Monday, August 29, 2016

Bukan Diriku (Part 5)

Part 5
TOKTOKTOK

Shilla berdiri dengan resah di depan pintu rumah Alvin. Kabar tentang kecelakaan itu baru sampai di telinganya kemarin malam Sangat tidak mungkin jika ia harus keluar tengah malam untuk menemui Alvin. Kabar yang ia dengar kemaren pun Alvin tidak terluka parah. Namun tetap saja rasa cemas menghampirinya mendengar Alvin mengalami kecelakaan.

Pintu rumah dibuka oleh wanita paruh baya yang Shilla yakini adalah pelayan di rumah itu karena matanya menangkap sebuah kain lap tersampir di bahunya. Pelayan itu tersernyum ramah seraya menganggukan kepala kecil memberi salam.

"Selamat pagi. Cari siapa mbaknya?" tanyanya ramah.

"Pagi, Bi. Alvinnya ada?"

"Den Alvin ada di belakang, Non. Silahkan,"

"Terima kasih, Bi."

Shilla mengikuti langkah pelayan itu menuju ke halaman belakang rumah Alvin. Seraya meyakinkan diri untuk bertamu demi mengetahui keadaan Alvin.

Tubuh Shilla menegang kala matanya menangkap pemuda yang mengisi hatinya itu tengah membelakanginya dengan gitar yang dimainkan asal.  Hingga Shilla tak medengar saat bibi pelayan pamit meninggalkannya. Rasanya kaki Shilla tertancap paku besar hingga tak mampu bergerak. Suasana sejuk pagi hari berubah menjadi panas seketika. Shilla ragu namun ia benar-benar ingin mengetahui keadaan Alvin, meskipun dari sini Shilla sudah bisa mengetahui bahwa pemilik hatinya itu dalam keadaan baik-baik saja.

Shilla berancang untuk berbalik. Namun sisi lain hatinya mengatakan jika Shilla harus menemui Alvin. Demi rindu yang harus tercurah. Demi gusar yang terus mendera.

Shilla menghela. Rasa takutnya terkalahkan oleh egonya yang memaksa menang. Akhirnya Shilla melangkah pelan dengan harapan Alvin dapat menghargai kehadirannya yang terus mengkhawatirkannya.

Semakin dekat dengan pemuda itu semakin Shilla dapat melihat jelas sosok Alvin yang selalu terlihat sempurna untuknya meski nyatanya ia tak pernah terlihat sedikitpun.

Shilla berhenti tepat di belakang pemuda itu. Tetapi lidahnya mendadak kelu. Tak berani sama sekali mengganggu Alvin yang masih asyik dengan gitarnya dan udara sejuk pagi. Saat seperti ini sangat jarang Shilla dapatkan. Dan shilla tak mau menyia-nyiakannya. Meski hanya dari belakang, Shilla tetap menikmati setiap mili tubuh yang terbalut kaos putih itu.

Meski Alvin selalu menolak kehadirannya. Meski Alvin selalu menampik perhatiannya. Shilla tetap tak mampu pergi. Shilla tau sekeras-kerasnya karang, akan terkikis juga jika terus menerus diterpa ombak. Dan Shilla yakin suatu hari nanti, ia akan mampu membuat Alvin luluh dan melihat kehadirannya. Meski tak tau sampai kapan ia harus menunggu keajaiban itu terjadi.

"Belum puas lo gangguin gue?!"

Shilla terkesiap dan tersadar dari lamunannya kala Alvin bangkit dan langsung menyergap kehadirannya. Dengan susah payah Shilla menelan ludahnya untuk meresakan kekagetannya. Namun tak berhasil saat Alvin menatapnya begitu menusuk.

"Masih juga lo berani dateng ke sini?"

"Vin, gue cuma mau tau keadaan lo. Lo udah enggak apa-apa kan? Itu pelipis lo kenapa? Lukanya parah?"

"Dasar cewek gatau malu!"

Bagai tersambar petir, makian itu langsung menancap di bagian terdalam hatinya. Mengakari segala luka yang mulai berkecambah. Sakit. Dan sungguh jahat. Mata Shilla memanas hingga akhirnya cairan pengungkap luka itu jatuh tanpa mampu ditahannya. Lagi-lagi terluka. Dan selalu luka yang Alvin torehkan. Tidak bisakah sekali saja bahagia yang ia dapatkan dari pemuda itu?

"Vin... Lo jahat!" lirih Shilla terluka.

"Gue jahat? Terus lo apa?!"

"Vin, please, itu semua udah lalu, Vin. Gue hadir sebagai Shilla yang baru. Shilla yang punya cinta buat lo. Tulus."

"Cinta? Cih! Basi!"

"Hargain, Vin! Hargain perjuangan gue buat berubah!"

"Sekali busuk, tetep busuk!"

"Iya, gue tau dulu gue salah. Dulu gue jahat. Tapi itu Shilla yang berumur empatbelas tahun. Yang masih engga tau cinta yang sebenarnya. Yang masih awam soal itu!" Shilla melangkah mendekat. Lalu mencengkram kedua lengan Alvin. Masih dengan air mata yang jatuh bercucuran. "Tapi Shilla yang ada di hadapan lo ini, ada Shilla yang udah ngerti. Kalau cinta itu berharga. Bukan mainan. Bukan memperbudak."

Rahang Alvin mengeras. Tangannya terkepal kuat. Dan dengan sekali sentakan, cengkraman Shilla terlepas. Membuat gadis itu terhuyung. Dengan emosi penuh karena Shilla sudah berani membangkitkan luka lamanya, Alvin berganti mencengkram kedua lengan Shilla. Membuat Shilla meringis, menahan perih yang terasa.

"LO! Jangan pernah lagi lo ungkit cerita lama itu! Jangan pernah lo bangkitin lagi sakit hati gue yang enggak akan pernah mati! Dan lo, sekali benci tetep benci! Sekali mati tetep mati! Dan bagi gue, lo udah mati! Sama kaya dulu lo matiin perasaan gue!"

Bibir Shilla bergetar. Luka itu. Luka itu juga luka yang sama seperti yang diterimanya. Bahkan lebih. Jika Alvin hanya terluka kurang lebih lima bulan, maka Shilla harus menanggung luka dari penolakan-penolakan Alvin selama hampir empat tahun. Sudah cukup seharusnya! Sudah cukup semuanya! Tapi Shilla tak bisa mengelak. Ia terlalu mencintai Alvin.

Rasa bersalah itu menumbuhkan cinta. Semakin kuat rasa bersalahnya, semakin kuat pula cinta itu tertanam.

"Maaf buat empat tahun yang lalu," lirih Shilla seraya menunduk.

Masih dengan emosi yang sama, Alvin melepaskan cengkramannya dan melangkah pergi meninggalkan Shilla yang semakin tersedu. Sudah cukup luka dari Ify. Sudah cukup penolakan Ify membuatnya nyaris gila. Jangan tambahkan lagi dengan cerita pahitnya di masa lalu.

Alvin hanya manusia biasa. Ia tetap punya hati yang bisa mati jika terus-menerus ditiupkan luka. Alvin bertahan karena cinta yang ia yakini sempurna untuk Ify. Tapi tak tahu sampai kapan kekuatannya itu akan mampu membuatnya terus berdiri tegak.

