Part 5
Laki-laki
bermata sipit itu memangku gitar yang diambilnya dari ruang OSIS. Ia tau itu
adalah gitar milik Rio yang memang sering dititipkan di ruang OSIS. Karena
sayang jika dibiarkan menganggur, Ia lah yang akhirnya mengambil alih gitar
itu.
Sambil
duduk di taman menikmati semilir angin pagi yang sangat menyejukan, Ia memetik
gitarnya asal. Mencari lagu yang kira-kira cocok untuk dimainkan olehnya di
pagi hari yang masih sejuk ini. Sejak lima belas menit yang lalu, Ia belum
menemukan lagu yang pas untuk dimainkannya.
Sedikit
frustasi karena bingung, akhirnya Alvin menghentikan permainan tak terarahnya
itu. Alvin menghela nafas berat. Bosan. Ketika pelajaran ditiadakan seperti
ini, Ia selalu bingung untuk mengisinya dengan apa. Padahal jika ada
pelajaranpun, Ia malas. Huft. Alvin memikirkan apa yang kira-kira bisa
dilakukannya.
"Kak
Alvin."
Tiba-tiba
seseorang memanggil Alvin. Alvinpun menoleh menatap gadis yang kini sedang
berdiri di sebelah kanannya.
"Eh,
hai, Vi," Alvin tersenyum melihat Via.
"Lagi
ngapain, Kak? Kok kaya orang bingung gitu?" tanya Via yang kini sudah
duduk di sebelah Alvin.
"Iya,
Vi, gue bingung mau ngapain," jelas Alvin.
"Loh,
itu kakak bawa gitar? Kenapa nggak dimainin aja?" tanya Via menunjuk gitar
yang sedang dipangku Alvin.
Alvin
menatap gitar yang masih dipangkunya itu. "Bingung mau nyanyi lagu apa.
Hehe," Alvin nyengir lalu menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak
gatal. Via terkekeh.
"Yeeee,
si kakak mah. Sini gue aja yang main. Daripada bingung," Via mengambil
gitar itu.
Alvin
memperhatikan Via yang kini sedang menyetel gitar tersebut. "Bisa main
gitar, Vi?" tanya Alvin.
Via
mengangguk. "Pernah bisa. Mudah-mudahan aja sekarang masih bisa,"
Alvin mengangguk-ngangguk.
Via
mulai menggenjreng gitarnya. Memulai intro awal lagu. Ternyata Ia masih bisa.
Via tersenyum sendiri. Iapun mulai bernyanyi.
"Bila
cinta mengunggah rasa
begitu
indah mengukir hatiku
menyentuh
jiwaku
hapuskan
semua gelisah
Duhai
cintaku, duhai pujaanku
datang
padaku dekat di sampingku
kuingin
hidupku
selalu
dalam peluknya
Terang
saja aku menantinya
terang
saja aku mendambanya
terang
saja aku merindunya
karna
dia, karena dia begitu indah
Duhai
cintaku, pujaan hatiku
peluk
diriku, dekaplah jiwaku
bawa
ragaku melayang
memeluk
bintang
Terang
saja aku menantinya
terang
saja aku mendambanya
terang
saja aku merindunya
karna
dia, karena dia begitu indah"
(Padi
- Begitu Indah)
Alvin
menatapnya tanpa berkedip. Demi apapun permainan Via tadi terdengar sangat
indah. Suaranya yang merdu, benar-benar membuat Alvin merinding dibuatnya.
Permainan gitarnyapun sangat baik, tidak ada nada yang meleset.
Via
menunduk malu. Ia sadar sejak tadi Alvin tak henti memperhatikannya. Lagu yang
dibawakan, bukanlah tanpa arti. Lagu itu seperti ungkapan hatinya.
Keinginannya. Hasratnya. Apa yang dirasakannya. Terangkum dalam lagu itu.
Meskipun Ia tau, Alvin takkan mungkin mengetahui maksud dari Via memilih lagu
itu.
PROK PROK PROK
"Keren
banget, Vi," puji Alvin sambil bertepuk tangan setelah sadar dari
keterpesonaannya.
