Part 14
Di tengah keramaian kantin yang rutin terjadi setiap jam istirahat, kedua sahabat karib ini tetap berbaur dengan keramaian tersebut. Mereka berbincang yang terkadang diselingi dengan gurauan dan juga canda tawa. Sambil memakan makanan pesanan mereka, Ify mendengarkan cerita Via tentang Alvin.
"Pokoknya Kak Alvin tuh cowok best banget. Nggak nyesel gue sayang sama Kak Alvin. Bangga banget punya Kak Alvin," jelas Via berbinar.
"Heem tau deh yang lagi falling in love mah beda. Berbunga terus tiap nyebut namanya," goda Ify seraya melipat kedua tangannya di atas meja karena Ia baru saja menghabiskan makanannya.
"Iya, Fy. Gue nggak pernah se-berbunga ini. Kak Alviiiiiin, I love you so much," seru Via berseri dengan suara yang dikecilkan sambil menusuk bakso terakhirnya dengan garpu lalu menatap Ify.
Ify terkekeh mendengar ungkapan hati Via. Ungkapan hati yang terdengar begitu berbunga. Ungkapan hati yang sepertinya mencurahkan rasa bahagia yang menyejukan jiwa. Sesungguhnya dalam hati Ify memiliki hasratingin seperti Via. Ia merasa iri dengan Via. Via dapat mendapatkan kebahagiaan yang diimpikannya, yang memang seharusnya dirasakan. Tak seperti dirinya. Raut wajah Ify seketika berubah. Senyumnya perlahan memudar.
Setelah selesai menyeruput es teh manis pesanannya tadi, Via melipat kedua tangannya di atas meja lalu menatap Ify. Tadinya Ia ingin melihat reaksi Ify atas ungkapan hatinya tadi. Namun yang didapatkannya adalah ekspresi wajahIfy yang aneh yang tiba-tiba saja berubah muram. Via mengerutkan kening.
"Lo kepikiran sesuatu?"
Ify menatap Via sebentar lalu menunduk, memperhatikan roknya yang bergerak-gerak karena kakinya yang digerak-gerakan. Ia menghembuskan nafas keras. Seperti berusaha mengeluarkan beban berat yang memikulnya, membuatnya tersiksa karena pilihan yang diputuskannya sendiri. Setelah itu, Ify kembali menatap Via. Lalu menyunggingkan senyum masam.
"Gue envy sama lo, Vi."
Via mengerutkan kening mendengar pernyataan Ify. Tak mengerti maksudnya.
"Lo bisa ngerasain kebahagiaan yang lo impiin selama ini," jawab Ify yang mengerti ketidakpahaman Via atas pernyataannya.
"Fy, kalau lo mau bahagia itu cuman satu kuncinya, ikutin apa kata hati lo."
Ify kembali menunduk. Merasa tertohok dengan ucapan Via tadi. Lagi-lagi perasaan aneh itu kembali dirasakannya. Perasaan aneh yang bercampur aduk. Perasaan aneh yang menyiksanya. Sesak. Sesak yang bercampur dengan rasa sesal, yang membuatnya ingin meledak seketika itu juga.
Bukankah Ia sudah meyakinkan pada dirinya bahwa pilihan yang diambilnya itu memang jalan yang terbaik? Namun mengapa Ia tak merasakan kebahagiaan yang seharusnya Ia rasakan?
Dan itulah jawaban yang memang Ify perlukan. Ikuti apa kata hati. Karena yang terbaik bukanlah yang dilihat atau didengar, melainkan apa yang dirasakan.
Pilihan yang diambilnya, tidak mengikuti apa yang hatinya bilang padanya. Ify tidak mendengarkan apa kata hatinya. Jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Ify sangat menginginkan Rio. Rasa itu ada, untuk Rio. Namun pilihan yang dipilihnya adalah membohongi dirinya sendiri dan mengacuhkan kata hatinya.
"Gue salah ya, Vi? Gue cuman nggak mau egois mikirin perasaan gue sendiri."
"Menurut gue, lo malah egois banget. Lo mentingin perasaan orang lain di masa lalu lo dan ngorbanin perasaan lo sama perasaannya Kak Rio. Lo pernah nggak mikirin perasaannya Kak Rio setelah lo nggak ngehirauin perasaannya?"
