Wednesday, September 21, 2016

Menulis


Menulis. Menulis bukanlah hal asing bagi orang Indonesia. Menulis dapat dimulai dari hal terkecil. Contohnya menulis buku harian. Siapapun bisa menulis buku harian, meski dengan tatanan kata yang berbeda-beda.

Menulis berarti menuangkan seluruh ide atau imajinasi ke dalam sebuah bentuk tulisan. Yang namanya tulisan tentu saja banyak macamnya. Bisa menulis artikel, puisi, syair, cerita, bahkan buku, dan masih banyak lagi jenis-jenis tulisan lainnya.

Menulis bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencurahkan segala macam bentuk perasaan. Dengan menulis, segala emosional jiwa dapat tersalurkan secara positif. Bahkan, sebuah tulisan yang berkualitas biasanya tertuang dari emosi jiwa si penulis yang disulap menjadi rangkaian kata. Sedih, senang, marah, semuanya bisa menjadi tulisan. Tentunya jika si penulis memiliki kemampuan untuk mengubahnya menjadi tulisan yang menarik.

Menulis diperoleh berdasarkan naluri dari masing-masing diri. Namun untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas dan mampu menarik banyak pasang mata untuk membacanya, dibutuhkan keterampilan dan latihan. Keterampilan sudah pasti berasal dari bakat yang dimiliki. Sedangkan latihan yang dimaksud adalah dengan terus-menerus menulis serta membaca. Karena untuk bisa merangkai kata-kata menjadi sebuah tulisan yang baik dan menarik tentu saja tidak terjadi secara instan.

Menulis dimulai dengan mencari topik atau tema atau bahasan. Biasanya orang akan tertarik dengan topik yang sedang “hot” atau “trend”. Jadi, carilah topik yang sekiranya akan dicari dan dibaca oleh orang lain. Jangan lupa perhatikan etika dalam menulis. Jnagan gunakan bahas kasar, pornografi, atau rasis. Jangan membuat tulisan yang mengundang pertikaian atau perselisihan.

Menulis tidak susah, tapi juga tidak mudah. Perbanyak membaca untuk merefresh otak kita saat ide sedang buntu. Teruslah menulis dan teruslah berkarya. Semangat!

Monday, August 29, 2016

Bukan Diriku (Part 5)

Part 5
TOKTOKTOK

Shilla berdiri dengan resah di depan pintu rumah Alvin. Kabar tentang kecelakaan itu baru sampai di telinganya kemarin malam Sangat tidak mungkin jika ia harus keluar tengah malam untuk menemui Alvin. Kabar yang ia dengar kemaren pun Alvin tidak terluka parah. Namun tetap saja rasa cemas menghampirinya mendengar Alvin mengalami kecelakaan.

Pintu rumah dibuka oleh wanita paruh baya yang Shilla yakini adalah pelayan di rumah itu karena matanya menangkap sebuah kain lap tersampir di bahunya. Pelayan itu tersernyum ramah seraya menganggukan kepala kecil memberi salam.

"Selamat pagi. Cari siapa mbaknya?" tanyanya ramah.

"Pagi, Bi. Alvinnya ada?"

"Den Alvin ada di belakang, Non. Silahkan,"

"Terima kasih, Bi."

Shilla mengikuti langkah pelayan itu menuju ke halaman belakang rumah Alvin. Seraya meyakinkan diri untuk bertamu demi mengetahui keadaan Alvin.

Tubuh Shilla menegang kala matanya menangkap pemuda yang mengisi hatinya itu tengah membelakanginya dengan gitar yang dimainkan asal.  Hingga Shilla tak medengar saat bibi pelayan pamit meninggalkannya. Rasanya kaki Shilla tertancap paku besar hingga tak mampu bergerak. Suasana sejuk pagi hari berubah menjadi panas seketika. Shilla ragu namun ia benar-benar ingin mengetahui keadaan Alvin, meskipun dari sini Shilla sudah bisa mengetahui bahwa pemilik hatinya itu dalam keadaan baik-baik saja.

Shilla berancang untuk berbalik. Namun sisi lain hatinya mengatakan jika Shilla harus menemui Alvin. Demi rindu yang harus tercurah. Demi gusar yang terus mendera.

Shilla menghela. Rasa takutnya terkalahkan oleh egonya yang memaksa menang. Akhirnya Shilla melangkah pelan dengan harapan Alvin dapat menghargai kehadirannya yang terus mengkhawatirkannya.

Semakin dekat dengan pemuda itu semakin Shilla dapat melihat jelas sosok Alvin yang selalu terlihat sempurna untuknya meski nyatanya ia tak pernah terlihat sedikitpun.

Shilla berhenti tepat di belakang pemuda itu. Tetapi lidahnya mendadak kelu. Tak berani sama sekali mengganggu Alvin yang masih asyik dengan gitarnya dan udara sejuk pagi. Saat seperti ini sangat jarang Shilla dapatkan. Dan shilla tak mau menyia-nyiakannya. Meski hanya dari belakang, Shilla tetap menikmati setiap mili tubuh yang terbalut kaos putih itu.

Meski Alvin selalu menolak kehadirannya. Meski Alvin selalu menampik perhatiannya. Shilla tetap tak mampu pergi. Shilla tau sekeras-kerasnya karang, akan terkikis juga jika terus menerus diterpa ombak. Dan Shilla yakin suatu hari nanti, ia akan mampu membuat Alvin luluh dan melihat kehadirannya. Meski tak tau sampai kapan ia harus menunggu keajaiban itu terjadi.

"Belum puas lo gangguin gue?!"

Shilla terkesiap dan tersadar dari lamunannya kala Alvin bangkit dan langsung menyergap kehadirannya. Dengan susah payah Shilla menelan ludahnya untuk meresakan kekagetannya. Namun tak berhasil saat Alvin menatapnya begitu menusuk.

"Masih juga lo berani dateng ke sini?"

"Vin, gue cuma mau tau keadaan lo. Lo udah enggak apa-apa kan? Itu pelipis lo kenapa? Lukanya parah?"

"Dasar cewek gatau malu!"

Bagai tersambar petir, makian itu langsung menancap di bagian terdalam hatinya. Mengakari segala luka yang mulai berkecambah. Sakit. Dan sungguh jahat. Mata Shilla memanas hingga akhirnya cairan pengungkap luka itu jatuh tanpa mampu ditahannya. Lagi-lagi terluka. Dan selalu luka yang Alvin torehkan. Tidak bisakah sekali saja bahagia yang ia dapatkan dari pemuda itu?

"Vin... Lo jahat!" lirih Shilla terluka.

"Gue jahat? Terus lo apa?!"

"Vin, please, itu semua udah lalu, Vin. Gue hadir sebagai Shilla yang baru. Shilla yang punya cinta buat lo. Tulus."

"Cinta? Cih! Basi!"

"Hargain, Vin! Hargain perjuangan gue buat berubah!"

"Sekali busuk, tetep busuk!"

"Iya, gue tau dulu gue salah. Dulu gue jahat. Tapi itu Shilla yang berumur empatbelas tahun. Yang masih engga tau cinta yang sebenarnya. Yang masih awam soal itu!" Shilla melangkah mendekat. Lalu mencengkram kedua lengan Alvin. Masih dengan air mata yang jatuh bercucuran. "Tapi Shilla yang ada di hadapan lo ini, ada Shilla yang udah ngerti. Kalau cinta itu berharga. Bukan mainan. Bukan memperbudak."

Rahang Alvin mengeras. Tangannya terkepal kuat. Dan dengan sekali sentakan, cengkraman Shilla terlepas. Membuat gadis itu terhuyung. Dengan emosi penuh karena Shilla sudah berani membangkitkan luka lamanya, Alvin berganti mencengkram kedua lengan Shilla. Membuat Shilla meringis, menahan perih yang terasa.

"LO! Jangan pernah lagi lo ungkit cerita lama itu! Jangan pernah lo bangkitin lagi sakit hati gue yang enggak akan pernah mati! Dan lo, sekali benci tetep benci! Sekali mati tetep mati! Dan bagi gue, lo udah mati! Sama kaya dulu lo matiin perasaan gue!"

Bibir Shilla bergetar. Luka itu. Luka itu juga luka yang sama seperti yang diterimanya. Bahkan lebih. Jika Alvin hanya terluka kurang lebih lima bulan, maka Shilla harus menanggung luka dari penolakan-penolakan Alvin selama hampir empat tahun. Sudah cukup seharusnya! Sudah cukup semuanya! Tapi Shilla tak bisa mengelak. Ia terlalu mencintai Alvin.

Rasa bersalah itu menumbuhkan cinta. Semakin kuat rasa bersalahnya, semakin kuat pula cinta itu tertanam.

"Maaf buat empat tahun yang lalu," lirih Shilla seraya menunduk.

Masih dengan emosi yang sama, Alvin melepaskan cengkramannya dan melangkah pergi meninggalkan Shilla yang semakin tersedu. Sudah cukup luka dari Ify. Sudah cukup penolakan Ify membuatnya nyaris gila. Jangan tambahkan lagi dengan cerita pahitnya di masa lalu.

Alvin hanya manusia biasa. Ia tetap punya hati yang bisa mati jika terus-menerus ditiupkan luka. Alvin bertahan karena cinta yang ia yakini sempurna untuk Ify. Tapi tak tahu sampai kapan kekuatannya itu akan mampu membuatnya terus berdiri tegak.

*****

"Happy birthday happy birthday happy birthday Rio..."

Ify menyanyikan dengan lirih lagu selamat ulang tahun di samping tempat tidur Rio. Dengan kue tart berukuran sedang dan lilin berjumlah 18 seperti jumlah tahun kehidupan Rio, Ify tersenyum seraya meniupkan lilin-lilin itu mewakili Rio yang masih terbaring koma. Setitik air mata jatuh dari pelupuknya. Sesak itu kembali dirasakannya.

"Kak Rio, selamat ulang tahun ya. Tuh, kamu udah tua. Jadi harus lebih dewasa lagi. Harus bisa jadi panutan banyak orang. Jadi orang hebat yang berkualitas. Dan..." Ify menggigit bibir bawahnya. Menahan tangis yang memaksa untuk dikeluarkan. Membuat rahangnya bergetar. Dan akhirnya tak lagi tertahan. Air matanyapun jatuh, mengungkapkan kesedihan yang takkan bisa teredam.

"Dan... Cepet bangun, Kak," isak Ify. "Aku kangen."

"Makasih Ifyku sayang. Maaf aku cuman bisa nemenin kamu dengan cara kaya gini." Rio yang sejak tadi berada di sebrang bed, juga tak dapat menahan kesedihannya. Rasanya sakit sekali melihat orang yang kita sayang menangis tersedu, bersedih sepanjang waktu karena kita

Ify meletakan kue tartnya di meja yang di sediakan bagi penunggu pasien. Dan iapun meraih kado yang telah dipersiapkannya jauh-jauh hari.

"Taraaa! Ini kado buat, Kak Rio!" Ify menunjukan sebuah kado yang telah terbungkus cantik di hadapan Rio.

"Karna Kak Rio engga bisa buka, aku aja deh yang bukain." Ifypun membuka bungkus kado itu dan mengeluarkan isinya.