Via
menoleh menatap Alvin. Lalu tersenyum. "Makasih, Kak."
Alvin
mengangguk sambil mengacungkan kedua jempolnya.
Tiba-tiba
saja sebuah suara yang terdengar tak jauh dari tempat Alvin dan Via mengagetkan
mereka berdua. Suara seseorang yang sepertinya tengah mengamuk. Alvin dan Via
celingak-celinguk mencari di mana sumber suara tersebut. Siapa yang tengah
mengamuk di taman pagi-pagi seperti ini?
Alvin
memicingkan matanya. Memastikan apakah yang dilihatnya itu benar atau tidak.
Matanya melebar mendapati seorang gadis yang sangat dikenalnya kini tengah
menendang-nendang kursi taman yang terbuat dari batu itu. Penampilannya
benar-benar acak-acakan.
Alvin
langsung berdiri dari duduknya, lalu berlari menghampiri gadis itu. "Shilla!!!"
Via
yang kaget tiba-tiba Alvin pergipun ikutan bangkit.
"Kak
Alvin, mau ke mana?" teriak Via. Namun Alvin tak menjawab, tetap berlari
menghampiri gadis yang berteriak seperti mengamuk tadi. Via mendengus kecewa.
*****
Shilla
berlari melewati koridor sekolah yang selalu ramai jika jam sedang kosong. Tak
menghiraukan tatapan orang-orang yang bertanya-tanya. Air matanya Ia biarkan
terus terlampiaskan, menyeruak keluar dari matanya terus-menerus. Rasanya sakit
sekali.
Setelah
sekian lama Ia mencoba bersabar menghadapi respon Rio, beginikah balasan yang
harus didapatkannya? Rasa sakit yang seperti menyayat hatinya itu kini tengah
menggoreskan luka yang terasa sangat pedih.
Shilla
terus berlari entah ke mana. Mengikuti kakinya, kemanapun kakinya itu ingin melangkah.
Ia tak perduli dengan apapun sekarang. Yang ada dibenaknya kini, Ia hanya ingin
berteriak melampiaskan seluruh perih hatinya. Mengapa Rio begitu jahat padanya?
Apa salahnya hingga Rio sebegitu ilfeel
padanya?
Di
sini sekarang kakinya berhenti melangkah. Di taman sekolah. Tempat yang cukup
ramai, namun cukup menenangkan. Shillapun menendang kursi yang terbuat dari
batu yang ada di hadapannya. Tak perduli rasa sakit yang mulai menggerogoti
kakinya. Tak perduli dengan tatapan orang-orang di taman yang mulai
memperhatikannya kembali.
"Aaaargh!!
Gue benci!! BENCI!!!!! Jahat!!!! JAHAAAAAAT!!!!" teriak Shilla.
"Kak
Riooooo, lo jahaaaaaat!!!"
Shillapun
memukul-mukulkan tangannya ke sebuah pohon besar yang terletak di sebelah
kirinya. Melampiaskan sakit hatinya. Membayangkan jika pohon itu adalah Rio.
Dipukulinya tanpa ampun pohon besar itu. Dan lagi-lagi, Ia kembali tak
memperdulikan tangannya yang mulai mengeluarkan darah.
"Shilla!!!"
Shilla
tak menghiraukan teriakan itu. Ia tetap memukul pohon itu. Jika pohon itu
manusia, mungkin sudah sekarat di rumah sakit akibat pukulan Shilla yang tanpa
ampun itu.
"Shilla!
Shel! Stop! Lo kenapa?!"
Alvin,
segera menghentikan perbuatan gila Shilla itu karena melihat tangan Shilla yang
sudah mengeluarkan banyak darah. Ditariknya Shilla dari pohon itu. Lalu diputar
tubuhnya menghadap kepadanya.
"Lepasin
gue! LEPAS!!" bentak Shilla berusaha meronta dari pegangan Alvin. Namun
Alvin mencengkram bahu Shilla lebih kuat lagi. Shilla tetap meronta dengan
sekuat tenaga. Ia mencoba mendorong Alvin dengan kedua tangannya. Namun karena
tenaga Alvin lebih kuat darinya, akhirnya semua itu hanya menjadi usaha yang
sia-sia.
