DIA
Dia…
Aku
tak tau bagaimana harus mendeskripsikan sosok indah itu. Sosok yang hampir
sempurna di mataku, di mata hatiku.
Dia…
Aku
mencintainya, hanya dia.
***
Awan hitam memayungi kota Jakarta siang ini.
Semilir angin menyelimuti kota berpenduduk padat ini. Membuat hawa dingin
memeluk warga kota metropolitan ini. Sebagian besar adalah mereka yang sedang
melakukan kegiatan di luar rumah.
Termasuk aku yang saat ini baru saja keluar
dari sekolah dan ingin segera pulang menuju rumah untuk segera melepas lelah
dan penat setelah seharian mengikuti pelajaran yang begitu membosankan di
sekolah. Namun sayang sekali, hujan yang mengguyur terpaksa membuat ku berhenti
melangkah dan memaksaku untuk meneduh dahulu di sebuah halte sampai hujan sedikit
reda.
Hujan yang turun membuatku
hanyut ke dalam suasananya. Sambil mengeringkan baju kemejaku yang sedikit
basah karena tadi sempat terguyur hujan, aku memandang hujan dengan hati yang
tiba-tiba saja berdegup dengan sangat kencang. Ah, aku merindukan suasana
seperti ini.
***
Pernahkah kamu merasakan, sesaknya rindu yang tak terbalas?
Pernahkah kamu merasakan, sakitnya rasa yang tak terungkap?
***
Satu rasa yang menghias hati
Satu rindu yang selalu menggerayangi hati
Kamu…
Taukah bagaimana aku menginginkanmu?
Taukah bagaimana aku mendambamu?
Aku dan kamu
Satu cerita yang akan segera dimulai
Satu kisah yang takkan berakhir
Aku dan kamu
Kita…
Aku membaca ulang rentetan
kata yang ditulisnya menjadi sebuah surat. Hatiku tergelitik. Seperti ada jutaan
kupu-kupu yang menari di dalam perutku. Senyumku mengembang kala membacanya.
Aku tak pernah menyangka, dia
merasakan apa yang aku rasakan selama ini. Perasaan yang selalu aku pendam dan
aku simpan baik-baik ini ternyata terbalaskan. Dan dia mengungkapkannya melalui
puisi ini.
“Cieee cieee Ify ditembak pake
puisi….”
“Cieeee yang dapet surat
cintaa cieee..”
Kedua temanku menggodaku
membuat senyumku menjadi lebih mengembang lagi.
“Apaan sih kaliaan???” elakku
malu.
“Dih mukanya merah tuh ah
hahaha”
“Iya tuh Fy, muka lo merah..
hahay”
Aku menjawab langsung
suratnya. Ku temui ia di taman sekolah pulang sekolah. Dengan satu kalimat yang
ku ucapkan,
“Iya, gue mau jadi pacar lo,
Mario!”
kamipun akhirnya resmi menjadi
sepasang kekasih. Semudah itu. Sesimple itu.
***
Meski waktu akan mampu
Memanggil seluruh ragaku
Ku ingin kau tau ku slalu
milikmu
Yang mencintaimu
Spanjang hidupku
Ia menyanyikannya sambil
memetik gitarnya. Aku merinding dibuatnya. Suaranya benar-benar menggetarkan
jiwa. Menyentuh hingga ke relung hatiku. Aku tak menyangka ia bisa bermain
musik seindah ini.
Aku tersenyum tulus, sangat
tulus. Aku persembahkan hanya untuknya. Ia membalas senyumku lalu mengacak
poniku.
“Makasih ya sayang lagunya,”
ujarku tulus, terharu.
“Sama-sama sayangku. Gantian
dong kamu yang mainin satu lagu buat aku!” pintanya seraya menyerahkan gitar
yang ia pegang tadi padaku. Aku mengangguk lalu menerima gitarnya.
“Buat Mario Haling, pacarku
tercinta,”
Ia tersenyum mendengar
ucapanku. Ku petik gitar itu. Ku mainkan satu buah lagu yang dari dulu selalu
aku nyanyikan diam-diam untuknya.