Sebuah sweater berwarna almond, hasil rajutan tangannya sendiri terpampang di hadapan jiwa dan raga Rio.

"Ini aku rajut sendiri. Belajar sama oma sebelum oma meninggal. Khusus buat Kak Rio. Sayang, Kak Rio engga bisa liat."

"Aku bisa liat, Fy. Cantik banget. Makasih ya, Fy." tanggap Rio berbinar. Ia terharu sekaligus bangga. Di saat seperti ini, Ify masih tetap berada di sampingnya. Tak tergoyahkan oleh segala macam kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Rio tak perlu meragukan cinta yang ada pada gadisnya itu. Sudah pasti sempurna.

"Kalo aku balik ke tubuh aku nanti, aku pasti bakalan langsung pake sweater kamu itu, Fy. Pasti!"

Ify meraih tangan Rio lalu dikecupnya tangan itu. Berharap keajaiban terjadi. Lalu menyandarkan pipinya pada punggung tangan Rio yang kini digenggamnya erat. Ify memejamkan matanya. Merasakan desakan rindu yang menyerang hatinya. Berharap dapat mengurangi rasa sesak itu. Meski nyatanya tak sama sekali terbayarkan. Ia ingin memeluk Rio yang hidup, yang berdiri tegak, yang berjiwa. Bukan Rio yang tengah terbaring tak berdaya seperti ini.

*****

Matanya menatap lurus pada objek yang berhasil mengusik hatinya. Tangannya meremas kemeja seragamnya yang mulai mengerut di bagian bawahnya. Entah mengapa melihat Gabriel tengah bercanda mesra dengan seorang gadis di pinggir lapangan, membuat hatinya memanas tak suka.

Merasa tak berhak, membuatnya semakin tak berdaya. Bukan siapa-siapa. Kalimat itu terus terngiang-ngiang membuat emosinya tersulut. Emosi yang tak jelas arahnya. Emosi yang tak seharusnya ada. Emosi yang sama sekali tak pantas. Inilah yang dinamakan cemburu?

Sivia tak yakin jika ia menyukai pemuda itu. Memang intensitas pertemuan mereka terbilang sering -karena Gabriel adalah sahabatnya Alvin. Otomatis Gabriel sering berada di dekat Alvin yang sering menghampiri Ify jika sedang bersamanya. Memang juga tak ada yang spesial dari pemuda itu sampai rasa simpatik dan trenyuh akan perhatiannya mulai menjalari hatinya.

Saat itu, yang terpikir oleh seorang gadis berstatus single seperti Sivia adalah Gabriel merupakan pemuda gentle yang membuat Sivia terlena untuk terus mengkhayalkan sosoknya. Mungkin terlalu cepat. Mungkin masih amat dini untuk meyakini jika Sivia jatuh cinta. Namun apa nama dari keanehan-keanehan perasaannya jika bukan jatuh cinta? Ditambah sesak yang ingin meledak melihat Gabriel kini tengah mengacak gemas rambut gadis di sebelahnya. Membuat Sivia yakin jika ia menyukai Gabriel.

Tidak salahkan? Bukankah wanita adalah makhluk yang paling mudah geer?

"Kalo suka bilang aja kali, gausah diliatin sampe segitunya!"

Sivia tersentak lalu menoleh terkesiap melihat Alvin tengah berdiri di sebelahnya dengan senyum meremehkan yang terlihat begitu merendahkan. Sivia menatap tajam Alvin, tak terima diremehkan seperti itu.

"Jangan pengecutlah jadi orang. Kalo emang suka tegasin! Kejar sampe dapet! Jangan jadi orang bodoh yang cuman bisa meratapi nasib ngeliat orang yang lo suka jatuh ke tangan orang lain," senyum Alvin semakin mengembang, dan keculasannyapun semakin melambung.

Sivia berdesis sinis.

"Lebih mending gue pengecut, cuman bisa ngeliat dari jauh dan ngeratapin nasib. Daripada setan di sebelah gue ini, udah engga tau diri, engga punya hati, keji. Menjijikan," Sivia menumpahkan emosinya dan rasa tak terimanya. Moodnya yang sedang buruk dipancing untuk mengobarkan amarah. Tak ayal, kata-kata pedaspun tumpah ruah untuk pemuda itu.

"Setan ini tidak bodoh. Setan ini mau memperjuangkan apa yang seharusnya dia dapetin!" cecar Alvin yang mulai tersulut.

"Oh iya, ya. Sampe-sampe gatau diri dengan menghalalkan segala cara. Dasar setan! Eh lupa. Setan kan emang licik ya. Mana ada setan yang bisa realistis. Setan kan tempatnya di neraka jahanam! Apalagi yang kerjaannya ngerusak kebahagiaan orang!" timpal Sivia tak mau kalah.

Gantian Alvin yang menatap tajam Sivia. Meski tak terima disindir sakartis seperti itu oleh seorang wanita, Alvin lebih memilih menahan emosinya agar tidak membuat keributan. Bagaimanapun orang-orang tidak akan membela laki-laki yang mengajak ribut seorang perempuan. Alhasil, ia hanya mengepalkan tangannya sekuat mungkin, mengumpulkan seluruh emosinya di sana hingga wajahnyapun ikut memerah.

"Gue ke sini bukan mau nyari ribut sama cewe bego kaya lo!"

"Engga ada juga yang ngundang lo ke sini! Cih!" Sivia benar-benar muak dengan pemuda ini. Terlebih lagi, kini Alvin mecelanya dengan kata-kata kasar. Namun tak berniat sama sekali meladeni Alvin, Sivia berancang-ancang untuk melangkah pergi, sebelum tangan Alvin mencekalnya dan menghentikan langkahnya.

"Apaan sih?! Lepas!"

"Di mana Ify?"

"Masih punya muka lo buat nanya Ify di mana?"

"Gue tanya, mana Ify?! Gue butuh jawaban! Bukan pertanyaan engga guna kaya gitu!"

"Gue enggak akan pernah jawab! Lepasin tangan lo!"

"Jangan paksa gue buat main kasar! Gue engga ada waktu buat ngeladenin lo!"

"HAHAHAHAHAHA! Tuan Alvin yang terhormat, saya tidak pernah berminat sama sekali berurusan dengan anda. Silahkan anda cari sendiri di mana Ify. Jangan pernah libatkan saya untuk menghancurkan Ify. Maaf, saya bukan orang keji yang akan membantu setan menghancurkan sahabat saya sendiri!"

Sivia menyentakkan tangan Alvin sekeras mungkin hingga berhasil melepaskan cengkramannya. Meski tangannya terasa seakan putus karena terlalu kuat menyentak, Sivia tetap bernafas lega dan memilih pergi meninggalkan Alvin. Tak sudi beradu lisan dengan pemuda itu.

"Brengsek!" umpat Alvin meluapkan emosinya. Sesungguhnya Alvin tidak pernah bisa menghirup udara dengan tenang. Sesungguhnya banyak perasaan resah karena ia tau, di setiap langkahnya, orang-orang akan selalu mencibirnya dan mengecapnya tak baik. Meski terkadang lelah, meski terkadang ia ingin berlari pergi, bersembunyi di ujung dunia yang tak dapat ditemui orang lain. Namun nyatanya, ia selalu menepis kembali perasaan-perasaan itu. Menekan segala risaunya sedalam mungkin. Membangkitkan egonya ke puncak. Karena ia yakin, bahagia itu pasti akan berpihak padanya. Tak peduli seberapa panjang jarak yang harus ia tempuh. Seberapa lama waktu yang harus ia lalui. Ia akan menjemput bahagianya dengan cara apapun.

*****

Lapangan indoor itu menggemakan suara pantulan bola yang tak dimainkan oleh si pemilik tangan. Ia hanya memantulkan asal bolanya dengan tatapan yang tak berisi. Raganya di sana, tapi jiwa dan pikiran melayang jauh ke tempat sang kekasih terbaring koma.

Sejak Ify terbangun tadi pagi, ia sudah tidak memiliki semangat untuk menjejaki sekolah kebanggannya ini. Teringat akan Rio dan selalu tentang Rio. Jam-jam pelajarapun hanya Ify lewati dengan termenung, melamun, dan fikiran yang terus saja dipenuhi oleh Rio dan keadaannya serta kemungkinan-kemungkinannya. Hingga jam istirahat yang memakan waktu empat puluh lima menit ini Ify gunakan untuk melarikan diri guna menyegarkan pikirannya yang benar-benar keruh saat ini.

Ify mendesah membuang sesak yang tak juga mereda. Sesak dan sakit yang terlarut dengan sebuah ketakutan besar membuat hidupnya seakan terhenti. Bayang-bayang akan kemungkinan buruk itu selalu menghantui dan tak dapat disergah dengan mudah. Meskipun doa selalu terpanjat, tetap saja tak semudah itu berpasrah. Ify terus berharap agar Rio kembali bangun dan tersenyum lagi untuknya.

"Kak Rio...." lirih Ify seraya memeluk erat bola basket itu. Tak peduli jika kuman dan debu dari bola itu berpindah ke bajunya. Ia hanya butuh sandaran. Ia butuh pelampiasan emosi. Ia butuh tubuh untuk dipeluk. Ia butuh Rio.

"Aku kangen liat Kak Rio main basket," Ify teringat kembali akan permainan basket Rio yang selalu menimbulkan decak kagum dari para siswi. Rio memang jago dalam bidang itu. Dan basket membuat Rio terlihat semakin mempesona. Basket adalah salah satu kesukaan Rio. Maka dari itu, memeluk bola itu sama saja memeluk Rio. Meski tak sama sekali mengurangi kerinduannya.

"Aku di sini, Fy."

Rio berdiri di hadapan Ify yang kini tengah menyandarkan punggungnya ke tiang basket. Entah bagaimana caranya menyampaikan pada gadisnya jika ia selalu ada bersama Ify. Ia ingin sekali memberitahu Ify dan membuat Ify melihatnya. Namun ia tak memiliki daya akan itu.

"Kalo aja kamu tau aku selalu ada di deket kamu, Fy."

Kali ini Rio berjongkok di hadapan Ify. Tangannya terjulur untuk menyentuh pipi Ify. Namun tetap tak teraih. Tangannya menembus wajah gadis itu. Rio mendesah kecewa.

Semilir angin menyapa wajah Ify. Membuat Ify mendongak seketika. Dari mana asal angin itu, sedangkan ruangan ini besar dan tertutup? Hanya ada ventilasi kecil di setiap dindingnya. Dan tak mungkin angin itu sampai ke wajahnya yang berjarak amat jauh dengan ventilasi-ventilasi itu. Ify lantas menatap ventilasi satu per satu. Seolah mencari jawaban atas fikiran-fikiran mistisnya. Ia hanya sendiri di dalam sana tanpa kipas angin atau pendingin ruangan. Dan satu-satunya hal yang terlintas dipikirannya hanya suasana yang tiba-tiba berubah mencekam.

Ify lantas bangkit dan membuang asal bola basket itu. Membuat Rio ikut bangkit. Ia tau Ify pasti berfikir ruangan ini berhantu. Riopun terkekeh melihat ekspresi tegang dari wajah Ify.