"Lo
kenapa sih?!" tanya Alvin sedikit memaksa.
"LEPASIN
GUE!!!" bentak Shilla lagi.
"Jelasin
sama gue, lo kenapa?" paksa Alvin serata menggoyang pelan kedua bahu Shilla.
"Nggak
usah sok peduli deh lo sama gue! Gue nggak butuh! Lepasin gue!" Teriak Shilla
histeris.
"Enggak,
gue nggak akan lepasin lo!"
"Lepasin!!"
"Enggak
akan!!!"
"LEPASIN
GUE!!"
"ADA
APA SIH SAMA LO SHEL?! JAWAB GUE! JELASIN KE GUE!!! KENAPA?! KARNA RIO?! IYA?! SHILLA!
STOP NGELAKUIN HAL GILA KARNA RIO! BERENTI NGEJAR DIA! BERENTI BERUSAHA
NGEGAPAI MATAHARI, KARNA LO NGGAK AKAN PERNAH DAN NGGAK AKAN MUNGKIN BISA
NYENTUH MATAHARI!!" bentak Alvin dengan nada yang semakin meninggi seraya
menggoyangkan kedua bahu Shilla. Berusaha menyadarkan Shilla dari
kekalapannnya. Juga menyadarkan Shilla dari obsesinya, mendapatkan Rio.
Shilla
berhenti berontak. Tubuhnya melemah. Tangisnyapun melemah. Hanya tersisa isakan
dan bahunya yang bergetar. Rasa sakit itu seperti menghimpit hatinya. Tak
memberinya ruang untuk berfikir jernih. Sesak.
Shilla
menggeleng-geleng lemah. Entah apa yang dipikirkannya kini. Yang Ia tau, ucapan
Rio tadi benar-benar menusuknya. Rasa sesak kini merajai hatinya. Dan Shilla
tak tau harus berbuat apa.
Setelah
memastikan Shilla sudah sedikit tenang, Alvin merengkuh Shilla. Menarik Shilla
ke dalam dekapannya. Membiarkan Shilla menumpahkan sisa-sisa luka hatinya di
dadanya, di dalam dekapannya. Hati Alvin teriris, melihat Shilla seperti tak
berdaya jika sudah menyangkut urusan Rio. Padahal setaunya, Shilla adalah gadis
yang kuat dan pemberani.
"Kenapa
Kak Rio nggak bisa ngeliat gue sedikitpun? Kenapa?" lirih Shilla dalam
pelukan Alvin. Alvin semakin memepererat pelukannya. Mencoba menyalurkan sebuah
kekuatan untuk Shilla.
Kacau.
Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Shilla. Sangat kacau bahkan.
Bukan hanya hatinya, penampilannyapun sudah tak berbentuk. Hati Alvin berontak.
Melihat Shilla terluka sebegininya. Rasa tak terima melihat gadis yang
disayanginya sejak hampir setahun yang lalu itu menyergapnya.
'Rio harus bertanggung jawab atas
semua ini,' serunya dalam hati.
Alvin
melepaskan pelukannya. Menyentuh kedua bahu Shilla. Menatap Shilla yang
tangisnya sudah mereda tergantikan oleh isakan. Shilla menunduk.
"Udah
jangan dipikirin lagi. Riokan emang kaya gitu orangnya."
Meskipun
Alvin tak tau apa yang telah Rio lalukan terhadap Shilla, namun Alvin tau Rio
telah melakukan sesuatu terhadap Shilla. Tak mungkin jika Shilla melakukan
semua ini tanpa alasan. Dan Alvin tau pasti alasan Shilla dibalik semua ini
pasti tak lain dan tak bukan adalah Rio.
Shilla
mengangguk lemah. Alvinpun menuntun Shilla ke kantin. Siapa tau dengan meminum
segelas teh hangat, hati Shilla bisa sedikit lebih tenang.
Via
menyaksikan semua adegan yang terjadi di depan matanya tadi dengan hati yang
porak poranda. Bagaimana bisa Alvin sebegitu perhatiannya dengan Shilla?
