener nggak apa-apa? Kayaknya lemes banget. Yaudah ayo kita pulang aja."

Mereka keluar dari toko boneka dan segera berjalan menuju parkiran. Setelah itu melesat pulang.

Tak ada suara di dalam mobil Gabriel siang itu. Hening. Hanya keheningan yang menyelimuti perjalanan mereka kala itu. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Gabriel bukannya tidak tau apapun tentang Ify. Gabriel bahkan sangat merasakannya. Merasakan perubahan sifat Ify kepadanya. Ia bahkan seperti bukan bersama Ify yang dulu menjadi kekasihnya saat SMP. Ia tidak mengenali sosok Ify yang ada di sampingnya.

Meskipun Gabriel menyadari perbuhana drastis Ify, Gabriel tetap mencoba bersikap biasa saja seperti tak ada apapun yang mengganjal hatinya. Padahal di dalam lubuk hatinya, Ryab merasakan sebuah ketakutan yang sangat besar. Gabriel takut kehilangan Ify. Maka untuk alasan itu, Gabriel menutupi kegelisahan hatinya dengan tetap bersikap seperti biasa.

Awalnya Gabriel hanya merasa bahwa perubahan sikap Ify terhadapnya itu semata karena kecanggungan awal setelah beberapa bulan tak bertemu. Namun semakin ke sini, Gabriel semakin kehilangan sosok Ify yang dulu dicintai dan mencintainya.

Gabriel menghembuskan nafas keras. Mencoba mengusir rasa gelisah dan ketakutan besar yang belakangan ini menghantuinya. Berusaha yakin bahwa tidak akan terjadi apapun.

"Sayang, kamu nggak mau makan dulu?"

"Enggak, Kak. Aku mau langsung pulang aja. Mau tidur di rumah."

"Maafin aku, ya. Gara-gara aku maksa kamu buat jalan-jalan tadi kamu jadi cape kaya gini."

"Bukan salah kaka kok."

Ify berusaha tersenyum sebiasa mungkin agar Gabriel tak merasakan senyumnya yang berubah semenjak mereka kembali menyandang status sebagai sepasang kekasih. Berusaha meyakinkan Gabriel dan juga dirinya sendiri bahwa tidak ada apapun yang terjadi dengannya. Dengan hatinya. Meski Ify tau, sekuat apapun Ia membohongi dirinya sendiri, hatinya tetap tak mampu menutupi segala perasaan aneh yang melandanya.

Namun selama Ify masih mampu bertahan dengan segala ketidakjujurannya pada hatinya, Ify akan terus berusaha berfikir bahwa tak terjadi apapun dengan dirinya, juga dengan perasaannya.

*****





Monday, April 27, 2015

Pilihan Hati (Part 12)

Part 12




Suasana pagi menjelang siang kala itu membuat makhluk penghuni bumi mengucurkan keringat dengan deras. Panas terik sang surya bagaikan membakar seluruh isi bumi. Begitupun dengan siswa-siswi SMA Global Bintang yang tengah menikmati waktu istirahat mereka.

Ify mengisi salah satu meja di kantin dan duduk dengan melipatkedua tangan di atas meja. Mendengarkan pemuda yang beberapa bulan lalu memutuskan hubungan mereka secara sepihak dan mendadak, berbicara, setelah Gabriel memohon pada Ify untuk ikut dengan Gabriel demi menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Ify yang luluh akhirnya mengikuti Gabriel yang akhirnya membawanya ke kantin.

"Aku udah berusaha sekuat tenaga buat bikin papa ngebatalin rencananya ngejodohin aku sama anak partner kerjanya. Tapi papa tetep keras kepala. Katanya partner kerjanya itu juga sahabatnya. Kalo aku enggak nurutin kemauan papa, papa nggak mau nganggep aku anak lagi. Terpaksa aku ikutin deh."

"Terus kenapa kamu malah mutusin aku?"

"Aku pikir cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Tapi, bahkan takdir nggak ngizinin waktu buat ngehapus bayang-bayang kamu, Fy."

Ify menyenderkan tubuhnya pada senderan kursilalu menghembuskan nafasnya keras. Ia mengalihkan pandangannya ke lain arah.Akal sehatnya berusaha mencerna penjelasan yang diberikan oleh pemuda dihadapannya itu. Ify kembali menatap lawan bicaranya ketika lelaki itu kembali buka suara.

"Setelah aku berusaha buat turutin kemauan papa dengan ikut papa ke Kuala Lumpur dan berusaha ngelupain kamu, ternyata aku ngerasa tersiksa yang sangat amat. Beberapa hari pertama, aku pikir perasaan yang tersiksa itu karna baru awal. Tapi ternyata setelah hampir 2 bulan, perasaan itu nggak berubah. Dan aku nggak bisa ngelupain kamu. Sampe akhirnya masuk bulan ke enam, aku udah nggak kuat. Aku kangen sama kamu. Akhirnya aku putusin buat kabur lagi ke sini."

"Terus papa kamu?"

"Papa aku? Dia marah banget. Semua fasilitas aku dicabut. Untung aja ada om aku yang ngizinin aku masuk ke sekolahnya yang kebetulan juga sekolah kamu. Jadi aku tetep bisa sekolah di sini. Bukan cuman sekolah, aku juga numpang hidup sama beliau."

Ify menelan ludah mendengarkan penjelasan Gabriel. Ia tak menyangka, Gabriel rela melakukan semuanya hanya untuk dirinya. Cerita yang selama ini diketahuinya hanya ada dalam sinetron, kini menimpa Ia dan Gabriel.

"Kak, aku nggak nyangka, kaka sampe segitunya. Demi aku..."

Gabriel tertawa miris, lalu menggapai tangan Ify yang tengah tertumpuk di atas meja. Menyentuhnya. Berusaha menyalurkan rasa rindu yang teramat dalam yang tengah dirasakannya untuk gadis yang masih menempati ruang di hatinya itu.

Ify terkesiap kala merasakan sebuah sentuhan hangat di tangannya. Hatinya berkata ada sesuatu yang aneh saat merasakan sentuhan yang sudah lama dirindukannya itu kini dapat kembali menyentuhnya.

"Aku masih sayang banget sama kamu, Fy."

Ify berusaha tersenyum sebiasa mungkin agar tidak terlihat dipaksakan dan menumpukan tangan kanannya di atas tangan Gabriel. Mencoba menata perasaan yang terasa sangat asing untuknya.

Bukankah ini yang diinginkannya? Tapi mengapa rasanya aneh sekali mendapati segala harapannya terkabul dalam wujud kenyataan?

*****

"Tadi itu siapa, Yo?" tanya Alvin ketika mereka sudah sampai di dalam kelas.

Baru saja Rio, Alvin, dan Cakka ingin melangkah ke dalam kantin, langkah mereka dicegat oleh Rio yang tiba-tiba saja berhenti melangkah dan mematung menatap ke satu sisi kantin, di mana di atas sebuah meja tangan Ify dan Gabriel saling betumpuan. Dan mau tak mau, Alvin dan Cakka yang mengerti perasaan sahabatnyapun memilih untuk mengorbankan rasa lapar mereka demi perasaan Rio.

