Saturday, February 27, 2016

Bukan Diriku (Part 1)

Part 1

Keramaian di hari Minggu sepertinya memang sudah menjadi kebiasaan pagi kota Jakarta. Di manapun kaki melangkah dan ke manapun mata memandang, seakan tak ada ruang kosong bagi para insan bumi untuk menjejaki tanah. Kendaraan berlalu lalang begitu angkuh. Para pedagang nampaknya tetap tak jera mengais rejeki meski sudah berulang kali digusur petugas. Dan kaki-kaki sarat semangat dan penuh suka cita juga tak letih menyongsong hari libur ini dengan berbagai tujuan.

Motor Rio meliuk-liuk di tengah kepadatan arus lalu lintas. Tak peduli dengan teriakan Ify yang sudah memintanya menurunkan sedikit kecepatan yang ditempuhnya, yang kini tengah memeluknya erat guna mencari perlingdungan. Meski Ify tau, tak ada perlindungan lain yang bisa dilakukannya kecuali melafalkan doa untuk keselamatannya dan Rio tentunya.

"Kak Rio, please, aku masih muda. Perjalanan hidup aku masih panjang. Aku masih pengen kuliah, kerja, nikah, punya anak...."

"Aku juga!" potong Rio tiba-tiba.

"Ya terus kenapa nyari mati?!" Ify mendengus kesal dengan intonasi yang meninggi, berteriak untuk menyetarafkan volume suaranya dengan kebisingan jalan raya.

"Aku enggak mau telat, Fy. Kalo aku telat, Alvin bisa ngerasa menang sebelum bertarung. Udah kamu pegangan aja yang kenceng. Aku bisa pastiin kamu akan selamat sampai tujuan tanpa kurang satu apapun."

Ify kembali mendengus namun tak lagi berniat menyahuti. Rio dan Alvin. Keduanya memiliki sifat yang sama-sama keras dan tak mau terkalahkan. Namun dengan pengaplikasian yang berbeda. Jika Alvin dengan seluruh kekejaman dan kekuatannya. Rio lebih menggunakan otaknya untuk selalu menyandang predikat pemenang dalam hal apapun. Karena itu pula, Alvin seperti kebakaran jenggot karena meskipun dengan usaha sekuat apapun Alvin mencoba melawan Rio, sejatinya ia tak akan pernah menang. Dalam hal apapun.

Dan kedua perbedaan itulah yang akhirnya membuat Ify menjatuhkan hatinya sejatuh-jatuhnya pada Rio. Ia menyerahkan hatinya pada pemuda itu tanpa syarat apapun. Karena Ify yakin, Rio tidak akan mungkin menghancurkannya. Dan terbukti selama dua tahun menjadi kekasih Rio, tak pernah sekalipun Rio melukai hatinya. Bagi Ify, Rio adalah sosok sempurna yang bahkan tak Ify ketahui bagaimana cara mendeskripsikan kesempurnaannya.

Tampan, cerdas, kaya, itu saja sudah paket lengkap. Ditambah lagi dengan kepribadiannya yang mampu membuat Ify jatuh cinta berulang kali pada pemuda itu.

Motor Rio memasuki arena sirkuit yang biasa digunakan untuk pertandingan balap motor. Bukan sirkuit yang sesungguhnya. Sirkuit ini berupa jalanan pada project perumahan yang ditinggal pemiliknya yang diketahui mereka karena sengketa tanah yang tak kunjung usai. Rio menghentikan laju motornya di dekat kumpulan teman-temannya yang akan mendukungnya nanti. Setelah bertos ala cowok-cowok remaja pada semua teman-temannya yang menyambutnya, Rio mengedarkan pandangannya ke sebrang. Tempat teman-teman Alvin berkumpul. Namun ia tidak menemukan sosok Alvin berada diantara mereka. Alvin pasti belum datang. Fikirnya.

Ify turun dari boncengan motor Rio. Lalu merapikan rambutnya yang sudah tak berbentuk setelah menyerahkan helm yang tadi gunakannya pada Rio.

"Tetep cantik kok," goda Rio dengan senyum nakalnya.

"Cantik sih cantik. Tapi kan tetep aja kalo berantakan tapi didiemin keliatannya kaya orang gila." Ify melengos.

"Enggak kok, buat aku kamu tetep cantik dalam keadaan apapun." Rio mengacak lembut rambut Ify masih dengan senyum menggodanya. Membuat Ify mau tak mau tersenyum juga. Ia tau Rio bukanlah tipe pengobral gombal. Dan Ify tau pula, bahwa Rio tak pernah berkata bohong. Maka timbullah rona merah di pipinya yang menghangat mendengar pujian tulus Rio.