Pelukan itu. Hatinya panas. Jika di kepalanya ada cerobong uap, pasti uap-uap
itu sudah mengepul di atas kepalanya. Via menghela nafas berat.
Apa
iya Alvin menyukai Shilla? Apa iya cintanya takkan mungkin bisa terbalaskan?
Apa iya? Apa benar firasatnya? Melihat perhatian Alvin pada Shilla tadi yang
menurutnya terlalu over untuk status
yang hanya teman tanpa 'rasa' lain.
Ya
Tuhan... Jangan hancurkan mimpi itu. Tak dapat dipungkiri jika Ia merasakan
sindrom yang orang sering sebut dengan cemburu. Tapi apa haknya? Memikirkannya,
Via menghentakkan kakinya ke tanah. Kesal, resah, takut. Semua bercampur
menjadi satu dalam hatinya.
Viapun berbalik badan dan pergi dari sana.
Mencari tempat atau suasana yang pas untuk mendinginkan hatinya yang kini
tengah terbakar. Terbakar cemburu.
*****
Dengan
susah payah, Ify membawa figura berukuran 70 x 50 cm itu ke arah gudang. Bukan
hanya berat. Namun figura yang berisikan foto Presiden Indonesia itu juga sudah
berdebu. Menyesal sekali Ify tadi melewati ruang guru. Kalau saja tadi Ia
memutar arah, pasti Ia tidak akan bertemu dengan Pak Wibowo, kepala sekolah
Global Bintang. Dan kini Ia pasti sudah duduk santai di kursi kelas.
"Heuh,
Pak Bowo ada-ada aja nih nyuruh gue. Emangnya nggak ada cowok apa ya yang bisa
disuruh bawain beginian," gerutu Ify yang sedang menggotong bingkai besar
itu dengan tertatih-tatih.
Sampailah
Ify di depan gudang. Yang letaknya dipojokan gedung sekolah. Ify mencoba
membuka pintu gudang. Didorongnya pintu yang seperti tak terurus itu. Berat
sekali. Ify jadi kerepotan sendiri. Dicobanya berulang kali, namun tetap saja
usahanya gagal.
"Errgh,
ini pintu ampun deh. Dilemin apa ya? Heuh," gerutu Ify lagi sambil memeluk
figura itu. Akhirnya Ify menyerah. Ia pun menyenderkan tubuhnya di pintu
tersebut.
Namun
tiba-tiba saja pintu itu terdorong, dan terbukalah pintu gudang. Hampir saja
Ify terjatuh jika Ia tidak cepat-cepat berdiri tegak.
"Dasar
pintu aneh. Tadi giliran gue buka-buka gak bisa. Sekarang mau bikin gue
jatoh," lagi-lagi Ify menggerutu merutuki kekagetannya yang hampir saja
jatuh karena pintu yang tiba-tiba terbuka.
Ifypun
melangkahkan kakinya memasuki gudang itu. Gudang itu sebenarnya tidak begitu
menyeramkan seperti yang ada di cerita-cerita horor kebanyakan. Gudang itu
tertata dengan rapi. Hanya saja lampunya yang sedikit redup itu membuat ruangan
tempat menyimpan barang yang sudah tak terpakai itu menjadi remang-remang.
Ify
melangkah menuju ke salah satu sudut gudang. Dimana terdapat rak yang lumayan
besar yang digunakan untuk menyimpan figura-figura foto berbagai ukuran. Dan
figura yang seukuran dengan ukuran figura yang Ify bawa, berada di rak yang
paling atas. Ify menghela nafas kesal. 'Merepotkan
saja.' pikir Ify.
Ify
mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru gudang. Dicarinya sesuatu yang bisa
digunakan untuk naik. Dan matanya melebar ketika melihat tangga di pojokan
gudang. Diambilnya tangga itu. Lalu diposisikan dengan benar. Setelah siap,
dengan hati-hati Ifypun naik ke atas dengan membawa figura itu. Setelah sampai
di atas, Iapun meletakkan figura itu.