Bila cinta menggugah rasa
Begitu indah mengukir hatiku
Menyentuh jiwaku
Hapuskan semua gelisah
Duhai cintaku duhai pujaanku
Datang padaku tetap di
sampingku
Kuingin hidupku
Selalu dalam peluknya
Terang saja aku menantinya
Terang saja aku mendambanya
Terang saja aku merindunya
Karna dia… karna dia begitu
indah
Duhai cintaku duhai pujaanku
Peluk diriku dekaplah jiwaku
Bawa ragaku melayang
Memeluk bintang
Terang saja aku menantinya
Terang saja aku mendambanya
Terang saja aku merindunya
Karna dia… karna dia begitu
indah
Aku mengakhiri nyanyianku.
Menunggu reaksi darinya setelah mendengarkan lagu yang bisa dibilang ungkapan
hatiku untuknya.
Dia tersenyum lalu lagi-lagi
mengacak poniku.
“Bisa aja milih lagunya”
“Kan kamu inspirasinya,”
Dia hanya tersenyum lalu
bangkit berdiri.
“Ayo ah pulang! Udah sore!”
Heem, selalu saja begini.
Disaat aku ingin meciptakan suasana atau moment romantis dengannya, ia selalu
saja seperti ingin menghindar. Aku tidak tau ini hanya perasaanku saja, atau
memang benar ia tidak menginginkan suasana seperti itu terjadi.
Aku hanya mengangguk saja dan
kamipun pulang.
***
“Fy, kayanya Rio tuh cuek
banget ya orangnya??” tanya Via, sahabatku.
Aku tersenyum masam lalu
mengangguk.
“Bukan sekedar cuek Vi. Dia
tuh kaya ga peduli sama gue. Sayang kaya ga sayang. Suka kaya ga suka. Mau kaya
ga mau. Entahlah gue juga bingung sebenrnya dia beneran sayang sama gue atau
engga.” ujarku pasrah.
Aku memang selalu merasa bahwa
ia setengah hati padaku. Entah memang benar seperti itu atau hanya perasaanku
saja. Aku tidak ingin meragukannya. Namun sikapnya padaku membuatku terpaksa
meragukannya.
Berulang kali aku tanyakan
padanya, benarkah ia mencintaiku? Jawabannya selalu sama “iya”. Namun entah
mengapa keraguan itu kembali muncul dalam hatiku.
Eem, sebenarnya aku bukan meragukannya.
Aku hanya takut. Takut kehilangan ia. Takut bahwa semua ini hanyalah kepalsuan
belaka. Tapi aku berharap ketakutan ku ini salah.
“Yaudah lo jangan negatif
thinking dulu. Mungkin emang udah dari dasarnya kaya gitu kali orangnya.”
“Iya, Viiii… Tapikan terkadang
nyesek juga. Gue pengen romantis-romantisan, eh, dianya malah begitu. Gue tuh
envy tau sama lo sama Pricilla. Pacar-pacar kalian tuh care sama kalian. Ga
kaya Rio!”
“Tetep percaya sama kata hati
Fy!”
Aku menghembuskan nafas
keras-keras. Sedikit frustasi dengan sikap Rio. Namun tak apa. Selama aku masih
mampu bertahan, aku akan terus menunggunya untuk berubah. Aku percaya suatu
hari nanti akan ada keajaiban datang padaku, padanya, pada kita.
***
Kamu…
Satu nama yang terukir indah. Satu bayang dan hanya bayang.
Kamu…
Tak mungkin dapat aku sentuh. Tak mungkin untuk aku dekap.
***
Aku tak percaya ini semua
sudah berakhir. Aku tak percaya semua telah selesai. Aku tak percaya ia tega
meninggalkan aku.
Semudah itu ia mengakhirinya,
mengakhiri kisah kita, cerita kita. Semudah itu ia melepaskanku.
Aku menangis mengingat segala
perih hati yang aku rasakan. Ini benar-benar menyesakkan. Aku tak pernah
menyangka jika semuanya akan berakhir secepat ini.