"Kak Rio," panggil Ify tiba-tiba. Teringat tujuannya datang ke sini. Ia menggigit bibirnya.

"Kenapa sayang?" tanggap Rio masih dengan senyum manisnya.

"Kak Rio yakin mau balapan?" Desir kekhawatiran melesak tiba-tiba, menimbun keyakinan yang sudah semalaman dibangunnya dengan susah payah. Meski sudah berulang kali Rio meloloskan tantangan Alvin di sirkuit untuk balapan, namun tetap saja rasa khawatir itu pasti ada.

Rio mengulum bibirnya lalu tersenyum tipis. Disentuhnya kedua bahu Ify dan menatap gadisnya seakan menumpukan kepingan keyakinan serta kesungguhan. Menyiratkan sebuah permintaan yang harus mendapatkan izin karena tak ada pilihan lain selain mengizinkan dengan iklas. Membuat Ify yang menatapnya bagai dihipnotis dan dipaksa menyetujui.

"Kamu percaya kan kalo aku bisa?"

"Iya, Kak Rio. Tapi kalo..."

"Aku yakin kalo aku bisa. Tapi kalo kamu engga yakin, aku pasti berat, Fy buat ngelakuin ini. Karena bagi aku, bagi kita, engga ada pilihan lain selain yakin kalo aku bisa. Kamu tau kan Alvin itu kaya gimana? Kalo aku ngalah, dia pasti engga akan pernah berhenti gangguin kamu. Dia akan ngerasa menang dan semakin seenaknya."

"Tapi aku takut kamu kenapa-kenapa, Kak," lirih Ify seraya menunduk. Ketakutan ini. Ketakutan yang sama yang selalu ia rasakan sebelum Rio melaju di sirkuit. Meskipun pada akhirnya Rio selalu berhasil kembali dengan membawa predikat sebagai pemenang yang pada akhirnya tetap tidak membuat Alvin jera.

"Kalo aku kenapa-kenapa itu emang udah takdirnya, Fy."

"Kak Rio jangan ngomong gitu!" sahut Ify dengan suara bergetar menahan tangis. Ketakutan akan kehilangan pemudanya. Ketakutan akan hal buruk. Ketakutan yang menghujamnya perlahan namun mampu membunuh keyakinannya.

"Iya maaf maaf. Aku bakalan baik-baik aja kok, Fy. Pasti!"

Dan pada akhirnya air mata itu tak sanggup lagi terbendung. Kehilangan Rio berarti kehilangan separuh jiwanya. Kehilangan separuh jiwanya berarti mematikan raga dan pula hidupnya. Tak akan pernah mampu Ify membayangkan jika Rio benar-benar pergi darinya.

Dipeluknya pemuda itu kuat-kuat. Seakan tak akan pernah ada lagi pelukan hangat itu di hari nanti. Membagi keresahannya. Menumpahkan ketakutannya. Dan mencari penangkal atas keraguannya.

Rio melingkarkan tangannya di leher Ify. Membalas pelukannya. Untuk entah yang keberapa kalinya, ia mencoba menyalurkan kasih sayangnya melalui sebuah dekapan tulus. Rio tau jika Ify bukanlah gadis lemah apalagi cengeng. Ify hanya membutuhkan sandaran sebagai sumber kekuatan yang mampu menopangnya.

Bukan. Bukan hanya Ify. Tapi juga dirinya. Ia dan Ify membutuhkannya. Yang menguatkan mereka. Yang meringankan segala beban. Yang menjadi pondasi kala badai cobaan dan ujian menerpa. Yang membuat segalanya menjadi sempurna. Itulah yang mereka sebut, cinta.

"Sial!" umpatan itu membuat keduanya kembali ke dunia nyata. Meninggalkan khayalan fana yang meski indah namun hanya sesaat. Namun itulah yang menjadi dasar tujuan dalam hubungan mereka. Mimpi. Yang akan segera mereka wujudkan.

Ify dan Rio kompak menoleh bersama. Dan mata mereka mendapati Alvin telah berada di antara teman-temannya dan tengah melempar tatapan penuh kebencian dan ketidaksukaan untuk keduanya yang lebih dkhususkan pada Rio.

"Pacaran teruuuuus!! Emang kita semua cuman jongos yang numpang hidup di dunia milik lo berdua!" seru Alvin tajam. Entah mengapa, rasa sakit itu selalu ada setiap melihat keduanya saling mendekap, merengkuh kebahagiaan berdua. Hanya berdua. Seakan memberi garis peringatan jika dunia mereka terlarang untuk orang lain. Dan memang seperti itu adanya.

"Ya emang!" sahut Ify kesal. Mengganggu saja!

