Saturday, May 2, 2015

Pilihan Hati (Epilog)

Epilog

Ify pasrah saja mengikuti Rio yang menuntutnya entah ke mana. Matanya ditutup oleh kain hitam hingga Ify tak mampu melihat apapun, termasuk di mana Ia berpijak sekarang. Sedari tadi Ify bertanya pada Rio, ke mana Rio membawanya pergi, namun tak satupun jawaban Rio yang menjawab rasa penasarannya.
Rio berhenti melangkah. Dengan rasa penasaran yang semakin menjadi, Ifypun ikut berhenti melangkahkan kakinya.
"Kak Rio?"
Terdengar langkah Rio menjauhinya. Ifypun meraba-raba udara, mencari sosok Rio. Namun tangannya tetap tidak menemukan tubuh Rio berada di dekatnya. Rasa panik langsung menyergapnya.
"Kak Rio?! Kak Rio jangan bikin aku panik dong?! Kak Rio!"
Tiba-tiba saja seseorang dari belakang Ify membukakan penutup matanya. Ify yang terkejutpun langsung mengerjapkan matanya dan mencoba menatralkan pengelihatan.
Setelah pandangannya membaik, Ify mulai menyusuri sekelilingnya dengan matanya. Ify terbelalak kala mendapati serangkaian lampu kecil berwarna orange yang dililitkan dengan bunga lily putih membentuk ucapan selamat ulang tahun untuknya. Tulisan "Happy Birthday Ify" itu membuat dadanya berdebar. Ifypun akhirnya mengetahui bahwa Ia tengah berdiri di taman bunga.
Ketika menoleh ke belakang, Ify kembali dikejutkan dengan teriakan orang-orang yang dikenalnya, "SURPRISE!!!" yang diiringi dengan tiupan terompet yang begitu heboh. Ify menutup mulutnya. Ia tidak menyangka bahwa dihari ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga ini Ia akan mendapatkan kejutan seperti ini.
Seluruh rekan-rekan Ify menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuknya. Via yang membawakan kue ulang tahun berbemtuk persegi dengan krim putih yang dibentuk sedemikian rupa hingga terlihat begitu cantik, melangkah maju menghampiri Ify yang masih tidak mempercayai apa yang sedang terjadi malam itu.
"Tiup lilinnya, Fy. Jangan lupa make a wish!" seru Via.
Ifypun menatap Via yang mengulurkan kuenya pada Ify. Via tersenyum pada Ify. Ifypun menutup matanya dan tak lama kembali membukanya. Ia meniup lilin angka 23 berwarna putih itu. Semuapun bersorak dan bertepuk tangan.
"Lo kenapa, Fy? Nggak suka sama surprisenya?" tanya Via yang melihat ekspresi terkejut di wajah Ify.
"Bukan... bukan! Gue masih nggak percaya sama semua ini. Siapa yang nyiapin ini semua?"
"Tuh..."
Via menunjuk ke arah belakang Ify. Membuat Ify mau tak mau memutar tubuhnya. Dan Ifypun menemukan Rio dengan gitar yang tengah dipangkunya duduk di belakang tulisan Happy Birthday Ify. Rio tersenyum sambil melambaikan tangannya pada Ify. Membuat Ify hati Ify berdesir melihat senyuman indah khas pemuda itu.
"Selamat ulang tahun ratu hatiku. Aku mau mempersembahkan persembahan buat kamu. Please, listen to me."
"Kak Rio," gumam Ify yang masih terkejut dengan segalanya. Ify sangat terpesona melihat Rio dengan kemeja casual coklat terang yang dilapisi dengan jas berwarna hitam dan celana panjang bahan hitam. Laki-laki itu selalu tampak menawan.
Terdengar genjrengan gitar Rio yang langsung membius semua tamu. Hening seketika. Suara merdu Riopun mulai mengalun.

"When I see your smile
Tears run down my face
I can't replace
And now that I'm strong
I have figured out
How this world turns cold
And it breaks through my soul
And I know I'll find deep inside me
I can be the one

I will never let you fall
I'll stand up with you forever
I'll be there for you through it all
Even if saving you sends me to heaven

It's okay. It's okay. It's okay.
Seasons are changing
And waves are crashing
And stars are falling all for us
Days grow longer and nights grow shorter
I can show you I'll be the one

I will never let you fall
I'll stand up with you forever
I'll be there for you through it all
Even if saving you sends me to heaven"

Ify merasakan sebuah perasaan meluap-luap di dalam hatinya. Mendengarkan Rio membawakan lagu favoritnya. Hatinya menghangat.  Ify selalu bermimpi jika seorang pangeran mempersembahkan lagu ini untuknya. Dan kini semua itu terjadi secara nyata di hadapannya.

"Cause you're my, you're my, my, my true love,
my whole heart
Please don't throw that away
Cause I'm here for you
Please don't walk away and
Please tell me you'll stay, stay

Use me as you will
Pull my strings just for a thrill
And I know I'll be okay
Though my skies are turning gray"

Rio menghentikan permainan gitarnya yang belum sepenuhnya selesai itu. Ia melangkah menghampiri Ify. Dengan senyuman indahnya, Rio meraih kedua tangan Ify dan digenggamnya lembut. Lalu menatap mata Ify yang juga tengah menatapnya dengan tatapan yang tak dapat diartikan.
"Aku tau aku nggak sempurna. Banyak laki-laki di luar sana yang jauh lebih sempurna dari aku. Karena itu, aku mau kamu menyempurnakan aku. Melengkapi kekurangan aku. Membuat aku jadi utuh. Aku mau kamu jadi seseorang yang pertama kali aku liat saat aku buka mata, dan yang terakhir kali aku temuin saat aku akan memejamkan mata. Aku nggak mampu buat berjanji. Tapi aku akan selalu berusaha untuk membuat kamu tersenyum manis. Sempurnakan aku dengan cinta kamu dalam janji sakral di depan Tuhan, Ify. Maukah kamu menjadi wanita pertama yang mewarnai kisah hidup aku, sekaligus menjadi yang terakhir? Will you marry me?"
Ify menahan nafas saking terkejutnya dengan permintaan Rio. Dengan susah payah Ia menelan ludah. Tak percaya dengan semua kejutan yang didapatkannya berturut-turut malam ini.
Namun didetik yang ke sekian, Ify menarik kedua tepi bibirnya. Membuat Rio ikut tersenyum melihat senyuman itu. Senyuman yang mampu membuka pintu hatinya.
"Aku nggak nyangka loh kamu persiapin ini semuaa di belakang aku. Tapi aku bahagia banget malam ini. Bukan! Bukan cuma malam ini. Aku selalu bahagia kalau aku bersama kamu. Karena itu, I wanna be the first and last lady of you. Yes, I will marry you.
Dengan senyuman dan penuh keyakinan, Ify menjawabnya. Membuat senyum Rio merekah semakin lebar. Sorak sorai dan tepuk tanganpun terdengar riuh. Saking bahagiannya, Rio menarik Ify ke dalam pelukannya. Mendekapnya erat. Memberitahu Ify, bahwa hanya Ifylah yang mampu memenangkan hatinya.
Rio melanjutkan lagunya kembali namun dalam sebuah bisikan. Hingga hanya Ify yang mampu mendengar lirik yang mengungkapkan janji untuk Ify itu. Bahwa Ia takkan membuat Ify terjatuh. Ia akan di sisi Ify sampai Ia tak sanggup lagi melakukannya. Ia akan selalu mengorbankan apapun demi kebahagiaan gadisnya itu, meskipun nyawa adalah taruhannya. Karena semuanya ini adalah pilihannya. Pilihan terindah yang Ia harap akan selalu indah, seindah lagu favorit mereka.
"I will never let you fall
I'll stand up with you forever
I'll be there for you through it all
Even if saving you sends me to heaven"

(The Red Jumpsuit Apparatus - Your Guardian Angel)

The End

Alhamdulillah udah selesai Pilihan Hatinya. Terima kasih banyak buat yang udah mengapresiasi. Terima kasih banyak yang udah meluangkan waktu buat baca. Terima kasih banyak yang udah kasih komentar. Terima kasih buat pujian, saran, dan kritiknya. Terima kasih udah menunjang aku buat nyelesaiin cerita ini. Semoga bermanfaat. Semoga menghibur. Aamiin.. :)

Friday, May 1, 2015

Pilihan Hati (Part 17)