"Gue cuman nggak mau nyakitin Kak Gabriel, Vi."
"Justru dengan kaya gini lo nyakitin Kak Gabriel. Lo bukan cuma nyakitin Kak Gabriel. Lo juga nyakitin Kak Rio. Dan yang paling tersakiti dari pilihan lo itu adalah hati lo. Coba lo bayangin, gimana sakitnya Kak Gabriel kalau suatu hari nanti dia tau, ada laki-laki lain di hati cewek yang dia anggep pacarnya? Apa nggak lebih luka lagi dia?"
Ify mengalihkan pandangannya dari Via. Mencoba mencerna setiap kalimat yang Via ucapkan. Perasaan Rio. Benarkah hal itu yang membuat tidurnya tak tenang setiap malam? Benarkah hal itu yang menjadi beban yang selalu menyiksanya setiap saat?
Ia memang memutuskan segala pilihan tanpa pikir panjang. Yang Ia pikirkan saat Ia lebih memilih menghancurkan dua hati yang seharusnya dapat bahagia bila saling tertaut ialah pengorbanan Gabriel untuknya tanpa memikirkan pengorbanan Rio untuknya.
Ify memejamkan mata, menyesal.
Ify masih memikirkan keputusannya yang tiba-tiba saja disesalinya itu, sebelum sebuah suara membuyarkan semua lamunannya dan terpaksa membuat Ify dan Via menoleh.
*****
Shilla mengatupkan bibirnya rapat-rapa tsambil menatap tajam ke arah Ify dan Via yang tengah saling berbincang. Ia benar-benar muak mendengar Ify dan Via menyebutkan nama Rio dalam percakapan mereka. Rio sudah menjadi miliknya. Dan tak ada satupun yang boleh menghancurkan itu semua.
Shilla geram. Ia melangkah menghampiri dua karib yang tengah berbagi curahan hati satu sama lain itu. Dengan tangan terkepal, Shilla menyerukan nama Ify.
"IFY!"
Ify dan Via menoleh bersamaan ke sumber suara yang berada di belakang Ify. Seketika Via membulatkan matanya melihat Shilla dengan wajah memerah menatap Ify dengan penuh emosi. Mereka berdua bangkit dari duduknya. Sebagai persiapan takut-takut jika Shilla berbuat diluar dugaan, Via melangkah memutari meja untuk menghampiri Ify.
"Nggak tau diri banget ya lo?! Masih berani bahasin Kak Rio. Lo lupa kalo Kak Rio itu punya gue?!"
"Lah? Lo nguping? Nggak sopan lo!" seru Ify.
"Gue nggak suka kalo lo bahas cowok gue!"
"Heh, Kak Shilla! Kenapa jadi lo yang repot sih?! Kak Rionya aja biasa aja!" Via angkat bicara.Membuat Shilla mengalihkan pandangannya pada Via. Lalu menatap Via dengan tajam.
"Lo nggak usah kaya petir, nyamber-nyamber! Gue nggak ngomong sama lo, cupu!" Shilla mendorong bahu kanan Via dengan tangan kirinya.
"Lo santai dong, nggak usah pake dorong-dorong!" Via balas menatap tajam Shilla.
"Kak Shilla, lo tuh kaya nggak punya sopan santun ya? Dateng tiba-tiba marah-marah nggak jelas, bentak-bentak orang. Nggak malu lo diliatin orang-orang di sini?" cecar Ify.
Shilla mengalihkan pandangan pada penjuru kantin. Seisi kantin sudah mempertontonkan mereka. Namun Shilla tak perduli. Ia kembali memandang Ify dengan tajam.
"Biarin aja! Malah biar sekalian aja mereka semua tau. Cewek yang selama ini diidolain di sini ternyata busuk! Nggak tau diri!"
"Eh, Kak! Lo ngaca dulu dong kalo mau ngejudge orang! Asal aja ngejudge Ify kaya gitu. Lo pikir lo udah bener?"
"Heh, cupu! Gue nggak ngomong sama lo!"