"Akhirnya."
Senyum
Ify mengembang. Iapun lekas turun ke bawah karena tidak tahan dengan debu yang
begitu banyak di atas sana. Baru saja Ia mau menurunkan kakinya ke anak tangga
yang berikutnya, tiba-tiba saja bola berwarna orange yang entah darimana
datanganya itu menghantam kepalanya.
DUUGH
"Aaaw!"
pekik Ify. Seketika itu juga, Ia merasakan kepalanya seperti diketuk-ketuk
palu. Tubuhnyapun kehilangan keseimbangan. Iapun oleng di atas tangga.
"Aaaa
aaa aaaah huaaaaaaaa!" teriak Ify yang akhirnya jatuh dari ujung anak
tangga paling atas yang tingginya hampir dua setengah meter itu. Ify memejamkan
matanya karena shock dengan apa yang
baru saja terjadi dengannya. Namun Ify tak merasakan tubuhnya membentur lantai.
Tapi Ia juga tak melihat bahwa ada benda apapun di bawahnya tadi yang dapat
menyelamatkannya. Lantas? Jatuh ke mana Ia?
Perlahan
Ify membuka matanya. Diperhatikannya wajah seseorang yang ternyata ketika
insiden tadi dengan sigap menangkapnya. Dan matanya langsung saja melebar
menyadari siapa yang telah menolongnya itu.
"Kak
Rio.......," panggilnya sedikit terbata karena kaget menyadari kini Ia
tengah dalam gendongan Rio.
DEG.
Tiba-tiba
saja perasaannnya menjadi tak karuan melihat wajah Rio dari jarak sedekat itu.
Jantungnya berdegup kencang tak terkendali. Seluruh tubuhnya terasa panas. Dan
seperti banyak kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya, menggelitiknya.
Ada
satu hal yang sejak awal bertemu Rio sudah diakuinya dalam hati namun Ia selalu
saja mencoba mengelaknya. Ternyata benar kata para siswi di sekolah. Rio sangat
manis. Wajahnya meneduhkan. Apalagi jika dilihat dalam jarak sedekat ini.
Memikirkannya,
jantung Ifypun nyaris lompat dari tempatnya, saking kencangnya debaran jantung
Ify. Ia berharap, Rio tak merasakan debaran dahsyat itu. Walaupun Ia tau, kecil
kemungkinan bila Rio tak merasakannya.
Ify
lebih merinding lagi kala hidungnya menangkap aroma tubuh Rio yang katanya
mampu menghipnotis setiap wanita yang menghirupnya. Dan lagi-lagi Ify
menyetujui pernyataan itu. Aroma tubuh Rio membuat hatinya tergilitik. Ia
merasakan kedamaian yang tak pernah Ia rasakan sebelumnya. Aroma itu begitu
menenangkan hatinya.
Menyadari
Rio mengernyitkan keningnya melihat Ify yang terlongo-longo memandangnya,
Ifypun kembali sadar akan dunia nyatanya. Dan merutuki pikirannya tadi.
"Turunin
gue!" bentak Ify tiba-tiba membuat Rio terlonjak kaget dan reflek
menjatuhkan tubuh Ify.
"AAAAAAWW!!"
teriak Ify sambil memegangi pinggangnya yang serasa lepas dari tubuhnya itu.
Mengingat Rio yang melakukannya dan laki-laki itu hanya membelalakan mata
menyadari apa yang baru saja diperbuatnya pada Ify, Ifypun menatap tajam
laki-laki hitam manis itu.
Ify
berusaha bangkit dengan susah payah, karena tulang duduknya terasa sakit
sekali.
"Heh, cowok belagu! Lo buta apa ya?! Bantuin
gue bangun kek! Masya Allah, salah apa sih punya kakak kelas sedableg lo! Sakit
ini punggang gue Kak Rio!" omel Ify dengan gemas melihat Rio hanya diam
saja, tak bereaksi sama sekali.
"Maaf.
Lagian lo ngagetin gue tiba-tiba teriak," ujar Rio datar, tanpa rasa
penyesalan dan malah seakan menyalahkan Ify atas apa yang terjadi tadi.