Part 17

5 Tahun Kemudian......
Sesosok laki-laki dengan gaya rambut Faux-Hawk dan mengenakan kemeja casual berwarna Saddle Brown menarik kopernya di sepanjang selasar terminal kedatangan Internasional Bandara Soekarna Hatta. Dengan kacamata mata hitam yang dikenakannya, Ia tampak seperti model papan atas yang membuat para wanita meliriknya. Apalagi wajahnya yang manis dan postur tubuh yang mendukung, melengkapi kesempurnaan fisik yang dimilikinya.
Laki-laki itu melangkah dengan tegap mencari supir yang diutus orang tuanya untuk menjemputnya. Dengan tak mengacuhkan tatapan-tatapan terpesona gadis-gadis di sekitarnya, pemuda itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru selasar bandara yang dapat dijangkau matanya.
Ketika Ia menoleh ke arah belakang, pandangannya terhenti di satu titik. Ia melepaskan kaca mata hitamnya untuk mempertajam pengelihatannya. Matanya menyipit memastikan sosok yang berdiri tak jauhnya itu. Seketika jantungnya berdebar cepat melihat sosok itu. Sosok yang menjadi alasan Ia kembali menginjakan kaki di Indonesia.
*****

"Baju udah kebawa semua kan? Dompet? Handphone? Power Bank? Charger? Laptop?"
"Udah, Fy..."
"Bagus. Nanti kalau udah nyampe di sana langsung telpon gue ya? Kalau udah ganti nomor langsung kasih tau gue. Terus kalau..."
"Cerewet banget sih. Iya oma..."
"Oma?! Masa muka seimut ini dipanggil oma?! Kak Gabriel jahat!"
"Habisnya cerewet kaya oma-oma."
Ify mengerucutkan bibirnya sambil melipat kedua tangannya di dada. Tak terima dibilang mirip dengan oma-oma. Gabriel tertawa melihat tingkah Ify. Gemas, Iapun mengacak rambut Ify.
"Kak Gabrieeeeel!!!!" kesal Ify sambil merapikan kembali rambutnya.
"Pasti nanti gue kabarin kok, Fy. Tenang aja."
"Jangan lupa ya ceritain gimana kerennya Oxvord. Gimana mahasiswa-mahasiswinya. Kalo punya temen ganteng, kenalin ke gue ya?" Ify menyeringai.
"Dasar lo!"
Tak lama terdengar panggilan bahwa pesawat yang Gabriel tumpangi akan segera berangkat. Gabrielpun berpamitan pada Ify.
"Gue berangkat dulu ya, Fy. Jaga diri baik-baik di sini."
"Iya, Kak Gabriel. Lo hati-hati ya," Ifypun memeluk Gabriel untuk yang terakhir sebelum Gabriel pergi untuk melanjutkan pendidikannya. Setelah puas berpamitan, Gabrielpun melangkah masuk ke dalam bandara dengan sedikit terburu-buru karena takut tertinggal.
Gabriel akan melanjutkan S2nya di Oxvord University di London. Selang beberapa waktu setelah Ify memutuskan hubungan mereka, hubungan ayah Gabriel dan Gabriel semakin membaik dengan sadarnya ayah Gabriel bahwa cinta tak dapat dipaksakan. Dan kini ayah Gabriel dipindah tugaskan ke London dan kebetulan Gabriel yang memang mengimpikan dapat menuntut ilmu di Universitas bergengsi itu diterima setelah mengikuti test seleksi.
Semenjak mereka tak lagi menyandang status sebagai sepasang kekasih, hubungan mereka tidaklah buruk seperti kebanyakan mantan kekasih yang lainnya. Mereka tetap berteman, malah bersaudara. Gabriel mengganggap Ify adiknya dan Ify mengganggap Gabriel kakaknya. Meskipun awalnya berat bagi Gabriel untuk mengubah perasaan sayangnya menjadi bentuk sayang terhadap adik, namun akhirnya berhasil juga.
Ify menghembuskan nafas lalu berbalik hendak kembali ke parkiran dan pulang ke rumah. Namun langkahnya terhenti karena seseorang berdiri di hadapannya, seperti mencegat langkahnya. Sesaat Ify terdiam dan berdiri terpaku. Namun tak lama matanya membalalak menyadari sosok tinggi yang berdiri di hadapannya.
"Ify...."
"Kak Rio...."
*****

Ify membungkukan tubuhnya dengan tangan memegang lututnya. Berusaha mengatur nafasnya yang terengah-engah.
"Nih."
"Makasih, Kak."
Ify menerima air mineral yang diberikan oleh Rio. Iapun kembali menegakan tubuhnya lalu membuka botol itu dan meneguknya. Ify memang merasakan haus yang teramat sangat. Ia baru saja bertanding basket dengan Rio satu setengah jam penuh tanpa istirahat. Melawan matahari siang yang dengan semangatnya menyinari bumi.
Ify melangkah ke tepi lapangan yang berada tak jauh dari komplek perumahannya itu lalu menjatuhkan diri di kursi yang terbuat dari batu yang memang tersedia di sana. Rio mengikuti Ify, lalu duduk di sebelahnya. Mereka selalu bermain basket bersama. Menghabiskan waktu berdua dengan cara mereka sendiri.
Ify menoleh ke sebelah kirinya karena Ia merasa diperhatikan. Dan benar saja, Ia mendapati Rio tengah menatapnya. Dan ketika matanya menatap tepat pada manik mata Rio, debaran itu kembali dirasakannya. Debaran itu masih sama. Meskipun kini mereka sudah saling memiliki dan terikat dalam sebuah status, namun debaran itu tidak berubah sama sekali.
Rio menarik kedua tepi bibirnya, membentuk sebuah senyuman menawan yang selalu berhasil meluluhlantahkan hati Ify. Ifypun membalas senyuman Rio.
Beberapa hari setelah Ify bertemu dengan Rio di bandara, mereka membuat janji untuk bertemu. Dalam pertemuan itu, mereka sama-sama mengungkapkan rasa yang mengganggu selama lebih dari lima tahun ini. Rindu. Dan saling merindukan, membuat mereka mengerti bahwa sebuah perasaan yang pernah mereka ingkari dulu ternyata masih tertanam di dalam hati. Saling merasakan rindu membuat keduanya yakin, bahwa perasaan itu ada, masih ada, dan tetap ada di dalam hati. Cinta.
Rio menyentuh telapak tangan Ify tanpa mengalihkan pandangannya dari mata indah milik gadisnya itu. Lalu menautkan jarinya di antara jemari Ify. Dengan senyum yang semakin mengembang di wajah keduanya, mereka saling mengungkapkan perasaan menggebu-gebu yang tengah dirasakan keduanya. Menjelaskannya melalui sentuhan lembut. Betapa mereka saling menyayangi. Dan betapa mereka tak ingin perasaan indah ini berubah termakan waktu.
Rio bangkit berdiri tanpa melepaskan genggamannya. Membuat Ify ikut berdiri. Merekapun melangkah pergi dari lapangan untuk berkeliling di taman. Dan ingin menunjukan pada dunia bahwa mereka memiliki rasa yang sama. Cinta.
Mereka masih bersenda gurau sebelum seseorang berpenampilan acak-acakan muncul di hadapan mereka berdua. Membuat keduanya berhenti dan terdiam sejenak. Lalu keduanya saling menatap.
"Shilla?" gumam keduanya bersamaan.
"Cincin gue baguskan?" tanya Shilla sambil menunjukan karet gelang yang dililitkannya di jari manisnya. Keduanya mengerutkan kening lalu menatap Shilla dari atas sampai bawah.
"Gelang gue juga baguskan? Baju gue? Sepatu gue? Semuanya limited edition yang diimport langsung dari Jerman loh. Haha."
Ify dan Rio kembali saling menatap. Bingung. Ada apa dengan Shilla? Rambutnya berantakan. Bajunya compang-camping. Kulitnya gosong terbakar sinar matahari. Dan Shilla tak mengenakan alas kaki apapun.
Tiba-tiba seseorang yang mengenakan jas putih menghampiri mereka dengan kedua laki-laki yang juga memakai pakaian putih yang mengikuti di belakangnya.
"Maaf mas, mbak. Kami dari rumah sakit jiwa ingin membawa Shilla kembali ke rumah sakit," ujar laki-laki yang mengenakan jas putih.
"Rumah sakit jiwa?!!" seru Rio dan Ify terkejut.
"Iya. Dia ini salah satu pasien kami. Shilla menderita gangguan jiwa setelah mengetahui ayahnya bangkrut dan seluruh hartanya disita bank untuk melunasi semua hutang," Ify dan Rio membelalakan matanya tak percaya.
Kedua laki-laki yang ternyata petugas rumah sakit jiwa itu mencengkram kedua tangan Shilla yang langsung berontak.
"Lepasiiiin!!!! Iiiih lepasin!!! Guekan mau shopping! Mau beli dress keluaran terbaru. Lepasiiiin! Lepasiiiiin....," Shillapun berontak dan menangis.
"Maaf mas, mbak. Kami harus kembali ke rumah sakit. Permisi."
"Oh iya, Pak. Silahkan."
Setelah memberikan senyum pada Ify dan Rio, merekapun pergi dengan membawa Shilla. Ify dan Rio saling bertatapan lalu sama-sama mengangkat kedua bahu mereka. Setelah itu mereka berdua tertawa bersama.
Rio merangkul bahu Ify dan mereka berduapun melanjutkan kembali langkah mereka yang sempat terhenti tadi dengan tawa bahagia. Bahagia karena ternyata takdir menuliskan cerita yang indah untuk mereka.
Ify. Alasan Rio pergi dari tanah kelahirannya, namun juga alasannnya kembali. Meskipun berniat ingin menghapus gadis itu dari hidupnya, nyatanya Tuhan menuliskan cerita lain yang ternyata jauh lebih indah dari yang pernah dibayangkannya. Gadis itu masih menyimpan perasaan yang sama sepertinya selama lima tahun ini. Dan Ify, gadis pertama yang selalu membuatnya tak mengerti, apa yang telah terjadi dengan hatinya.
Rio. Sesosok malaikat tanpa sayap yang Tuhan kirimkan untuk menemani setiap langkah di perjalanan hidup Ify. Sesosok bintang yang selalu menemani setiap malamnya yang gelap. Dan sesosok laki-laki yang mampu membuatnya mengerti, bahwa cinta adalah pilihan. Pilihan yang harus diperjuangkan. Pilihan yang harus dipertanggungjawabkan. Karena jika cinta salah mengambil langkah, maka luka takkan pernah menjauh darinya. Namun lukalah yang membuatnya memahami, bahwa Rio lebih berharga dari berlian manapun.
Dan pilihan itu kini yang mempersatukan dua hati yang pernah saling terpisah dulu. Menautkan dua rasa yang akhirnya berbaur menjadi satu dalam sebuah ikatan. Ikatan awal yang kelak akan mengantarkan mereka ke sebuah ikatan sakral dengan janji di hadapan Yang Maha Kuasa.
Dan mereka akan selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik untuk satu sama lain. Mereka akan terus berusaha menjaga kehangatan ini, menjaga cinta mereka. Mereka selalu berharap, bahwa mereka memang diciptakan untuk dipersatukan, untuk selalu bersama, sampai kapanpun .
*****