Shilla kembali mendorong bahu Via. Kali ini mendorong kedua bahunya.
"Heh heh, apa-apaan sih lo, Shil?!"
Alvin datang bersama dengan Cakka. Membuat semuanya terdiam dan menoleh pada Alvin yang kini sudah berdiri di sebelah Via.
"Tuh cewek lo! Kasih tau, gue nggak suka dia ngomongin Kak Rio sama temennya satu ini yang tergila-gila sama cowok gue!" Shilla menunjuk Ify dengan dagunya. Lalu melipat kedua tangannya di dada sambil mencibir.
"Ha? Nggak salah denger gue, Shil? Bukannya elo yang tergila-gila sama Rio?"
"Ada apa lagi ini?"
Suara Rio yang datang secara tiba-tiba membuat semuanya kembali diam dan menoleh pada Rio. Rio melangkah ke sebelah Shilla yang membuatnya berhadapan langsung dengan Ify. Rio sempat melirik Ify, namun langsung dialihkannya pandangannya agar tidak membuat perasaannya yang sudah dengan susah payah Ia tata agar kembali normal kembali hancur.
Shilla langsung memeluk lengan Rio dan bergelayut manja. Membuat Ify dan Via juga Alvin dan Cakka ingin sekali memuntahkan isi perutnya di wajah Shilla.
"Itu tuh sayang, masa Ify sama Via ngebahas tentang kamu. Aku kan nggak suka," ujar Shilla dengan nada manjanya yang terdengar memuakan.
Rio menatap Ify yang tengah menghembuskan nafasnya kesal. Ada sedikit rasa penasaran dalam hatinya. Apa yang Ify dan Via bicarakan tentang dirinya? Namun rasa penasaran itu tak mungkin Ia kemukakan dalam sebuah pertanyaan untuk Ify. Rio lebih memilih menyimpannya dalam hati saja.
Riopun mengalihkan pandangannya pada Alvin.
"Lo urusin deh, Yo, tuh cewek lo," ujar Alvin sambil menunjuk Shilla dengan dagunya.
"Tau! Urusin tuh pacarnya! Jagain yang bener. Jangan sampe lepas dari kandangnya terus malah ngamuk bikin sekolah gempar."
Ucapan Ify itu ternyata menyinggung Shilla. Shilla tak terima disindir seperti itu. Ia menatap tajam Ify, bak ingin menerkam adik kelasnya itu. Shilla melepaskan pelukannya di lengan Rio. Ia mengambil air mineral kemasan gelas yang tersedia di meja kantin, juga dengan sedotannya. Di tusuknya air mineral itu dengan sedotan hingga terbuka. Setelah bagian atasnya terbuka lebar, Shillapun menyiramkan air itu ke wajah Ify. Ify menganga kaget.
"Shilla!"
"Kak Shilla!"
Alvin, Cakka, dan Via membelalakan mata kaget melihat kelakuan Shilla.
Ify menatap tajam Shilla dengan nafas yang memburu, menahan emosi. Tangannya terkepal siap untuk memberikan pelajaran pada kakak kelas yang tidak punya rasa hormat pada siapapun itu. Namun Ify sadar jika Ia sedang berada di kantin. Jika Ia berbuat kasar, Ia berarti sama saja bercermin pada Shilla. Tak ada bedanya dengan gadis itu.
Ifypun menghela nafas berusaha meredam emosinya.
Shilla tersenyum miring melihat wajah, sebagian rambut, dan kemeja Ify basah. Meskipun Ia kurang puas karena hanya menyiram Ify dengan air putih saja, namun Ia rasa itu sudah cukup mempermalukan Ify di depan Rio dan orang banyak. Dan cukup memberikan pelajar untuk adik kelas yang menurutnya tidak tau sopan santun terhadapnya.
Rio memejamkan matanya lalu menghembuskan nafasnya. Ia tak tau apa yang harus dilakukannya sekarang. Ingin sekali Ia memaki Shilla saat itu juga, namun itu tak mungkin Ia lakukan di depan Ify. Ify bisa merasa bahwa Ia telah berhasil mempermainkan Rio. Riopun memilih tak memihak siapapun.