"Aduh sayang, kamu ini lucu banget sih kalo lagi ketakutan gitu. Kalo hantunya seganteng aku, kamu masih takut juga?" Rio semakin terkikik.

Ify hendak berlari sebelum terdengar pintu besar di salah satu sisi terbuka. Ify dan Rio menoleh seketika. Jantung Ify berdebar. Sampai akhirnya muncul sosok Alvin yang langsung membuat Ify bernafas lega sekaligus jengah tak suka.

"Fy!" seru Alvin yang langsung mengambil langkah seribu melihat Ify berbalik badan. Ia tau Ify hendak keluar melalui pintu di sisi lain untuk menghindarinya. Namun akhirnya Alvin beruntung karena tangannya mampu menggapai tangan Ify yang berusaha berlari. Ify berontak saat tiba-tiba langkahnya dihentikan paksa oleh cengkraman tangan Alvin.

"Lepas!" teriak Ify seraya berusaha melepaskan cekalan tangan Alvin.

"Fy, kasih gue kesempatan! Dengerin gue!"

"Enggak! Sampai nyawa gue dicabutpun, gue enggak akan sudi ngasih lo kesempatan! Lepasin gue!"

"Harus berapa kali lagi sih, Fy, gue memohon?! Harus dengan cara apalagi gue yakinin lo?!"

"Harus berapa kali lagi sih gue nolak lo?! Dan harus dengan cara apalagi gue tegasin ke elo kalo gue benci sama lo?!" balas Ify tajam.

"Enggak! Lo ga boleh benci sama gue!"

"Gue benci sama lo!" Ify kembali meronta berusaha melepaskan cekalan tangan Alvin yang justru semakin menguat. Membuat pergelangan tangannya terasa perih dan memanas.

"Enggak! Lo harus cinta sama gue!" tegas Alvin tak ingin dibantah. Ia semakin mengunci tangan Ify.

"Lepasin gue!" Kali ini Ify barengi dengan rintihan samar yang tak terbaca Alvin. Ify mulai kehabisan cara dan lelah. Namun ia tak akan membiarkan Alvin menang.

"Diem, Fy! Semakin lo berontak, semakin tangan lo sakit!"

"Lo jahat! Lo iblis! Lo enggak punya hati!" cerca Ify bengis. Kemuakannya merandang. Kebenciannya membara.

"Lo yang jahat! Lo ngebiarin gue ngemis-ngemis cinta lo tanpa lo sambut sedikitpun! Lo yang jahat dan lo yang udah ngerubah gue jadi kaya gini!" timpal Alvin keras.

"Gila!"

"LO YANG UDAH BUAT GUE GILA!!" bentak Alvin membuat Ify tersentak. Ify sontak terdiam dan air matanya mengalir seketika.

"Kak Rio enggak pernah memperlakukan gue sekasar ini," lirih Ify menunduk. Semenjak tadi ia menahan agar tidak menangis karena teringat Rio. Namun tak lagi dapat ditahannya kesakitan ini. Teringat akan Rio yang selalu menjaganya dan melindunginya dengan baik. Tak pernah ada bentakan seperti ini. Ify tak suka dibentak. Ify tak suka dipaksa. Tapi Alvin selalu melakukan itu. Isakan Ifypun semakin mengeras.

Rio tak sanggup lagi berdiam diri. Dengan penuh emosi, dirasukinya tubuh Alvin hingga membuat raga Alvin mengejang hebat. Ify terlonjak. Dan perlahan cekalan tangan Alvin merenggang hingga akhirnya terlepas. Ify membelalak takut.

"Kkk...kkakk Al..vin..." panggil Ify takut saat Alvin berhenti mengejang. Mata Alvin menatap lurus pada Ify dan perlahan tersenyum manis tak seperti biasanya.

"Fy,"  panggil Alvin lembut yang terdengar aneh namun tak asing. Alvin tak pernah memanggilnya selembut itu. Setiap kata atau kalimat yang keluar dari mulut Alvin adalah paksaan dan bentakan yang tak akan pernah bisa sampai ke hatinya. Namun panggilan ini terasa berbeda.

"Fy, kamu enggak apa-apa?"

Ify mengernyit. Kamu? Sejak kapan Alvin menggunakan kata kamu padanya? Sejak kapan nada bicaranya tanpa teriak dan penuh penekanan? Sejak kapan Alvin bisa bertanya bagaimana keadaannya setelah pemuda itu membentaknya tanpa perasaan?

"Lo kenapa?" Ify bertanya balik. Takut-takut, Ify melangkah mundur. Perubahan secara tak terduga itu membuat sel-sel otak Ify tak mampu mencerna apa yang sedang terjadi ini.

"Jangan takut, Fy. Aku akan jaga kamu. Selalu." Rio yang kini berada di dalam raga Alvin maju mendekati Ify yang semakin melangkah mundur. Rio tau Ify takut padanya karena kini yang dilihatnya adalah sosok Alvin, bukan dirinya. Namun Rio tak gentar. Ia hanya ingin bisa menyentuh gadisnya meski dengan raga orang lain.

"Apasih?! Jaga apa?" tanya Ify dengan intonasi meninggi. Tak suka dipermainkan seperti ini. Tak suka dibuat tak mengerti.

Ify akhirnya mencapai batas melangkahnya dan terpojok di dinding. Rio melangkah pelan namun tegas dan langsung mengunci gadisnya itu dengan kedua tangan yang ia tumpukan di masing-masing sisi tubuh Ify. Ify menelan ludah dengan susah payah. Dengan lirikan, Ify mencoba melihat ekspresi Alvin yang akhirnya berhasil membuatnya tak berkutik. Jarak yang amat dekat itu membuat Ify dapat mencium aroma tubuh pemuda itu.

Dan lagi-lagi rasa nyaman itu sayup-sayup mulai menyusupi hatinya dan menjalari setiap aliran darahnya. Mata itu mengikat erat matanya. Terpaku tak dapat teralih. Mata yang begitu teduh, membuat rindu itu semakin merasuk. Menyiksa tak berkesudahan. Dan anehnya, Ify menikmatinya. Menikmati setiap getaran yang hanya untuk Rio. Menikmati keteduhan yang hanya milik Rio. Mengapa Alvin mampu menciptakannya?

"Fy, aku sayang sama kamu. Kemarin, sekarang, dan sampai waktu yang tak terbatas. Selama Tuhan mengizinkan itu. Selama aku mampu mencintai kamu. Selama jantung ini berdetak hanya untuk membuat kamu bahagia. Selama hanya senyum kamu yang jadi dasar kebahagiaan aku. Selama itu aku akan selalu hidup di hati kamu. Jadi bunga cinta yang abadi. Untuk kamu. Cuman untuk kamu, Fy," dengan bisikan tegas yang terlontar dari bibir Alvin, Rio berharap Ify bisa mengerti jika ia memcintainya teramat dalam. Entah, selalu kata cinta yang ingin diucapkannya. Tak mungkin berkata jika ia adalah Rio, membuat rindu itu menguasainya sedemikian rupa.

Ify tercengang. Tak mampu lagi membalas ungkapan tulus itu. Dan pada akhirnya, Ify hanya bisa menunduk dalam-dalam untuk mengusir perasaan-perasaan aneh yang menggelayutinya kini. Kenyamanan itu membungkamnya. Sampai akhirnya Ify merasakan sebuah tangan menyentuh punggungnya, lalu menelusurinya hingga terhenti di pinggangnya. Ify merinding. Namun tak mampu melawan. Dan Rio menariknya mendekat untuk menghapus sela tipis yang tersisa. Dikecupnya lembut kening Ify dan menahannya sesaat. Meresapi setiap cinta yang menggelora. Menggali rindu terdalam untuk dicurahkan kepada pemiliknya.

Ify menegang. Merasakan bibir itu menyentuh keningnya. Benci, tak suka. Tapi sial, ia tak bisa melawan. Dan semakin sial, karena Ify bahkan menikmatinya. Ify memejamkan matanya. Merasakan kehangatan mendalam yang merambati dinding-dinding hatinya. Menggelorakan rindu yang menjebaknya. Rindu yang hanya untuk Rio.

Tidak! Ini tidak biaa dibiarkan. Rindu ini hanya milik Rio! Kenyamanan dan kehangatan ini juga hanya milik Rio! Tidak untuk siapapun apalagi Alvin! Ini jebakan! Ia tidak boleh mengkhianati Rio! Karena cinta itu hanya pantas dimiliki Rio! Hanya untuk Rio!

Dengan bibir yang bergetar kuat menahan tangis semampunya, Ify mebuka matanya dan mendorong kuat tubuh Alvin. Membuat tubuh itu hampir saja terjengkang. Dan Ify tak sanggup lagi menekan tangisnya yang seketika pecah. Membahana di ruangan olahraga indoor itu.

"Lo!" tunjuk Ify dengan isakan. Rio terkejut sampai memundurkan kepalanya beberapa centi. Hatinya mencelos melihat tatapan tajam Ify.

"Jangan pernah berharap bisa dapetin cinta gue! Jangan pernah! Cuman Kak Rio yang berhak! CUMAN KAK RIO! Inget itu!!!" tutur Ify penuh penekanan di setiap katanya. Menegaskan untuk yang kesekian kalinya pada Alvin, jika hatinya hanya milik Rio.

Setelah berkata seperti itu, Ify memutar tubuhnya dan segera berlari pergi. Seraya menghapus air matanya yang masih saja mengalir tak mau berhenti. Ify benci merasakan ini. Tak mungkin hatinya akan terbagi. Hatinya tetap utuh untuk Rio. Tetap hanya milik Rio. Kenyamanan samar itu... bukan! Ia hanya terlalu rindu pada sosok Rio. Membuatnya selalu terbawa perasaan.

Rio melepaskan diri dari raga Alvin. Membuat tubuh Alvin mengejang sesaat dan limbung.

"Fy! Ify!" Alvin berusaha mengejar meski entah kenapa tubuhnya terasa amat lelah. Dengan sekuat tenaga Alvin berlari mengejar meski akhirnya tak sanggup lagi menyusul. Tubuhnya amat lelah. Seakan energinya baru saja terkuras habis. Dengan sisa kekuatan, Alvin melangkah menuju ke dalam kelasnya.

Rio menatap keduanya dengan senyum simpul. Bangga akan gadisnya yang begitu hebat mencintainya. Rio tau ia tak bisa pergi. Ia tau ada Ify yang harus selalu ia jaga. Ada Ify yang membutuhkannya. Maka, tak akan ia pergi sebelum segalanya menjadi indah dengan sempurna. Mencintai Ify. Membawanya selalu dalam rajutan doa yang tiada pernah putus. Untuk satu kebahagiaan abadi yang menjadi tujuannya. Tujuannya terus hidup meski raganya tak lagi mampu. Dan suatu hari ia yakin, Tuhan akan mengembalikan kehidupannya lagi.

Bersambung...