"Udah, Fy. Enggak usah diladenin. Mendingan kamu doain aku biar aku menang," ujar Rio seraya mengacak rambut Ify.

"Aku selalu doain kamu, Kak. Bukan cuman buat kemenangan aja. Tapi juga keselamatan kamu. Aku engga rela kalo kamu menang tapi kamu kenapa-kenapa."

Rio tersenyum. "Makasih ya, sayang." Kali ini disentilnya lembut hidup bangir gadisnya yang selalu membuatnya gemas. Ify memanyunkan bibirnya.

"Janji balik dengan selamat?" Ify mengulurkan kelingkingnya.

"Janji!" jawab Rio mantap seraya mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Ify. Lalu diciumnya kening gadisnya itu. Membuat hati Ify menghangat.

"Buruan kali, elah! Pacaran mulu sih! Gua ngundang lu ke sini bukan buat pamer kemesraan. Bikin muak aja!" cecar Alvin yang tersulut emosinya. Dicengkramnya kuat stang motor sport kebanggannya itu. Melampiaskan seluruh emosinya dan segenap kecemburuan yang membakar hatinya.

Tak berniat menyahuti, Rio menegakan motornya. Sekali lagi dilemparkannya senyum pada Ify, dan pandangannya teralih pada teman-temannya yang sedari tadi juga hanya menyaksikan adegan demi adegan mesra yang terjadi di hadapan mereka.

"Biru, Kka, doain gue, ya!" Rio meminta restu sahabat-sahabatnya.

"Always, Yo. Seperti biasa." Biru menepuk-nepuk pundak Rio. Memberikan kepercayaan penuh pada sahabatnya itu jika Rio pasti bisa memenangkan kembali pertandingan ini. Seperti sebelum-sebelumnya.

"Gue selalu doain lo, Yo!" gantian Cakka yang memberikan dukungannya melalui senyuman penuh keyakinannya.

"Via, gue titip Ify. Jagain. Jangan sampe dia nanti lari ngejar gue," canda Rio pada Sivia. Sahabat sekaligus teman semeja Ify di kelasnya. Membuat tawa teman-temannya pecah, diikuti dengan Ify yang cemberut keki.

"Bercanda sayang. Oke bro, semuanya. Doain gue ya." Seperti biasa sebelum pertandingan dimulai, Rio selalu meminta dukungan, doa, dan semangat dari teman-temannya. Semuanya mengangguki. Riopun mengenakan helm fullfacenya dan mulai menyalakan motornya lalu melaju pelan menuju garis start.

Disebrangnya, kubu lawan. Kubu Alvin. Seorang gadis cantik, berdiri di sebelah Alvin yang masih terus menatap tajam pada Rio. Ashilla. Gadis cantik dengan sejuta pesona. Yang mampu membutakan pria manapun. Yang akan membuat para siswa di sekolahnya memfokuskan pandangan hanya padanya. Kecuali Alvin.

Shilla terus menandangi Alvin tanpa henti. Mengunci setiap lekukan wajahnya dengan jelas. Mengamatinya penuh kasih. Hatinya sakit. Hampir setahun ia mengharapkan cintanya terbalas. Namun apa daya. Alvin tetap memilih Ify. Tak pernah sekalipun memandanganya. Melihatnya ada.

"Vin." panggilnya lembut. Alvin tak menoleh apalagi menyahut. Masih terus tenggelam dalam kobaran benci dan sakit hati yang melebur.

"Vin, gue cuman mau bilang, hati-hati." Selalu saja begini. Hanya berharap. Tak gentar, Shilla menghela lirih. Berusaha mengusir rasa sesaknya yang kini melesak ke dalam hatinya. Alvin tak sama sekali menoleh. Ia selalu seakan tak terlihat. Namun sesegera mungkin ia buang pikiran itu.

"Good luck, bro!" Gabriel, sahabat yang Alvin miliki sejak duduk dibangku kelas duabelas karena mereka satu kelas, menepuk pundak Alvin memberikan semangat.

Sejurus kemudian, Alvin mengikuti. Disusulnya Rio yang telah siap pada posisi awal.

Suara deru mesin motor terus menggemuruh dengan sombongnya. Tak heran jika keduanya sama-sama merasa menjadi pemenang. Terutama Alvin yang sebenarnya tak mengerti apa maksudnya ia mengajak Rio balapan seperti ini. Yang Alvin ketahui dengan pasti, ia hanya ingin merebut Ify dari sisi Rio. Hanya itu. Tak butuh yang lain. Meskipun ia tau, berbagai cara mulai yang lunak hingga yang kotor sekalipun, takkan mampu membawa Ify berpaling ke pelukannya. Dan itulah yang membuatnya selalu mencari pelampiasan atas rasa sakitnya yang sudah tak ia mengerti bentuknya. Penolakan telak secara nyata dan gamblang yang Ify lakukan padanya selama ini, memupuk dendam untuk Rio. Karena baginya, kebencian Ify untuknya berakar pada Rio.