*****

"Happy birthday happy birthday happy birthday Rio..."

Ify menyanyikan dengan lirih lagu selamat ulang tahun di samping tempat tidur Rio. Dengan kue tart berukuran sedang dan lilin berjumlah 18 seperti jumlah tahun kehidupan Rio, Ify tersenyum seraya meniupkan lilin-lilin itu mewakili Rio yang masih terbaring koma. Setitik air mata jatuh dari pelupuknya. Sesak itu kembali dirasakannya.

"Kak Rio, selamat ulang tahun ya. Tuh, kamu udah tua. Jadi harus lebih dewasa lagi. Harus bisa jadi panutan banyak orang. Jadi orang hebat yang berkualitas. Dan..." Ify menggigit bibir bawahnya. Menahan tangis yang memaksa untuk dikeluarkan. Membuat rahangnya bergetar. Dan akhirnya tak lagi tertahan. Air matanyapun jatuh, mengungkapkan kesedihan yang takkan bisa teredam.

"Dan... Cepet bangun, Kak," isak Ify. "Aku kangen."

"Makasih Ifyku sayang. Maaf aku cuman bisa nemenin kamu dengan cara kaya gini." Rio yang sejak tadi berada di sebrang bed, juga tak dapat menahan kesedihannya. Rasanya sakit sekali melihat orang yang kita sayang menangis tersedu, bersedih sepanjang waktu karena kita

Ify meletakan kue tartnya di meja yang di sediakan bagi penunggu pasien. Dan iapun meraih kado yang telah dipersiapkannya jauh-jauh hari.

"Taraaa! Ini kado buat, Kak Rio!" Ify menunjukan sebuah kado yang telah terbungkus cantik di hadapan Rio.

"Karna Kak Rio engga bisa buka, aku aja deh yang bukain." Ifypun membuka bungkus kado itu dan mengeluarkan isinya.

Sebuah sweater berwarna almond, hasil rajutan tangannya sendiri terpampang di hadapan jiwa dan raga Rio.

"Ini aku rajut sendiri. Belajar sama oma sebelum oma meninggal. Khusus buat Kak Rio. Sayang, Kak Rio engga bisa liat."

"Aku bisa liat, Fy. Cantik banget. Makasih ya, Fy." tanggap Rio berbinar. Ia terharu sekaligus bangga. Di saat seperti ini, Ify masih tetap berada di sampingnya. Tak tergoyahkan oleh segala macam kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Rio tak perlu meragukan cinta yang ada pada gadisnya itu. Sudah pasti sempurna.

"Kalo aku balik ke tubuh aku nanti, aku pasti bakalan langsung pake sweater kamu itu, Fy. Pasti!"

Ify meraih tangan Rio lalu dikecupnya tangan itu. Berharap keajaiban terjadi. Lalu menyandarkan pipinya pada punggung tangan Rio yang kini digenggamnya erat. Ify memejamkan matanya. Merasakan desakan rindu yang menyerang hatinya. Berharap dapat mengurangi rasa sesak itu. Meski nyatanya tak sama sekali terbayarkan. Ia ingin memeluk Rio yang hidup, yang berdiri tegak, yang berjiwa. Bukan Rio yang tengah terbaring tak berdaya seperti ini.

*****

Matanya menatap lurus pada objek yang berhasil mengusik hatinya. Tangannya meremas kemeja seragamnya yang mulai mengerut di bagian bawahnya. Entah mengapa melihat Gabriel tengah bercanda mesra dengan seorang gadis di pinggir lapangan, membuat hatinya memanas tak suka.

Merasa tak berhak, membuatnya semakin tak berdaya. Bukan siapa-siapa. Kalimat itu terus terngiang-ngiang membuat emosinya tersulut. Emosi yang tak jelas arahnya. Emosi yang tak seharusnya ada. Emosi yang sama sekali tak pantas. Inilah yang dinamakan cemburu?

Sivia tak yakin jika ia menyukai pemuda itu. Memang intensitas pertemuan mereka terbilang sering -karena Gabriel adalah sahabatnya Alvin. Otomatis Gabriel sering berada di dekat Alvin yang sering menghampiri Ify jika sedang bersamanya. Memang juga tak ada yang spesial dari pemuda itu sampai rasa simpatik dan trenyuh akan perhatiannya mulai menjalari hatinya.

Saat itu, yang terpikir oleh seorang gadis berstatus single seperti Sivia adalah Gabriel merupakan pemuda gentle yang membuat Sivia terlena untuk terus mengkhayalkan sosoknya. Mungkin terlalu cepat. Mungkin masih amat dini untuk meyakini jika Sivia jatuh cinta. Namun apa nama dari keanehan-keanehan perasaannya jika bukan jatuh cinta? Ditambah sesak yang ingin meledak melihat Gabriel kini tengah mengacak gemas rambut gadis di sebelahnya. Membuat Sivia yakin jika ia menyukai Gabriel.

Tidak salahkan? Bukankah wanita adalah makhluk yang paling mudah geer?

"Kalo suka bilang aja kali, gausah diliatin sampe segitunya!"

Sivia tersentak lalu menoleh terkesiap melihat Alvin tengah berdiri di sebelahnya dengan senyum meremehkan yang terlihat begitu merendahkan. Sivia menatap tajam Alvin, tak terima diremehkan seperti itu.

"Jangan pengecutlah jadi orang. Kalo emang suka tegasin! Kejar sampe dapet! Jangan jadi orang bodoh yang cuman bisa meratapi nasib ngeliat orang yang lo suka jatuh ke tangan orang lain," senyum Alvin semakin mengembang, dan keculasannyapun semakin melambung.

Sivia berdesis sinis.

"Lebih mending gue pengecut, cuman bisa ngeliat dari jauh dan ngeratapin nasib. Daripada setan di sebelah gue ini, udah engga tau diri, engga punya hati, keji. Menjijikan," Sivia menumpahkan emosinya dan rasa tak terimanya. Moodnya yang sedang buruk dipancing untuk mengobarkan amarah. Tak ayal, kata-kata pedaspun tumpah ruah untuk pemuda itu.

"Setan ini tidak bodoh. Setan ini mau memperjuangkan apa yang seharusnya dia dapetin!" cecar Alvin yang mulai tersulut.

"Oh iya, ya. Sampe-sampe gatau diri dengan menghalalkan segala cara. Dasar setan! Eh lupa. Setan kan emang licik ya. Mana ada setan yang bisa realistis. Setan kan tempatnya di neraka jahanam! Apalagi yang kerjaannya ngerusak kebahagiaan orang!" timpal Sivia tak mau kalah.

Gantian Alvin yang menatap tajam Sivia. Meski tak terima disindir sakartis seperti itu oleh seorang wanita, Alvin lebih memilih menahan emosinya agar tidak membuat keributan. Bagaimanapun orang-orang tidak akan membela laki-laki yang mengajak ribut seorang perempuan. Alhasil, ia hanya mengepalkan tangannya sekuat mungkin, mengumpulkan seluruh emosinya di sana hingga wajahnyapun ikut memerah.

"Gue ke sini bukan mau nyari ribut sama cewe bego kaya lo!"