"Mantannya."

"Jangan-jangan mereka balikan?" ceplos Cakka yang membuat Rio sontak menoleh dan menatap tajam Cakka. Alvin memelototi Cakka, membuat Cakka meringis dan menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal sama sekali.

"Lo kayanya udah masuk tahap sayang ya, Yo, sama Ify? Kalo nggak, lo nggak mungkin segini cemburunya."

Rio menghembuskan nafas berat.

"Yah, padahal gue udah seneng banget lo naksir sama Ify. Lo banyak berubah loh semenjak sering sama Ify. Lo nggak arogan lagi, nggak emosian lagi, nggak seenaknya lagi. Lo lebih ngehargain orang lain. Pokoknya beda bangetlah sama yang dulu."

"Kali ini gue setuju sama Cakka, Yo. Lo emang banyak berubah belakang ini. Yang pasti lo jadi lebih sering senyum."

Cakka mengangguk-angguk menyetujui ucapan Alvin.

"Gue nggak pernah ngerasain ini sebelumnya. Dan gue nggak tau apa yang harus gue lakuin sekarang," lirih Rio sambil memijit bagian tengah dahinya yang terasa berdenyut-denyut.

*****



Via merentangkan kedua tangannya. Merenggangkan otot-otot di tubuhnya. Melalukan stretching di pagi hari untuk memulai aktifitasnya. Via mengedarkan pandanganke seluruh penjuru sekolah yang terjangkau pengelihatannyayang kini tengah berdiri di depan pintu kelas yang menghadap langsung ke lapangan.

Via membelalak ketika matanya menangkap sahabatnya, Ify, tengah berjalan bergandengan dengan seorang siswa yang memang belum diketahui identitasnya oleh Via. Masih belum mempercayai apa yang baru saja dilihatnya, Via mengucek-ngucek matanya. Lalu kembali melihat kearah yang sama.

Namun apa yang ditemukannya tadi, tak berubah. Ify berjalan bergandengan dengan seorang siswa dan semakin mendekat ke arahnya. Via melangkah mundur dan bersembunyi di balik tembok kelas.

"Nanti pulang bareng aku, kan?"

Ify mengangguk seraya tersenyum menjawab pertanyaan Gabriel ketika mereka sudah tiba di depan kelas Ify. Via berusaha mengintip dari balik tembok.

"Kalo gitu aku ke kelas dulu ya, sayang. Kamu belajar yang bener ya. Jangan mikirin aku terus."

"Aku? Kamu? Sayang? Ha?" gumam Via. Kecurigaannya semakin kuat.

"Okeh deh. Kaka juga ya."

"Iya Ifyku sayang. Dadah," Gabriel melambaikan tangannya lalu melangkah pergi. Ify hanya tersenyum masam melihat kelakuan Gabriel.

Ify membalikan tubuhnya hendak masuk ke dalam kelas. Namun baru saja ingin menggerakan kakinya, tiba-tiba saja Via muncul dihadapannya. Mengagetkannya. Ify mengelus dada.

"Via! Hampir aja jantung gue jatoh ke bawah."

"Tadi itu siapa?" tanya Via langsung tanpa memperdulikan protes Ify.

Ify terkesiap mendengar pertanyaan Via. Wajahnya menegang tiba-tiba. Apalagi ketika Ify menangkap ekspresi curiga Via. Ify sampai menahan nafas saking tegangnya.

"Ha? Lo liat Vi?"

"Iya! Sekarang jelasin kenapa lo sama dia bisa dateng berdua sambil gandengan tangan udah gitu pake acara sayang-sayangan!"

Ify menghembuskan nafas lesu. Percuma Ia berusaha menyembunyikan yang sebenarnya. Toh, semuanya memang pasti akan terbongkar juga. Ifypun menatap Via.

"Dia itu Gabriel Steven Damanik. Mantan gue yang pernah gue ceritain sama lo dulu."

"Ha?! Jangan bilang kalo lo berdua..."

"Ya, kita balikan."

"IFYYYYYYYYYYYY!!!"

*****



"Aku mau dong disuapin juga sama kamu."

Gabriel merajuk pada Ify setelah tadi Ia menyuapi Ify sesendok nasi rames. Kini mereka sedang berada di kantin karena sekarang adalah waktunya mereka istirahat.

"Ha?"

Ify gelagapan sendiri mendengar permintaan Gabriel. Ifypun memaksakan sebuah senyum pada Gabriel. Lalu menusuk sebuah bakso yang dipesannya dengan garpu. Diulurkannya tangannya ke Gabriel. Dengan tawa bahagianya,Gabriel memasukan bakso itu ke dalam mulutnya.

"Makasih sayang."

Gabriel mengacak rambut Ify. Ify mengangguk sambil tersenyum.

Dari salah satu meja tak jauh dari meja Ify dan Gabriel, Rio meremas sendok yang tengah digunakannya untuk memakan nasi goreng pesanannya. Hatinya bagai dipukul palu besar. Menyaksikan adegan demi adegan yang terjadi di salah satu meja kantin.

Ingin sekali rasanya Rio berlari menghampiri kedua insan Tuhan yang menurut pandangannya tengah berbunga itu. Lalu ditonjoknya wajah sok mupengnya Gabriel hingga tak berbentuk. Namun tak punya hak untuk melakukannya, Rio lebih memilih melampiaskannya dengan meremas sendok di tangannya.

"Kalo jodoh nggak akan ke mana kok, Kak."

Via muncul tiba-tiba dengan membawa nampan yang berisi semangkuk mie ayam dan segelas orange juice. Setelah memindahkan isi nampannya ke atas meja, Viapun duduk di sebelah Alvin.

Rio mengalihkan pandangannya dari Gabriel dan Ify ke Via.

"Ya, kalo Kak Rio jodoh sama Ify, hubungan mereka pasti cuman sesaat kok."

Via menjelaskan maksud pernyataannya pada Rio. Mengerti tatapan mata Rio yang meminta penjelasan darinya. Sambil mengaduk-aduk mie ayam pesanannya, Via melirik Rio. Ingin tahu ekspresi yang muncul di wajah Rio.

"Iya, bener kata Via, Yo. Kalo nggak balik ke lo, berarti dia bukan yang terbaik buat lo. Dan lo tenang aja, Tuhan udah siapin bidadari yang jauh lebih baik dari Ify."

Rio menghela nafas.

"Gue cuman nggak tau apa yang harus guelakuin sekarang. Kadang, gue nggak bisa ngendaliin perasaan gue."

"Kak Rio, Ify pernah cerita sama gue. Ada sesuatu dibalik hubungan mereka."

Rio mengerutkan keningnya. Tak mengerti.

"Sesuatu?"

Via mengangguk.

"Kak Gabriel itu nyeritain semua pengorbanannya buat Ify. Karena nggak tega Kak Gabriel sampe nggak diakuin anak lagi sama bokapnya, ya akhirnya Ify terima."