Dan di sini. Meski sudah puluhan kali digagalkan oleh kemenagan Rio yang sebenarnya diakui Alvin dalam hati memang pantas didapatkannya karena kemampuan Rio menarik gas dan meliukan motornya sudah tidak bisa diragukan lagi, namun tak mengurangi kebenciannya sama sekali. Malah kobaran dendam itu semakin membara hingga tak terkendali. Membuatnya terus menerus menginginkan kehancuran Rio yang tak kunjung ia dapatkan.

Bendera diangkat pertanda balapan dimulai. Dua motor sport berharga selangit itu langsung melaju kencang dan saling balap-membalap. Tak mengizinkan yang lain mengalahkan yang satunya. Ego dalam sebuah pertarungan yang sudah biasa. Kekalahan adalah harga diri yang diinjak.

Ify menyaksikan balapan itu dari tempatnya berdiri sembari menggigit bibirnya. Tak henti-hentinya melantunkan doa untuk keselamatan sang kekasih. Cemas. Namun tak ada yang bisa dilakukannya. Bahkan rangkulan Sivia tak mengurangi sedikitpun kekhawatirannya.

Sedangkan di arena, keduanya saling susul-menyusul. Setelah beberapa saat Rio berhasil memimpin lumayan jauh, Alvin yang tak mau kalah langsung menyusul tanpa terduga. Melihat Alvin berusaha keras mengalahkannya, Rio langsung menarik gasnya dan melesat sekencang mungkin. Dan terus seperti itu hingga akhirnya pada penghujung sesi, motor Rio berhasil melewati garis finish. Dan lagi-lagi seperti yang sudah-sudah, Rio kembali menjadi pemenangnya.

Teman-teman Rio langsung menghampiri sang juara bertahan melawan rivalnya. Dengan senyum bangga, mereka memberikan selamat untuk yang kesekian kalinya pada Rio.

"Selamat, bro! Lo emang hebat!" ucap Biru seraya menyalami Rio, setelah pemuda itu melepaskan helmnya.

"Selamat, bro!" Gantian Cakka yang menyalami. Disusul teman-teman yang lainnya.

"Thank you, thank you. Ini semua berkat doa dan dukungan kalian," ucap Rio tulus dengan senyum yang mengembang.

"Selamat, Kak Rio. Lo emang TOP BGT deh! Keren!" puji Sivia seraya menunjukan kedua jempolnya.

"Makasih, Vi."

Kini perhatian Rio teralih pada gadisnya yang tak menunjukan reaksi apapun. Masih kecemasan yang terlihat di rautnya. Namun tersamar karena kini Ify hanya menunduk.

"Hey, kamu kenapa? Aku nepatin janji aku kan buat balik dengan selamat plus bonus jadi juara?"

"Iya, Kak," jawab Ify dengan suara serak. "Makasih."

"Aku yang makasih sayang. Kamu udah dukung aku."

"Kak Rio. Jangan lagi," lirih Ify yang menundukan kepalanya semakin dalam.

"Jangan takut. Aku engga apa-apa kan?"

"Sekarang! Tapi nanti?!" Suara Ify terdengar mulai bergetar. "Kamu engga tau kan gimana kotar-katirnya aku? Gimana khawatirnya aku?! Gimana deg-degannya aku nungguin kamu selesai balapan?! Jangan lagi, Kak Rio! Aku enggak sanggup kehilangan kamu!" Dan Ify mulai terisak. Membayangkannya saja tak sanggup. Bagaimana jika itu terjadi?

"Hey, hey, engga ada yang tau kapan nyawa kita akan diambil. Semua itu udah ketentuan-Nya, Fy." Rio turun dari motornya setelah menurun standarnya, kemudian meraih satu tangan Ify dan digenggamnya erat.

"Tapi, Kak Rio..."

"Sssstt.. Sini sini." Langsung ditariknya Ify dengan lembut menuju rengkuhannya. Dengan segenap jiwa dan raga, dengan sepenuh hati, dan dengan seluruh cinta yang telah tercipta untuk Ify, Rio mendekapnya. Menangkis segala ketakutannya. Meluruhkan kegelisahannya. Rio tau, Ify begini karena ia amat mencintainya. Dan sudah pasti takut akan kehilangannya.

"Walaupun waktu bisa ngambil nyawa aku kapanpun, aku mau kamu tau satu hal, yang pasti dan engga akan berubah, aku punya kamu. Hati aku. Dan semua perasaan aku. Cinta aku. Punya kamu dan akan terus begitu."