"Engga ada juga yang ngundang lo ke sini! Cih!" Sivia benar-benar muak dengan pemuda ini. Terlebih lagi, kini Alvin mecelanya dengan kata-kata kasar. Namun tak berniat sama sekali meladeni Alvin, Sivia berancang-ancang untuk melangkah pergi, sebelum tangan Alvin mencekalnya dan menghentikan langkahnya.

"Apaan sih?! Lepas!"

"Di mana Ify?"

"Masih punya muka lo buat nanya Ify di mana?"

"Gue tanya, mana Ify?! Gue butuh jawaban! Bukan pertanyaan engga guna kaya gitu!"

"Gue enggak akan pernah jawab! Lepasin tangan lo!"

"Jangan paksa gue buat main kasar! Gue engga ada waktu buat ngeladenin lo!"

"HAHAHAHAHAHA! Tuan Alvin yang terhormat, saya tidak pernah berminat sama sekali berurusan dengan anda. Silahkan anda cari sendiri di mana Ify. Jangan pernah libatkan saya untuk menghancurkan Ify. Maaf, saya bukan orang keji yang akan membantu setan menghancurkan sahabat saya sendiri!"

Sivia menyentakkan tangan Alvin sekeras mungkin hingga berhasil melepaskan cengkramannya. Meski tangannya terasa seakan putus karena terlalu kuat menyentak, Sivia tetap bernafas lega dan memilih pergi meninggalkan Alvin. Tak sudi beradu lisan dengan pemuda itu.

"Brengsek!" umpat Alvin meluapkan emosinya. Sesungguhnya Alvin tidak pernah bisa menghirup udara dengan tenang. Sesungguhnya banyak perasaan resah karena ia tau, di setiap langkahnya, orang-orang akan selalu mencibirnya dan mengecapnya tak baik. Meski terkadang lelah, meski terkadang ia ingin berlari pergi, bersembunyi di ujung dunia yang tak dapat ditemui orang lain. Namun nyatanya, ia selalu menepis kembali perasaan-perasaan itu. Menekan segala risaunya sedalam mungkin. Membangkitkan egonya ke puncak. Karena ia yakin, bahagia itu pasti akan berpihak padanya. Tak peduli seberapa panjang jarak yang harus ia tempuh. Seberapa lama waktu yang harus ia lalui. Ia akan menjemput bahagianya dengan cara apapun.

*****

Lapangan indoor itu menggemakan suara pantulan bola yang tak dimainkan oleh si pemilik tangan. Ia hanya memantulkan asal bolanya dengan tatapan yang tak berisi. Raganya di sana, tapi jiwa dan pikiran melayang jauh ke tempat sang kekasih terbaring koma.

Sejak Ify terbangun tadi pagi, ia sudah tidak memiliki semangat untuk menjejaki sekolah kebanggannya ini. Teringat akan Rio dan selalu tentang Rio. Jam-jam pelajarapun hanya Ify lewati dengan termenung, melamun, dan fikiran yang terus saja dipenuhi oleh Rio dan keadaannya serta kemungkinan-kemungkinannya. Hingga jam istirahat yang memakan waktu empat puluh lima menit ini Ify gunakan untuk melarikan diri guna menyegarkan pikirannya yang benar-benar keruh saat ini.

Ify mendesah membuang sesak yang tak juga mereda. Sesak dan sakit yang terlarut dengan sebuah ketakutan besar membuat hidupnya seakan terhenti. Bayang-bayang akan kemungkinan buruk itu selalu menghantui dan tak dapat disergah dengan mudah. Meskipun doa selalu terpanjat, tetap saja tak semudah itu berpasrah. Ify terus berharap agar Rio kembali bangun dan tersenyum lagi untuknya.

"Kak Rio...." lirih Ify seraya memeluk erat bola basket itu. Tak peduli jika kuman dan debu dari bola itu berpindah ke bajunya. Ia hanya butuh sandaran. Ia butuh pelampiasan emosi. Ia butuh tubuh untuk dipeluk. Ia butuh Rio.

"Aku kangen liat Kak Rio main basket," Ify teringat kembali akan permainan basket Rio yang selalu menimbulkan decak kagum dari para siswi. Rio memang jago dalam bidang itu. Dan basket membuat Rio terlihat semakin mempesona. Basket adalah salah satu kesukaan Rio. Maka dari itu, memeluk bola itu sama saja memeluk Rio. Meski tak sama sekali mengurangi kerinduannya.

"Aku di sini, Fy."

Rio berdiri di hadapan Ify yang kini tengah menyandarkan punggungnya ke tiang basket. Entah bagaimana caranya menyampaikan pada gadisnya jika ia selalu ada bersama Ify. Ia ingin sekali memberitahu Ify dan membuat Ify melihatnya. Namun ia tak memiliki daya akan itu.

"Kalo aja kamu tau aku selalu ada di deket kamu, Fy."

Kali ini Rio berjongkok di hadapan Ify. Tangannya terjulur untuk menyentuh pipi Ify. Namun tetap tak teraih. Tangannya menembus wajah gadis itu. Rio mendesah kecewa.

Semilir angin menyapa wajah Ify. Membuat Ify mendongak seketika. Dari mana asal angin itu, sedangkan ruangan ini besar dan tertutup? Hanya ada ventilasi kecil di setiap dindingnya. Dan tak mungkin angin itu sampai ke wajahnya yang berjarak amat jauh dengan ventilasi-ventilasi itu. Ify lantas menatap ventilasi satu per satu. Seolah mencari jawaban atas fikiran-fikiran mistisnya. Ia hanya sendiri di dalam sana tanpa kipas angin atau pendingin ruangan. Dan satu-satunya hal yang terlintas dipikirannya hanya suasana yang tiba-tiba berubah mencekam.

Ify lantas bangkit dan membuang asal bola basket itu. Membuat Rio ikut bangkit. Ia tau Ify pasti berfikir ruangan ini berhantu. Riopun terkekeh melihat ekspresi tegang dari wajah Ify.

"Aduh sayang, kamu ini lucu banget sih kalo lagi ketakutan gitu. Kalo hantunya seganteng aku, kamu masih takut juga?" Rio semakin terkikik.

Ify hendak berlari sebelum terdengar pintu besar di salah satu sisi terbuka. Ify dan Rio menoleh seketika. Jantung Ify berdebar. Sampai akhirnya muncul sosok Alvin yang langsung membuat Ify bernafas lega sekaligus jengah tak suka.

"Fy!" seru Alvin yang langsung mengambil langkah seribu melihat Ify berbalik badan. Ia tau Ify hendak keluar melalui pintu di sisi lain untuk menghindarinya. Namun akhirnya Alvin beruntung karena tangannya mampu menggapai tangan Ify yang berusaha berlari. Ify berontak saat tiba-tiba langkahnya dihentikan paksa oleh cengkraman tangan Alvin.

"Lepas!" teriak Ify seraya berusaha melepaskan cekalan tangan Alvin.

"Fy, kasih gue kesempatan! Dengerin gue!"

"Enggak! Sampai nyawa gue dicabutpun, gue enggak akan sudi ngasih lo kesempatan! Lepasin gue!"