Ia melepaskanku hanya dengan
satu perminta maaf. Maaf untuk segalanya. Maaf karna telah membuatku terluka
selama ini. Maaf karna sering membuatku menangis.
Hey, tak sadarkah kamu?! Tak
ada yang lebih menyakitkan daripada harus kehilanganmu, Mario!
“AAAAAAAAAAARGH!!! ARGH!! GUE
BENCI KEHILANGAN!! GUE BENCI!”
Sivia dan Pricilla
mengelus-elus punggungku, mencoba menenangkanku yang sangat kacau.
Dari pagi tadi ketika datang
ke sekolah aku tidak bisa menahan rasa sedihku. Sepanjang jalan menuju kelas
aku tak mampu menahan laju air mataku agar tidak terjun jatuh. Pertahananku untuk
tidak menangis gagal.
“Fy, udah Fy!! Lo gausah
nangis kaya gini. Cowo brengsek kaya Rio tuh ga pates lo tangisin! Lo
buang-buang tenaga Fy nangisin dia!” Sivia terus menenangkanku.
“Iya Fy! Dia tuh cowo jahat
Fy! Dia ga pantes dapetin air mata lo! Kalo lo terus-terusan nangis kaya gini
yang ada entar dia bangga lagi udah bisa bikin lo nangisin dia!” Pricilla ikutan
menenangkanku.
Namun aku tak kuasa untuk
menahan segala kesedihanku. Sakit. Sakit sekali.
“Tapi gue ga kuat Vi, Priss!
Gue ga kuaat!!”
“Lo denger gue ya Fy. Dia tuh
ga bersyukur banget Fy punya lo! Lo yang selalu sayang sama dia walaupun dia
begitu sama lo. Lo tetep sabar. Lo tetep bertahan nerima dia. Kalo gue jadi lo
Fy, udah gue tinggalin itu dia! Gue buang jauh-jauh ke laut!” Pricilla
menasihatiku. Membuat tangisku semakin pecah.
“Iya Fy, bener tuh apa yang
Pricil bilang. Udah sekarang lo berenti nangis! Ga ada gunanya lo nangisin si
Mario Mario itu! dia tuh jahat Fy!”
“Lo tuh cantik fy! Lo pasti
bisa dapetin yag lebih baik dari dia! Pasti Fy!!”
Aku teringat bagaimana
perjuanganku untuk mendapatkannya. Sulit. Sangat sulit. Aku harus “jatuh
bangun” dan “jungkir balik” berulang kali. Sudah tak terhitung berapa kali aku
menangisinya. Tak terhitung berapa kali aku harus merasakan sakit akibat
terluka karenanya.
Dan kini, aku kehilangannya
untuk yang ke sekian kali.
***
Rindu..
Namun tak dapat memeluknya.
Sakit…
Namun tak dapat menangis mengeluarkan rasa.
***
Bersamanya aku tau bagaimana
rasanya dianggap tak berharga. Sakit. Sesak. Namun aku tak dapat berbuat
banyak. Karna sesakit apapun itu, aku tak mampu melepasnya. Tak akan pernah
mampu.
Bersamanya aku tau apa itu
arti sebuah pengorbanan. Sulit. Lelah. Namun aku tak bisa berhenti untuk terus
berjuang demi dia.
Bersamanya aku tau betapa
indahnya mempunyai sebuah tujuan. Membingungkan. Namun aku tau, dialah
satu-satunya tujuan aku untuk bahagia.
Bersamanya aku tau bagaimana
sulitnya bersabar, sesaknya tak dianggap, sakitnya tak dihargai.
Namun bersamanya pula aku tau
bagaimana indahnya memiliki dan dimiliki.
***
Luka…
Terlalu menyayat hati. Membunuh jiwaku perlahan-lahan.
Membuatnya mati.
Cinta…
Satu harapanku,
Dia tau betapa aku mencintainya. Betapa aku ingin dirinya.
***
Sesak ini takkan hilang. Sakit
ini tak terobati.