Rio menatap Gabriel dan Ify yang kini tengah tertawa bersama. Sepengelihatannya, mereka benar-benar tengah menikmati masa-masa indah yang dulu pernah hilang namun kini telah kembali lagi. Menatap kedua insan Tuhan yang sedang berbahagia itu dengan tajam, namun lirih.

Ada rasa tak rela melihat gadis yang memiliki tempat spesial di hatinya itu tertawa bahagia dengan laki-laki lain. Seandainya saja, Ia memiliki hak untuk menarik Ify menjauh dari Gabriel. Seandainya saja.

*****



Awan hitam memayungi kota metropilitan siang itu. Rintik-rintik air mulai jatuh menandakan bahwa langit akan segera mengguyurkan hujan lebat karena petir mulai menyambar-nyambar langit.

Dan benar saja, tak lama kemudian hujan bak berlomba-lomba untuk membasahi bumi. Membuat seluruh siswa-siswi yang sudah merindukan kamar dan kasur mereka, terpaksa mengurungkan niatnya agar tidak terkena amukan air yang jatuh dari langit itu. Sedangkan yang sudah terlanjur basah lebih memilih menerobos hujan dan segera melesat pulang.

Namun Ify lebih memilih berteduh di tepi koridor menunggu hujan reda ditemani dengan keksaihnya, Gabriel. Mereka berencana pulang bersama hari ini. Ify menegadah ke atas, memandangi tetesan-tetesan hujan yang jatuh membasahi tanaman-tanaman yang berada di tepi lapangan.

Gabriel memperhatikan kelakuan Ify itu. Ia tersenyum.

"Fy, ayo kita pulang. Udah reda tuh hujannya. Sebelum hujannya deras lagi."

Ify menoleh pada Gabriel lalu menatap ke depan. Air yang tadi bagaikan mengguyur tanpa ampun, kini sudah menjadi tetes-tetes air. Ify kembali menoleh pada Gabriel, lalu mengangguk.

"Ayo."

Dalam perjalanan, tak ada suara terdengar selain suara mesin mobil yang menderu di jalanan Ibu Kota. Ify lebih memilih menatap jalanan yang siang itu lenggang dan sedikit becek. Hujan yang tadi sudah berhenti, telah kembali mengguyur. Dan Gabriel memfokuskan diri mengemudikan mobil, demi keselamatannya dan Ify.

Suasana hening yang menyelimuti mobil Gabriel kala itu, membuat keduanya berada dalam kecanggungan. Bingung apa yang harus dilakukan ataupun dikatakan. Maka dari itu, perjalanan mereka siang itu ditemani oleh keheningan.

Tiba-tiba saja Gabriel menginjak pedal remnya. Membuat mobilnya berhenti mendadak karena sebuah mobil dengan tak terduga menyalip mobil Gabriel dari kanan dan berhenti di depan mobilnya, mengejutkan keduanya.

"Sialan banget itu orang! Mau mati apa, ya?!" umpat Gabriel.

Ify menahan nafas melihat pemilik mobil yang memang sudah dikenalinya itu keluar dari dalam mobil tanpa memperdulikan tubuhnya yang langsung diserang air hujan. Rio, si pengendara mobil yang membuat Gabriel terpaksa menginjak pedal rem secara mendadak itu melangkah menuju ke pintu mobil Gabriel sebelah kiri.Ify tau pasti pemuda itu mencarinya.

Ify menoleh ke sebelah kirinya. Di mana Rio mengetuk atau lebih tepat jika dikatakan menggedor kaca jendela mobil Gabriel. Menyerukan nama Ify. Membuat jantung Ify berdebar cepat. Apa yang harus dilakukannya?

"Ify!! Turun!!" teriak Rio mengimbangi suara hujan masih menggedor kaca jendela sebelah kiri mobil Gabriel.

Ify melirik Gabriel yang membelalakan mata melihat tingkah kakak kelas yang belum dikenalnya secara langsung itu. Lalu kembali menoleh ke sebelah kirinya. Melihat aksi Rio yang tak juga berhenti, Ifypun membuka seatbeltnya. Ia memutuskan untuk turun menghampiri Rio. Mengabaikan panggilan Gabriel terhadap dirinya.

Tanpa pelindung apapun, Ify tak mengacuhkan hujan yang mengguyurnya tanpa ampun. Membiarkan tubuhnya basah kuyup akibat guyuran hujan. Setelah menutup pintu mobil Gabriel, Ify menatap tajam Rio yang memperhatikannya dengan nafas yang terengah.

Tanpa peringatan terlebih dahulu, Rio menarik Ify ke dalam pelukannya. Mendekap gadis itu seerat mungkin. Ify terkejut. Tubuhnya menegang. Debaran itu kembali dirasakannya. Debaran dada yang bergemuruh yang hanya dirasakannya karena Rio. Hanya jika bersama Rio. Dan debaran itu memang milik Rio.

Ify terdiam. Memejamkan mata menikmati debaran yang kembali hadir. Membiarkan dirinya hanyut akan debaran yang kembali membangkitkan perasaan yang sudah dipendamnya dengan susah payah selama beberapa waktu belakangan ini. Tak dapat disangkal, Ia merindukan Rio.

Rio semakin mempererat pelukannya pada Ify yang tak membalas memeluknya namun juga tak meronta. Ia tau, Ify memiliki rasa rindu yang sama seperti yang dirasakannya. Dan Ia tau, tak ada yang mampu melunturkan rasa rindu itu, meskipun air hujan mengguyurnya tanpa belas kasihan seperti ini.

Gabriel turun dari dalam mobilnya dengan niat memisahkan gadisnya dari dekapan laki-laki lain. Namun entah apa yang menahannya, Gabriel menghentikan langkahnya di samping mobilnya. Memperhatikan keduanya yang sepertinya tengah dilanda sesuatu yang tak dimengerti Gabriel. Gabriel hanya mampu mengepalkan tangannya tanpa bisa melayangkannya ke wajah Rio. Tubuhnya terpaku seperti ada yang mengunci tubuhnya.

Setelah puas menikmati debaran liar nan indah itu, Rio melepaskan pelukannya. Ia menyentuh kedua lengan Ify. Menatap mata Ify tepat di manik matanya. Membuat Ify yang hendak mengalihkan pandangan terhipnotis dan terpaku.

"Kenapa, Fy?" lirih Rio namun tajam.

Ify terdiam. Ia masih tak mengerti dengan potongan kalimat tanya yang Rio lontarkan. Menunggu kelanjutan dari kalimat itu.

"Kenapa lo nggak perduliin perasaan gue? Kenapa lo balik sama dia?"

Ify menelan ludah mendengar kelanjutan pertanyaan Rio yang juga menjelaskan rasa sakit yang dimiliki Rio secara tersirat.

"Kak Rio..."

"Gue sayang sama lo, Fy."

"Kak..."