"Harus berapa kali lagi sih, Fy, gue memohon?! Harus dengan cara apalagi gue yakinin lo?!"

"Harus berapa kali lagi sih gue nolak lo?! Dan harus dengan cara apalagi gue tegasin ke elo kalo gue benci sama lo?!" balas Ify tajam.

"Enggak! Lo ga boleh benci sama gue!"

"Gue benci sama lo!" Ify kembali meronta berusaha melepaskan cekalan tangan Alvin yang justru semakin menguat. Membuat pergelangan tangannya terasa perih dan memanas.

"Enggak! Lo harus cinta sama gue!" tegas Alvin tak ingin dibantah. Ia semakin mengunci tangan Ify.

"Lepasin gue!" Kali ini Ify barengi dengan rintihan samar yang tak terbaca Alvin. Ify mulai kehabisan cara dan lelah. Namun ia tak akan membiarkan Alvin menang.

"Diem, Fy! Semakin lo berontak, semakin tangan lo sakit!"

"Lo jahat! Lo iblis! Lo enggak punya hati!" cerca Ify bengis. Kemuakannya merandang. Kebenciannya membara.

"Lo yang jahat! Lo ngebiarin gue ngemis-ngemis cinta lo tanpa lo sambut sedikitpun! Lo yang jahat dan lo yang udah ngerubah gue jadi kaya gini!" timpal Alvin keras.

"Gila!"

"LO YANG UDAH BUAT GUE GILA!!" bentak Alvin membuat Ify tersentak. Ify sontak terdiam dan air matanya mengalir seketika.

"Kak Rio enggak pernah memperlakukan gue sekasar ini," lirih Ify menunduk. Semenjak tadi ia menahan agar tidak menangis karena teringat Rio. Namun tak lagi dapat ditahannya kesakitan ini. Teringat akan Rio yang selalu menjaganya dan melindunginya dengan baik. Tak pernah ada bentakan seperti ini. Ify tak suka dibentak. Ify tak suka dipaksa. Tapi Alvin selalu melakukan itu. Isakan Ifypun semakin mengeras.

Rio tak sanggup lagi berdiam diri. Dengan penuh emosi, dirasukinya tubuh Alvin hingga membuat raga Alvin mengejang hebat. Ify terlonjak. Dan perlahan cekalan tangan Alvin merenggang hingga akhirnya terlepas. Ify membelalak takut.

"Kkk...kkakk Al..vin..." panggil Ify takut saat Alvin berhenti mengejang. Mata Alvin menatap lurus pada Ify dan perlahan tersenyum manis tak seperti biasanya.

"Fy,"  panggil Alvin lembut yang terdengar aneh namun tak asing. Alvin tak pernah memanggilnya selembut itu. Setiap kata atau kalimat yang keluar dari mulut Alvin adalah paksaan dan bentakan yang tak akan pernah bisa sampai ke hatinya. Namun panggilan ini terasa berbeda.

"Fy, kamu enggak apa-apa?"

Ify mengernyit. Kamu? Sejak kapan Alvin menggunakan kata kamu padanya? Sejak kapan nada bicaranya tanpa teriak dan penuh penekanan? Sejak kapan Alvin bisa bertanya bagaimana keadaannya setelah pemuda itu membentaknya tanpa perasaan?

"Lo kenapa?" Ify bertanya balik. Takut-takut, Ify melangkah mundur. Perubahan secara tak terduga itu membuat sel-sel otak Ify tak mampu mencerna apa yang sedang terjadi ini.

"Jangan takut, Fy. Aku akan jaga kamu. Selalu." Rio yang kini berada di dalam raga Alvin maju mendekati Ify yang semakin melangkah mundur. Rio tau Ify takut padanya karena kini yang dilihatnya adalah sosok Alvin, bukan dirinya. Namun Rio tak gentar. Ia hanya ingin bisa menyentuh gadisnya meski dengan raga orang lain.

"Apasih?! Jaga apa?" tanya Ify dengan intonasi meninggi. Tak suka dipermainkan seperti ini. Tak suka dibuat tak mengerti.

Ify akhirnya mencapai batas melangkahnya dan terpojok di dinding. Rio melangkah pelan namun tegas dan langsung mengunci gadisnya itu dengan kedua tangan yang ia tumpukan di masing-masing sisi tubuh Ify. Ify menelan ludah dengan susah payah. Dengan lirikan, Ify mencoba melihat ekspresi Alvin yang akhirnya berhasil membuatnya tak berkutik. Jarak yang amat dekat itu membuat Ify dapat mencium aroma tubuh pemuda itu.

Dan lagi-lagi rasa nyaman itu sayup-sayup mulai menyusupi hatinya dan menjalari setiap aliran darahnya. Mata itu mengikat erat matanya. Terpaku tak dapat teralih. Mata yang begitu teduh, membuat rindu itu semakin merasuk. Menyiksa tak berkesudahan. Dan anehnya, Ify menikmatinya. Menikmati setiap getaran yang hanya untuk Rio. Menikmati keteduhan yang hanya milik Rio. Mengapa Alvin mampu menciptakannya?

"Fy, aku sayang sama kamu. Kemarin, sekarang, dan sampai waktu yang tak terbatas. Selama Tuhan mengizinkan itu. Selama aku mampu mencintai kamu. Selama jantung ini berdetak hanya untuk membuat kamu bahagia. Selama hanya senyum kamu yang jadi dasar kebahagiaan aku. Selama itu aku akan selalu hidup di hati kamu. Jadi bunga cinta yang abadi. Untuk kamu. Cuman untuk kamu, Fy," dengan bisikan tegas yang terlontar dari bibir Alvin, Rio berharap Ify bisa mengerti jika ia memcintainya teramat dalam. Entah, selalu kata cinta yang ingin diucapkannya. Tak mungkin berkata jika ia adalah Rio, membuat rindu itu menguasainya sedemikian rupa.

Ify tercengang. Tak mampu lagi membalas ungkapan tulus itu. Dan pada akhirnya, Ify hanya bisa menunduk dalam-dalam untuk mengusir perasaan-perasaan aneh yang menggelayutinya kini. Kenyamanan itu membungkamnya. Sampai akhirnya Ify merasakan sebuah tangan menyentuh punggungnya, lalu menelusurinya hingga terhenti di pinggangnya. Ify merinding. Namun tak mampu melawan. Dan Rio menariknya mendekat untuk menghapus sela tipis yang tersisa. Dikecupnya lembut kening Ify dan menahannya sesaat. Meresapi setiap cinta yang menggelora. Menggali rindu terdalam untuk dicurahkan kepada pemiliknya.

Ify menegang. Merasakan bibir itu menyentuh keningnya. Benci, tak suka. Tapi sial, ia tak bisa melawan. Dan semakin sial, karena Ify bahkan menikmatinya. Ify memejamkan matanya. Merasakan kehangatan mendalam yang merambati dinding-dinding hatinya. Menggelorakan rindu yang menjebaknya. Rindu yang hanya untuk Rio.

Tidak! Ini tidak biaa dibiarkan. Rindu ini hanya milik Rio! Kenyamanan dan kehangatan ini juga hanya milik Rio! Tidak untuk siapapun apalagi Alvin! Ini jebakan! Ia tidak boleh mengkhianati Rio! Karena cinta itu hanya pantas dimiliki Rio! Hanya untuk Rio!