Mendengar
ucapan Rio tadi, Ify menjadi geram sekali. Ingin rasanya meninju wajah tak
berekspresi Rio itu kalau tidak ingat Ia sangat malas berurusan dengan Shilla.
Karena pasti Shilla akan mencarinya jika terjadi apa-apa dengan Rio. 'Menyebalkan,' cibir Ify dalam hati.
Ify
memutar tubuhnya. Mengambil bola basket yang Ia yakini siapa pemiliknya itu.
Bola berwarna orange yang entah darimana datangnya, yang tiba-tiba saja
menghantam kepalanya. Membuatnya hampir mati atau minimal patah tulang jika
saja tak ada Rio tadi.
"Ini
pasti bola lo kan? Lo dendam banget ya sama gue sampe bikin gue nyaris mati
gara-gara jatoh dari atas sana?! Nggak fair
lo!" tuduh Ify langsung dan memukul dada Rio dengan bola itu.
Rio
sedikit meringis akibat dadanya yang dihantam bola basket oleh Ify. Biar
bagaimanapun Ify itu jago main basket. Jadi hantaman bola tadi cukup membuat
dada Rio nyut-nyutan.
"Lo
tuh bukannya terima kasih udah gue tolongin, malah nuduh gue yang enggak-enggak
kaya gitu. Kalo nggak ada gue tadi mau jadi apa lo?! Tau kaya gitu tadi gue
biarin aja badan lo remuk gara-gara ciuman sama lantai."
"Kalo
bukan gara-gara bola basket jelek lo ini juga gue nggak bakalan jatoh tadi,
manusiaaaaaaa," ucap Ify geregetan melihat cara bicara Rio seolah-olah Ia
adalah pahlawan yang sangat berjasa terhadap bangsa dan negara.
"Terserah
lo deh. Males gue ribut sama cewek aneh kaya lo," kata Rio dengan nada
malas dan tak perdulinya. Riopun mengambil bola basketnya yang tergeletak di
lantai semenjak Ify menghantam dadanya dengan bola itu. Lalu Ia melangkah
hendak keluar gudang.
Ify
menghela nafas jengkel. Dosa apa dia dipertemukan dengan manusia secuek dan tak
seacuh itu terhadap sekelilingnya. Merasa
seperti tak ada orang lain yang hidup di bumi ini selain dia. Gerutu Ify
dalam hati sambil menatap dongkol Rio yang sedang mencoba membuka pintu gudang.
"Kok
nggak bisa dibuka sih pintunya?" tanya Rio setelah berulang kali mencoba
membuka handle pintu gudang, namun
tetap tidak mau terbuka.
"Serius
lo Kak?" tanya Ify balik mendengar suara handle pintu yang dipaksakan agar terbuka pintunya oleh Rio. Ifypun
menghampiri Rio dengan langkah pincang-pincang karena tulang duduk dan
pinggangnya yang masih terasa nyeri itu.
"Lo
coba aja deh," suruh Rio ketika Ify sudah berada di sebelahnya.
Ifypun
mengikuti suruhan Rio itu. Berkali-kali Ify membuka handle pintu agar pintu itu terbuka. Namun usahanya gagal total
karena memang pintunya tak dapat dibuka.
"Yah...
Kok gak bisa sih? Jangan-jangan pintunya rusak. Atau.....," Ify menyerah
lalu menatap Rio dengan sedikit panik. Ia menggantung ucapannya yang membuatnya
semakin panik.
"Apa?"
tanya Rio yang penasaran dengan apa yang terlintas di benak Ify. Apa sama
seperti yang Ia pikirkan?
"Jangan-jangan
kita dikunciin lagi. Huaaaaaaaa," Ifypun makin panik mendengar pernyataan
yang ia lontarkan barusan. Membuat Rio menghela nafas jengah.
"Nggak
usah lebay deh. Ada hape kali. Telpon kan bisa."