Thursday, April 30, 2015

Pilihan Hati (Part 16)

Hai yang masih baca cerita ini. Makasih banyak yang sebesar-besar buat kalian yang udah apresiasiin tulisan aku. Aku seneng banget masih ada yang mau baca. Ini dua part aja di postnya. Soalnya besok kan libur. Kayanya sih ngga bisa posting hehe.
Sekali lagi makasih buat yang udah mau baca dan selalu nunggu. Apalagi yang  ninggaling komentar. Makasih banyak. Semoga cerita ini membawa inspirasi atau setidaknya bisa menghibur hehe.
Love you readers :-*

Part 16


Hari ini hari Minggu. Hari libur. Hari yang tepat untuk refreshing, untuk menghabiskan waktu bersama sang kekasih. Seperti yang Alvin lakukan dengan Via.

Saat sang mentari belum menampakan diri di langit yang masih berwarna hitam, Alvin sudah menjemput Via di rumahnya. Setelah mempersiapkan diri dan membawa peralatan yang diperlukan, Via dan Alvin pamit kepada orang tua Via. Merekapun akhirnya berangkat menuju Bogor

Setelah menempuh perjalan sekitar satu jam lebih, akhirnya mobil Alvin memasuki pekarangan taman yang berada di pinggiran kota Bogor. Sesaat setelah keluar dari mobil Alvin, Via langsung berlari sambil merentangkan tangannya. Berteriak bahagia sambil menghirup udara pagi yang terasa amat sejuk.

Alvin tertawa melihat tingkah Via bak anak kecil yang menemukan sebuah taman bermain yang banyak mainannya. Alvin melangkah menghampiri Via.

"Suka nggak?"

"Suka banget!"

"Ayo, kita ke danau!"

Alvin menarik tangan Via dan mengajaknya menuju ke danau. Setelah sampai di danau, mereka berdua menaiki perahu dayung yang tersedia di pinggir dermaga. Dengan dibantu Alvin, Via akhirnya berhasil naik ke atas perahu. Alvin mengambil dayungnya, lalu mulai mendayung perahunya untuk memutari danau.

"Udaranya sejuk banget, Kak."

"Berarti aku nggak salah pilih tempat kan?" Via mengangguk antusias sambil tersenyum.

Setelah perhau berada di tengah danau, Alvin meletakan dayungnya di perahu. Lalu Alvin berdiri di atas perahu.

"Kak Alvin pelan-pelan," seru Via sambil memegang kedua sisi perahu karena perahunya mulai oleng.

"Tenang aja, Vi."

Alvinpun merentangkan kedua tangannya. Lalu menghirup udara pagi Bogor yang masih sejuk dan jauh dari polusi. Tubuhnya terasa fresh. Andai saja udara di Jakarta sesejuk dan sebersih ini. Pasti penduduknya jarang yang mati muda.

Tiba-tiba saja perahu yang tadinya sudah seimbang itu kembali oleng lagi karena angin kencang yang tiba-tiba berhembus. Kali ini lebih oleng dari yang sebelumnya tadi. Viapun mulai panik.

"Loh, loh, Kak. Oleng. Kak Alvin, oleng!" seru Via panik sambil menggenggam kuat kedua sisi perahu.

Namun perahunya bukannya semakin normal, malah menjadi semakin oleng. Alvin mencoba menjaga keseimbangannya, namun ternyata perahu semakin oleng dan akhirnya Alvinpun jatuh tercebur ke dalam danau.

"KAK ALVIIIN!!"

Kepanikan Via semakin menjadi. Iapun berusaha berteriak mencari sosok Alvin yang menghilang ketika tercebur tadi. Via celingak-celinguk ke bawah. Berusaha menemukan sosok Alvin. Namun Ia tetap tak dapat menemukannya.

"Kak Alvin! Kak Alvin di mana? Kak, jangan bikin aku panik gini dong! Kak Alvin!"

Saking paniknya, Viapun ikut menceburkan diri ke dalam danau. Berenang ke sana kemari, namun tetap tak menemukan Alvin.

Via putus asa. Ia berenang ke tepi danau, menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Terisak di dalam sana. Viapun kembali melihat ke sekeliling danau. Lalu matanya berhenti di satu titik. Ia melihat seseorang pingsan di pinggir danau. Via bangkit lalu berlari menghampiri orang itu.

Via membelalakan mata mendapati Alvinlah yang tengah terkapar itu. Seluruh tubuhnya basah.

"Kak Alvin!!!"

Via menepuk-nepuk pipi Alvin. Namun Alvin tak kunjung bangun. Via menggigit bibirnya. Rasa panik kembali menyergapnya. Iapun berusaha menggotong Alvin menjauh dari danau dengan susah payah.

Via berusaha membangunkan Alvin dengan berbagai macam cara. Menekan-nekan perutnya. Memukulnya, mencubitnya, hingga menggelitikinya. Namun Alvin tetap saja tak sadar-sadar.

Tiba-tiba saja sebuah ide terbesit di benaknya. Cara yang pernah Ia baca di buku-buku. Cara yang paling ampuh untuk membagunkan orang yang pingsan karena tenggelam.

Namun Via bimbang. Haruskah Ia menerapkan cara itu? Namun ini demi keselamatan Alvin. Ah, sudahlah. Ini demi keselamatan sang kekasih.

Dengan ragu, Via memencet hidung Alvin. Lalu perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Alvin. Semakin mendekat ke wajah Alvin. Dengan jantung yang berdebar kencang, Via terus menjalankan aksinya. Meyakinkan dirinya sendiri, ini semua demi keselamatan Alvin.

Ketika wajahnya sudah berjarak kurang dari sepuluh centi dengan wajah Alvin, Via menghentikan aktifitasnya. Ia memadangi wajah Alvin yang jika dilihat dalam jarak yang sangat dekat ternyata benar-benar menawan. Membuat debaran di dadanya meningkat berkali-kali lipat.

Namun dalam hati, Via benar-benar mensyukuri anugrah Tuhan yang tercipta untuknya itu. Alvin adalah anugrah terindah yang pernah Tuhan berikan untuknya selain kedua orang tuanya. Via tersenyum melihat wajah menawan itu.

Tersadar, Via kembali melanjutkan aksinya yang tertunda tadi. Ia semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Alvin. Ketika hidungnya sudah menyentuh hidung Alvin, tiba-tiba saja mata Alvin terbuka. Membuat Via terkejut dan terjengkang ke belakang. Untung saja kedua tangannya segera menumpu tubuhnya, hingga Ia tidak benar-benar terjatuh ke belakang.

"Hahahahaha..."

Tawa Alvin membahana di seluruh penjuru taman yang sepi itu. Alvinpun mengubah posisinya menjadi duduk. Alvin tertawa melihat ekspresi terkejut Via.