Ify melepaskan kedua tangan Rio yang masih mencengkram lengannya. Tatapan tajam Rio tak mampu menyembunyikan luka yang terpancar dari matanya. Sesungguhnya Ifypun terluka melihat luka tersirat itu. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ada rasa meluap-luap yang tak pernah Ia rasakan termasuk pada Gabriel. Rasa meluap-luap yang mungkin orang sebut dengan jatuh cinta. Dan jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Ia ingin mengucapkan kalimat yang sama seperti yang Rio ucapkan padanya tadi. Namun sisi kemanusiaannya melarangnya untuk hanyut lebih jauh dengan perasaan yang tengah menggebu-gebu di dadanya.

Air mata yang untung saja tersamar dengan air hujan itu runtuh tanpa bisa dibendung lagi. Ketidakjujurannya pada Rio, membuat hatinya bak teriris.

"Maaf, Kak. Gue nggak bisa."

Ify mengucapkannya dalam satu tarikan nafas agar tidak tersendat dan menimbulkan kecurigaan. Dengan susah payah, Ify berbohong pada hatinya.

"Fy..."

"Ada yang lain, Kak."

"BOHONG!"

Ify menggeleng. Menghindari tatapan mata Rio. Rio kembali mencengkram lengan Ify. Namun Ify kembali melepaskan tangan Rio. Ia tidak ingin kalimat yang tadi sudah susah payah dilontarkan bibirnya, harus ditariknya kembali karena tatapan dan sentuhan Rio yang pasti mampu meluluhkannya.

"Maaf, Kak."

"Fy." Gabriel berteriak mengimbangi suara hujan memanggil Ify. Ify menoleh pada Gabriel. Rasa bersalah langsung menghantuinya saat Ia melihat raut wajah merah padam Gabriel. Ia tau Gabriel cemburu pada Rio. Dan kalimat Gabriel beberapa waktu lalu terputar kembali di benaknya.

'Papa aku? Dia marah banget. Semua fasilitas aku dicabut. Untung aja ada om aku yang ngizinin aku masuk ke sekolahnya. Jadi aku tetep bisa sekolah di sini yang kebetulan juga sekolah kamu. Bukan cuman sekolah, aku juga numpang hidup sama beliau.'

Bagi Ify, pengorbanan Gabriel demi dirinya sudah terlalu berlebihan. Apa jadinya jika pengorbanan itu ditukar dengan luka oleh Ify? Ify tak mau Gabriel berfikir jika Ify tak tau kata menghargai. Maka dari itu, membohongi hatinya adalah pilihan terbaik untuk sekarang ini.

Ify tersenyum miris lalu menundukan kepalanya. Memantapkan hati atas apa yang telah dipilihnya. Bukankah dalam kisah cinta harus ada yang dikorbankan? Ify tak mau egois. Gabriel telah mengorbankan segala-galanya hanya untuk dirinya.

Ify membalikkan tubuhnya. Hendak melangkah kembali ke mobil sebelum tangan Rio kembali menggenggam tangannya, menahannya.

"Jangan pergi, Fy! Gue mohon."

Permintaan Rio yang terdengar lirih namun tajam itu menyentil hatinya. Sesungguhnya Ify ingin sekali kembali membalikan tubuhnya dan memeluk pemuda itu. Melampiaskan seluruh rasa rindu yang hadir. Namun sekali lagi, Ia takkan membiarkan keegoisannya menang.

Ify kembali tak dapat membendung air matanya untuk tak jatuh. Akhirnya air mata itupun kembali mengalir membasahi pipinya dan tersamar oleh air hujan yang belum juga puas mengguyurnya. Ify menghela nafas.

"Maaf, Kak."

Untuk yang ke sekian kalinya Ify melepaskan tangan Rio yang mencengkramnnya. Tanpa berani menatap mata Rio yang pasti akan mengobrak-abrik perasaannya, Ify melangkahkan kakinya langsung ke dalam mobil Gabriel. Mengabaikan permintaan Rio. Meninggalkan Rio, juga lukanya. Membuat Rio terpaku tak percaya dengan jawaban Ify.

Setelah Gabriel menyusul Ify ke dalam mobil, mobil Gabrielpun melesat pergi dari sana. Benar-benar tak memperdulikan Rio yang tengah terluka.

Rio mengepalkan tangannya kuat-kuat mendapati kenyataan Ify lebih memilih murid baru itu daripada Ia. Ini bukan jawaban yang diinginkannya. Ini bukan akhir yang diharapkannya. Pertama kalinya Ia merasakan indahnya jatuh cinta. Pertama kalinya juga Ia merasakan hancurnya tak diacuhkan.

Luka berdarah yang baru saja tercipta menggoyahkan sisi kelelakiannya. Ia jatuh tak berdaya. Rasanya benar-benar hancur. Tak pernah Ia merasakan sebuah kehancuran yang benar-benar mengoyaknya seperti ini. Sakit. Dan rasa sakit itu tak mampu Ia jelaskan dengan kata apapun.

Inikah yang orang sebut patah hati?

'Kau hancurkan aku dengan sikapmu. Tak sadarkah kau telah menyakitiku. Lelah hati ini meyakinkanmu. Cinta ini membunuhku...' (D'Masiv - Cinta Ini Membunuhku)

*****





Friday, April 24, 2015

Pilihan Hati (Part 11)

Part 11




Semua mata tertuju kepada kedua insan Tuhan ini. Menatap iri pada Via yang tengah berjalan berdampingan dengan Alvin. Yang lebih menghebohkan lagi, tangan mereka yang saling bertautan. Semua 'menggigit jari' melihatnya. Ingin sekali berada di posisi Via.

Begitupun dengan Via. Senyum tak hentinya merekah di bibir tipisnya. Hatinya berbunga-bunga pagi ini. Bahagia sekali mendapat perlakuan istimewa dari sang pujaan hati. Tiba-tiba saja pagi tadi motor Alvin sudah bertengger di depan rumahnya, lengkap dengan Alvin dan senyumnya.

Dan kini, Alvin menggenggam tangannya. Mengabaikan seluruh tatapan-tatapan iri yang seolah ingin memisahkan mereka berdua. Alvin tetap melangkah dengan santai bahkan mempererat genggaman tangannya pada Via. Pagi ini adalah pagi terindah dalam hidupnya semenjak Via masuk ke sekolah ini.

"Hayoooo, udah jadian ya?!" Ify yang entah datang dari mana, mengejutkan keduanya dengan godaannya yang berhasil membuat keduanya merona.

"Pake acara pegangan tangan lagi. Haduh, itu Via udah pengen diterkam sama fans-fans lo, Kak."

"Belum jadian, Fy. Tapi tenang aja, Via aman di genggaman gue."

Ucapan Alvin itu membuat pipi Via memanas. Ify tertawa melihat tingkah senior dan sahabatnya itu.

"Wetss, Alvin udah mulai nakal ya ternyata," ceplos Cakka yang baru saja datang bersama Rio. Sedangkan Rio terkekeh melihat tangan Alvin dan Via yang sepertinyadirekatkan oleh sebuah perekat hingga tak mampu dilepaskan.

Mereka semua tertawa pagi itu. Menyambut pagi dengan hati yang cerah. Namun tidak dengan sepasang mata yang memperhatikan mereka tidak jauh dari tempat mereka berada.