Riopun
mengeluarkan Blackberrynya dari saku
celana dan langsung mengumpat ketika mencoba menyalakan handphonenya yang ternyata tak mau menyala sama sekali. Ia hampir
saja membanting handphone itu ketika
mengingat betapa bodohnya Ia semalam lupa mencharge smartphone yang sangat boros baterai itu jika Ify tidak
menahannya.
"Jangan
main banting juga kali," cibir Ify melihat kelakuan Rio yang ternyata suka
main asal banting barang berharga jika sedang emosi. Pantas saja Ia melihat Rio
memegang handphone yang berbeda dari
yang minggu lalu Ia lihat. Ternyata gara-gara suka dibanting-bantingin.
'Dasar manusia gak punya rasa
syukur,' cibir Ify lagi namun kali ini dalam hati.
"Pake
hape gue aja kalo gitu," Ify meraba saku di kemejanya. Namun ternyata saku
itu tak ada isinya. Seketika rasa panik kembali menyergapnya.
"Loh
loh? Hape gue mana? Masya Allah!" Ify menepuk dahinya membuat Rio
mengernyitkan kening melihat tingkah gadis di hadapannya ini. "Tadikan
hapenya gue taro di tas," sesal Ify.
Lagi-lagi
Rio menghela nafas, kesal.
"Huaaaa,
masa gue harus ke kurung di sini semaleman? Sama lo lagi?! Huaaaa," Ify
histeris sendiri mengingat jika biasanya penjaga sekolah akan membuka pintu
gudang pada pukul sembilan pagi. Ify menyenderkan tubuhnya pada pintu gudang.
"Kak
Rio, cari cara dong!" suruh Ify yang melihat Rio hanya mendrible bola dengan tenangnya. Seolah Ia
sedang bermain di lapangan, bukan terkunci di gudang.
"Lo
mau gue dobrak ini pintu dan besok gue jadi buronan ketua yayasan yang pelitnya
tujuh turunan itu?" tanya Rio dengan santainya tanpa beban. Membuat Ify
semakin dongkol dengan laki-laki itu.
"Ya,
tapi masa lo diem aja sih kekunci di sini?"
"Ya,
mau gimana lagi."
Kali
ini Ify benar-benar dibuat gondok setengah mati mendengar jawaban Rio yang
tanpa beban itu. 'Ini orang sebenernya cuek banget
atau terlalu pasrah sih? Ya Allah.' teriak Ify dalam hati.
*****
Via
melangkah setengah berlari menuju ke kelasnya. Ia masih merasa kesal setengah
mati karena Alvin meninggalkannya hanya demi menenangkan Shilla. Ia tau Ia tak
punya hak sama sekali atas Alvin. Iapun tak berhak untuk marah pada Alvin
karena Alvin meninggalkannya demi Shilla. Toh, Alvin bukan siapa-siapanya
hingga Alvin tak punya alasan untuk lebih memilih bersamanya daripada
menenangkan Shilla yang sedang kalap tadi. Tapi entah mengapa, perasaan
menyebalkan itu menyergap hatinya kuat. Menghimpit perasaannya tanpa ampun.
Membuatnya merasakan sesak yang teramat sangat ketika mendapati kenyataan bahwa
Alvin lebih memilih Shilla daripada dirinya. Via sangat cemburu.
Beberapa
kali Via menghentakan kakinya di koridor sekolah membuat perhatian beberapa
murid tertuju padanya. Namun Ia tak perduli. Yang Ia tau, Ia ingin meluapkan
seluruh rasa menyesakkan dada itu agar sedikit lebih lega. Namun tetap saja,
rasa cemburu itu mengerubungi relung hatinya. Tak berkurang sama sekali. Malah
bertambah.
Ketika
sampai di kelas, Via mengambil tasnya berniat ingin angkat kaki dari sekolah
yang membuat moodnya hancur
berantakan dalam sekejap. Ia melihat tas Ify terletak rapih di atas mejanya. 'Berarti Ify masih di sekolah. Udahlah,
nanti aja pamitnya. Di SMS,' Via membatin dan langsung pergi dari sana.
Entah ke mana. Ke manapun kakinya membawanya. Asalkan rasa sesaknya bisa hilang
atau minimal berkurang.
*****