Dengan bibir yang bergetar kuat menahan tangis semampunya, Ify mebuka matanya dan mendorong kuat tubuh Alvin. Membuat tubuh itu hampir saja terjengkang. Dan Ify tak sanggup lagi menekan tangisnya yang seketika pecah. Membahana di ruangan olahraga indoor itu.

"Lo!" tunjuk Ify dengan isakan. Rio terkejut sampai memundurkan kepalanya beberapa centi. Hatinya mencelos melihat tatapan tajam Ify.

"Jangan pernah berharap bisa dapetin cinta gue! Jangan pernah! Cuman Kak Rio yang berhak! CUMAN KAK RIO! Inget itu!!!" tutur Ify penuh penekanan di setiap katanya. Menegaskan untuk yang kesekian kalinya pada Alvin, jika hatinya hanya milik Rio.

Setelah berkata seperti itu, Ify memutar tubuhnya dan segera berlari pergi. Seraya menghapus air matanya yang masih saja mengalir tak mau berhenti. Ify benci merasakan ini. Tak mungkin hatinya akan terbagi. Hatinya tetap utuh untuk Rio. Tetap hanya milik Rio. Kenyamanan samar itu... bukan! Ia hanya terlalu rindu pada sosok Rio. Membuatnya selalu terbawa perasaan.

Rio melepaskan diri dari raga Alvin. Membuat tubuh Alvin mengejang sesaat dan limbung.

"Fy! Ify!" Alvin berusaha mengejar meski entah kenapa tubuhnya terasa amat lelah. Dengan sekuat tenaga Alvin berlari mengejar meski akhirnya tak sanggup lagi menyusul. Tubuhnya amat lelah. Seakan energinya baru saja terkuras habis. Dengan sisa kekuatan, Alvin melangkah menuju ke dalam kelasnya.

Rio menatap keduanya dengan senyum simpul. Bangga akan gadisnya yang begitu hebat mencintainya. Rio tau ia tak bisa pergi. Ia tau ada Ify yang harus selalu ia jaga. Ada Ify yang membutuhkannya. Maka, tak akan ia pergi sebelum segalanya menjadi indah dengan sempurna. Mencintai Ify. Membawanya selalu dalam rajutan doa yang tiada pernah putus. Untuk satu kebahagiaan abadi yang menjadi tujuannya. Tujuannya terus hidup meski raganya tak lagi mampu. Dan suatu hari ia yakin, Tuhan akan mengembalikan kehidupannya lagi.

Bersambung...

Tuesday, August 23, 2016

Hanya Angan

"Hanya Angan"
By: Amelia Astri Riskaputri


Mendung meradang
Binar tak nampak
Rindu merebak
Tangispun lepas

Hujan merangsang sendu
Dingin menyabik asa
Kala memori merekam segala cerita
Dan terputar dalam abu kenangan

Kini hanya ada rindu untuk segala kisah
Aku hanyalah persinggahan sementara
Hingga luka tak lagi tersamarkan
Merebaskan darah pilu 

Begitu jahat
Begitu kejam
Hingga perih ini tak lagi berduri
Kamu tetaplah angan
Dan memang hanya angan

Monday, August 22, 2016

Bukan Diriku (Part 4)

Part 4

"Maaf, Bu, Pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin."

Jantung Ify rasanya berhenti berdetak mendengar pernyataan sang dokter. Tubuhnya melemah dan air matanya kembali mengalir.

"Kami tidak berhasil membawa Rio keluar dari masa kritisnya, Bu, Pak. Operasi berhasil, namun keadaan Rio tidak membaik. Dengan berat hati saya katakan jika Rio mengalami koma."

Biru dan Cakka hanya bisa menghela pasrah. Sedangkan mama Rio menjerit histeris yang langsung ditenangkan oleh sang suami yang juga tampak shock. Ify terdiam. Namun air matanya terus mengalir. Pilu hatinya tak tergambarkan lagi. Rio koma. Dan itu entah untuk berapa lama. Tak sanggup Ify bayangkan sakitnya menunggu tanpa kepastian. Menunggu Rio terbangun atau pergi selamanya.  Sedangkan Sivia yang juga tak kalah shock, berusaha menenangkan Ify yang begitu terguncang. Meski juga menangis, namun Sivia masih dapat mengontrol perasaannya.

Dalam kepasrahan, orang-orang yang menyayangi Rio itu menuntun bed yang membawa Rio menuju ruang ICU untuk diberikan perawatan lebih lanjut. Hanya ada tangis di sepanjang selasar. Juga jerit histeris sang bunda yang terus memanggil nama putra semata wayangnya yang kini hanya terbaring lemah dengan mata terpejam. Luka-luka diwajahnya, menyiratkan sebuah penderitaan besar juga perjuangan berat antara kembali atau pergi. Dan ibu mana yang tega melihat kondisi sang anak yang hanya bisa terbaring dengan bantuan berbagai peralatan medis untuk membantu hidupnya?

Semua kembali menunggu di depan ruang ICU. Pastinya masih dengan air mata yang terus mengalir jatuh. Suster membawa masuk Rio tanpa mengizinkan satu orangpun mengikuti.

"Ify!"

Seruan itu membuat semua yang berada di sana menoleh. Tak terkecuali si pemilik nama yang nampak tak memiliki gairah pada awalnya. Namun melihat sosok Alvin yang kini tengah menghampirinya, membuat Ify menegakkan tubuhnya dan menyambut kedatangan Alvin dengan wajah penuh kemurkaan.

"Fy, lo engga apa-apa kan?" tanya Alvin khawatir seraya menyentuh kedua bahu Ify.

Ify tak menyahut. Dipandanginya wajah pucat dengan perban yang menggulung di pelipisnya itu. Tanpa suara. Dengan gigi yang gemertak, menahan emosi yang mulai menggumpal berang.

PLAK!

Dengan kebencian yang membara dan kepiluan yang tak mampu disembunyikan, Ify melayangkan sebuah tamparan yang tak akan cukup untuk membendung amarahnya pada pemuda ini. Membuat semua yang berada di sana semakin beku dalam kebungkaman. Mereka mengerti kekecewaan yang Ify rasakan.

"Brengsek! Ini semua karna lo! Puas lo ngeliat Kak Rio kaya gini?! Puas lo?! Lo bener-bener iblis! Enggak punya hati! Harusnya lo yang ada di posisinya Kak Rio! Kak Rio orang baik! Kak Rio bukan iblis kaya lo! Lo yang pantesnya mati, bukan Kak Rio!" jerit Ify histeris dengan air mata yang membludak jatuh seraya menunjuk wajah Alvin dan mendorong tubuh Alvin berkali-kali. Menumpahkan segala sakit hatinya.

Sivia dibantu oleh Biru berusaha menahan Ify agar tidak berbuat lebih anarkis lagi dengan mencengkram kedua lengan Ify yang selalu memberontak agar dilepaskan. Alvin bergeming. Ia menunduk tak tau lagi harus berkata apa. Ini bukan salahnya. Tapi juga ini karenanya. Ia tak mengingkan Rio terbaring di dalam ruang mengerikan itu. Ia hanya ingin Ify jatuh ke pelukannya. Hanya itu.