Tuesday, August 23, 2016

Hanya Angan

"Hanya Angan"
By: Amelia Astri Riskaputri


Mendung meradang
Binar tak nampak
Rindu merebak
Tangispun lepas

Hujan merangsang sendu
Dingin menyabik asa
Kala memori merekam segala cerita
Dan terputar dalam abu kenangan

Kini hanya ada rindu untuk segala kisah
Aku hanyalah persinggahan sementara
Hingga luka tak lagi tersamarkan
Merebaskan darah pilu 

Begitu jahat
Begitu kejam
Hingga perih ini tak lagi berduri
Kamu tetaplah angan
Dan memang hanya angan

Monday, August 22, 2016

Bukan Diriku (Part 4)

Part 4

"Maaf, Bu, Pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin."

Jantung Ify rasanya berhenti berdetak mendengar pernyataan sang dokter. Tubuhnya melemah dan air matanya kembali mengalir.

"Kami tidak berhasil membawa Rio keluar dari masa kritisnya, Bu, Pak. Operasi berhasil, namun keadaan Rio tidak membaik. Dengan berat hati saya katakan jika Rio mengalami koma."

Biru dan Cakka hanya bisa menghela pasrah. Sedangkan mama Rio menjerit histeris yang langsung ditenangkan oleh sang suami yang juga tampak shock. Ify terdiam. Namun air matanya terus mengalir. Pilu hatinya tak tergambarkan lagi. Rio koma. Dan itu entah untuk berapa lama. Tak sanggup Ify bayangkan sakitnya menunggu tanpa kepastian. Menunggu Rio terbangun atau pergi selamanya.  Sedangkan Sivia yang juga tak kalah shock, berusaha menenangkan Ify yang begitu terguncang. Meski juga menangis, namun Sivia masih dapat mengontrol perasaannya.

Dalam kepasrahan, orang-orang yang menyayangi Rio itu menuntun bed yang membawa Rio menuju ruang ICU untuk diberikan perawatan lebih lanjut. Hanya ada tangis di sepanjang selasar. Juga jerit histeris sang bunda yang terus memanggil nama putra semata wayangnya yang kini hanya terbaring lemah dengan mata terpejam. Luka-luka diwajahnya, menyiratkan sebuah penderitaan besar juga perjuangan berat antara kembali atau pergi. Dan ibu mana yang tega melihat kondisi sang anak yang hanya bisa terbaring dengan bantuan berbagai peralatan medis untuk membantu hidupnya?

Semua kembali menunggu di depan ruang ICU. Pastinya masih dengan air mata yang terus mengalir jatuh. Suster membawa masuk Rio tanpa mengizinkan satu orangpun mengikuti.

"Ify!"

Seruan itu membuat semua yang berada di sana menoleh. Tak terkecuali si pemilik nama yang nampak tak memiliki gairah pada awalnya. Namun melihat sosok Alvin yang kini tengah menghampirinya, membuat Ify menegakkan tubuhnya dan menyambut kedatangan Alvin dengan wajah penuh kemurkaan.

"Fy, lo engga apa-apa kan?" tanya Alvin khawatir seraya menyentuh kedua bahu Ify.

Ify tak menyahut. Dipandanginya wajah pucat dengan perban yang menggulung di pelipisnya itu. Tanpa suara. Dengan gigi yang gemertak, menahan emosi yang mulai menggumpal berang.

PLAK!

Dengan kebencian yang membara dan kepiluan yang tak mampu disembunyikan, Ify melayangkan sebuah tamparan yang tak akan cukup untuk membendung amarahnya pada pemuda ini. Membuat semua yang berada di sana semakin beku dalam kebungkaman. Mereka mengerti kekecewaan yang Ify rasakan.

"Brengsek! Ini semua karna lo! Puas lo ngeliat Kak Rio kaya gini?! Puas lo?! Lo bener-bener iblis! Enggak punya hati! Harusnya lo yang ada di posisinya Kak Rio! Kak Rio orang baik! Kak Rio bukan iblis kaya lo! Lo yang pantesnya mati, bukan Kak Rio!" jerit Ify histeris dengan air mata yang membludak jatuh seraya menunjuk wajah Alvin dan mendorong tubuh Alvin berkali-kali. Menumpahkan segala sakit hatinya.

Sivia dibantu oleh Biru berusaha menahan Ify agar tidak berbuat lebih anarkis lagi dengan mencengkram kedua lengan Ify yang selalu memberontak agar dilepaskan. Alvin bergeming. Ia menunduk tak tau lagi harus berkata apa. Ini bukan salahnya. Tapi juga ini karenanya. Ia tak mengingkan Rio terbaring di dalam ruang mengerikan itu. Ia hanya ingin Ify jatuh ke pelukannya. Hanya itu.

"Fy, tenang. Ini rumah sakit!" bisik Sivia tepat di telinga sahabatnya yang tengah mengamuk itu.

"Ini semua gara-gara dia, Vi! Gara-gara dia Kak Rio harus berjuang antara hidup dan mati! Gara-gara makhluk brengsek ini, Vi!"

"Fy, ini kehendak Allah. Bukan salah siapa-siapa." Kali ini Biru buka suara.

"Jangan belain setan brengsek ini! Dia itu jahat! Enggak punya hati! Dia pasti lagi ketawa bahagia di dalem hati ngeliat Kak Rio kaya gini!"

"Fy, gue enggak pernah berniat nyelakain Rio. Sumpah! Maksud gue tadi cuman mau ngebawa lo pergi. Bukan nyelakain Rio!" Alvin berusaha menjelaskan meski ia tau, Ify tak akan mungkin meluluh dengan penjelasannya itu.

Ify tertawa mencibir. "Munafik! Gue benci sama lo! Pergi lo dari hadapan gue! Gue muak liat muka lo!"

"Fy," Alvin terlihat memohon. Ia hanya ingin terus menemani Ify. Ia tau Ify tengah berada di titik terbawahnya sekarang. Biar bagaimanapun, Alvin menyadari dengan pasti, Rio adalah sesuatu yang begitu berpengaruh untuk segala macam kehidupan dan perasaan gadis yang dicintainya itu. Rio bagaikan perhiasan yang amat berharga bagi Ify. Meski sedikit tidak rela, namun Alvin bisa melihatnya. Melihat cinta yang begitu besar dari Ify untuk Rio.

"Pergi gue bilang!" Ify mereda. Emosinya memang tak sama sekali berkurang. Namun kekalutannya sudah berhenti. Ia sadar jika jeritan histeris sekalipun tidak akan membuat Rio terbangun dari komanya. Maka akan sangat percuma ia membuang-buang tenaganya yang juga sudah menipis.

"Maafin gue, Fy," lirih Alvin menahan semburat emosi yang mulai menyergapnya. Emosi yang tumbuh seketika kala mengingat jika cinta Ify hanyalah untuk Rio. Tidak untuk dirinya. Tidak akan pernah terbagi.

"PERGI!" bentak Ify.

Alvin menghela. Tangannya terkepal. Namun ia tetap memutar tubuhnya dan melangkah pergi dari sana. Alvin merasa terinjak. Ketika ia terbangun dari ketidaksadarannya tadi, pikirannya  langsung tertuju pada Ify. Bagaimana keadaan gadis itu setelah mobilnya menabrak tiang penyangga gedung parkir. Ia bahkan mengabaikan keadaannya sendiri dan langsung bertanya pada suster yang menanganinya. Setelah mendapat jawaban, Alvin segera berlari menuju ruang ICU untuk mencari tahu keadaan gadis yang kini menempati seluruh ruang di hatinya tanpa memberikan sela untuk siapapun. Namun nyatanya, Ify menganggapnya tak lebih dari iblis tak berhati yang tega membuat Rio harus berjuang antara hidup dan mati.

Langkah gontai Alvin terarah pada taman yang terletak di belakang rumah sakit. Tak berniat pulang, karena pikirannya  membutuhkan udara segar kali ini, Alvin menjatuhkan tubuhnya di atas bangku taman. Mencari ketenangan yang tak pernah ia dapatkan selama ini. Berusaha meluapkan sesak yang terus menghimpit semenjak ia menyadari jika cintanya bertepuk sebelah tangan.

Dua tahun hidup dengan penuh rasa dengki tak berujung pada Rio. Berusaha membalaskannya dengan cara apapun. Berupaya menjebloskan Rio ke dalam jurang sesak yang sama. Meski pada akhirnya ia tau, kekalahanlah yang akan selalu berpihak padanya. Pahit. Namun tak dapat menghindar. Takdir. Menyakitkan namun inilah yang harus ia jalani. Seandainya bisa, Alvin ingin memilih pergi. Namun Ify seolah memakunya. Gadis itu membuatnya menggila. Hingga di detik inipun, sulit rasanya untuk merelakan Ify berbahagia dengan Rio.

Dan tetap. Keegoisannya merajai. Tak akan ia biarkan Ify bertahan untuk Rio. Toh kini Rio tengah diambang kematian. Bukankah peluang itu lebih besar untuknya?

Alvin menarik tepi bibirnya. Menatap langit hitam seolah menantang. Lihat dirinya. Kali ini, Alvin pasti memenangkannya!

*****

Rio mengerjapkan matanya beberapa kali. Mencari cahaya yang entah bersembunyi di mana. Gelap. Hitam. Tak ada yang dapat dijangkau penglihatannya. Semua terasa kosong. Tak ada satupun benda yang dapat disentuhnya. Di mana ia sekarang?

Rio berusaha melangkah ke manapun untuk mencari tahu. Tubuhnya benar-benar terasa ringan. Padahal seingatnya, siang tadi ia mengalami kecelakaan tragis yang seakan membuat nyawanya direnggut paksa. Rio terus melangkah penuh keheranan. Sampai ia menemukan secercah cahaya kecil tak jauh dari kakinya berpijak. Dihampirinya cahaya itu.

Rio melongokan kepalanya. Celingak-celinguk mencari sesosok manusia yang bisa ia tanyakan di mana ia berada kini. Hingga tiba-tiba, secara samar Rio mendengar suara tangisan. Tangisan yang sangat ia hafal. Tangisan milik gadisnya.

Rio berusaha mencari sumber suara dan melangkah mengikuti arah munculnya tangisan itu. Selasar panjang yang sunyi dan hanya ada warna putih sejauh mata memandang, membuat Rio semakin dilanda kebingungan. Tempat macam apa ini? Kenapa suasananya begitu hampa?

Suara tangis Ify itu kini disertai dengan lirihan sang mama yang memanggil namanya. Ada apa ini? Mengapa orang-orang yang dicintainya itu bersuara memerih?

Rio terus melangkah hingga pada ujung selasar ia berbelok dan menemukan teman-temannya, kedua orang tuanya, Sivia, dan juga Ify, tengah berurai air mata di depan ruang ICU. Rio melanjutkan langkahnya dan menghampiri mereka semua.

"Fy, kamu kenapa?" tanya Rio tepat dihadapan gadis itu.

Namun Ify tak menyahuti. Ia tetap tertunduk dengan air mata yang tak mampu dihentikannya.

"Fy! Fy! Hey!"

Rio mengangkat tangannya lalu berusaha menyentuh Ify. Namun aneh. Tangannya berhasil menembus tubuh sang gadis. Rio membelalak. Lalu menatap tangannya. Ada apa ini? Mengapa tangannya melolosi sang gadis? Mengapa tangannya tak dapat menyentuh gadisnya?

Rio beralih pada sang bunda yang masih saja melirihkan namanya yang kini tengah ditenangkan oleh sang ayah.