"Kak Alvin?"

"Seneng deh dikhawatirin sama kamu."

"Kak Alvin nyebelin! Huh!"

Via mendorong wajah Alvin dengan telapak tangannya lalu bangkit dan berlari pergi. Ia dongkol sekali karena merasa Alvin mempermainkannya. Untung saja tadi Alvin langsung terbangun. Jika tidak.... Ah, Alvin benar-benar menyebalkan.

"Via!"

Alvin berlari mengejar Via. Iapun berhasil menangkap tangan Via, hingga membuat Via mau tak mau berhenti. Dengan wajah cemberut, Ia membalikan tubuhnya menghadap Alvin.

"Jangan marah dong?! Akukan cuma bercanda."

"Bercandanya kelewatan! Aku khawatir tau!"

"Iya deh, iya. Maafin aku dong. Maaf ya."

Via melipat kedua tangannya di dada lalu memalingkan wajahnya dari Alvin sambil menggelembungkan kedua pipinya, bete.

"Maafin aku, ya, please."

Alvin menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Memohon pada Via agar dimaafkan. Tadinya Ia hanya berniat mengerjai Via saja. Ia hanya ingin tau, apakah Via benar-benar takut kehilangannya. Dan Ia mendapatkan jawaban yang memuaskan. Namun Ia tak tau jika Via akan menjadi benar-benar marah padanya.

"Ayolaaaah, maafin aku."

Bukannya menjawab ya atau tidak, Via malah mencubit perut Alvin sekeras mungkin hingga membuat Alvin meringis.

"Aw aw. Sakit Vi. Kok dicubit sih?" Alvin mengelus-elus perutnya yang terasa perih akibat cubitan dahsyat Via.

"Hukuman!"

"Iya deh, iya. Aku rela deh dicubit-cubitin sama kamu, asal kamu mau maafin aku. Maafin aku ya," pinta Alvin memelas. Membuat Via tak tega melihatnya. Iapun kembali mencubit-cubiti perut Alvin, hingga Alvin meliuk-liukan tubuhnya karena bukan hanya merasa sakit, namun juga geli.

Setelah Via merasa puas, Iapun menghentikan cubitannya pada Alvin. Lalu mengerucutkan bibirnya.

"Aku kesel sama kamu! Huh!"

"Tapi sayang kan?" goda Alvin sambil menaik-turunkan alisnya.

Via memukul lengan Alvin namun akhirnya Ia tersenyum malu.

"Iya, sayang sama cowok nyebelin kaya Kak Alvin."

"Biar nyebelin yang penting kan sayang," Alvin terkekeh karena ucapannya sendiri.

Alvinpun mencubit lembut pipi Via, lalu mengelus lembut rambut Via. Ia yakin Ia takkan menyesal dengan apa yang dipilihnya. Via. Vialah yang dipilihnya. Ia sangat menyayangi gadis cantik berambut panjang itu.

Merekapun melangkah berdua mengelilingi taman dengan tawa canda dan senyuman bahagia yang menghiasi wajah keduanya. Sama-sama mensyukuri anugrah terindah Tuhan. Saling memiliki adalah anugrah terindah yang pernah Tuhan berikan untuk mereka berdua.

Jika Tuhan menginzinkan mereka untuk mengajukan sebuah permintaan, hanya satu permintaan yang mereka inginkan. Jangan pernah bunuh segala rasa yang ada itu. Rasa yang membuat mereka selalu berseri dan berbunga. Rasa yang selalu menciptakan senyum bahagia. Cinta.

Mereka terus melangkah dengan satu keinginan pasti. Semoga cinta itu selalu tumbuh dan tumbuh, tak pernah layu apalagi mati. Mereka ingin selalu terus bersama.

Semoga saja Tuhan mengabulkan apa yang mereka impikan saat ini. Doa mereka di setiap langkah mereka.

*****



TOKTOKTOK

Terdengar ketukan pintu yang lebih tepat disebut dengan gedoran. Ify yang sedang berada di ruang keluarga, akhirnya bangun dari duduknya dan melangkah ke pintu untuk melihat siapa yang sudah membuat rusuh di depan rumahnya.

"Iya, iya, sabar."

Setelah memutar kunci, ditariknya pintu itu ke dalam. Terlihatlah sosok Alvin, Via, dan Cakka berdiri di hadapannya dengan wajah panik. Ify mengerutkan kening melihatnya.

"Kalian? Ada apa?"

"Fy, Rio mau pergi!" ujar Alvin, membuat Ify kembali mengerutkan kening.

"Pergi?"

"Iya. Dia lulus test di Humboldt Universität Jerman, Fy."

"Jadi, Kak Rio mau pergi ke Jerman?"

Alvin dan Cakka mengangguk. Raut cemas masih tergambar di wajah Alvin dan Cakka.

"Dia nitip ini, Fy. Buat lo," Cakka menyerahkan secarik kertas yang diterimanya dengan perasaan gusar. Ada rasa tak rela mendengar Rio akan melanjutkan pendidikan di negeri orang. Ifypun membuka kertas itu.



Gue minta maaf karna udah ngeluarin kata-kata kasar buat lo waktu itu. Gue pergi. Gue mau lo hilang dari hidup gue, juga hati gue.....

Mario



Surat singkat itu seperti menyentil hatinya. Rio ingin Ia hilang dari hidup pemuda itu. Rasa sesak kembali menyeruak ke hatinya. Rio sudah tak mau mengenalnya lagi. Rio sangat membencinya. Memikirkannya, air matanyapun tak terbendung lagi.

"Fy....," panggil Alvin bingung melihat Ify yang tiba-tiba menangis. Mendengar panggilan Alvin, Ify segera menghapus air matanya lalu memaksakan sebuah senyum kepada tiga temannya.

"Lo nggak apa-apa kan, Fy?" tanya Via khawatir. Namun Ify menggeleng sambil tersenyum.

"Sebenernya gue pengen banget nonjok nih orang. Cuman orangnya nggak ada di sini. Haha. Jadinya nggak bisa deh," Ify tertawa gusar. Air matanya kembali turun namun dengan segera dihapusnya.

"Lo nggak mau susul dia? Cegah dia gitu...," tanya Alvin heran.

Ify menggeleng.

"Nggak, Kak. Hak dia buat nentuin masa depannya. Gue nggak punya hak buat ngelarang dia."

Ify menunduk meremas surat Rio, meluapkan emosi. Dadanya naik turun akibat menahan emosinya. Namun Ia tak tau harus bagaimana melampiaskannya.

Ia biarkan Rio memilih pilihan yang menurutnya adalah jalan terbaik untuk Rio. Ia tak memiliki hak untuk merubahnya. Toh, akhir menyedihkan ini akibat kebodohannya juga. Meskipun ada rasa tak rela, namun Ia takkan menahan pemuda itu untuk meninggalkannya.

Rio, aku iklaskan kamu tinggalkan aku. Jika menurutmu melupakan aku adalah cara terbaik untuk menghapus lukamu, aku coba untuk merelakannya. Meski ada serpihan hati yang tak rela jika kamu pergi. Namun aku tau, inilah jalan terbaik yang Tuhan tunjukan untuk kita. Dan aku harus menerimanya dengan lapang dada sebagai konsekuensi dari kebodohan yang telah aku perbuat. Maafkan untuk luka yang telah tercipta. Terima kasih karena pernah menjadi sepenggal kisah indah yang telah mewarnai sebagian perjalanan hidupku. Serpihan cinta ini akan selalu mengenang semuanya.

*****



Pilihan Hati (Part 15)

Part 15

"Tak ku mengerti mengapa begini
Waktu dulu ku tak pernah merindu
Tapi saat semuanya berubah
Kau jauh dari ku, pergi tinggalkanku

Mungkin memang ku cinta
Mungkin memang ku sesali
Pernah tak hairaukan rasamu, dulu

Aku hanya ingkari kata hatiku saja
Tapi mengapa kini
Cinta datang terlambat..."

(Maudy Ayunda - Cinta Datang Terlambat)

Jemari-jemari lentik Ify menari-nari di atas tuts-tuts hitam putih piano. Menghayati sebuah lagu milik Maudy Ayunda dengan judul Cinta Datang Terlambat. Meresapi setiap makna lirik yang mengalun dari bibirnya. Lagu yang seolah menjelaskan segala penyesalan yang dirasakannya. Rasa tak tenang yang selalu saja menghantuinya. Rasa ingin mengulang waktu yang menyiksanya karena Ia tau waktu hanya untuk dijalani, bukan untuk diulangi.

Ketika jam istirahat tiba, Ify lebih memilih berlari ke ruang musik. Mengisi waktu istirahat dengan mencurahkan segala kegundahan hatinya yang tak mampu Ia jelaskan dengan kata apapun. Melampiaskan segala perasaan aneh yang bercampur aduk, yang membuatnya ingin meledakan diri agar terbebas dari rasa menyiksa tersebut.