"Fy, tenang. Ini rumah sakit!" bisik Sivia tepat di telinga sahabatnya yang tengah mengamuk itu.

"Ini semua gara-gara dia, Vi! Gara-gara dia Kak Rio harus berjuang antara hidup dan mati! Gara-gara makhluk brengsek ini, Vi!"

"Fy, ini kehendak Allah. Bukan salah siapa-siapa." Kali ini Biru buka suara.

"Jangan belain setan brengsek ini! Dia itu jahat! Enggak punya hati! Dia pasti lagi ketawa bahagia di dalem hati ngeliat Kak Rio kaya gini!"

"Fy, gue enggak pernah berniat nyelakain Rio. Sumpah! Maksud gue tadi cuman mau ngebawa lo pergi. Bukan nyelakain Rio!" Alvin berusaha menjelaskan meski ia tau, Ify tak akan mungkin meluluh dengan penjelasannya itu.

Ify tertawa mencibir. "Munafik! Gue benci sama lo! Pergi lo dari hadapan gue! Gue muak liat muka lo!"

"Fy," Alvin terlihat memohon. Ia hanya ingin terus menemani Ify. Ia tau Ify tengah berada di titik terbawahnya sekarang. Biar bagaimanapun, Alvin menyadari dengan pasti, Rio adalah sesuatu yang begitu berpengaruh untuk segala macam kehidupan dan perasaan gadis yang dicintainya itu. Rio bagaikan perhiasan yang amat berharga bagi Ify. Meski sedikit tidak rela, namun Alvin bisa melihatnya. Melihat cinta yang begitu besar dari Ify untuk Rio.

"Pergi gue bilang!" Ify mereda. Emosinya memang tak sama sekali berkurang. Namun kekalutannya sudah berhenti. Ia sadar jika jeritan histeris sekalipun tidak akan membuat Rio terbangun dari komanya. Maka akan sangat percuma ia membuang-buang tenaganya yang juga sudah menipis.

"Maafin gue, Fy," lirih Alvin menahan semburat emosi yang mulai menyergapnya. Emosi yang tumbuh seketika kala mengingat jika cinta Ify hanyalah untuk Rio. Tidak untuk dirinya. Tidak akan pernah terbagi.

"PERGI!" bentak Ify.

Alvin menghela. Tangannya terkepal. Namun ia tetap memutar tubuhnya dan melangkah pergi dari sana. Alvin merasa terinjak. Ketika ia terbangun dari ketidaksadarannya tadi, pikirannya  langsung tertuju pada Ify. Bagaimana keadaan gadis itu setelah mobilnya menabrak tiang penyangga gedung parkir. Ia bahkan mengabaikan keadaannya sendiri dan langsung bertanya pada suster yang menanganinya. Setelah mendapat jawaban, Alvin segera berlari menuju ruang ICU untuk mencari tahu keadaan gadis yang kini menempati seluruh ruang di hatinya tanpa memberikan sela untuk siapapun. Namun nyatanya, Ify menganggapnya tak lebih dari iblis tak berhati yang tega membuat Rio harus berjuang antara hidup dan mati.

Langkah gontai Alvin terarah pada taman yang terletak di belakang rumah sakit. Tak berniat pulang, karena pikirannya  membutuhkan udara segar kali ini, Alvin menjatuhkan tubuhnya di atas bangku taman. Mencari ketenangan yang tak pernah ia dapatkan selama ini. Berusaha meluapkan sesak yang terus menghimpit semenjak ia menyadari jika cintanya bertepuk sebelah tangan.

Dua tahun hidup dengan penuh rasa dengki tak berujung pada Rio. Berusaha membalaskannya dengan cara apapun. Berupaya menjebloskan Rio ke dalam jurang sesak yang sama. Meski pada akhirnya ia tau, kekalahanlah yang akan selalu berpihak padanya. Pahit. Namun tak dapat menghindar. Takdir. Menyakitkan namun inilah yang harus ia jalani. Seandainya bisa, Alvin ingin memilih pergi. Namun Ify seolah memakunya. Gadis itu membuatnya menggila. Hingga di detik inipun, sulit rasanya untuk merelakan Ify berbahagia dengan Rio.

Dan tetap. Keegoisannya merajai. Tak akan ia biarkan Ify bertahan untuk Rio. Toh kini Rio tengah diambang kematian. Bukankah peluang itu lebih besar untuknya?

Alvin menarik tepi bibirnya. Menatap langit hitam seolah menantang. Lihat dirinya. Kali ini, Alvin pasti memenangkannya!

*****

Rio mengerjapkan matanya beberapa kali. Mencari cahaya yang entah bersembunyi di mana. Gelap. Hitam. Tak ada yang dapat dijangkau penglihatannya. Semua terasa kosong. Tak ada satupun benda yang dapat disentuhnya. Di mana ia sekarang?

Rio berusaha melangkah ke manapun untuk mencari tahu. Tubuhnya benar-benar terasa ringan. Padahal seingatnya, siang tadi ia mengalami kecelakaan tragis yang seakan membuat nyawanya direnggut paksa. Rio terus melangkah penuh keheranan. Sampai ia menemukan secercah cahaya kecil tak jauh dari kakinya berpijak. Dihampirinya cahaya itu.

Rio melongokan kepalanya. Celingak-celinguk mencari sesosok manusia yang bisa ia tanyakan di mana ia berada kini. Hingga tiba-tiba, secara samar Rio mendengar suara tangisan. Tangisan yang sangat ia hafal. Tangisan milik gadisnya.

Rio berusaha mencari sumber suara dan melangkah mengikuti arah munculnya tangisan itu. Selasar panjang yang sunyi dan hanya ada warna putih sejauh mata memandang, membuat Rio semakin dilanda kebingungan. Tempat macam apa ini? Kenapa suasananya begitu hampa?

Suara tangis Ify itu kini disertai dengan lirihan sang mama yang memanggil namanya. Ada apa ini? Mengapa orang-orang yang dicintainya itu bersuara memerih?

Rio terus melangkah hingga pada ujung selasar ia berbelok dan menemukan teman-temannya, kedua orang tuanya, Sivia, dan juga Ify, tengah berurai air mata di depan ruang ICU. Rio melanjutkan langkahnya dan menghampiri mereka semua.

"Fy, kamu kenapa?" tanya Rio tepat dihadapan gadis itu.

Namun Ify tak menyahuti. Ia tetap tertunduk dengan air mata yang tak mampu dihentikannya.

"Fy! Fy! Hey!"

Rio mengangkat tangannya lalu berusaha menyentuh Ify. Namun aneh. Tangannya berhasil menembus tubuh sang gadis. Rio membelalak. Lalu menatap tangannya. Ada apa ini? Mengapa tangannya melolosi sang gadis? Mengapa tangannya tak dapat menyentuh gadisnya?

Rio beralih pada sang bunda yang masih saja melirihkan namanya yang kini tengah ditenangkan oleh sang ayah.

"Mah! Ini Rio, Mah! Mama kenapa? Mama jangan nangis. Ini Rio ada di depan mama. Mah!" jerit Rio namun sang bunda melakukan hal yang sama. Tetap tak menanggapi. Bahkan menolehpun tidak.