Ia menatap tajam semua yang tengah tertawa di sana. Mengepalkan tangan seolah ingin menghacurkan kebahagiaan yang terpancar di wajah mereka. Ia tak suka. Terpancar kebencian yang mendalam daritatapan tajamnya. Tak ada ampun untuk mereka semua.

Mereka telah menghacurkannya. Dan mereka harus membayar kehancurannya.

*****



Langit malam semakin menghitam. Bulan sedikit bersembunyi di balik awan malam. Dan bintang yang malam itu entah mengapa enggan menunjukkan kerlipnya. Malam itu, langit benar-benar hampa.

Dan langit malam itu, menyaksikan seorang gadis berambut panjang melangkah dengan sempoyongan dan membuka pintu mobilnya secara susah payah. Maklum saja, Ia sedang dalam keadaan mabuk.

Setelah berkali-kali berusaha membuka pintu mobil yang menurutnya menjadi lebih sulit dari biasanya,Iapun tersadar bahwa Ia belum membuka kunci pintumobilnya. Ia tertawa sendiri melihat kunci mobilnya itu berada di saku hot pantsnya. Setelah pintu berhasil terbuka, gadis itupun masuk ke dalam mobilnya dan mulai mengemudikan mobilnya.

Dalam keadaan mabuk seperti itu, tentu saja alam sadarnya sangat tipis. Gadis itupun mengendarai mobilnya dalam keadaan ugal-ugalan. Untung saja jalanan sudah mulai sepi kala itu. Dan polisi lalu lintaspun sudah selesai bertugas hari itu. Gadis itu sedikit aman.

Di tikungan jalan, Ia berbelok namun tak menginjak pedal rem. Mobilpun tergelincir, namun masih bisa dikendalikannya. Hingga sampai pada beberapa meter dari tikungan tadi, seorang gadis tengah menyebrang jalan dan terkejut ketikaIa menoleh ke arah kirinya dan mendapati sebuah mobil berjalan dengan ugal-ugalan dan dalam kecepatan tinggi.

"AAAAAAA!!!!"

Untung saja seseorang berhasil mendorongnya ke pinggir jalan sehingga tubuhnya tak hancur dihantam mobil yang melaju dalam kecepatan tinggi dan ugal-ugalan itu.

"Vi, lo nggak apa-apa kan?"

Via -gadis yang tadi hendak menyebrang jalan- menggeleng lemah. Masih shock atas apa yang hampir saja terjadi dengannya jika Alvin tidak menyelamatkannya.

Tak lama terdengar suara benturan kerasyang cukup mengejutkan mereka berdua dan mungkin juga warga-warga di sana. Alvin dan Via menoleh ke arah sumber suara. Mata mereka melongo melihat mobil Honda Jazz berwarna putih susu yang tadi hendak menabrak Via kini menghantam pohon beringin tak jauh dari tempat Alvin dan Via berada.

Mobil itupun ringsek dan mengeluarkan asapdi bagian depannya. Alvin bangkit dan membantu Via untuk bangkit juga. Tadinya mereka hendak menghampiri lokasi kecelakaan yang telah dipenuhi oleh warga-warga. Namun mereka mengurungkan niatnya karena melihat seseorang berjalan sempoyongan keluar dari kerumunan.

Shilla, melangkah menghampiri Alvin dan Via yang sedang terkejut melihat Shilla yang berjalan sempoyongan dan tertatih-tatih dengan pelipis yang mengucurkan darah lumayan banyak. Mereka berdua saling menatap dan mempunyai pemikiran yang sama.

"Jangan-jangan...," gumaman Via terhenti karena Ia bingung bagaimana melanjutkan kalimatnya. Namun Alvin menyambungnya.

"Dia sengaja mau nabrak lo, Vi."

Via dan Alvin kembali menatap Shilla yang semakin mendekat ke arah mereka. Via masih sedikit shock dengan kejadian tadi. Hampir saja acara makan malamnya dengan Alvin berakhir tragis. Untung saja Alvin sempat menyelamatkannya. Jika tidak, Ia benar-benar takkan pulang ke rumah lagi mungkin.

"Hai, Via, Kak Alvin," Shilla menyapa dalam keadaan mabuk.

"Lo sengaja mau nabrak Via?!" cecar Alvin langsung. Shilla tertawa miring.

"Rupanya lo beneran udah ngelupain gue ya, Kak Alvin. Haha," Shilla tertawa.

"Secepet itu, Kak?"

"Dan cewek cupu ini yang ngegantiin gue?"

Shilla maju melangkah mendekati Via. Ditelusurinya rambut Via dengan senyum miring yang terlukis di wajahnya. Via menjauhkan wajahnya dari Shilla ketika mencium bau alkohol dari mulut Shilla.

"Kak Alvin, dia mabok,"bisik Via. Alvin menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dia, nggak pantes, Kak! Nggak pantes ngegantiin gue!" Shilla mendorong kasar bahu Via sehingga Via yang tak siappun jatuh terjengkang ke belakang.

"AW!!" pekik Via kala tulang punggungnya menghantam trotoar jalan. Membuat sakit yang luar biasa di punggungnya. Ia meraba punggungnya sendiri.

"Shilla! Keterlaluan lo!" bentak Alvin yang langsung berjongkok memeriksa kondisi Via. Lalu membantu Via untuk bangkit kembali. Sedangkan Shilla tertawa miring untuk yang ke sekian kalinya.

Kini Shilla menghampiri Alvin. Ditatapnya pemuda tampan itu dengan lirih. Lalu dibingkainya wajah Alvin dengan kedua tangannya.

"Selama ini cuman lo yang belain gue, yang selalu ada buat gue. Tapi sekarang? Lo udah nggak peduli lagi sama gue."

Shilla berkata lirih sambil mengelus wajah Alvin yang terasa halus di tangannya. Alvin hanya mengatupkan mulutnya melihat Shilla yang sedang mabuk bertingkah seperti itu. Via yang masih merasakan sakit di punggungnyapun hanya terdiam menyaksikan adegan Alvin dan Shilla di hadapannya itu.

Alvin mencengkram kedua tangan Shilla yang masih membingkai wajahnya, lalu menjauhkan tangan itu dari wajahnya.

"Dulu gue dibutain sama kecantikan fisik lo yang bikin gue akhirnya jatuh semakin dalam sama perasaan yang seharusnya nggak pernah ada buat lo. Tapi setelah gue tau kelakuan memuakkan lo, gue baru sadar. Selama ini gue udah ngelakuin kesalahan terbesar dalam hidup gue. Mencintai cewek pshyco kaya lo!"

Lagi-lagi Shilla tertawa miring. Lalu Ia melangkah maju mendekati Alvin. Dan melingkarkan tangannya di leher Alvin. Alvin tak bertindak. Ia ingin tau apa yang akan Shilla lakukan setelah Shilla mengetahui cinta yang besar untuknya dulu menguap entah ke mana tergantikan rasa muak.

"Gue cantik kan, Kak?" tanya Shilla dengan lirih.