Isakan Ify semakin jelas terdengar. Ia memang tipikal gadis yang terlalu perasa. Hingga apapun yang membuatnya resah dan takut, pasti akan membuatnya mengeluarkan air mata. Apalagi jika sudah menyangkut Rio.

"Kak Rio..."

Ify tak mampu lagi berkata. Hanya lirihan itu yang akhirnya keluar dari bibirnya. Membuatnya semakin mengeratkan pelukannya pada pemuda itu.

"Shit!"

Dari tempatnya, entah sudah yang keberapa kali Alvin mengumpat. Merutuki kekalahannya. Dan juga meluapkan kobaran api cemburu di dadanya. Selalu saja seperti itu. Selalu Rio yang jadi juara. Selalu Rio yang akhirnya memenangkannya. Seharusnya ia yang mendekap gadis itu. Seharusnya Alvin yang menjadi sandaran dari tiap tangisnya. Harusnya Alvin yang berada diposisi Rio.

Tak ingin menyaksikan lebih lanjut kemesraan Ify dan Rio yang pasti akan menghancurkannya lebih dari ini, Alvin memutuskan untuk meninggalkan area balap. Membawa segala pedih hatinya. Entah sampai kapan.

*****

Jam istirahat tiba. Belpun sudah berbunyi. Dan para murid langsung berhamburan keluar kelas. Ify dan Sivia juga melangkah menuju kantin. Waktunya untuk mengisi perut setelah hampir setengah hari menyerap ilmu pengetahuan.

Ify dan Sivia memasuki kantin dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru. Mencari dan memilah makanan apa yang kira-kira dapat mengenyangkan dan menyegarkan otak mereka. Dan pilihanpun jatuh kepada soto ayam yang memang terkenal juara rasanya. Setelah mengantri dengan sabar, Ify dan Sivia akhirnya mendapatkan dua mangkuk soto ayam dan membawanya ke salah satu meja kosong di kantin.

"Kok makan duluan sih?"

Ify yang sudah menandaskan isi mangkuk sotonya menoleh saat mendengar protesan Rio yang sudah berdiri di belakangnya. Wajahnya dibuat sekecewa mungkin, membuat Ify tergelak.

"Lebay! Aku laper banget abisnya."

Riopun langsung mengambil posisi di sebelah Ify.

"Sendiri, Kak? Biasanya bawa buntut," celetuk Sivia membuat kedua terkekeh.

"Tau tuh buntut buntut lagi pada nyari makanan." Sivia membulatkan bibirnya.

"Kak Rio udah makan?" tanya Ify yang baru saja menyeruput es jeruknya hingga setengah gelas tersisa.

"Aku engga laper, Fy. Lagi pengen sama kamu aja." Lagi-lagi Ify dibuat terkekeh, dan Sivia mencibir.

"Kalo lo udah berdua, gue bener-bener ngerasa kaya kambing congek yang cuman ngontrak dan dinyamukin pula," gerutu Sivia.

"Yee, maaf, Vi. Makanya lo cari pacar dong!"  celetuk Ify seraya tertawa.

"Iya neng, lo betah amat jomblo," tambah Rio.

"BISA ENGGAK SIH LO ENGGAK NGIKUTIN GUA MULU!!"

Bentakan itu membuat seluruh isi kantin tak terkecuali Ify, Rio, Sivia, juga Biru dan Cakka yang baru saja datang dengan nampan yang dibawa Biru menoleh. Tak jauh dari tempat mereka duduk, terlihat Alvin tengah menatap tajam pada Shilla yang nampak menunduk menahan tangis.

"ENGGAK ADA BOSEN-BOSENNYA YA LO GANGGUIN MACAN TIDUR?!"

"Ma.. Maaf, Vin. Gue... Bukannya ngikutin lo. Tadi gue enggak sengaja ngeliat lo mau ke kantin. Kebetulan gue juga mau ke kantin. Sumpah, enggak ada maksud buat ngikutin lo." Setitik air mata turun membuat aliran kecil dipipinya.

"Basi! Orang-orang di sini semua juga tau kalo, kalo lo ngejar-ngejar gue!"

Seisi kantin langsung menderaikan kasak-kusuk membicarakan dan mengomentari kejadian yang jelas saja menghebohkan kantin. Alvin berteriak membentak Shilla. Dan itu di tempat umum. Sudah menganggu, tak ada hati nuraninya sama sekali. Membentak seorang gadis di depan banyak orang. Alvin memang sudah terkenal memiliki emosi tingkat akut. Maka siapapun akan lebih memilih menjauh, daripada harus berurusan dengan macan sekolah ini.