"Mah! Ini Rio, Mah! Mama kenapa? Mama jangan nangis. Ini Rio ada di depan mama. Mah!" jerit Rio namun sang bunda melakukan hal yang sama. Tetap tak menanggapi. Bahkan menolehpun tidak.

Rio mencoba menyentuh sang bunda. Namun tetap sama. Tangannya tak berhasil menggapai tubuh sang bunda. Ia seakan menyentuh angin yang takkan mungkin dapat tergenggam.

Kali ini Rio menghampiri kedua sohibnya yang bersangga pada dinding ruang tunggu. Hampir frustasi. Rio kembali berbicara pada teman-temannya

"Biru, Kka! Lo berdua kenapa sedih? Ini gue! Please, liat gue!"

Rio mengepalkan tangannya ingin meninju kedua sohibnya. Namun ia malah terhuyung ke depan seakan tak ada siapapun di sana.

Rio mencoba berbicara pada perawat yang hilir mudik. Namun tak ada satupun yang menanggapi kehadirannya. Kali ini ia benar-benar frustasi. Rio tak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Mengapa ia seperti angin berhembus yang tak dihiraukan keberadaannya?

Rio melihat seorang dokter keluar dari ruang ICU yang langsung dikerubungi oleh Ify, Sivia, Biru, Cakka, dan kedua orang tuanya. Penasaran, Rio melangkah menghampiri mereka.

"Gimana dok keadaan anak saya?"

Rio menyernyit mendengar mamanya bertanya demikian.

"Masih belum ada peningkatan, Bu. Hanya mukjizat yang bisa membuat Rio kembali bangun. Kali ini, Rio sudah boleh dijenguk. Tapi jangan langsung masuk semua. Saya permisi."

Lagi-lagi tangis kembali pecah. Namun kali ini semua sudah memasrahkan. Tak ada cara lain selain mendoakan.

Mama Riolah yang pertama kali masuk ke dalam. Penasaran, Rio mengekori sang bunda. Dan matanya langsung membelalak kaget melihat raganya terbaring tak berdaya dengan peralatan medis yang menempel di hampir seluruh bagian tubuhnya. Rio sampai menutup mulutnya saking tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya ini. Jika raganya tergeletak di tempat tidur itu, lalu ia ini apa?

Rio melihat tubuhnya yang dapat ia jangkau. Pada dasarnya kakinya memang menapaki lantai. Namun tubuhnya terasa begitu ringan. Apakah dia ini hantu? Tapi ia masih hidup. Ditaktor jantung menunjukan detakan jantungnya yang memang lemah. Lalu dia ini apa?

Rio kembali menatap sang bunda yang kini tengah menggenggam tangannya yang di tusuk jarum infus dan jarinya yang dijepitkan pulse oxymeter. Mamanya tak lagi histeris. Namun air mata tetap jatuh dari pelupuknya. Hati Rio mencelos. Mamanya benar-benar bermuram durja. Matanya membengkak. Dan ini semua karenanya. Dengan berat hati -juga karena tak tega melihat mamanya-, Rio melangkah keluar ruang ICU dengan menembus pintu. Tidak mungkin ia membukanya sedangkan tak ada satupun orang yang bisa melihatnya.

Rio menghampiri Ify yang juga sangat terguncang. Matanya tak kalah sembab dengan mamanya. Membuat hati Rio semakin teriris. Ingin rasanya ia berteriak untuk memberitahu jika ia baik-baik saja. Namun sekencang apapun ia keluarkan suaranya, tetap saja tidak ada yang akan mendengarnya. Rio menghela putus asa.

Dilihatnya Alvin tengah melangkah dengan wajah penuh kelegaan dan senyum culas yang membuatnya ingin sekali meninju wajah itu. Sayang sekali kini ia hanya bisa menggeram dan menelan sendiri kebenciannya pada pemuda itu. Melihat Alvin melangkah hendak menghampiri Ify, Riopun memasang badan untuk menjaga-jaga. Mudah-mudahan saja, walaupun ia tak dapat menyentuh apapun sekarang ini, ia bisa tetap menahan Alvin menjahati gadisnya dengan cara apapun.

Ify bangkit dari duduknya melihat Alvin menghampirinya. Dihapusnya kasar air matanya yang masih tak mau berhenti menggenang, lalu ditatapnya Alvin seolah mengoyak ke dasar hati pemuda itu. Dan menegaskan jika kini hanya ada kebencian mutlak untuknya.

"Ngapain lagi sih lo ke sini?! Belum puas juga?!" cecar Ify langsung.

"Fy, please, kasih gue kesempatan buat buktiin ke lo kalo gue mampu jadi kaya Rio. Gue sayang sama lo, Fy!"

Ify berdecak jengah.

"Kak Alvin, please, ini bukan waktunya buat nyatain perasaan," Sivia ikut buka suara karena baginya Alvin benar-benar tidak tau waktu dan kondisi. Di saat kesedihan melanda, ia justru masih mementingkan egonya sendiri. Benar-benar tak punya hati.

Alvin hanya melemparkan tatapan tak sukanya pada Sivia lalu kembali tak menghiraukannya. Dialihkan pandangannya pada Ify. Lalu memasang wajah memohon penuh harap.

"Dasar engga tau diri!" cecar Ify benci.

Tak terima, Alvin mencengkram kuat kedua bahu Ify. Dipaksanya Ify menatap kedua matanya. Meyakinkan pada Ify jika perasaannya tidaklah sedangkal itu.

Rio yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, mulai merasa tak terima dengan perlakuan Alvin terhadap gadisnya. Matanya mulai menatap tajam pada Alvin yang takkan mungkin dilihat oleh orang lain.

"Apaan sih?! Lepasin!" ketus Ify berontak.

"Dengerin gue! Gue enggak akan pernah berenti ngejar lo sampe lo bener-bener jadi milik gue!" Nadanya seakan mengancam Ify. Namun bukan ancaman yang ingin Alvin lontarkan. Alvin hanya ingin menegaskan jika apapun yang ia inginkan harus ia dapatkan termasuk hati seseorang yang sudah memiliki hatinya dengan utuh.

"Mimpi aja sama lo!" sahut Ify bengis. Ia lalu mencibir meremehkan.

Membuat Alvin meremas kedua bahu Ify kuat. Hingga Ify meringis dan Rio tak terima. Ia menjulurkan tangannya hendak meninju Alvin pada mulanya. Namun tiba-tiba saja, jiwanya seakan ditarik oleh suatu kekuatan besar yang membuat Rio tak mampu menahan jiwanya untuk tetap di tempat. Hingga akhirnya ia tertarik masuk ke dalam raga Alvin.

Alvin tersentak. Seperti orang kerasukan, Alvin terhuyung mundur dan langsung melepaskan cengkramannya pada bahu Ify. Tubuhnya menengang dan sedetik kemudian ia mengejang.

Ify mengernyit heran. Sedangkan Biru dan Cakka yang sedari tadi hanya bungkam menyaksikan, kini melangkah mendekat lalu menepuk-nepuk pundak Alvin.

"Vin, lo kenapa?" tanya Cakka yang mengambil posisi di hadapan Alvin menggantikan posisi Ify membuat Ify melangkah mundur ke belakang.

Sivia menghampiri Ify lalu berbisik. "Kak Alvin kenapa?"

"Enggak tau," tanggap Ify tak perduli seraya mengangkat bahu. Meski penasaran, Ify berusaha tak mengacuhkan Alvin yang kini mulai tersadar. Matanya membelalak namun tak lama ia mengerjap. Seakan kesadarannya baru pulih, Alvin mengangkat kedua tangannya lalu diamatinya dengan penuh ketakjuban. Ia menyentuh wajahnya dan menepuknya beberapa kali. Seakan mendapatkan kembali raganya, Alvin tersenyum sumringah.

Dialihkan pandangannya pada Ify. Lalu dihampirinya Ify yang tengah bersedekap jengah lalu meliriknya seraya mendesis tak suka.

"Fy..."

"Apa lagi sih?! Masih belum puas ngancemnya?!"

Dengan perlahan dan penuh kehati-hatian, Alvin menyentuh kedua pipi Ify yang otomatis langsung disentak gadis itu.

"Fy, ini aku Ri...."

Seperti tersetrum aliran listrik bertegangan tinggi, Alvin kembali mengejang. Dan keluarlah jiwa Rio dari tubuh Alvin. Rio menatap bingung dirinya dan Alvin yang juga nampak kebingungan. Dengan ragu, Rio kembali mengulurkan tangannya mencoba menyentuh Alvin. Dan iapun kembali tertarik masuk ke dalam raga Alvin.

Bingung, Rio yang kini berada di dalam raga Alvin menatap sekujur tubuh Alvin yang dapat terjangkau matanya. Lalu menatap Ify berbinar.

Langsung saja Rio menarik Ify ke dalam dekapannya. Memeluk erat tubuh gadisnya. Membuat Ify sontak berontak.

"Ih apaan sih ini! Lepasin! Lepasin gue!" Ify berusaha melepaskan pelukan -yang Ify anggap- Alvin, sebelum sebuah perasaan hangat menjalarinya tanpa terduga. Sebuah kenyamanan yang terasa nyata. Dan rindu yang seakan tersalurkan. Ify berhenti memberontak. Berusaha mencari tahu, perasaan apa yang tengah dirasakannya ini. Kehangatan ini, kehangatan yang selalu mengalir dari pelukan Rio. Kehangatan yang hidup. Kehangatan yang hanya hadir dari dekapan pemilik hatinya. Mengapa kehangatan ini tercipta saat justru tangan Alvin yang mendekapnya erat?

Tanpa suara, dalam keheningan, semua menyaksikan pelukan ganjil itu. Asing rasanya, namun seperti pernah terjadi sebelumnya.

Tak ingin terlarut jauh dengan perasaan aneh yang menyerangnya, Ify tersadar tiba-tiba dan lantas mendorong tubuh Alvin sekuat tenaga. Ia memicing menatap Alvin penuh benci.

"Jangan suka cari kesempatan lo!" cecar Ify.

Rio menatapnya tak terbaca. Memaku tatapan Ify pada manik matanya. Dan lagi-lagi kehangatan itu kembali merambati seluruh relung hatinya. Rindu yang membeku, kehilangan yang samar, cinta yang utuh hanya untuk dan memang milik Rio, seakan tersalurkan melalui mata itu. Binarnya menghanyutkan. Seperti yang selalu ia rasakan jika mata Rio menatapnya penuh cinta.

Kembali Ify tersadar. Pemuda yang dihadapannya ini Alvin, bukan Rio!

"Pergi lo!" usir Ify tajam.

"Fy, aku sayang sama kamu." Rio tak memperdulikan pengusiran yang Ify lontarkan.

"Gue bilang pergi!"

"Fy, ini aku. Aku, Fy. Ri..."

Lagi-lagi Rio terhempas keluar dari tubuh Alvin sebelum ia sempat melengkapi pemberitahuannya. Kali ini Rio meyakini jika ia tak bisa memberi tahukan identitasnya pada Ify. Rio membuang nafas keras. Sementara ini ia harus memendam dalam-dalam keinginannya untuk membuat Ify mengetahui jika jiwanya masih hidup dan akan selalu ada di sekitarnya untuk selalu menjaga gadisnya itu di manapun. Setidaknya ia tetap bisa menyentuh dan berbicara pada Ify ataupun teman-temannya melalui raga Alvin.