"Terus kenapa lo bisa-bisanya move on ke cewek cupu ini?"

"Lepasin gue, Shil! Sebelum gue main kasar!" ancam Alvin.

Shilla menatap mata Alvin tepat di manik matanya. Tangannya kembali melingkar di leher Alvin. Bukannya menuruti perintah Alvin tadi, Ia semakin mendekatkan tubuhnya pada Alvin. Meniadakan jarak antara mereka. Membuat tubuh mereka menempel satu sama lain. Rasa risih mulai menjalari Alvin.

"Shilla, lepas!!!" Alvin kembali menyuruh masih dengan emosi yang ditahan.

Namun Shilla malah memeluknya dengan erat. Membuat Alvin tak bisa benafas saking kencangnya pelukan Shilla. Alvin geram. Emosinyapun membuncah tak dapat ditahan lagi. Dengan kasar, Alvin mendorong tubuh Shilla menjauh dari tubuhnya. Hingga Shillaterjatuh ke belakang dalam keadaan terduduk. Untung saja tangannya menunpu tubuhnya. Jika tidak, kepala Shilla akan terbentur aspal dan mungkin geger otak.

"Lo! Gue bener-bener muak sama tingkah lo! Menjijikan! Lo cewek. Tapi di mana harga diri lo?!" bentak Alvin sambil menujuk wajah Shilla.

Shilla tak terima. Ia diperlukan tidak hormat oleh Alvin. Membuatnya geram. Shilla bangkit. Lalu menghampiri Via. Ditatapnya Via sengit. Lalu ditariknya rambut Via ke belakang. Membuat Via meringis merasakan perih di kepalanya.

"Sakit!!!"

"Shilla LEPAS!" bentak Alvin mencoba melepaskan tangan Shilla dari rambut Via. Namun tenaga Shilla yang tengah kesetanan itu tak mampu dikalahkannya.

"Kak, lepas! Sakit!" Via memohon karena kulit kepalanya serasa bagai tertarik lepas dari tempatnya. Saking sakitnya, setitik air mata punjatuh di tepi matanya.

"Sakit? Lo bilang sakit? Sakitan mana sama hati gue?! Rio! Gue nggak bisa dapetin dia karna temen lo yang sok kecantikan itu dateng di hidup Rio! Dan Alvin! LO AMBIL DIA DARI GUE!! Elo, sama temen lo itu sama-sama nggak tau diri!" bentak Shilla seraya menguatkan jambakannya di rambut Via. Membuat Via makin meringis.

"Shilla! Rio nggak suka sama lo itu bukan karna Ify! Dan gue, gue yang milih buat mundur dan ngubur perasaan gue karna KELAKUAN LO! GUE MUAK NGELIATNYA! Sekarang, lepasin rambut Via, atau lo bakalan ngerasain yang lebih sakit dari yang Via rasain sekarang?! LEPAS!!!"

"Gue nggak takut ya, Kak Alvin!" tantang Shilla membuat Alvin geram. Alvin mengepalkan tangannya kuat-kuat. Shilla harus diberi pelajaran.

PLAAK!

Satu tamparan dengan bumbu emosi melayang ke pipi Shilla. Membuat rasanya terasa sangat pedas. Alvin tak main-main dengan ancamannya. Shilla sampai terjatuh kembali ke aspal.

Alvin langsung menarik Via ke belakang tubuhnya. Melindungi Via yang masih shock.

"Pulang ini, lo ngaca ya di rumah! Gue kasian sama lo, Shil! Lo cantik, tapi sayang, lo nggak punya harga diri! Gue suruh lo ngaca, biar lo tau, betapa buruknya diri lo! Sekali lagi lo berani gangguin Via, gue nggak akan segan-segan buat bikin lo lebih sakit dari ini! Ngerti lo?!"

Setelah berkata panjang lebar pada Shilla, Alvin menarik tangan Via dan melangkah pergi dari sana. Meninggalkan Shilla yang masih merasakan perih di pipinya. Bukan hanya di pipinya, tapi juga di hatinya.

Ia tak takut dengan ancaman Alvin. Dengan menatap tajam Alvin dan Via yang sudah melaju dengan motor Alvin dan semakin menjauhi pandangannya, Shilla berjanji dalam hati, Ia akan menghancurkan mereka semua seperti mereka menghancurkannya. Ia berjanji.

*****



Ify memperhatikan wajah pemuda menawan di sebelah kanannya yang kini tengah fokus pada jalanan Ibu Kota yang meski langit masih berwarna biru muda dan masih menyisakan seburat jingga menandakan bahwa waktu masih sangat pagi namun sudah ramai dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan yang hendak memulai rutinitas sehari-hari.

Entah mengapa pemuda yang dulu begitu menyebalkan baginya ini, perlahan namun pasti mencuri perhatiannya. Ify masih memandangi wajah menawan Rio yang hanya terlihat dari samping saja. Mencoba mencari jawaban, apa yang membuatnya tertarik pada laki-laki menyebalkan itu.

Ify mengetahui pasti jika Ia bukanlah tipe gadis yang mudah mempersilahkan lawan jenisnya memasuki pintu hatinya. Namun entah mengapa semua pemikirannya tentang Rio selama ini berubah 180 derajat dalam waktu yang cukup singkat. Ify sendiri tak mengerti sejak kapan debaran menggelitik itu hadir di dadanya ketika Ia bersama dengan pemuda itu.

Seperti sekarang ini. Hanya dengan memandanginya saja, hatinya tergelitik entah untuk alasan apa. Menerka-nerka apakah benar pesona pemuda ini mampu meruntuhkan kebencian yang dulu dirasakannya pada pemuda itu.

"Walaupun mata lo nggak kedip sampe seminggu ke depan, muka gue nggak akan berubah kok."

Ify terkesiap kala mendengar Rio buka suara. Ternyata sedari tadi Rio sadar jika Ify memperhatikannya. Ify menundukan kepala dalam-dalam, menyembunyikan wajahnya yang memerah akibat malu karena kepergok si pemilik wajah.

"Lo nyari apaan sih di muka gue? Gue nggak ngumpetin barang lo di muka gue kok."

Ify melirik Rio yang sesekali menoleh kapadanya, alih-alih menyetir. Ia melihat Rio yang menarik tepi bibirnya dan terkekeh geli. Dan lagi-lagi hatinya berdesir menyaksikan pemandangan itu. Ify kembali menunduk lalu menekan dadanya yang seperti digelitiki oleh ribuan kupu-kupu yang menari-nari di dalam dadanya.

Mobil Rio memasuki parkiran sekolah. Rio memarkirkan mobilnya di tempat biasa Ia memarkir mobil. Setelah membuka seatbelt, Riopun turun dari mobil dan melangkah ke pintu kiri tempat Ify duduk. Lalu mebukakan pintu untuk Ify.

Namun ada yang aneh yang membuat kening Rio berkerut. Ify bergeming saat Rio membuka pintu. Ify tetap menunduk sambil memegangi dadanya.

"Fy."