Rio mencoba menyentuh sang bunda. Namun tetap sama. Tangannya tak berhasil menggapai tubuh sang bunda. Ia seakan menyentuh angin yang takkan mungkin dapat tergenggam.

Kali ini Rio menghampiri kedua sohibnya yang bersangga pada dinding ruang tunggu. Hampir frustasi. Rio kembali berbicara pada teman-temannya

"Biru, Kka! Lo berdua kenapa sedih? Ini gue! Please, liat gue!"

Rio mengepalkan tangannya ingin meninju kedua sohibnya. Namun ia malah terhuyung ke depan seakan tak ada siapapun di sana.

Rio mencoba berbicara pada perawat yang hilir mudik. Namun tak ada satupun yang menanggapi kehadirannya. Kali ini ia benar-benar frustasi. Rio tak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Mengapa ia seperti angin berhembus yang tak dihiraukan keberadaannya?

Rio melihat seorang dokter keluar dari ruang ICU yang langsung dikerubungi oleh Ify, Sivia, Biru, Cakka, dan kedua orang tuanya. Penasaran, Rio melangkah menghampiri mereka.

"Gimana dok keadaan anak saya?"

Rio menyernyit mendengar mamanya bertanya demikian.

"Masih belum ada peningkatan, Bu. Hanya mukjizat yang bisa membuat Rio kembali bangun. Kali ini, Rio sudah boleh dijenguk. Tapi jangan langsung masuk semua. Saya permisi."

Lagi-lagi tangis kembali pecah. Namun kali ini semua sudah memasrahkan. Tak ada cara lain selain mendoakan.

Mama Riolah yang pertama kali masuk ke dalam. Penasaran, Rio mengekori sang bunda. Dan matanya langsung membelalak kaget melihat raganya terbaring tak berdaya dengan peralatan medis yang menempel di hampir seluruh bagian tubuhnya. Rio sampai menutup mulutnya saking tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya ini. Jika raganya tergeletak di tempat tidur itu, lalu ia ini apa?

Rio melihat tubuhnya yang dapat ia jangkau. Pada dasarnya kakinya memang menapaki lantai. Namun tubuhnya terasa begitu ringan. Apakah dia ini hantu? Tapi ia masih hidup. Ditaktor jantung menunjukan detakan jantungnya yang memang lemah. Lalu dia ini apa?

Rio kembali menatap sang bunda yang kini tengah menggenggam tangannya yang di tusuk jarum infus dan jarinya yang dijepitkan pulse oxymeter. Mamanya tak lagi histeris. Namun air mata tetap jatuh dari pelupuknya. Hati Rio mencelos. Mamanya benar-benar bermuram durja. Matanya membengkak. Dan ini semua karenanya. Dengan berat hati -juga karena tak tega melihat mamanya-, Rio melangkah keluar ruang ICU dengan menembus pintu. Tidak mungkin ia membukanya sedangkan tak ada satupun orang yang bisa melihatnya.

Rio menghampiri Ify yang juga sangat terguncang. Matanya tak kalah sembab dengan mamanya. Membuat hati Rio semakin teriris. Ingin rasanya ia berteriak untuk memberitahu jika ia baik-baik saja. Namun sekencang apapun ia keluarkan suaranya, tetap saja tidak ada yang akan mendengarnya. Rio menghela putus asa.

Dilihatnya Alvin tengah melangkah dengan wajah penuh kelegaan dan senyum culas yang membuatnya ingin sekali meninju wajah itu. Sayang sekali kini ia hanya bisa menggeram dan menelan sendiri kebenciannya pada pemuda itu. Melihat Alvin melangkah hendak menghampiri Ify, Riopun memasang badan untuk menjaga-jaga. Mudah-mudahan saja, walaupun ia tak dapat menyentuh apapun sekarang ini, ia bisa tetap menahan Alvin menjahati gadisnya dengan cara apapun.

Ify bangkit dari duduknya melihat Alvin menghampirinya. Dihapusnya kasar air matanya yang masih tak mau berhenti menggenang, lalu ditatapnya Alvin seolah mengoyak ke dasar hati pemuda itu. Dan menegaskan jika kini hanya ada kebencian mutlak untuknya.

"Ngapain lagi sih lo ke sini?! Belum puas juga?!" cecar Ify langsung.

"Fy, please, kasih gue kesempatan buat buktiin ke lo kalo gue mampu jadi kaya Rio. Gue sayang sama lo, Fy!"

Ify berdecak jengah.

"Kak Alvin, please, ini bukan waktunya buat nyatain perasaan," Sivia ikut buka suara karena baginya Alvin benar-benar tidak tau waktu dan kondisi. Di saat kesedihan melanda, ia justru masih mementingkan egonya sendiri. Benar-benar tak punya hati.

Alvin hanya melemparkan tatapan tak sukanya pada Sivia lalu kembali tak menghiraukannya. Dialihkan pandangannya pada Ify. Lalu memasang wajah memohon penuh harap.

"Dasar engga tau diri!" cecar Ify benci.

Tak terima, Alvin mencengkram kuat kedua bahu Ify. Dipaksanya Ify menatap kedua matanya. Meyakinkan pada Ify jika perasaannya tidaklah sedangkal itu.

Rio yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, mulai merasa tak terima dengan perlakuan Alvin terhadap gadisnya. Matanya mulai menatap tajam pada Alvin yang takkan mungkin dilihat oleh orang lain.

"Apaan sih?! Lepasin!" ketus Ify berontak.

"Dengerin gue! Gue enggak akan pernah berenti ngejar lo sampe lo bener-bener jadi milik gue!" Nadanya seakan mengancam Ify. Namun bukan ancaman yang ingin Alvin lontarkan. Alvin hanya ingin menegaskan jika apapun yang ia inginkan harus ia dapatkan termasuk hati seseorang yang sudah memiliki hatinya dengan utuh.

"Mimpi aja sama lo!" sahut Ify bengis. Ia lalu mencibir meremehkan.

Membuat Alvin meremas kedua bahu Ify kuat. Hingga Ify meringis dan Rio tak terima. Ia menjulurkan tangannya hendak meninju Alvin pada mulanya. Namun tiba-tiba saja, jiwanya seakan ditarik oleh suatu kekuatan besar yang membuat Rio tak mampu menahan jiwanya untuk tetap di tempat. Hingga akhirnya ia tertarik masuk ke dalam raga Alvin.

Alvin tersentak. Seperti orang kerasukan, Alvin terhuyung mundur dan langsung melepaskan cengkramannya pada bahu Ify. Tubuhnya menengang dan sedetik kemudian ia mengejang.

Ify mengernyit heran. Sedangkan Biru dan Cakka yang sedari tadi hanya bungkam menyaksikan, kini melangkah mendekat lalu menepuk-nepuk pundak Alvin.

"Vin, lo kenapa?" tanya Cakka yang mengambil posisi di hadapan Alvin menggantikan posisi Ify membuat Ify melangkah mundur ke belakang.

Sivia menghampiri Ify lalu berbisik. "Kak Alvin kenapa?"