"Fy!" Alvin terengah entah karena apa. Ia merasa sangat letih untuk penyebab yang tak jelas. Tubuhnya terasa lemas.

"PERGI!!!" teriak Ify.

"Lo mending pergi deh, Vin. Tolong jangan cari ribut. Ini rumah sakit!" Biru angkat bicara. Membuat Alvin mengepalkan tangannya keras. Jika tidak ingat ini rumah sakit, ia pasti sudah melayangkan kepalan tangan itu ke wajah Biru. Ia merasa direndahkan sekali.

Namun pada akhirnya, Alvin hanya melepaskan tinjunya ke udara dan melangkah pergi. Membuat semuanya bernafas lega tanpa mengetahui, dendam itu terus saja berkobar di dalam dadanya. Tanpa sedikitpun merasa bersalah atas semua kejadian yang telah menghidupkan duka mendalam untuk orang-orang di sana. Karena Alvin tetaplah Alvin. Yang akan terus mengejar obsesinya sampai ia benar-benar memilikinya penuh dan utuh. Hanya miliknya.

*****

Ify menutup pintu ruang ICU perlahan seraya menatap sendu raga penuh luka yang dibalut perban serta peralatan medis yang menempel, yang terbaring tanpa daya di bednya. Iapun mengambil posisi duduk di sebelah kanan Rio. Mengamati setiap inch rupa sang kekasih. Yang selalu mampu menghadirkan getar menggelitik di hatinya. Masih getar yang sama serta cinta yang sama. Yang hanya pada Rio akan ia serahkan seluruhnya seutuhnya.

"Kak, bangun! Aku ngerasa sendirian banget di dunia ini tanpa kamu," lirih Ify seraya membelai lembut wajah Rio.

"Maafin aku, Kak. Gara-gara aku kamu jadi begini,"

Mengingat kejadian tadi, Ify benar-benar merasa bersalah. Karenanya Rio harus mengemudikan mobil secara ugal-ugalan. Karenanya Rio akhirnya harus bertaruh nyawa.

"Maaf..." Suara Ify mulai bergetar.

"Bukan salah kamu sayang," jawab Rio menyahut dari sebrang bed. Tentu saja tak dapat di dengar Ify.

"Bangun, Kak. Aku mohon. Aku tau hidup aku udah enggak akan sama lagi setelah ini, Kak. Hampa banget pasti tanpa kamu."

"Aku yang minta maaf, Fy. Jaga diri aku aja aku enggak becus. Apalagi jagain kamu," lirih Rio menatap penuh sesal pada Ify.

Kini ia seperti hembusan angin. Tak terlihat juga tak teraba. Tapi Rio tetap berharap, Ify akan bisa merasakan kehadirannya. Rio benar-benar tak mengerti mengapa Tuhan membiarkan jiwanya hidup dengan raga yang terbaring lemah. Namun Rio bersyukur karena ia masih diberi kehidupan meski tak sama lagi.

"Jangan takut, Fy. Aku akan selalu jagain kamu. Aku akan selalu melangkah di samping kamu. Aku janji, Fy."

Bersambung....

Friday, March 4, 2016

Bukan Diriku (Part 3)

Part 3

Hari Minggu merupakan hari yang menyenangkan bagi kebanyakan orang. Hari libur permanen. Harinya santai. Harinya jalan-jalan. Seperti kedua pasangan remaja ini. Rio dan Ify. Sejak kemarin, Ify sudah merajuk meminta ditemani menonton bioskop. Film komedi Indonesia terbaru yang sudah sejak lama dinantinya akhirnya release juga.

Dan di sinilah mereka berdua. Di sebuah bioskop di salah satu mall besar di Jakarta. Menatap pada layar besar di depan ruangan. Sesekali keduanya tertawa, bersamaan dengan para penonton lainnya yang kebetulan memenuhi ruangan teater hari itu. Hingga pada pertengahan film, tiba-tiba saja Ify mendapat panggilan alam yang sudah tak bisa lagi ditahannya. Buru-buru ia bangkit dan menyolek lengan Rio yang masih serius menyaksikan film.

"Kak Rio, aku mau ke toilet dulu ya," bisik Ify agar tidak menarik perhatian orang lain.

Rio hanya menoleh sekilas dan mengangguk. Setelah itu matanya sudah kembali pada layar besar di depan ruang bioskop tersebut. Ifypun menuruni anak tangga sedikit tergesa.

Tak lama Ify keluar dari toilet dan segera menuju kembali ke teater tempatnya tadi menonton film. Namun baru saja sampai di depan toilet yang letaknya diujung bioskop, sebuah tangan menariknya dan membekap mulutnya. Membawa paksa Ify keluar bioskop dengan tergesa melewati pintu keluar yang langsung terhubung ke tangga darurat. Diseretnya Ify yang berada dalam bekapannya menuruni tangga untuk mencapai pintu keluar yang mengarah ke parkiran.

Ify berusaha meronta namun tak mempan. Cekalan tangan dan bekapan pada mulutnya begitu kuat. Hingga Ify tak sanggup melawan banyak.

Saat tangan itu membuka pintu menuju parkiran, disaat itulah Ify menggunakan kesempatannya untuk menyikut si penculik dengan keras. Membuatnya mengaduh dan Ifypun berlari kembali menaiki tangga.

Alvinlah si penculik yang menyeret Ify paksa dari bioskop tadi. Ia langsung mengejar Ify yang sudah menaiki tangga darurat.

"IFY!" seru Alvin menggema di setiap sudut.

Ify berusaha menaiki anak tangga dengan berlari seraya menguhubungi Rio. Untunglah tak lama kemudian Rio mengangkat panggilannya dan langsung saja Ify serobot sebelum Rio mengucapkan apapun.

"Kak Rio, aku di tangga darurat sekarang mau balik ke bioskop. Tadi Kak Alvin nyulik aku di toilet ujung. Tolongin aku, Kak. Dia lagi ngejar...."

"Kamu lari terus, Fy. Aku susul kamu!" Laporan Ify dipotong Rio langsung. Dan sedetik kemudian panggilannya telah terputus. Ify memasukan kembali ponselnya ke dalam tas masih sambil membuang langkahnya panjang dan berusaha cepat.

Namun memang dasar sial, Alvin keburu mengejarnya dan menarik tangannya. Kaki panjang Alvin ternyata mampu mengalahkan kecepatan larinya yang memang sudah pasti lebih lambat dari seorang lelaki. Apalagi lelaki itu kini tengah mengejar apa yang menjadikan dasar dari kebencian sekaligus ambisi yang tumbuh dengan sempurna di dalam hatinya.

Ify tertarik ke belakang dari dua anak tangga atas yang langsung ditangkap Alvin. Dengan gerakan kilat, Ify berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Alvin di bahu dan lengannya. Namun sayang tenaganya kalah kuat dibanding Alvin. Alhasil, lagi-lagi Alvin mampu menariknya paksa menuruni anak tangga. Kali ini Alvin tak ingin kecolongan lagi sehingga ia mencengkram tangan Ify lebih kuat dari sebelumnya, mencegah Ify untuk melarikan diri.

Ify tak mampu lagi berbuat banyak. Ia hanya bisa menangis, berteriak, meronta, meminta dilepaskan. Tapi sudah dapat dipastikan jika Alvin tak akan melepaskan Ify barang hanya melonggarkan cekalannya saja.

"Lepasin gue! Lepasin!" jerit Ify seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya agar bisa terbebas dari cekalan Alvin.

"Diem!" bentak Alvin. Air mata Ify mengalir deras. Ketakutan itu kembali menawannya. Mencekik hingga ke bagian yang paling lubuk. Alvin adalah orang dengan segala kenekatan, yang mampu melakukan apapun untuk mendapatkan yang ia inginkan. Mengingat itu, tangisan Ify semakin lantang.

"Kak Alvin, please! Lepasin gue," lirih Ify melemahkan rontaannya. Karena ia tau, sekeras apapun usahanya meronta, ia tidak akan mungkin berhasil melepaskan diri. Dan itu hanya akan membuang energi saja.

"Lo itu bisa diem enggak sih!"

"IFY!!!"

"Shit!"

Tepat pada saat Alvin akan membuka pintu, suara Rio menggelegar di sekitar tangga darurat. Dengan tergesa, Alvin membuka pintu yang menjadi penghalang terakhir menuju ke parkiran.

"Kak Rio! Tolong! Mmmbbbbhh!!!"

Mendengar suara Rio, Ify kembali berteriak dan meronta. Perbuatannya itu membangkitkan kembali emosi Alvin yang dengan segera membekap mulut Ify untuk memperlambat pencarian Rio akan keberadaan Ify. Meskipun sebenarnya iti hanya tindakan bodoh.

Langkah kaki Rio terdengar semakin dekat. Membuat Alvin kembali pada fokus awalnya membuka pintu. Pekerjaan mudah itu menjadi sulit karena kini ia harus melakukan dua tindakan sekaligus. Ia harus melumpuhkan pergerakan Ify yang terus memberontak. Hingga pintu berhasil terbuka setengah, tepat pada saat tubuh Rio muncul dari tikungan tangga.

"IFY!" teriak Rio yang sempat melihat Ify mengulurkan tangannya sebelum pintu kembali tertutup karena dorongan closer door di pojok pintu. Tanpa pikir panjang lagi, Rio langsung menuruni anak-anak tangga secepat mungkin untuk mencapai pintu.

Alvin menyeret Ify yang masih dibekapnya keluar dari pintu darurat. Ditengokan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Mengamati keadaan sekitar. Setelah dirasa aman karena ia tidak melihat satu orang pun melintas diparkiran, Alvin langsing menyeret Ify menuju mobilnya. Memaksa Ify masuk dan langsung menjalankan mobilnya.

"Sial!" umpat Rio mengingat mobilnya ia parkir di lantai atas ketika ia melihat Alvin membawa Ify masuk ke dalam mobilnya. Rio bergerak cepat menaiki anak tangga seraya mengambil kunci mobil yang ia letakan di saku celana. Dengan cepat pula Rio membuka pintu mobil dan menjalankannya mengejar Alvin.

Rio turun satu lantai dari lantai sembilan parkiran mobil mall yang memang didesain banyak karena mall tersebut tak pernah sepi pengunjung. Meski tergolong ugal-ugalan, Rio tetap memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi di area parkiran. Mencari keberadaan mobil Alvin yang sudah tak terkihat. Tak mengacuhkan hujatan-hujatan dari para penjaga parkiran untuknya. Biar bagaimanapun ia harus bisa menemukan mobil Alvin dan menghentikan pergerakannya.

Di dalam mobil Alvin, Ify terus saja menjerit meminta Alvin membebaskannya. Ketakutannya semakin besar melihat wajah penuh emosi pemuda itu. Seakan nyawanya akan direnggut paksa hari ini juga.

"Kak Alvin jahat!" jerit Ify di tengah tangisnya.