Ify terlonjak kaget mendengar panggilan Rio. Ify langsung celingukan seperti orang kebingungan. Lalu meringis malu ketika mendapati Rio berdiri di sebelahnya sambil mengerutkan kening.

"Hehe."

"Lo kenapa sih, Fy? Aneh banget dari tadi."

"Ha? Eng..enggak kok, nggak apa-apa."

"Yakin lo nggak apa-apa?"

Ify mengangguk-anggukan kepalanya lalu turun dari dalam mobil Rio. Rio menutup pintu mobilnya. Sedangkan Ify merapikan penampilannya yang takut-takut jika berantakan.

"Ayo!" ajak Rio. Ifypun mengangguk.

Ketika mereka ingin melangkah keluar dari parkiran hendak menuju ke gedung sekolah yang berada di belakang lahan parkir, tiba-tiba ada sebuah mobil Mitsubishi Outlander berwarna hitam parkir di sebelah mobil Rio. Kaget, mereka mengurungkan niat untuk melangkah ke gedung sekolah.

Si pengendarapun turun dari mobil.

Tubuh Ify membeku saat melihat sesosok pemuda yang sudah hampir dilupakannya, kini berdiri di hadapannya dengan memamerkan senyumannya pada Ify. Senyuman yang pernah dirindukan Ify.

Ify terpaku menatap pemuda bermata hitam dan berkulit coklat manis khas orang Indonesia, berhidung bangir dan bibir yang tipis namun sedikit lebar, bertubuh tinggi dan sedikit berisi, meski tidak seatletis Rio.Seketika jantungnya berdebardan rasa sesak menjalari hatinya. Teringat kejadian beberapa bulan lalu di bandara.

"Hai, Fy?!" sapanya seraya mengembangkan senyum bahagianya melihat Ify di hadapannya.

"Kaaakk... Ryan, ngapain di sini?" tanya Ify gelagapan, shock.

"Aku sekolah di sini, Fy, mulai hari ini."

Ify membelalakan matanya, "See... sekolah di sini?!"

Pengendara mobil yang Ify panggil dengan sebutan Kak Ryan itu mengangguk antusias.

"Kok bisa?"

"Kemaren aku nanya sama mama kamu, kamu sekolah di mana. Mama kamu jawab di sini. Yaudah aku daftar ke sini aja."

"Kak Ryan, mau lo tuh apa sih?! Lo udah ninggalin gue seenak lo, terus sekarang lo balik lagi ke hidup gue dengan seenak lo juga! Lo pikir nggak sakit apa?!"

Ucapan Ify itu membuat senyum Ryan memudar. Setelah berucap seperti itu, Ify berlari pergi meninggalkan Ryan dan juga Rio yang masih berdiri di sana.

"Ify!"

*****



Air mata tak henti-hentinya mengalir, menjadikan sebuah aliran sungai di pipinya. Terisak merasakan sesak yang kembali hadir di hatinya, setelah beberapa bulan ini Ia coba untuk kubur dalam-dalam. Namun entah apa yang dipikirkan pemuda yang telah meninggalkannya tanpa alasan yang tak dapat diterima dengan akal sehatnya itu. Sehingga kini, ketika rasa itu hampir terkubur dan tergantikan, dengan sengaja namun tanpa sadar pemuda itu mencoba membangkitkan kembali rasa menyakitkan itu.

Ify menggenggam batu yang ada di hadapannya. Mencoba meluapkan emosi yang meluap-luap di dadanya. Karena merasa menggenggam kuat batu tidak sedikitpun melunturkan emosinya, digenggamnya semakin kuat batu berukuran sebesar bola bekel itu. Masih berusaha meluapkan emosinya yang entah mengapa tak mampu dibendungnya lagi namun juga tak mudah diluapkannya. Karena sudah tak kuat menahanemosi yang membuncah di dada, Ifypun berteriak sambil melemparkan batu itu ke sembarang arah.

"EEEEERGH!!"

"Ify! Aw!"

Seru dan pekikan seseorang membuat Ify terlonjak. Ia langsung mencari keberadaan sumber suara tersebut. Lalu melihat Rio tengah meringis dan memijit kepalanya di salah satu sisi taman sekolah. Ifypun terbelalak lalu menutup mulutnya. Jangan-jangan lemparannya tadi mengenai kepala Rio?Ify langsung bangkit dan berlari menghampiri Rio.

"Aduh, Kak Rio. Batunya kena kepala lo ya? Maaf ya, Kak. Sakit ya?"

"Aw!" ringis Rio.

Ify berusah berjinjit untuk memeriksa kepala Rio yang tadi terkena lemparan batunya. Rasa bersalah semakin menghimpitnya ketika Ify melihat ada sedikit luka dan darah yang tergores di pelipis Rio. Sedangkan Rio masih menunduk sambil mengurut kepalanya yang terasa perih dan berdenyut-denyut.

"Masya Allah! Yah, Kak Rio berdarah. Yah, yah, maaf ya, Kak," sesal Ify masih meraba kepala Rio untuk mencari apakah ada luka lain di kepala Rio selain luka di pelipis.

"Fy." Rio mendongakan kepalanya berniat ingin menenangkan Ify dari rasa bersalahnya. Namun sepertinya, lagi-lagi waktu kembali berhenti berputar untuknya. Dan mungkin juga untuk Ify. Ketika mata Rio menatap tepat pada manik mata Ify, dan begitupun sebaliknya, debaran itu kembali mereka rasakan. Menggelitik seluruh dinding hati. Menciptakan irama detakan yang indah. Membuat desiran liar dalam dada. Ify dan Rio terpaku beberapa saat.

Ryan, mantan kekasih Ify yang beberapa bulan lalu meninggalkannya dan memutuskan hubungan mereka di bandara, yang membangkitkan kembali rasa sesak yang telah Ify kubur dalam-dalam itu, terpaku melihat adegan yang terjadi tak jauh dari hadapannya. Melihat Ify dan Rio yang merasakan sebuah debaran bersama dengan tatapan yang memancarkan sebuah kasih yang tersirat yang mereka rasakan. Membuat hati Ryan mencelos menyaksikannya. Niatnya ingin menjelaskan apa yang telah terjadi sebenarnya, terurung karena tiba-tiba saja sebuah rasa yang membuatnya sulit untuk menghirup udara, mengerubungi rongga dadanya. Sesak.

Ingin sekali berlari menghampiri mereka, lalu memisahkan keduanya sejauh mungkin. Namun Ia merasa tak memiliki hak apapun untuk melakukan itu. Alhasil, Ia hanya mampu melangkah pergi dari sana. Mencoba menahan rasa sesak yang menjalari seluruh ruang di dadanya. Menyesali kepingan rasa hancur yang telah dibuatnya untuk Ify yang mungkin masih dirasakan Ify hingga sekarang.

Masih asik menikmati debaran jantung yang belakangan ini selalu menjadi backsound indah ketika mata mereka terpaku dalam satu titik, mereka saling mencari arti dari debaran itu. Benarkah ini adalah rasa cinta? Ataukah hanya debaran wajar yang dirasakan jika dua insan Tuhan yang berlawan jenis saling bertatap pada satu titik fokus?