"Rasain tuh!"
"Lo tuh kelewatan ya, Shil! Otak lo di mana?!" Gabriel datang secara tiba-tiba ketika Ia melihat ada keributan di dalam kantin dan langsung mencerca Shilla. Gabriel menghampiri Ify dan mengambil tissue di meja kantin dan mengelap wajah Ify. "Kamu nggak apa-apa?"
Ify hanya menggeleng, masih berusaha mengontrol emosinya yang masih bisa meledak jika dipancing.
"Upss, pangerannya dateng."
Rio mengepalkan tangannya melihat Gabriel yang berlaku sok mesra dihadapannya. Emosinya meningkat menyaksikan adegan yang sebenarnya wajar dilakukan oleh sang kekasih kepada kekasihnya. Demi meredakan emosinya, Rio mengalihkan pandangannya dari adegan di hadapannya itu.
"Kak Shilla lo tuh... Erggggh!" Via mengepalkan kedua tangannya di depan wajah Shilla seolah ingin meremukan wajah Shilla yang tertawa puas kala itu. Memuakkan sekali wajah berseri penuh kemenangannya itu. Ingin sekali rasanya benar-benar meremukan wajah itu hingga tak berbentuk.
"Fy, berenti ganggu hidup gue."
Kalimat datar yang diungkapkan Rio itu membuat semuanya menoleh pada Rio. Menatap Rio tak percaya. Terlebih Ify. Ify tak menyangka jika Rio akan menuturkan pernyataan seperti itu padanya. Apakah selama ini Ia menganggu hidup Rio? Sebegitu bencinyakah Rio padanya, hingga Rio lebih membela Shilla?
Rasa sesak yang baru saja menguap entah ke mana itu kini menyergapnya kembali. Namun sesak itu lebih menyakitkan dari yang tadi dirasakannya akibat penyesalannya. Kalimat singkat itu menggoreskan luka di hatinya.
Ify menghela nafas untuk menggagalkan air matanya turun. Ia tak ingin memperlihatkan luka itu pada Rio. Dan Ia juga tak menyakiti Gabriel jika melihatnya menangis untuk laki-laki lain.
Pernyataan Rio itu membuat senyum kemenangan terukir di wajah Shilla. Shilla benar-benar puas mendengar kalimat yang Rio ucapkan itu. Bahkan Riopun sudah tak mau berurusan lagi dengan Ify. Shilla benar-benar merasakan kemenangan telah diraihnya.
"Lo denger sendiri kan cowok gue bilang apa? Jangan ganggu hidupnya lagi! Emang dasar nggak tau diri lo!"
"Ayo, Shil!"
Rio menarik tangan Shilla. Membawa Shilla keluar dari kantin. Ify, Via, dan Alvin, serta Cakka masih tak percaya jika Rio mengucapkan pernyataan seperti itu pada Ify. Dan yang lebih membuat dada Ify seperti dipalu, Rio mengucapkannya di depan Shilla. Mengapa harus di depan Shilla?
Ify tak mampu mengatakan apapun. Bahkan untuk menelan ludahpun rasanya sulit. Ia hanya memandangi punggung Rio dan Shilla yang semakin menjauhi pandangannya dan akhirnya benar-benar menghilang setelah keluar dari pintu kantin. Ify memejamkan matanya mencoba mengusir rasa sesak itu. Jika Ia tidak sedang berada di kantin, Ia pasti sudah berteriak sekuat tenaga untuk mengusir rasa sesak itu.
Rasa sesak itu seperti mengoyak hatinya. Dadanyapun berdenyut perih, mendetakan luka.
*****
Rio berhenti melangkah ketika kakinya telah melangkah di atas rerumputan taman sekolah. Rio langsung menghentakan tangan Shilla secara kasar agar terlepas dari genggamannya. Perbuatannya itu membuat Shilla meringis.
Rasa sesak itu ternyata juga dirasakannya saat Ia mengatakan kalimat itu. Dan kini Rio merutuki kalimat yang keluar dari mulutnya tanpa bisa Ia kendalikan itu. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya akibat emosi yang membara di dalam dadanya tadi.