Ia tau ini tak seharusnya terjadi. Iatau, tak pantas jika Ia menyesali pilihan yang Ia putuskan sendiri tanpa campur tangan siapapun. Namun rasa sesal itu hadir tanpa dimintanya.Dan Ia tak tau siapa yang harus disalahkannya atas perasaan itu. Dirinyakah, karena telah memutuskan pilihan besar tanpa berpikir panjang ke depan? Atau hatinyakah yang mengkhianati pilihannya?

Ify memejamkan matanya. Menguji perasaannya. Meminta jawaban jujur pada hatinya. Siapa yang benar-benar berada di dalam sana. Yang pantas menempatinya. Seseorang dari masa lalunyakah? Atau pemuda manis yang tanpa disadarinya telah berhasil mencuri perhatiannya?

Seketika sekelebat bayangan yang pernah dilewatinya bersama Rio berputar di benaknya bagaikan sebuah film. Masa-masa menyebalkan namun berhasil menjelma menjadi serpihan cerita manis yang ternyata Ia rindukan kehangatannya. Segala macam bentuk kelakuan Rio yang awalnya membuatnya ingin meninju wajah manis itu, namun berakhir dengan dikenangnya masa itu dengan senyuman. Ia merindukan Rio.

Bulir-bulir air mata perlahan menetes dari pelupuk matanya. Rasa rindu yang tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam hatinya itu kembali membuat perasaannya tak tenang. Ingin sekali rasanya Ia menghampiri pemuda itu dan memeluknya seerat mungkin. Mengatakan segala perasaan yang menyiksanya.

Tuhan, bolehkah Ia mengharapkan sebuah keajaiban dari-Mu? Bolehkah Ia meminta satu kesempatan saja untuk mengungkapkan ketidakjujuran hatinya? Ia hanya ingin bahagia. Ia hanya ingin mendapatkan sebuah kisah manis yang seharusnya Ia dapatkan. Bukan rasa menyiksa yang selalu membuat tidurnya tak lelap. Hanya satu kesempatan saja. Ia berjanji.

*****



Hari semakin terik. Mataharipun berada semakin dekat dengan bumi. Sinarnya bak membakar siapapun yang berada di bawahnya tanpa pelindung apapun. Sekolahpun sudah bubar sejak tiga puluh menit yang lalu.Namun Rio tak memperdulikan sang mentari yang terus saja mencoba mengalahkan semangatnya. Ia terus saja berlari sambil membawa bolanya ke sana kemari. Bermain basket di tengah hari bolong adalah satu-satunya cara Ia untuk melampiaskan segala emosi hati yang tak mampu Ia luapkan.

Dengan penuh luapan emosi, Rio mendrible bola orange itu. Lalu dilemparkannya menuju ring dan masuk secara nulus tanpa cacat. Rasa sesak yang menyulutkan emosinya itu membuatnya kalut hingga mengabaikan tubuhnya yang telah basah kuyup karena keringat.

Ia sudah lelah dengan semuanya. Ia lelah merasakan sakit hati yang terus menyiksanya, merapuhkan jiwanya. Ia lelah terus bertahan pada luka yang tak pernah berhenti menyayat. Ia ingin mengakhiri penderitaan batin yang dirasakannya itu. Ia menyerah. Menyerah untuk memenangkan perasaan Ify. Menyerah untuk merubah takdir. Menyerah untuk mendapatkan apa yang seharusnya Ia dapatkan. Ia takkan lagi berharap. Takkan lagi memperdulikan apapun yang hanya akan membuatnya merasakan lagi sesak itu.

Ia menutup pintu hatinya.

Rio membungkukan tubuhnya sambil memegang lututnya sebagai penumpu. Ia sangat lelah. Keringatnya mengucur deras. Nafasnyapun tersengal.

Tiba-tiba saja sebuah botol tersodor dihadapannya. Membuatnya mau tak mau mendongak melihat tangan siapa yang mengulurkan air mineral itu padanya. Seketika tubuhnya membeku. Nafasnya tercekat. Gadis itu berdiri di depannya. Namun di detik ke sekian, Rio berusaha bersikap biasa saja. Ia menegakan kembali tubuhnya. Lalu menatap tajam gadis cantik yang telah berhasil mengobrak-abrik hatinya.

"Buat Kak Rio. Pasti haus," Ify berusaha memperlihatkan senyum yang biasanya.

"Nggak perlu," ketus Rio datar. Ia membalikan tubuhnya lalu melangkah ke tepi lapangan. Menyampirkan tasnya ke bahu kanannya, lalu melangkah pergi. Namun baru beberapa langkah, Ify langsung menahan tangannya yang langsung dihentakannya hingga tangan Ifypun terlepas.

"Kak Rio, gue mau minta maaf sama lo. Maaf buat semua luka yang udah gue buat di hati lo. Maaf karna udah nyia-nyiain perasaan lo."

Rio menatap lurus ke depan tanpa membalikan tubuhnya. Rahangnya mengeras mendengar permintaan maaf Ify.

"Maaf juga karna gue udah ngebohongin perasaan gue."

"Itu bukan urusan gue!" ujar Rio dengan emosi yang masih mampu ditahannya. Melihat gadis yang telah membuatnya hancur membuat emosinya selalu tersulut.

"Tapi gue udah nggak sanggup nahan semuanya lagi, Kak. Gue sayang sama lo. Gue sakit kalau gue kangen sama lo. Gue nggak kuat nyimpen kebohongan ini lagi. Gue nyesel, Kak."

Tangan Rio terkepal. Emosinya semakin tersulut. Rasa sakit itu kembali menyergapnya mendengar penuturan Ify. Rahangnya kembali mengeras.

"Kak Rio, gue nggak mau hidup tanpa lo."

Ify menundukan kepala sedalam-dalamnya. Benar-benar menyesali semua pilihan bodohnya. Menyesali keterlambatannya menyadari ada hati yang sangat berharga untuknya yang ternyata telah Ia sia-siakan. Menyesali kebodohannya memilih pengorbanan masa lalu dan mengacuhkan pengorbanan seseorang yang ternyata telah mengisi seluruh ruang di hatinya tanpa menyisakan celah untuk laki-laki lain.

Emosi Riopun memuncak. Iapun membalikan tubuhnya menghadap Ify yang tengah menundukan kepalanya.

"Brengsek lo!" sentak Rio langsung, membuat Ify mendongakan kepalanya terkejut mendengar makian Rio.

"Lo brengsek! Waktu gue bilang gue sayang sama lo, apa balesan lo? Apa?! Lo lebih milih cowok itu daripada gue! Lo pergi sama dia! Lo nggak perduli sama gue! Lo tau nggak gimana perasaan gue waktu itu?! TAU NGGAK?! Gue hancur setiap gue ngeliat lo berdua mesra-mesraan! Sakit, sakit saat gue dapetin kenyataan itu. Kenyataan kalau gue kalah! Gue kalah dari masa lalu lo! Gue udah hancur sekarang! Lo udah puas belum?! HA?!"

Air mata Ify tak mampu ditahan lagi. Semuanya menyeruak turun membasahi pipinya. Hatinya seperti dibunuh saat itu juga. Sakit. Sakit yang paling sakit diantara sakit yang pernah dirasakannya. Bentakan Rio itu bagaikan sebuah pisau yang menyayatkan kembali luka hatinya. Hatinya kembali berdarah.

"Sekarang lo dateng ke gue, lo bilang lo nyesel, dan lo mau gue. Otak lo di mana?! HA?! Brengsek banget lo!"

"KAK RIO!!!" bentak Ify. Membuat Rio mengatupkan bibirnya dan menatap Ify tajam dengan nafas yang memburu akibat emosi.

Rasa sakit Ify bertambah dua kali lipat saat Rio mencacinya. Ia tau Ia bersalah. Namun di manakah hati Rio? Ify hanyalah seorang gadis biasa. Ia masih memiliki hati. Bukan hanya Rio yang terluka, Ia bahkan terluka lebih dalam. Tak bisakah berbicara dengan suara yang dikecilkan sedikit?

"Gue tau gue salah! TAPI LO NGGAK PERLU MAKI-MAKI GUE KAYA GITU! Sakit Kak Rio! Sakit! Gue udah nyeselin semuanya dan gue mau perbaikin kebodohan gue. Tapi kenapa lo malah maki-maki gue seakan gue nggak punya harga diri kaya gini?" bentak Ify di awal kalimatnya, namun melirih di akhir. Air mata yang terus turun tanpa henti menjelaskan bahwa ada luka berdarah yang tengah tersayat dihatinya.

Rio terdiam. Menyesali ucapan kasarnya. Air mata Ify membuat hatinya semakin teriris.