Aku hanya ingin dia tau,
bagaimana besarnya cinta yang aku simpan untuknya.
Bagaimana lelahnya berjuang
demi cinta yang benar-benar terlalu egois ingin memilikinya.
Bagaimana sakitnya merindukan
ia yang tak merindukanku.
Bagaimana perihnya hanya dapat
berangan tentangnya.
***
Kini ia hanya dalam angan. Tak
untuk aku sentuh apalagi aku dekap.
Sesakit apapun luka yang ia
torehkan, ia akan tetap selalu menjadi yang terindah. Takkan ada yang mampu
seperti dirinya. Ia berbeda. Ia istimewa.
Hujan telah reda. Hanya
tersisa titik air. Aku keluar dari kerumunan orang-orang yang ada di halte
tersebut. Melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
Sesak itu kembali menghampiri.
Memelukku dengan erat. Membangkitkan kembali kenangan-kenangan indah yang
menyayat hati itu.
Aku berharap suatu hari nanti
ia sadar betapa aku sangat mencintainya. Betapa besar harapku untuk dapat terus
bersamanya. Aku menginginkannya kembali.
Akupun yakin akan keajaiban
itu. Aku yakin suatu hari nanti ia akan sadar, takkan pernah ada yang mampu
menyanyanginya setulus aku menyayangi dirinya. Takkan ada gadis yang rela
mengorbankan segalanya hanya demi mendapatkan sedikit perhatiannya.
Dan aku berharap jika
keajaiban itu akan secapatnya datang. Karna aku tak sanggup bila harus
menjalani hariku tanpanya lebih lama lagi. Semoga. Ya, semoga.
***
Kembalilah..
Dan aku takkan menyia-nyiakanmu.
***
Yaampun, cerpen gagal ini jadi
juga akhirnya -____- walaupun gagal banget.
Sebenernya yaa, ini tuh
niatnya emang pengen ngungkapin isi hati. Pengen nyeritain kisah menyakitkan
yang pernah saya alami sendiri *asikkansayabahasanya*
Yaah, maaf baget kalo banyak
kekuarangan di sana sini. Pertama, gue emang lagi galau banget ini. ini galau
yang tergalau yang pernah gue rasain. Gue ga pernah segalau, senyesek, sesedih
ini *okemalahcurhatlagi*. Kedua, nyelesaiinnya buru-buru banget gatau kenapa
tapi pengen cepet selesai aja. Akhirnya cuman semalem selesai juga. Ketiga,
sebenernya nih cerita niat dan tujuan ga jelas buat apa dan ke mana. cuman
pengen berbagi pengalaman aja sih sama pembaca. Tapi jadinya malah begini.
Ngefeel ga nih cerita?? Engga
yaaa??? Yaallah :”(
Udah lama ga nulis jadi lupa
gimana caranya ngarang cerita yang bagus, baik, dan benar. Lupa gimana caranya
ngerangkai kata-kata biar jadi ngefeel. Tapi mudahmudahan aja ga buruk buruk
banget ya walaupun emang buruk -_____-
Pemain gue pilih “Ify, Rio,
Sivia, Pricilla”… buat saat ini gue cuman ngefeel sama mereka doang. Paling
sama koko Alvin *aaa jadi kangen koko :”((* tapi gatau mau dimasukin jadi apa
di sini.
Couple masih RIFY. Ya karna
sampe kapanpun walaupun gue sayangnya sama “dia” *eeeeh, tapi cintanya tetep
sama RIFY. Walaupun udah jarang aktif di grup tapi gue masih tetep RFM kok.
Insya Allah gue RIFYMANIAC sejati :p
Sekian cerpen gajelas gue. Sampai
ketemu di karya karya gue yang lainnya :))
Terakhir backsoundnya,
“Di saat ku tertatih tanpa kau
di sini kau tetap ku nanti demi keyakinan ini… Jika memang kau terlahir hanya
untukku bawalah hatiku dan lekas kembali… Kunikmati rindu yang datang
membunuhku, untukmu sluruh nafas iniii…..”