"Kak Alvin enggak ada otaknya ya. Parah!" komentar Ify seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak habis fikir.

"Emang dia mah semacam orang stres yang selalu nyari pelampiasan, Fy. Gitu tuh orang kalo kebanyakan mimpi. Enggak jelas hidupnya! Enggak ada kerjaan lain dia selain marah-marah," timpal Sivia.

"Udah enggak aneh kalo dia mah kaya gitu. Di kelas juga ngerusuh mulu. Enggak jelas!" sambung Biru.

"Udahlah biarin aja. Enggak usah diurusin. Dia mah emang kaya gitu. Makanya sial banget yang punya urusan sama dia." Rio mengambil es teh manis milik Biru dan diseruputnya hingga hampir setengah gelas. Membuat Biru mendelik tajam.

"Punya gue, kampret!" Rio hanya menunjukkan cengirannya.

"Kasian tau si Shilla. Lagian tuh cewek udah tau Alvin begitu masih aja di kejar-kejar. Heran gue. Satu sekolah pada naksir dia juga. Ngapain dia masih ngarepin Alvin yang jelas-jelas enggak mau sama dia." Kali ini Cakka ikutan buka suara. Lalu menyantap mie ayam yang dipesannya.

Mereka kembali terdiam dan menoleh pada tempat kejadian perkara yang menuai perhatian seisi kantin. Terlihat Shilla sudah berlari keluar kantin yang pasti dengan air mata yang sudah menggenang di pipinya. Iba. Semua menatap iba pada Shilla. Gadis itu sungguh malang. Dia cantik, populer. Tapi stuck pada Alvin. Yang sudah jelas-jelas tidak menginginkannya. Berpuluh-puluh lelaki ditolaknya. Demi menunggu Alvin melihat kehadirannya. Namun bukannya meluluh, Alvin malah semakin menjadi. Kasar. Tak kenal belas kasihan. Bahkan Alvin bisa saja main tangan dengan wanita.

Alvin memutar tubuhnya. Dan tak sengaja pandangannya bertemu dengan Rio yang sedang bergerombol. Melihat Ify berada di sampingnya, tatapan itu semakin menusuk terlempar. Tangannya mengepal kuat.

"Gua akan pastiin lo dan Ify enggak akan pernah bahagia lagi!" serunya dalam hati yang berusaha Alvin sampaikan lewat tatapan matanya.

Iapun melangkah pergi membuat Rio menarik tepi bibirnya. Tersenyum sakartis. Mentertawakan tatapan mata itu yang menyiratkan ancaman. Dipikirnya Rio akan takut. Tidak akan pernah. Bagaimana mungkin ia akan melepaskan Ify untuk diserahkan pada lelaki seperti Alvin. Tempramen. Tak kenal rasa iba. Yang ia tau hanya segala yang diinginkannya harus ia dapat. Bisa-bisa Ify bukan dijadikan pacar, melainkan budaknya.

Tak mau ambil pusing, Rio kembali membuka obrolan dan tak lama mereka sudah terlihat oleh obtolan-obrolan seru.

Bersambung...

Bukan Diriku (Prolog)

Bukan Diriku (Prolog)

Udara pekat khas siang bolong tak membuat gadis cantik ini mengurungkan niatnya menunggui pemuda tampan yang kini tengah mengikuti ekstra kulikuler rutin setiap hari Rabu dan Jumat yang juga menjadi hobinya. Ify -si gadis cantik- menyaksikan setiap gerak sempurna yang diciptakan pemuda yang menjadi fokus pandangnya. Sesekali pemuda itu melemparkan senyum pada gadisnya yang masih setia menunggu di pinggir lapangan.  Membuat Ify mau tak mau membalas senyuman yang selalu mampu menciptakan getar kasih dan gejolak manis di dadanya itu.

Fokusnya terbelah kala tak sengaja ujung matanya menagkap pemuda lain tengah menatap tajam dirinya dan Rio -sang kekasih- bergantian seraya mengukir senyum sinis yang mengejek. Ify mengalihkan pandangannya pada pemuda itu ketika tepat manik mata keduanya bertemu.

Ify bergidik. Pemuda itu memang selalu menghantui hidupnya dan kisahnya dengan Rio. Dua tahun menyandang status sebagai kekasih Rio, tak membuat Alvin -pemuda yang menatap tajam Ify- jenuh. Berbagai macam usaha dan menghalalkan segala cara selalu Alvin tempuh untuk merebut Ify dari sisi Rio. Terkadang cara kotorpun digunakan Alvin untuk membuatnya berpaling. Tak ayal pemuda itu menjadi sosok yang paling Ify benci dan paling Ify hindari diantara seluruh manusia yang memiliki nyawa di dunia ini. Dan sialnya, Alvin memiliki hobi dan ekskul yang sama dengan Rio. Basket.