"Gue benci sama lo!" Ify berlari pergi setelah menghapus kasar air matanya. Hatinya sudah sakit karena penyesalannya. Mengapa harus dilukai lagi dengan kata-kata yang menyakitkan?

Tak ada luka yang paling membunuh, selain luka karena kobodohan sendiri.

*****



Gabriel memperhatikan Ify yang menatap kosong mangkuk mie ayam di hadapannya. Ify seperti mayat hidup hari ini. Itu juga yang Via tuturkan padanya. Memang semenjak tadi Gabriel menjemputnya, Ify sudah seperti orang mati. Tak fokus dengan ucapannya, memberikan senyum yang selalu dipaksakan.

Gabriel menghela nafas melihatnya.

"Fy, kamu kenapa?"

Ify terkesiap lalu menggelengkan kepalanya sambil memaksakan sebuah senyum untuk meyakinkan Gabriel.

"Kamu sakit?"

"Aku nggak apa-apa, Kak."

Gabriel bangkit berdiri lalu memutari meja dan duduk di sebelah Ify. Digenggamnya lembut tangan Ify. Lalu dipaksanya Ify untuk menatap kedua matanya.

Ify yang sedang tidak bergairah untuk melakukan apapun akhirnya memilih menuruti saja. Iapun menatap kedua manik mata Gabriel. Tiba-tiba saja perasaan aneh kembali menyergapnya. Mata itu mengingatkannyadengan mata Rio. Mata yang selalu mampu menghipnotisnya.Mata yang selalu membuat dadanya berdebar kuat. Mata yang ternyata menjadi daya tarik utama Rio. Mata yang meluluhlantahkan hatinya.

Rasa sesak itu kembali menyerangnya. Ia sangat merindukan mata itu. Merindukan keteduhan yang dipancarkan dari mata itu. Merindukan debaran yang selalu membuatnya tak mengerti ada apa dengan hidupnya jika Ia berada di dekat Rio. Karena setiap di dekat Rio semua berubah menjadi taman bunga yang indah. Rio selalu tau bagimana cara untuk membuatnya berbunga-bunga. Ia benar-benar merindukan Rio.

Bukan hanya matanya. Ifypun merindukan senyumnya. Kehangatan senyumnya yang selalu berhasil membuat perasaan Ify bertambah semakin dalam dan dalam lagi. Namun hatinya terlanjur sakit atas perkataan kasar Rio kemarin.

"Fy, aku sayang banget sama kamu. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Dan aku yakin sekarang lagi ada yang nggak beres sama kamu. Aku nggak pernah ngeliat kamu sampe kaya orang yang raganya hidup tapi jiwanya mati kaya gini. Kamu kenapa?"

Ify hanya mampu menggelengkan kepalanya. Ia menunduk. Menyembunyikan matanya yang sudah berkaca-kaca siap untuk meluncurkan air matanya kapanpun.

"Ify..."

"Aku nggak apa-apa, Kak."

"Yasudah kalau emang menurut kamu kamu nggak kenapa-napa. Tapi kalau ada apa-apa, kamu bilang sama aku ya?"

Ify mengangguk sambil lagi-lagi menyunggingkan sebuah senyum yang sangat dipaksakan. Gabriel menghela nafas. Lalu kembali menatap Ify.

"Aku mau ngomong sesuatu, Fy."

"Apa?"

"Kamu mau nggak janji sama aku? Apapun yang terjadi, kita nggak akan terpisah. Kamu akan selalu ada di samping aku apapun yang terjadi. Kamu mau janji?"

Ify menatap Gabriel dan menangkap keseriusan dari wajah Gabriel. Ia menelan ludah mendengar permintaan Gabriel itu. Ifypun menunduk.

"Fy..."

"Maaf, Kak Gabriel. Aku nggak bisa," Ify melepaskan tangan Gabriel yang tadi menggenggamnya.

"Kenapa, Fy?"

Gabriel merasakan hatinya dilanda ketakutan yang sangat besar. Ia takut apa yang ditakutkannya akan benar-benar terjadi. Ia tak mau kehilangan Ify. Ia tau Ia egois. Namun Ia benar-benar menyayangi Ify. Ia takkan mau jika harus kehilangan Ify untuk alasan apapun. Dan Ia biarkan keegoisannya menang.

Namun mendengar jawaban Ify tadi membuat rasa takut itu kembali menghantuinya. Ketakutan yang merajalela di dadanya. Ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi sekarang ini.

"Kak, aku udah nggak bisa lagi bohongin perasaan aku. Semuanya udah berubah, Kak. Perasaan itu udah nggak sama lagi. Cinta itu udah bukan milik kamu."

"Rio kan? Dia kan yang udah nyingkirin aku dari hati kamu."

Ify menggeleng kuat.

"Bukan. Bukan Kak Rio yang udah nyingkirin kamu dari hati aku. Tapi kamu sendiri yang bergerak keluar dari hati aku. Dan saat kamu coba buat masuk lagi ke hati aku, hati aku udah kekunci dan cuman Kak Rio yang punya kuncinya."

"Fy, aku nggak mau kehilangan kamu."

"Kamu nggak akan kehilangan aku kok. Kita bisa jadi temen. Tapi aku mohon, lupain semua yang pernah terjadi sama kita. Anggep itu semua cuma masa lalu yang nggak akan mungkin diulang lagi."

Ifypun bangkit dari duduknya dan melangkah pergi dari kantin. Memeberikan waktu pada Gabriel untuk sendiri. Memikirkkan ucapannya tadi. Karena masa lalu memang bukan untuk diulang. Masa lalu hanya untuk dikenang dan dijadikan pelajaran. Agar mampu menjadi pribadi yang lebih baik dari yang lalu.

Masa lalu bagaikan buku catatan yang sudah penuh. Disimpan untuk bekal masa depan. Jika ujian tiba, barulah kita buka dan pelajari buku catatan itu agar dapat melewati ujian itu dengan baik.

Meskipun ini berat untuk Gabriel, namun Ify yakin Gabriel bisa menerimanya. Ify tak ingin ada yang terluka lebih lagi dari ini.

*****

Wednesday, April 29, 2015

Pilihan Hati (Part 14)

Part 14




Di tengah keramaian kantin yang rutin terjadi setiap jam istirahat, kedua sahabat karib ini tetap berbaur dengan keramaian tersebut. Mereka berbincang yang terkadang diselingi dengan gurauan dan juga canda tawa. Sambil memakan makanan pesanan mereka, Ify mendengarkan cerita Via tentang Alvin.

"Pokoknya Kak Alvin tuh cowok best banget. Nggak nyesel gue sayang sama Kak Alvin. Bangga banget punya Kak Alvin," jelas Via berbinar.

"Heem tau deh yang lagi falling in love mah beda. Berbunga terus tiap nyebut namanya," goda Ify seraya melipat kedua tangannya di atas meja karena Ia baru saja menghabiskan makanannya.

"Iya, Fy. Gue nggak pernah se-berbunga ini. Kak Alviiiiiin, I love you so much," seru Via berseri dengan suara yang dikecilkan sambil menusuk bakso terakhirnya dengan garpu lalu menatap Ify.

Ify terkekeh mendengar ungkapan hati Via. Ungkapan hati yang terdengar begitu berbunga. Ungkapan hati yang sepertinya mencurahkan rasa bahagia yang menyejukan jiwa. Sesungguhnya dalam hati Ify memiliki hasratingin seperti Via. Ia merasa iri dengan Via. Via dapat mendapatkan kebahagiaan yang diimpikannya, yang memang seharusnya dirasakan. Tak seperti dirinya. Raut wajah Ify seketika berubah. Senyumnya perlahan memudar.

Setelah selesai menyeruput es teh manis pesanannya tadi, Via melipat kedua tangannya di atas meja lalu menatap Ify. Tadinya Ia ingin melihat reaksi Ify atas ungkapan hatinya tadi. Namun yang didapatkannya adalah ekspresi wajahIfy yang aneh yang tiba-tiba saja berubah muram. Via mengerutkan kening.

"Lo kepikiran sesuatu?"

Ify menatap Via sebentar lalu menunduk, memperhatikan roknya yang bergerak-gerak karena kakinya yang digerak-gerakan. Ia menghembuskan nafas keras. Seperti berusaha mengeluarkan beban berat yang memikulnya, membuatnya tersiksa karena pilihan yang diputuskannya sendiri. Setelah itu, Ify kembali menatap Via. Lalu menyunggingkan senyum masam.

"Gue envy sama lo, Vi."

Via mengerutkan kening mendengar pernyataan Ify. Tak mengerti maksudnya.

"Lo bisa ngerasain kebahagiaan yang lo impiin selama ini," jawab Ify yang mengerti ketidakpahaman Via atas pernyataannya.

"Fy, kalau lo mau bahagia itu cuman satu kuncinya, ikutin apa kata hati lo."