"Diem! Bisa engga sih sekali aja lo ikutin gue?! Nurut sama gue! Gue jamin lo aman!" sahut Alvin bengis tanpa menoleh. Meski kini tatapannya terfokus ke depan, tak dapat dipungkiri jika seluruh uratnya tertarik menahan emosi. Alhasil, Alvin melampiaskannya dengan memukul stir berkali-kali dan mencengkramnya seakan stir itu adalah lawannya yang ingin ia habiskan.

Berkali-kali Ify menoleh ke belakang. Mencari keberadaan mobil Rio. Namun tak kunjung didapatinya. Ify semakin gelisah saat mengingat Rio memarkirkan mobilnya di lantai paling atas karena parkiran memang sedang penuh-penuhnya.

'Kak Rio, selamatin aku!' teriak Ify dalam hati.

Deru meskin mobil yang Rio kendarai terdengar sampai ke telinga Alvin dan Ify. Ify menoleh seketika dan menemukan mobil Rio terlihat di belakang melaju dengan kecepatan tinggi. Diam-diam Ify bernafas lega.

"AH! Sial!" Berbeda dengan Ify, Alvin mengumpat berkali-kali saat melihat kemunculan mobil Rio dari kaca spionnya. Tak ingin Rio berhasil menghentikannya, Alvin menginjak pedal gas lebih dalam lagi untuk meningkatkan laju mobilnya.

"Kak Alvin berenti! Gue takut! Pelan-pelan!" Ify berteriak keras mengeluarkan rasa takutnya. Ini bukanlah jalan tol yang bisa digunakan untuk memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Ify sampai ikut terhuyung ke kanan saat Alvin menikung dengan tajam untuk menuruni lantai berikutnya.

Tak jauh berbeda dengan Alvin, Riopun kembali memperdalam injakan gasnya. Matanya terfokus pada sedan putih yang sedang membawa gadisnya itu. Rio mencengkram stir mobilnya meluapkan emosinya yang mengendap. Emosi dan rasa khawatir atas keadaan Ify di dalam mobil itu. Tak ada yang bisa menjamin keadaan Ify kini masih baik-baik saja di dalam sana. Lebih lagi, Ify bersama dengan Alvin yang bisa saja nekat berbuat kasar pada Ify. Memikirkannya, emosi Riopun kian melonjak.

Sampai pada lantai enam, Rio tersentak saat mendapati seseorang melintas di depannya. Orang itu terbelalak dan meloncat mundur penuh keterketujan. Namun Rio hilang kendali. Dengan keadaan terbakar emosi sekaligus terkejut dan panik, Rio tak sempat menggeser kakinya pada pedal rem, dan malah semakin menekan dalam gasnya.

Panik, Rio membanting stirnya ke kiri dan mobinyapun menabrak tembok pembatas parkiran. Menimbulkan bunyi keras dan mengerikan. Tanpa berhenti, mobil itu akhirnya terjun bebas ke lantai paling dasar.

Ify membelalakkan matanya dan menganga lebar melihat mobil Rio lepas kontrol. Kepanikan dahsyat langsung mencekiknya. Ify bahkan menahan nafas kala menyaksikan dengan mata kepalanya, sedan hitam yang dikendarai oleh Rio itu menabrak pembatas parkiran dan akhirnya jatuh ke bawah hingga tak terlihat lagi.

"KAK RIOOOOOOOOO!!!"

Jeritan Ify itu membuat Alvin yang juga melihat kejadian itu dari spion mobilnya terlonjak. Bukan hanya karena jeritan Ify, namun juga karena hantaman keras mobil Rio pada tembok pembatas. Alvin langsung menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati tembok pembatas itu hancur lebur. Lupa pada mobilnya, membuat Alvin tersadar seketika dan saat ia menoleh kembali ke depan, mobil Alvin sudah berada kurang dari dua puluh meter dari sebuah tiang besar. Mobil melaju dalam kecepatan tinggi dan Alvin terlambat menginjak rem. Alvin tak dapat menghindarinya dan akhirnya menabrak kencang tiang penyangga besar itu hingga menimbulkan goncangan dahsyat di dalam mobil itu.

"AAAAAAAA!!" teriak Ify yang belum saja tersadar dari kertekejutannnya melihat mobil Rio yang terjun bebas dari lantai enam.

Keduanya terpental ke depan dengan kepala Ify membentur dashboard, sedangkan Alvin terpental ke depan dan belakang sebanyak dua kali hingga akhirnya membentur stir. Alvin langsung tak sadarkan diri dengan darah mengalir deras dari pelipisnya.

Ify masih tersadar pasca benturan keras pelipisnya dengan dashboard tanpa pelindung apapun meskipun darah juga mengalir dari pelipisnya. Ia meringis keras merasakan nyeri dan perih di pelipisnya.

"Eerrggh.." erang Ify.

Ia mengurut kepalanya yang terasa nyeri dan pusing luar biasa. Lalu membuka paksa pintu mobil Alvin setelah menemukan tombol buka kunci otomatis dan keluar dari sana. Ify hampir saja terjembab ke jalanan jika saja tangannya tak bertumpu pada pintu mobil. Banyak orang yang langsung mengerubungi mobil Alvin. Dan beberapa orang menawarkan bantuan pada Ify yang langsung ditolak mentah-mentah.

"Kak Rio..." gumamnya lirih seperti orang mabuk.

Ify berjalan sempoyongan sambil bertumpu pada pegangan tangga untuk menjaga keseimbangannya menuju lantai dasar. Sesungguhnya kesadarannya hanya tinggal setengah. Ditambah lagi dengan rasa sakit di kepalanya, membuat semua yang ada di sekitarnya terasa berputar. Banyak pandangan-pandangan heran bercampur iba melihat keadaan Ify. Pelipisnya terluka parah namun masih berusaha berjalan sendirian dengan air mata yang mengucur deras. Ify sudah tak peduli lagi pada rasa sakitnya. Yang ia fikirkan hanya satu, keadaan Rio di bawah sana.

Suara sirine ambulance terdengar memekik di lantai dasar saat Ify sudah berada di lantai tiga. Dan sebuah ambulance mengarah ke atas pastinya untuk membawa Alvin ke rumah sakit. Parkiran yang tadinya lengang mendadak penuh oleh orang-orang yang ingin melihat langsung keadaan korban, terutama keadaan Rio yang mengalami kecelakaan mengerikan.

"Kak Rio.." Ify terus saja memanggil nama Rio. Berharap Rio mendengarnya, lalu menghampirinya dan memapahnya berjalan. Air matanya mengalir deras. Sudah pasti tidak akan mungkin Rio dalam keadaan baik-baik saja sekarang. Terjun bebas bersama mobilnya dari lantai enam, sudah pasti bukanlah kecelakaan biasa seperti yang dialaminya. Pikiran burukpun langsung membayangi Ify. Membuat tangisnya semakin kencang tak teredam. Tangisan penuh kekhawatiran. Tangisan kepiluan. Tak mampu terbayangkan bagaimana kondisi Rio saat ini.

Ify sampai di lantai dasar dan langsung berusaha berlari tertatih-tatih melihat bangkai mobil Rio yang sudah tak berbentuk lagi. Melihat mobilnya saja hati Ify sudah nelangsa. Sempat ia hanya terperanjat beberapa detik meratapi sedan yang sebelumnya sangat cantik itu berubah bentuk secara mengenaskan. Bagaimana dengan pengemudinya jika mobilnya saja menjadi sehancur lebur itu.

Ify menghampiri bangkai mobil yang tengah di kelilingi orang-orang yang ingin menyaksikan proses evakuasi korban dari dalam mobil itu. Bahkan ada banyak wartawan yang ikut meliput kejadian ini. Ify tak peduli. Ify menyelip pada kerumunan hingga sampai di depan mobil tersebut. Jantungnya berdegup kencang. Gelisah. Takut. Menanti kehadiran Rio dikeluarkan dari mobil naas itu.

Hingga akhirnya petugas berhasil mengeluarkan tubuh Rio yang terjebak dari dalam mobil. Seketika mata Ify membelalak. Mulutnya ternganga. Hatinya tersentak. Detak jantungnya sudah tak terkendali lagi. Nyeri. Ngilu. Sakit. Takut. Wajah, lengan, dan kaki, penuh luka, lebam, dan darah. Baju yang sudah robek compang-camping. Tubuhnya menegang kaku. Air matanya jatuh mengaliri wajahnya. Tubuh Ify melemas seakan tulang-tulang melolosi kulitnya.

"KAK RIOOOO!!!"

Sejurus kemudian Ify berlari sekuat tenaga. Menghampiri Rio yang kini tengah dipindahkan ke atas bed dengan berbagai pelengkapan medis yang dipasangkan di tubuh Rio.

"KAK RIOOOO..." tangis Ify saat ia sudah berada di samping tubuh Rio yang masih dipasangkan berbagai alat yang tak Ify ketahui fungsinya.

Muncul desas-desus dan bisik-bisikan berbagai argumen dari para pengujung yang tengah mengerubung. Mereka mengira-ngira Ify mengenali Rio. Bahkan ada juga yang menyebut Ify adalah temannya, saudaranya, juga pacarnya. Para wartawanpun kini berpindah mengerubungi Rio dan Ify yang terus dihalangi oleh petugas keamanan. Mereka berusaha mengambil gambar keadaan korban kecelakaan yang bisa disebut maut itu. Namun Ify sama sekali tak peduli akan itu. Ia terus menangis seraya mencengkram lengan Rio.

"Kak Rio... Ke..napa begini..." Ify sesegukan. "Kak Rio bangun! Kak Rio jangan tinggalin aku! KAK RIOOOO!" jerit Ify seraya memejamkan matanya. Tak kuat melihat kondisi Rio yang mengenaskan. Bahkan nafas Rio sesekali tersengal.

"Maaf, mba ini siapa? Mba kenal sama korban?" seorang petugas rumah sakit menghampiri Ify. Ify menoleh.

"Pak, to..tolong Kak Rio, Pak! Selamatin Kak Rio, Pak..." pinta Ify tersengal.

Petugas rumah sakit itu mengerti perasaan dan kondisi Ify. Ifypun nampak tengah terluka. "Yaudah, mba ikut ambulance aja. Sekalian lukanya diobatin nanti di rumah sakit."

Ify mengangguk mengikuti petugas rumah sakit memasuki ambulance bersamaan dengan bed Rio yang didorong masuk. Sepanjang perjalanan, air mata Ify tak henti-hentinya mengalir.

"Kak Rio, bertahan, Kak. Aku mohon..." lirih Ify berulang kali.

Sesampainya di rumah sakit, Rio langsung dibawa ke ruang UGD. Ify berlari mengikuti para suster yang mendorong bed Rio menuju UGD.

"Sus, mba ini tolong diobatin juga ya kepalanya." Petugas ambulance tadi memberikan amanah. Sang susterpun mengangguk dan membawa Ify memasuki ruang UGD.

Ify dibaringkan di sebuah bed di sebelah Rio. Sembari menunggu suster mengambil peralatan, Ify menoleh menatapi Rio yang tertutupi gorden hijau. Namun Ify tetap dapat melihat kesibukan dalam kepanikan di balik tirai tersebut. Bagimana para petugas jaga dan seorang dokter jaga UGD hilir-mudik dengan terburu-buru. Ify menggigit bibirnya. Kecemasan menerjangnya tanpa ampun.