Riopun memejamkan matanya, mencoba melupakan sesak ituuntuk saat ini. Lalu menatap Shilla yang tengah memegang pergelangan tangannya yang mungkin terasa perih akibat dihentakan secara kasar oleh Rio tadi.
"Shil, kita putus!"
Seketika Shilla membelalakan mata tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Apa?! Putus?!"
"Ya! Putus!"
"Tapi kenapa, Kak Rio?"
"Gue muak sama lo, Shil! Lo nggak pernah berubah!"
"Kak Rio. Please, jangan putusin gue! Gue sayang banget sama lo."
"Harusnya gue nggak pernah minta lo buat jadi pacar gue."
"Kak Rio! Kak Rio jangan putusin gue! Kak Rio!"
Rio melangkah pergi meninggalkan Shilla. Tak menghiraukan panggilan Shilla yang terus menyerukan namanya. Ia tau Ia memang jahat. Menggunakan Shilla sebagai alatnya. Alat untuk pelariannya. Tapi Ia tak mampu bertahan lebih lama lagi dengan gadis itu. Gadis itu benar-benar keterlaluan.
Rio menyesal saat Ia teringat Ia tak bisa membela Ify tadi. Ia tak menolong Ify ketika Shilla menyiramkan air ke wajahnya. Dan Rio menyesal mengucapkan kalimat itu.
Namun emosinya memuncak saat Ia ingat Gabriel datang di saat yang tepat. Membela Ify dan menolong Ify. Melakukan yang seharusnya Ia lakukan. Mengambil alih posisinya. Mengapa harus ada laki-laki itu? Jika saja Gabriel tak muncul di antara Ia dan Ify, semua takkan menjadi seperti ini.
Jika Gabriel tak muncul, takkan pernah ada luka yang tergores di hatinya. Jika Gabriel tak muncul, Ify takkan menolaknya. Jika Gabriel tak muncul, Ia dan Ify akan menjadi pasangan terbaik di sekolah. Mengapa laki-laki itu harus muncul? Seandainya Gabriel tak pernah ada...
'Seharusnya dunia ini begitu indah, seharusnya hidupku ini penuh bermakna. Takkan gundah jiwaku bila kau bersamaku, takkan perih batinku ini bila kaupun milikku. Seharusnya dunia ini, punya kita berdua...' (Naff -Seharusnya Kita)
*****
Rio kembali melangkahkan kakinya ke kantin. Ingin ikut bergabung dengan Alvin dan juga Cakka dan mencurahkan kegundahan hatinya saat ini. Ia tak tau bagimana cara mengontrol hatinya. Dan Ia ingin mengetahui caranya dari Alvin ataupun Cakka.
Saat Ia ingin memasuki pintu kantin, tubuhnya membeku seketika. Kakinya seperti direm mendadak. Matanya menangkap sebuah adegan yang membuat hatinya kembali diselimuti rasa sesak.
Gabriel tengah mengelus puncak kepala Ify sambil tersenyum pada Ify. Ify membalas senyum Gabriel, membuat dada Rio berdenyut-denyut. Sakit. Ia terbakar cemburu. Ingin sekali Ia berlari menghampiri Ify dan Gabriel lalu memisahkan keduanya dan membawa lari Ify sejauh mungkin dari Gabriel. Namun kakinya tak mampu melanjutkan langkah ke dalam kantin. Membuat semuanya hanya menjadi bayangan saja.
Dengan kecewa dan rasa sesak yang masih menyergapnya, Rio membalikan tubuhnya dan melangkah pergi dari sana. Ia tau Ia tak berhak menganggu kebahagiaan dua insan Tuhan itu. Ia biarkan mereka menikmati setiap waktu yang bagaikan berputar hanya untuk merekam senyum kebahagiaan mereka. Membiarkan dirinya menelan segala pedih hati sendiri.
Bahkan untuk sekedar berharap keajaiban Tuhanpun Rio merasa tak pantas. Ia hanya berharap, Tuhan segera menghapuskan segala luka yang telah tergores, yang membuatnya hingga serapuh ini.
Tuhan, hapuskan segala sesak yang tak pernah Ia harapkan hadir dalam kisahnya...
*****