Ify kembali menunduk. Merasa tertohok dengan ucapan Via tadi. Lagi-lagi perasaan aneh itu kembali dirasakannya. Perasaan aneh yang bercampur aduk. Perasaan aneh yang menyiksanya. Sesak. Sesak yang bercampur dengan rasa sesal, yang membuatnya ingin meledak seketika itu juga.

Bukankah Ia sudah meyakinkan pada dirinya bahwa pilihan yang diambilnya itu memang jalan yang terbaik? Namun mengapa Ia tak merasakan kebahagiaan yang seharusnya Ia rasakan?

Dan itulah jawaban yang memang Ify perlukan. Ikuti apa kata hati. Karena yang terbaik bukanlah yang dilihat atau didengar, melainkan apa yang dirasakan.

Pilihan yang diambilnya, tidak mengikuti apa yang hatinya bilang padanya. Ify tidak mendengarkan apa kata hatinya. Jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Ify sangat menginginkan Rio. Rasa itu ada, untuk Rio. Namun pilihan yang dipilihnya adalah membohongi dirinya sendiri dan mengacuhkan kata hatinya.

"Gue salah ya, Vi? Gue cuman nggak mau egois mikirin perasaan gue sendiri."

"Menurut gue, lo malah egois banget. Lo mentingin perasaan orang lain di masa lalu lo dan ngorbanin perasaan lo sama perasaannya Kak Rio. Lo pernah nggak mikirin perasaannya Kak Rio setelah lo nggak ngehirauin perasaannya?"

"Gue cuman nggak mau nyakitin Kak Gabriel, Vi."

"Justru dengan kaya gini lo nyakitin Kak Gabriel. Lo bukan cuma nyakitin Kak Gabriel. Lo juga nyakitin Kak Rio. Dan yang paling tersakiti dari pilihan lo itu adalah hati lo. Coba lo bayangin, gimana sakitnya Kak Gabriel kalau suatu hari nanti dia tau, ada laki-laki lain di hati cewek yang dia anggep pacarnya? Apa nggak lebih luka lagi dia?"

Ify mengalihkan pandangannya dari Via. Mencoba mencerna setiap kalimat yang Via ucapkan. Perasaan Rio. Benarkah hal itu yang membuat tidurnya tak tenang setiap malam? Benarkah hal itu yang menjadi beban yang selalu menyiksanya setiap saat?

Ia memang memutuskan segala pilihan tanpa pikir panjang. Yang Ia pikirkan saat Ia lebih memilih menghancurkan dua hati yang seharusnya dapat bahagia bila saling tertaut ialah pengorbanan Gabriel untuknya tanpa memikirkan pengorbanan Rio untuknya.

Ify memejamkan mata, menyesal.

Ify masih memikirkan keputusannya yang tiba-tiba saja disesalinya itu, sebelum sebuah suara membuyarkan semua lamunannya dan terpaksa membuat Ify dan Via menoleh.

*****



Shilla mengatupkan bibirnya rapat-rapa tsambil menatap tajam ke arah Ify dan Via yang tengah saling berbincang. Ia benar-benar muak mendengar Ify dan Via menyebutkan nama Rio dalam percakapan mereka. Rio sudah menjadi miliknya. Dan tak ada satupun yang boleh menghancurkan itu semua.

Shilla geram. Ia melangkah menghampiri dua karib yang tengah berbagi curahan hati satu sama lain itu. Dengan tangan terkepal, Shilla menyerukan nama Ify.

"IFY!"

Ify dan Via menoleh bersamaan ke sumber suara yang berada di belakang Ify. Seketika Via membulatkan matanya melihat Shilla dengan wajah memerah menatap Ify dengan penuh emosi. Mereka berdua bangkit dari duduknya. Sebagai persiapan takut-takut jika Shilla berbuat diluar dugaan, Via melangkah memutari meja untuk menghampiri Ify.

"Nggak tau diri banget ya lo?! Masih berani bahasin Kak Rio. Lo lupa kalo Kak Rio itu punya gue?!"

"Lah? Lo nguping? Nggak sopan lo!" seru Ify.

"Gue nggak suka kalo lo bahas cowok gue!"

"Heh, Kak Shilla! Kenapa jadi lo yang repot sih?! Kak Rionya aja biasa aja!" Via angkat bicara.Membuat Shilla mengalihkan pandangannya pada Via. Lalu menatap Via dengan tajam.

"Lo nggak usah kaya petir, nyamber-nyamber! Gue nggak ngomong sama lo, cupu!" Shilla mendorong bahu kanan Via dengan tangan kirinya.

"Lo santai dong, nggak usah pake dorong-dorong!" Via balas menatap tajam Shilla.

"Kak Shilla, lo tuh kaya nggak punya sopan santun ya? Dateng tiba-tiba marah-marah nggak jelas, bentak-bentak orang. Nggak malu lo diliatin orang-orang di sini?" cecar Ify.

Shilla mengalihkan pandangan pada penjuru kantin. Seisi kantin sudah mempertontonkan mereka. Namun Shilla tak perduli. Ia kembali memandang Ify dengan tajam.

"Biarin aja! Malah biar sekalian aja mereka semua tau. Cewek yang selama ini diidolain di sini ternyata busuk! Nggak tau diri!"

"Eh, Kak! Lo ngaca dulu dong kalo mau ngejudge orang! Asal aja ngejudge Ify kaya gitu. Lo pikir lo udah bener?"

"Heh, cupu! Gue nggak ngomong sama lo!"

Shilla kembali mendorong bahu Via. Kali ini mendorong kedua bahunya.

"Heh heh, apa-apaan sih lo, Shil?!"

Alvin datang bersama dengan Cakka. Membuat semuanya terdiam dan menoleh pada Alvin yang kini sudah berdiri di sebelah Via.

"Tuh cewek lo! Kasih tau, gue nggak suka dia ngomongin Kak Rio sama temennya satu ini yang tergila-gila sama cowok gue!" Shilla menunjuk Ify dengan dagunya. Lalu melipat kedua tangannya di dada sambil mencibir.

"Ha? Nggak salah denger gue, Shil? Bukannya elo yang tergila-gila sama Rio?"

"Ada apa lagi ini?"

Suara Rio yang datang secara tiba-tiba membuat semuanya kembali diam dan menoleh pada Rio. Rio melangkah ke sebelah Shilla yang membuatnya berhadapan langsung dengan Ify. Rio sempat melirik Ify, namun langsung dialihkannya pandangannya agar tidak membuat perasaannya yang sudah dengan susah payah Ia tata agar kembali normal kembali hancur.

Shilla langsung memeluk lengan Rio dan bergelayut manja. Membuat Ify dan Via juga Alvin dan Cakka ingin sekali memuntahkan isi perutnya di wajah Shilla.

"Itu tuh sayang, masa Ify sama Via ngebahas tentang kamu. Aku kan nggak suka," ujar Shilla dengan nada manjanya yang terdengar memuakan.

Rio menatap Ify yang tengah menghembuskan nafasnya kesal. Ada sedikit rasa penasaran dalam hatinya. Apa yang Ify dan Via bicarakan tentang dirinya? Namun rasa penasaran itu tak mungkin Ia kemukakan dalam sebuah pertanyaan untuk Ify. Rio lebih memilih menyimpannya dalam hati saja.

Riopun mengalihkan pandangannya pada Alvin.

"Lo urusin deh, Yo, tuh cewek lo," ujar Alvin sambil menunjuk Shilla dengan dagunya.

"Tau! Urusin tuh pacarnya! Jagain yang bener. Jangan sampe lepas dari kandangnya terus malah ngamuk bikin sekolah gempar."

Ucapan Ify itu ternyata menyinggung Shilla. Shilla tak terima disindir seperti itu. Ia menatap tajam Ify, bak ingin menerkam adik kelasnya itu. Shilla melepaskan pelukannya di lengan Rio. Ia mengambil air mineral kemasan gelas yang tersedia di meja kantin, juga dengan sedotannya. Di tusuknya air mineral itu dengan sedotan hingga terbuka. Setelah bagian atasnya terbuka lebar, Shillapun menyiramkan air itu ke wajah Ify. Ify menganga kaget.

"Shilla!"

"Kak Shilla!"

Alvin, Cakka, dan Via membelalakan mata kaget melihat kelakuan Shilla.

Ify menatap tajam Shilla dengan nafas yang memburu, menahan emosi. Tangannya terkepal siap untuk memberikan pelajaran pada kakak kelas yang tidak punya rasa hormat pada siapapun itu. Namun Ify sadar jika Ia sedang berada di kantin. Jika Ia berbuat kasar, Ia berarti sama saja bercermin pada Shilla. Tak ada bedanya dengan gadis itu.

Ifypun menghela nafas berusaha meredam emosinya.