Rio mengulum senyum ketika Ia tersadar dari alam khayalnya. Ia menurunkan tangan Ify perlahan yang seketika berhenti bergerak ketika tadi waktu seakan berhenti untuk mereka.

"Ify, gue nggak apa-apa," bisik Rio lembut membuat Ify terkesiap. Seketika Ify tersadar dari alam khayalnya. Ify kembali bernafas normal setelah sebelumnya berusaha untuk bernafas dengan susah payah.

"Em, maaf, Kak," ujar Ify berusaha menyembunyikan kesaltingannya. Rio tersenyum lebih lebar lagi.

"Nggak apa-apa kok. Lo abis nangis? Mata lo merah."

Ify menunduk lalu menghembuskan nafas keras. Rasa sesak itu kembali merasuki hatinya. Mengingat Ryan yang kini kembali hadir di hidupnya. Membuat bayang-bayang masa lalu yang sudah tersamar nyaris lenyap, kembali nyata. Menggoreskan kembali luka lama yang belum kering.

"Lo mau cerita sama gue?" Rio menuntun Ify untuk duduk di salah satu kursi taman.

"Dia balik. Setelah dia bikin hidup gue berasa nggak ada artinya lagi karna dia tinggalin gue buat alesan yang nggak bisa diterima sama akal sehat gue. Dia muncul lagi setelah berbulan-bulan pergi tanpa rasa bersalah udah ngehancurin perasaan gue. Kenapa dia harus balik lagi? Disaat gue lagi berusaha buat nyembuhin luka ini. Ergh!"

Tak terasa air mata mengiringi ceritanya. Hatinya mencelos mendengarkan curahan hatinya sendiri. Ada seburat emosi yang mengekor pada lukanya. Membuat perasaan tak menentu. Ingin rasanya Ia melemparkan benda apapun untuk menyurutkan apa yang dirasakannya sekarang.

"Semua orang itu punya masa lalu yang ngegores luka dihati. Tapi semua itu bukan alesan buat lo terpuruk dan terus nyimpen dendam. Luka itu bagian dari bumbu hidup. Kalo lo nggak pernah ngerasain luka, lo belum bener-bener hidup. Tapi luka itu juga jangan lo nikmatin. Yang harus lo lakuin, cuman belajar buat nerima semua yang udah terjadi di hidup lo, dan berusaha buat ngelakuin sesuatu yang lebih baik lagi buat ke depannya dengan belajar dari luka itu."

Ify menoleh kaget mendengarkan ucapan Rio. Menganga tak percaya jika Rio yang menyebalkan namun menawan itu mampu melihat hidup dari sudut pandang seperti itu. Bahkan Ify yang selama ini mampu menyembunyikan luka itupun tidak bisa berfikir seperti itu. Rasa kagum untuk pemuda itu muncul di hatinya. Memberikan lagi nilai plus untuk Rio.

"Gue nggak nyangka, Kak, lo bisa ngomong kaya gitu."

"Gue ini dua tahun lebih tua dari lo. Sedikit banyak, gue pernah ngerasain apa yang lo rasain walaupun dalam wujud yang beda. Daripada lo galau nggak jelas, mendingan kita nyanyi aja, yuk?"

Mata Ify berbinar. "Ide yang bagus, Kak."

"Bentar, ya."

Rio melangkah pergi meninggalkan taman. Ify menatap punggung Rio yang semakin menjauhi pandanganya. Ia tersenyum kagum. Benar-benar laki-laki sempurna. Meskipun laki-laki itu dulu terlihat belagu, namun semakin mengenalnya, semakin banyak sisi lain Rio yang terbongkar. Dan itu semua membuat Ify benar-benar takjub.

Ada sebuncah perasaan yang meluap-luap di hatinya. Mungkin rasa kagum yang terlalu besar untuk Rio? Ataukah perasaan lain?

Riopun kembali dengan gitar yang ditentengnya. Ia kembali duduk di sebelah Ify.

"Kak Rio, tapi ini udah bel," ujar Ify yang tiba-tiba teringat bahwa Ia sedang berada di lingkungan sekolah, dan sudah terlalu lama berada di taman sekolah.

"Udah, sekali-sekali ngambil jam pelajaran buat refreshing," sahut Rio sambil mensetting gitarnya. Ify mengangguk-angguk.

Rio mulai menggenjreng gitarnya. Memulai intro awal lagu kesukaan mereka berdua. Ia tersenyum kala melihat mata Ify berbinar mendengarkan intro yang dimainkannya.Your Guardian Angel, lagu yang membuat mereka menjadi lebih saling mengenal. Menarik mereka dalam rasa saling penasaran akan diri keduanya. Menghasilkan sebuah rasa lain di samping rasa benci yang dulu mereka simpan untuk satu sama lainnya.



"When I see your smile

Tears run down my face

I can't replace

And now that I'm strong

I have figured out

How this world turns cold

And it breaks through my soul

And I know I'll find deep inside me

I can be the one



I will never let you fall

I'll stand up with you forever

I'll be there for you through it all

Even if saving you sends me to heaven



It's okay. It's okay. It's okay.

Seasons are changing

And waves are crashing

And stars are falling all for us

Days grow longer and nights grow shorter

I can show you I'll be the one



I will never let you fall

I'll stand up with you forever

I'll be there for you through it all

Even if saving you sends me to heaven



Cause you're my, you're my, my, my true love,

my whole heart

Please don't throw that away

Cause I'm here for you

Please don't walk away and

Please tell me you'll stay, stay



Use me as you will

Pull my strings just for a thrill

And I know I'll be okay

Though my skies are turning gray"



Mereka berdua menyanyikan lagu ini bersama. Sama-sama menikmati petikan gitar Rio, menikmati setiap nada yang tercipta, menikmati setiap lirik yang mengalun. Sama-sama menikmati langit biru pagi dan suasana menangkan taman sekolah yang menyaksikan keduanya bermain dalam rasa indah yang tengah bergelayut liar dalam hati keduanya. Sesekali menggerakan tubuh mengikuti irama lagu. Saling melempar senyum menikmati lagu tersebut. Tawapun tak jarang menemani dua insan Tuhan yang sama-sama tengah merasakan desiran yang sama itu.

Dan sang mentaripun tersenyum melihat keduanya tertawa riang tanpa beban. Meresapi perasaan yang Tuhan anugrahkan untuk mereka.



"I will never let you fall

I'll stand up with you forever

I'll be there for you through it all

Even if saving you sends me to heaven"



(The Red Jumpsuit Apparatus - Your Guardian Angel)



Dan mereka terus bernyanyi menyelesaikan lagu favorit mereka bersama. Membuat saksi bisu yang menyaksikan mereka ikut tersenyum bahagia. Dan membuat hati mereka berdua menghangat, karena mendapati kenyataan indah bahwa mereka bisa duduk berdua dengan tawa bahagia yang mengiringi keduanya. Ah, inikah indahnya cinta?



'Kepadamu pencuri hati, yang tak kusangka kan datang secepat ini...' (Giselle - Pencuri Hati)

*****