Ify bangkit lalu melangkah meninggalkan lapangan sekolah menuju ke dalam kelasnya yang tak jauh dari lapangan outdoor sekolah sembari mengirimkan sebuah pesan singkat untuk sang kekasih.

TO: Mario

Aku nunggu di kelas aku, ya.

Setelah pesan itu terkirim, dimasukkannya ponsel itu kembali ke dalam saku kemejanya. Ify mencari tempat yang strategis untuk membunuh waktu. Duapuluh menit lagi ekskul basket selesai menurut perhitungan jam di tangannya. Alih-alih menunggu, diambil kembali ponselnya yang tadi ia taruh di dalam saku kemeja dan mulai diutak-atiknya. Mulai dari membuka instagram, melihat postingan-postingan para followingnya, lalu memberikan like, menutupnya kembali, membuka halaman path, menuliskan komentar untuk postingan teman-temannya. Hingga tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya.

"Halo Ifyku sayang!" Alvin menyembulkan kepalanya dari pintu kelas yang terbuka lebar itu. Membuat Ify seketika bangkit dari duduknya.

"Kak Alvin!? Ngapain lo ke sini?!" desis Ify sinis.

Alvin melangkah memasuki kelas itu, menghampiri Ify. "Jemput kamulah, sayang."

Tanpa sadar, Ify bergerak mundur kala Alvin mendekatinya. Tak menyangka pemuda itu akan muncul duluan sebelum Rio. Karena menurut perhitungannya, ekskul masih berjalan sampai sepuluh menit ke depan. Berarti Alvin sengaja mendahului Rio untuk "menculiknya".

Alvin melangkah maju membuat Ify terus mundur perlahan. Hingga punggungnya menyentuh tembok, dan dirinya sudah tersudut. Ditatapnya mata penuh kelicikan itu dengan balas menantang. Meski rasa takut menyelimutinya. Bagaimanapun Ify tetaplah seorang wanita yang tenaganya akan kalah jauh dibanding dengan seorang laki-laki yang juga telah dirasuki pikiran-pikiran licik untuk mendapatkan yang diinginkannya.

Setelah merasa Ify sudah benar-benar terpojok, Alvin langsung mencengkram kuat tangan Ify. Membuat Ify tersentak seketika dan reflek melakukan perlawanan dengan cara meronta.

"Ikut gue!"

Perintah itu bagai tak terbantahkan dan tajam. Ify meringis. Pergelangan tangannya memanas dan terasa perih. Ify tak menyangkal jika selain membenci Alvin, dirinya juga sangat takut dengan pemuda itu. Yang bisa saja nekat membunuhnya karena ia tidak mungkin bisa membagi hatinya apalagi memberikan seutuhnya pada lelaki itu.

"Lepasin!" lirih Ify dengan ketakutan dan kesakitan yang melebur.

"Diem kalo lo mau Rio tetep bisa jalan dengan dua kaki!"

Ancaman itu membuat Ify tak berkutik. Alvin bisa saja menjadi sejahat iblis yang tak kenal rasa takut dan iba jika amarahnya benar-benar disulut. Tak dapat dipungkiri jika ketakutan itu kini menembus hingga menguasai dirinya dan membuat Ify jadi tak mampu lagi melawan.

Diikutinya langkah pemuda itu yang terus menarik tangannya dengan cengkraman kuat. Namun air mata mulai mengalir perlahan, membasahi kedua pipinya. Ketakutan itu benar-benar melemahkannya.

Alvin menyentakkan tangan Ify dengan kuat hingga tubuh mungil gadis itu hampir saja terhuyung ke belakang jika Ify tak menjaga keseimbangannya dengan baik. Dengan air mata yang terus mengalir dan ketakutan yang terus menjalari, diambilnya ponsel dari saku kemejanya dan mengetikan sebuah nomor yang dihafalnya di luar kepala. Nomor Rio.

"Ngapain lo?!" Bentak Alvin melihat gadis itu menempelkan ponselnya di telinga.

Ify tak menjawab. Hanya terus menangis dan menunggu panggilannya dijawab oleh Rio.

"GUA TANYA LO NGAPAIN?!" Tanpa belas kasihan sedikitpun, disentakkannya tangan Ify yang tengah menempelkan ponselnya di telinga hingga ponsel itu mendarat kasar di atas rumput tepat pada saat Rio mengangkat telponnya. Dan memanggil-manggil namanya.

"Fy, kamu di mana?! FY!!"

"Nelpon Rio lo!? Minta bantuan lo?! IYA?!!"