Shilla tersenyum miring melihat wajah, sebagian rambut, dan kemeja Ify basah. Meskipun Ia kurang puas karena hanya menyiram Ify dengan air putih saja, namun Ia rasa itu sudah cukup mempermalukan Ify di depan Rio dan orang banyak. Dan cukup memberikan pelajar untuk adik kelas yang menurutnya tidak tau sopan santun terhadapnya.

Rio memejamkan matanya lalu menghembuskan nafasnya. Ia tak tau apa yang harus dilakukannya sekarang. Ingin sekali Ia memaki Shilla saat itu juga, namun itu tak mungkin Ia lakukan di depan Ify. Ify bisa merasa bahwa Ia telah berhasil mempermainkan Rio. Riopun memilih tak memihak siapapun.

"Rasain tuh!"

"Lo tuh kelewatan ya, Shil! Otak lo di mana?!" Gabriel datang secara tiba-tiba ketika Ia melihat ada keributan di dalam kantin dan langsung mencerca Shilla. Gabriel menghampiri Ify dan mengambil tissue di meja kantin dan mengelap wajah Ify. "Kamu nggak apa-apa?"

Ify hanya menggeleng, masih berusaha mengontrol emosinya yang masih bisa meledak jika dipancing.

"Upss, pangerannya dateng."

Rio mengepalkan tangannya melihat Gabriel yang berlaku sok mesra dihadapannya. Emosinya meningkat menyaksikan adegan yang sebenarnya wajar dilakukan oleh sang kekasih kepada kekasihnya. Demi meredakan emosinya, Rio mengalihkan pandangannya dari adegan di hadapannya itu.

"Kak Shilla lo tuh... Erggggh!" Via mengepalkan kedua tangannya di depan wajah Shilla seolah ingin meremukan wajah Shilla yang tertawa puas kala itu. Memuakkan sekali wajah berseri penuh kemenangannya itu. Ingin sekali rasanya benar-benar meremukan wajah itu hingga tak berbentuk.

"Fy, berenti ganggu hidup gue."

Kalimat datar yang diungkapkan Rio itu membuat semuanya menoleh pada Rio. Menatap Rio tak percaya. Terlebih Ify. Ify tak menyangka jika Rio akan menuturkan pernyataan seperti itu padanya. Apakah selama ini Ia menganggu hidup Rio? Sebegitu bencinyakah Rio padanya, hingga Rio lebih membela Shilla?

Rasa sesak yang baru saja menguap entah ke mana itu kini menyergapnya kembali. Namun sesak itu lebih menyakitkan dari yang tadi dirasakannya akibat penyesalannya. Kalimat singkat itu menggoreskan luka di hatinya.

Ify menghela nafas untuk menggagalkan air matanya turun. Ia tak ingin memperlihatkan luka itu pada Rio. Dan Ia juga tak menyakiti Gabriel jika melihatnya menangis untuk laki-laki lain.

Pernyataan Rio itu membuat senyum kemenangan terukir di wajah Shilla. Shilla benar-benar puas mendengar kalimat yang Rio ucapkan itu. Bahkan Riopun sudah tak mau berurusan lagi dengan Ify. Shilla benar-benar merasakan kemenangan telah diraihnya.

"Lo denger sendiri kan cowok gue bilang apa? Jangan ganggu hidupnya lagi! Emang dasar nggak tau diri lo!"

"Ayo, Shil!"

Rio menarik tangan Shilla. Membawa Shilla keluar dari kantin. Ify, Via, dan Alvin, serta Cakka masih tak percaya jika Rio mengucapkan pernyataan seperti itu pada Ify. Dan yang lebih membuat dada Ify seperti dipalu, Rio mengucapkannya di depan Shilla. Mengapa harus di depan Shilla?

Ify tak mampu mengatakan apapun. Bahkan untuk menelan ludahpun rasanya sulit. Ia hanya memandangi punggung Rio dan Shilla yang semakin menjauhi pandangannya dan akhirnya benar-benar menghilang setelah keluar dari pintu kantin. Ify memejamkan matanya mencoba mengusir rasa sesak itu. Jika Ia tidak sedang berada di kantin, Ia pasti sudah berteriak sekuat tenaga untuk mengusir rasa sesak itu.

Rasa sesak itu seperti mengoyak hatinya. Dadanyapun berdenyut perih, mendetakan luka.

*****



Rio berhenti melangkah ketika kakinya telah melangkah di atas rerumputan taman sekolah. Rio langsung menghentakan tangan Shilla secara kasar agar terlepas dari genggamannya. Perbuatannya itu membuat Shilla meringis.

Rasa sesak itu ternyata juga dirasakannya saat Ia mengatakan kalimat itu. Dan kini Rio merutuki kalimat yang keluar dari mulutnya tanpa bisa Ia kendalikan itu. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya akibat emosi yang membara di dalam dadanya tadi.

Riopun memejamkan matanya, mencoba melupakan sesak ituuntuk saat ini. Lalu menatap Shilla yang tengah memegang pergelangan tangannya yang mungkin terasa perih akibat dihentakan secara kasar oleh Rio tadi.

"Shil, kita putus!"

Seketika Shilla membelalakan mata tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Apa?! Putus?!"

"Ya! Putus!"

"Tapi kenapa, Kak Rio?"

"Gue muak sama lo, Shil! Lo nggak pernah berubah!"

"Kak Rio. Please, jangan putusin gue! Gue sayang banget sama lo."

"Harusnya gue nggak pernah minta lo buat jadi pacar gue."

"Kak Rio! Kak Rio jangan putusin gue! Kak Rio!"

Rio melangkah pergi meninggalkan Shilla. Tak menghiraukan panggilan Shilla yang terus menyerukan namanya. Ia tau Ia memang jahat. Menggunakan Shilla sebagai alatnya. Alat untuk pelariannya. Tapi Ia tak mampu bertahan lebih lama lagi dengan gadis itu. Gadis itu benar-benar keterlaluan.

Rio menyesal saat Ia teringat Ia tak bisa membela Ify tadi. Ia tak menolong Ify ketika Shilla menyiramkan air ke wajahnya. Dan Rio menyesal mengucapkan kalimat itu.

Namun emosinya memuncak saat Ia ingat Gabriel datang di saat yang tepat. Membela Ify dan menolong Ify. Melakukan yang seharusnya Ia lakukan. Mengambil alih posisinya. Mengapa harus ada laki-laki itu? Jika saja Gabriel tak muncul di antara Ia dan Ify, semua takkan menjadi seperti ini.

Jika Gabriel tak muncul, takkan pernah ada luka yang tergores di hatinya. Jika Gabriel tak muncul, Ify takkan menolaknya. Jika Gabriel tak muncul, Ia dan Ify akan menjadi pasangan terbaik di sekolah. Mengapa laki-laki itu harus muncul? Seandainya Gabriel tak pernah ada...

'Seharusnya dunia ini begitu indah, seharusnya hidupku ini penuh bermakna. Takkan gundah jiwaku bila kau bersamaku, takkan perih batinku ini bila kaupun milikku. Seharusnya dunia ini, punya kita berdua...' (Naff -Seharusnya Kita)

*****



Rio kembali melangkahkan kakinya ke kantin. Ingin ikut bergabung dengan Alvin dan juga Cakka dan mencurahkan kegundahan hatinya saat ini. Ia tak tau bagimana cara mengontrol hatinya. Dan Ia ingin mengetahui caranya dari Alvin ataupun Cakka.

Saat Ia ingin memasuki pintu kantin, tubuhnya membeku seketika. Kakinya seperti direm mendadak. Matanya menangkap sebuah adegan yang membuat hatinya kembali diselimuti rasa sesak.

Gabriel tengah mengelus puncak kepala Ify sambil tersenyum pada Ify. Ify membalas senyum Gabriel, membuat dada Rio berdenyut-denyut. Sakit. Ia terbakar cemburu. Ingin sekali Ia berlari menghampiri Ify dan Gabriel lalu memisahkan keduanya dan membawa lari Ify sejauh mungkin dari Gabriel. Namun kakinya tak mampu melanjutkan langkah ke dalam kantin. Membuat semuanya hanya menjadi bayangan saja.

Dengan kecewa dan rasa sesak yang masih menyergapnya, Rio membalikan tubuhnya dan melangkah pergi dari sana. Ia tau Ia tak berhak menganggu kebahagiaan dua insan Tuhan itu. Ia biarkan mereka menikmati setiap waktu yang bagaikan berputar hanya untuk merekam senyum kebahagiaan mereka. Membiarkan dirinya menelan segala pedih hati sendiri.

Bahkan untuk sekedar berharap keajaiban Tuhanpun Rio merasa tak pantas. Ia hanya berharap, Tuhan segera menghapuskan segala luka yang telah tergores, yang membuatnya hingga serapuh ini.

Tuhan, hapuskan segala sesak yang tak pernah Ia harapkan hadir dalam kisahnya...

*****