"Enggak tau," tanggap Ify tak perduli seraya mengangkat bahu. Meski penasaran, Ify berusaha tak mengacuhkan Alvin yang kini mulai tersadar. Matanya membelalak namun tak lama ia mengerjap. Seakan kesadarannya baru pulih, Alvin mengangkat kedua tangannya lalu diamatinya dengan penuh ketakjuban. Ia menyentuh wajahnya dan menepuknya beberapa kali. Seakan mendapatkan kembali raganya, Alvin tersenyum sumringah.

Dialihkan pandangannya pada Ify. Lalu dihampirinya Ify yang tengah bersedekap jengah lalu meliriknya seraya mendesis tak suka.

"Fy..."

"Apa lagi sih?! Masih belum puas ngancemnya?!"

Dengan perlahan dan penuh kehati-hatian, Alvin menyentuh kedua pipi Ify yang otomatis langsung disentak gadis itu.

"Fy, ini aku Ri...."

Seperti tersetrum aliran listrik bertegangan tinggi, Alvin kembali mengejang. Dan keluarlah jiwa Rio dari tubuh Alvin. Rio menatap bingung dirinya dan Alvin yang juga nampak kebingungan. Dengan ragu, Rio kembali mengulurkan tangannya mencoba menyentuh Alvin. Dan iapun kembali tertarik masuk ke dalam raga Alvin.

Bingung, Rio yang kini berada di dalam raga Alvin menatap sekujur tubuh Alvin yang dapat terjangkau matanya. Lalu menatap Ify berbinar.

Langsung saja Rio menarik Ify ke dalam dekapannya. Memeluk erat tubuh gadisnya. Membuat Ify sontak berontak.

"Ih apaan sih ini! Lepasin! Lepasin gue!" Ify berusaha melepaskan pelukan -yang Ify anggap- Alvin, sebelum sebuah perasaan hangat menjalarinya tanpa terduga. Sebuah kenyamanan yang terasa nyata. Dan rindu yang seakan tersalurkan. Ify berhenti memberontak. Berusaha mencari tahu, perasaan apa yang tengah dirasakannya ini. Kehangatan ini, kehangatan yang selalu mengalir dari pelukan Rio. Kehangatan yang hidup. Kehangatan yang hanya hadir dari dekapan pemilik hatinya. Mengapa kehangatan ini tercipta saat justru tangan Alvin yang mendekapnya erat?

Tanpa suara, dalam keheningan, semua menyaksikan pelukan ganjil itu. Asing rasanya, namun seperti pernah terjadi sebelumnya.

Tak ingin terlarut jauh dengan perasaan aneh yang menyerangnya, Ify tersadar tiba-tiba dan lantas mendorong tubuh Alvin sekuat tenaga. Ia memicing menatap Alvin penuh benci.

"Jangan suka cari kesempatan lo!" cecar Ify.

Rio menatapnya tak terbaca. Memaku tatapan Ify pada manik matanya. Dan lagi-lagi kehangatan itu kembali merambati seluruh relung hatinya. Rindu yang membeku, kehilangan yang samar, cinta yang utuh hanya untuk dan memang milik Rio, seakan tersalurkan melalui mata itu. Binarnya menghanyutkan. Seperti yang selalu ia rasakan jika mata Rio menatapnya penuh cinta.

Kembali Ify tersadar. Pemuda yang dihadapannya ini Alvin, bukan Rio!

"Pergi lo!" usir Ify tajam.

"Fy, aku sayang sama kamu." Rio tak memperdulikan pengusiran yang Ify lontarkan.

"Gue bilang pergi!"

"Fy, ini aku. Aku, Fy. Ri..."

Lagi-lagi Rio terhempas keluar dari tubuh Alvin sebelum ia sempat melengkapi pemberitahuannya. Kali ini Rio meyakini jika ia tak bisa memberi tahukan identitasnya pada Ify. Rio membuang nafas keras. Sementara ini ia harus memendam dalam-dalam keinginannya untuk membuat Ify mengetahui jika jiwanya masih hidup dan akan selalu ada di sekitarnya untuk selalu menjaga gadisnya itu di manapun. Setidaknya ia tetap bisa menyentuh dan berbicara pada Ify ataupun teman-temannya melalui raga Alvin.

"Fy!" Alvin terengah entah karena apa. Ia merasa sangat letih untuk penyebab yang tak jelas. Tubuhnya terasa lemas.

"PERGI!!!" teriak Ify.

"Lo mending pergi deh, Vin. Tolong jangan cari ribut. Ini rumah sakit!" Biru angkat bicara. Membuat Alvin mengepalkan tangannya keras. Jika tidak ingat ini rumah sakit, ia pasti sudah melayangkan kepalan tangan itu ke wajah Biru. Ia merasa direndahkan sekali.

Namun pada akhirnya, Alvin hanya melepaskan tinjunya ke udara dan melangkah pergi. Membuat semuanya bernafas lega tanpa mengetahui, dendam itu terus saja berkobar di dalam dadanya. Tanpa sedikitpun merasa bersalah atas semua kejadian yang telah menghidupkan duka mendalam untuk orang-orang di sana. Karena Alvin tetaplah Alvin. Yang akan terus mengejar obsesinya sampai ia benar-benar memilikinya penuh dan utuh. Hanya miliknya.

*****

Ify menutup pintu ruang ICU perlahan seraya menatap sendu raga penuh luka yang dibalut perban serta peralatan medis yang menempel, yang terbaring tanpa daya di bednya. Iapun mengambil posisi duduk di sebelah kanan Rio. Mengamati setiap inch rupa sang kekasih. Yang selalu mampu menghadirkan getar menggelitik di hatinya. Masih getar yang sama serta cinta yang sama. Yang hanya pada Rio akan ia serahkan seluruhnya seutuhnya.

"Kak, bangun! Aku ngerasa sendirian banget di dunia ini tanpa kamu," lirih Ify seraya membelai lembut wajah Rio.

"Maafin aku, Kak. Gara-gara aku kamu jadi begini,"

Mengingat kejadian tadi, Ify benar-benar merasa bersalah. Karenanya Rio harus mengemudikan mobil secara ugal-ugalan. Karenanya Rio akhirnya harus bertaruh nyawa.

"Maaf..." Suara Ify mulai bergetar.

"Bukan salah kamu sayang," jawab Rio menyahut dari sebrang bed. Tentu saja tak dapat di dengar Ify.

"Bangun, Kak. Aku mohon. Aku tau hidup aku udah enggak akan sama lagi setelah ini, Kak. Hampa banget pasti tanpa kamu."

"Aku yang minta maaf, Fy. Jaga diri aku aja aku enggak becus. Apalagi jagain kamu," lirih Rio menatap penuh sesal pada Ify.

Kini ia seperti hembusan angin. Tak terlihat juga tak teraba. Tapi Rio tetap berharap, Ify akan bisa merasakan kehadirannya. Rio benar-benar tak mengerti mengapa Tuhan membiarkan jiwanya hidup dengan raga yang terbaring lemah. Namun Rio bersyukur karena ia masih diberi kehidupan meski tak sama lagi.

"Jangan takut, Fy. Aku akan selalu jagain kamu. Aku akan selalu melangkah di samping kamu. Aku janji, Fy."

Bersambung....