"Kak Rio, tolongin aku! Di taman belakang sekolah!" Jerit Ify yang menyadari ponselnya menampilkan tampilan panggilan yang sedang berlangsung.

"Bangsat!" Cecar Alvin dan langsung menginjak posel Ify keras-keras.

Tangis Ify semakin pecah. Membuat Alvin semakin geram dan kini mencengkram kedua bahunya yang bergetar hebat.

"Lo itu harusnya sama gua! Bukan sama Rio!"

"ENGGAK AKAN PERNAH!" sahut Ify yang berusaha mengumpulkan keberanian untuk melawan Alvin.

"Jangan jawab gua! Gua engga butuh jawaban lu!!"

Alvin mengapit kedua pipi Ify dengan ibu jari dan telunjuknya. Dipaksanya gadis itu mendongak dan menatapnya yang lebih tinggi dari Ify.

"Hidup lo dan Rio enggak akan pernah tenang! Gue pastiin itu!"

Ify menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha menampik penuturan Alvin. Air matanya terus jatuh tak tertahankan. Ngilu di kedua pipinya akibat cengkraman keras kedua jari Alvin, sama dengan ngilu di hatinya. Membayangkan hidupnya dan Rio tidak akan pernah tenang selama pemuda itu masih ada.

"Lepasin Ify!" Seruan Rio membuat Alvin menoleh, dan Ify yang hanya mampu melirik saja karena Alvin belum juga melepaskan jarinya dari pipinya.

Tak berniat menuruti sama sekali, Alvin menunjukan senyum culasnya.

"GUA BILANG LEPASIN IFY!"

BUGGH! Satu tinjuan sarat kebencian mendarat untuk Alvin tepat di pipinya. Membuatnya tersungkur jatuh.

Ify langsung berlari. Menubruk tubuh Rio dan menenggelamkan wajahnya di dada sang kekasih. Menumpahkan seluruh ketakutannya di sana. Menangis sejadinya. Mencari ketenangan yang selalu lumpuh saat Alvin ada disekitarnya. Rio mengusap rambut Ify penuh kasih. Berusaha membagi kekuatannya untuk gadisnya.

"Engga usah takut. Ada aku di sini." bisik Rio tepat di telinga Ify. Membuat Ify mengangguk pelan meski tangisnya tak sama sekali mereda.

"Brengsek!" Cecar Alvin kala matanya mendapati setetes darah di jarinya yang tadi digunakannya untuk menyentuh tepi bibirnya yang terasa perih. Ia langsung bangkit dan tatapan menusuk ia lemparkan untuk Rio.

"Lawan gue di sirkuit!"

Tanpa berkata apapun lagi, Alvin melangkah pergi. Ditubruknya keras lengan Rio yang tak digunakan untuk mengusap rambut Ify setelah sebelumnya menatap penuh luka kepada Ify yang masih menenggelamkan wajahnya di dada Rio.

Kebencian yang meradang, rasa iri yang merayap, melesak menumbukkan dendam tak berkesudahan. Pada Rio yang dulu dikenalnya sebagai sahabat. Hingga keduanya jatuh pada gadis yang sama. Persaingan sehat di awal yang berubah kelam saat Ify memilih Rio sebagai juara hatinya. Alvin berusaha merebut kembali gadis pujaannya. Selalu. Dengan berbagai cara. Meskipun selalu mendapat penolakan yang pada mulanya halus. Namun lama-kelamaan Ify jengah dengan kelakuan Alvin yang terus saja memaksanya berpaling.

Hatinya sudah jatuh untuk Rio. Tak akan berubah sampai kapanpun. Berharap Alvin mengerti. Namun tak kunjung membuahkan hasil. Hingga akhirnya Alvin mengibarkan bendera perang dengan Rio yang berarti juga memerangi Ify meski alasan perang itu terus bergrilya adalah dirinya.

Rio tak pernah menginginkan persahabatannya kandas begitu saja hanya karena terjebak pada cinta yang sama. Namun Alvin semakin menggila. Tak dapat dihalaunya sendiri "mantan" sahabatnya itu. Cinta buta itu merubah Alvin menjadi sosok mengerikan. Yang tak dapat Rio pahami, Alvin begitu pengecut hingga tetap tak mau mengakui kekalahannya. Pernah Rio mengajukan ide gila. Melepas Ify demi "mantan" sahabatnya dan perang dingin ini. Yang tentu saja langsung ditolak Ify.

Entah sampai kapan Alvin akan mengeraskan hati. Entah sampai kapan bendera perang itu akan musnah. Tak ada yang mampu menjawabnya. Hanya takdir yang tau ke mana cerita itu akan berujung.