"Mba, ini lukanya robek, jadi harus dijahit." ujar seorang suster sambil meneliti luka di pelipis Ify dan membersihkan darahnya. Ify tak menyadari kehadiran sang suster karena terlalu sibuk dengan pikirannya dan kekhawatirannya.

Suster itu mengernyit melihat Ify bergeming dengan air mata yang terus mengalir. Ia menghentikan aktifitasnya dan kembali berusaha memanggil Ify.

"Mba.. Maaf.."

Ify terkesiap lalu menoleh. "I..iya sus?"

"Ini lukanya harus dijahit mba karena robek." jelas ulang.

"Oh iya sus, jahit aja." Ify menjawab itu dengan separuh kesadaran karena fokus utamanya adalah keadaan Rio. Bagaimana nasib pemuda itu dan apa yang akan terjadi melihat kondisi yang separah itu.

Tubuh Ify benar-benar melemah. Tak manpu lagi berfikir apapun. Bahkan hanya untuk mengabari keluarga dan teman-temannyapun Ify tak terfikirkan. Ia terlalu fokus memikirkan Rio. Terlalu banyak kecemasan di hatinya hingga tak mampu lagi memikirkan hal lain. Hanya Rio.

Ify terus menangis dalam diam. Ketakutan itu sudah tak terjelaskan lagi. Melihat kondisinya saja, Ify yakin dengan sangat jika keadaan Rio jauh dari baik-baik saja. Walaupun di relung hatinya Ify selalu menampik pernyataan itu. Rio pasti akan baik-baik saja. Rio akan bangun dari sadarnya dalam kurun waktu beberapa jam ke depan. Pasti!

Tangis Ify semakin parau meski tak bersuara. Ketakutannya, mematikan seluruh inderanya. Bahkan saat suster menyuntikkan pengebal rasa sebelum menjahit pelipisnya, Ify tak sama sekali merasakan sakit di pelipisnya. Justru sakit itu menyerang hatinya. Sakit akan ketakutan yang begitu besar. Ketakutan sejenis kehilangan yang samar. Ketakutan akan hilangnya jamal paling berharga dalam hidupnya. Permata dan harta, sosok dan figur, cinta dan kasih. Semuanya adalah Rio. Terbungkus dalam satu rupa yang sempurna. Tak akan mungkin Ify sanggup kehilangannya. Tak pernah ada hari tanpa namanya. Jika kehilangan itu benar-benar terjadi, bagaimana hidup Ify kedepannya? Tak sanggup Ify bayangkan jika hal buruk itu menjadi kenyataan pahit.

Semoga Tuhan mau berbaik hati untuk tetap mempertahankan jiwa Rio agar tetap hidup dalam raganya yang kembali sehat tanpa kurang satu apapun. Semoga

*****

Sivia berlari memasuki rumah sakit menuju ruang UGD. Berita kecelakaan yang menimpa Rio sudah menjadi hot news diseluruh acara berita. Berawal dari Sivia yang iseng menonton acara berita karena bosan tak ada kerjaan lain. Sampai berita berjudul "Kecelakaan : Mobil Terjun Dari Lantai Enam" ditayangkan, Sivia masih belum menyadari. Awalnya ia hanya penasaran karena laporannyapun ditayangkan secara live. Juga saat melihat mobil yang hancur, membuat Sivia semakin tergoda untuk menyaksikan berita itu. Penasaran dengan keadaan korban. Hingga kamera terarah kepada korban, Sivia mengernyit melihat sosok mirip Ify tengah memeluk korban naas itu sambil menangis, barulah Sivia mengamati layar televisinya lebih jeli lagi.

"Itu kok mirip Ify sih? Ify bukan sih?!" Sivia bahkan sampai mendekati televisi untuk memastikan dengan jelas benarkah dugaannya. Dan Sivia terkesiap saat otaknya menyakini yang dilihatnya itu benar-benar Ify.

"Yaampun, itu beneran Ify!" serunya panik.

Setelah si reporter menyebutkan nama rumah sakit tempat korban dilarikan, segera saja Sivia bersiap-siap dan meluncur ke rumah sakit.

Sivia berhenti melangkah saat mendapati Ify tengah duduk di depan ruang UGD. Lalu dihampirinya sahabatnya yang terlihat benar-benar kacau dan shock itu.

"Fy! Gimana keadaan lo? Yaampun gue kaget banget sumpah ngeliat berita lo kecelakaan. Ini jidat lo..."

"Kak Rio, Vi..." Celotehan Sivia dihentikan tiba-tiba oleh lirihan Ify. Ify mengangkat wajahnya, menatap sendu Sivia yang masih terlihat panik mengetahui insiden itu benar-benar menimpa sahabatnya.

"Kak Rio kenapa, Fy?"

"Kak Rio masih diperiksa sama dokter. Katanya... Katanya kritis.."

Sivia bungkam, tak mampu lagi berkomentar. Ia hanya membiarkan Ify menangis dalam sandarannya. Ia teringat akan headline news di televisi tadi. Kecelakaan : Mobil Terjun Dari Lantai Enam. Lantai enam? Sivia menelan ludah dengan susah payah. Dan ia juga teringat bagaimana hancurnya mobil Rio yang sampai tak lagi dikenali. Sivia mengeratkan rangkulannya pada Ify. Mencoba membagi sedikit kekuatan yang ia miliki pada sahabatnya ini yang pasti sudah kehilangan seluruh dayanya.

"Kak Rio pasti baik-baik aja, Fy," Sivia berusaha berfikir positif yang diamini Ify dalam tangisnya. Meskipun kemungkinannya sangatlah kecil tapi harapan itu masih ada.

Ify kembali duduk normal dan bersandar pada dinding. Sesungguhnya kepalanya sangat pening dan tubuhnya benar-benar lemas. Ia butuh sesuatu untuk mengisi energinya kembali. Tapi sungguh, tak ada hasrat apapun saat ini selain mendapatkan kabar baik dari dokter di dalam. Entah apa yang dilakukan sang dokter hingga pemeriksaan tak kunjung selesai. Ify masih menanti kabar selanjutnya dengan gusar dan penuh ketakutan.

"Keluarganya udah lo kabarin, Fy?"

Ify hanya menggeleng pelan. Boro-boro mengabari keluarga Rio. Sang bunda saja belum ia kabari atas kecelakaan ini. Bahkan mengurus dirinya sendiri saja Ify sudah tak ingin. Sivia mengerti. Maka ia keluarkan ponsel Ify yang masih berada di dalam tasnya yang memang selalu ia sampirkan di bahunya dan mengabari mama Rio dan teman-teman Rio.

Setengah jam kemudian mama Rio bersama ayah Rio datang bertepatan saat dokter keluar dari ruang UGD. Ify dan Siviapun langsung bangkit dan menghampiri dokter.

"Dokter gimana keadaan anak saya, Dok?" tanya mama Rio yang sudah bercucuran air mata sejak dikabari Sivia tentang kecelakaan Rio.

"Maaf, Bu. Keadaan korban kritis. Dan kami harus melakukan tindakan operasi. Menurut diagnosa awal, pembuluh darah di kakinya robek akibat tergores patahan tulang kakinya, Bu."

Mama Rio melemas kaget mendengar penjelasan sang dokter.  Juga dengan Ify yang langsung terhuyung hampir terjatuh jika Sivia tidak menahannya. Tangispun kembali pecah.

"Silahkan lakukan yang terbaik dok untuk anak saya." Ayah Riolah yang memberikan tanggapan karena beliau satu-satunya yang masih mampu mengolah fikirannya dengan baik meskipun shock juga menyergapnya.

"Baik, silahkan tandatangani surat pernyataan ini."

Dokter memberikan selembar kertas berisi surat pernyataan persetujuan untuk melakukan operasi terhadap pasien yang langsung ditandatangani oleh ayah Rio.

*****

Biru dan Cakka berlarian di sepanjang selasar menuju ruang operasi untuk segera menghampiri Ify, Sivia, dan kedua orang tua Rio yang mereka ketahui kabarnya dari Sivia dan juga pesan-pesan melalui whatsapp-an dengan Sivia selama perjalan menuju ke rumah sakit. Raut-raut sendu dan cemas mejadi pemandangan yang memilukan di sana.

"Fy, gimana keadaan Rio?" Biru langsung mengajukan pertanyaan sesampainya ia di hadapan Ify.

Ify menggeleng. Ia juga tidak tau bagaimana keadaan Rio sekarang. Pasalnya sang dokter yang mengoperasi Rio belum juga keluar.

"Kondisi terakhirnya kritis. Sekarang lagi dioperasi." Sivialah yang menjawab pertanyaan Biru itu.

Biru langsung menyenderkan tubuhnya pada dinding rumah sakit dan Cakka menghela keras karena shock mengetahui kondisi sahabatnya itu. Bahkan mereka belum mengetahui secara pasti dan rinci keadaannya. Mendengar kata 'kritis' saja sudah membuat mereka berdua cemas setengah mati. Berharap kondisi itu akan membaik pasca operasi ini.

Berjam-jam mereka menunggu dalam keheningan, ketidakpastian dan terbalutkan khawatir yang tak teruntuhkan. Lantunan doa terus mengalun meski hanya dalam hati masing-masing. Berharap kabar baiklah yang akan mereka terima.

Tak lama pintu ruang operasi dibuka dan sang dokterpun keluar. Mereka semua langsung menghampiri dokter yang langsung menurunkan masker hijau yang dikenakannya.

"Gimana dok?" Ayah Rio bertanya mewakili keingin tahuan  yang lain.

Sang dokter tak langsung menjawab, melainkan menatap wajah penuh harap di hadapannya satu persatu. Melihat ekspresi dokter tersebut, ketakutan itu kembali menyergap Ify. Perasaan tak enak langsung menghantuinya. Jantungnya berdebar dengan ritme yang sudah tak terkontrol lagi.

"Maaf, Bu, Pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin."

Bersambung....

Bukan Diriku (Part 2)

Part 2

Ify mengambil kalender meja yang memang tersedia di meja belajar kamarnya. Dua hari lagi, Rio ulang tahun. Entah mengapa rasanya tak sabar menyambut hari itu datang. Tak ada pesta besar memang. Apalagi jamuan makan malam spesial untuknya -setidaknya sampai sejauh ini belum terlihat tanda-tanda akan adanya rencana itu-. Namun Ify sudah menyiapkan hadiah spesial untuk sang kekasih. Dan ia tak sabar melihat reaksi Rio saat menerima hadiah darinya itu.

Pikiran-pikirannya terus melayang tak karuan hingga sampai pada bayangan tentang kisahnya yang tak kunjung berjalan mulus karena ada Alvin di sana. Ify menghela. Terkadang letih dengan badai yang ada. Memang hadirnya Alvin samar. Dia bukan orang ketiga. Dia bukan masalah untuk ujian kesetiaan Ify. Tapi kehadiran Alvin tidak dapat dianggap sepele.

Alvin. Jika teringat nama itu, bagaikan terbayang pada ancaman dan kehancuran. Entah sampai kapan Alvin akan menyerah. Entah berapa lama lagi Ify dan Rio harus terus dihantui gangguan-gangguan Alvin. Mungkin saat ini, hanya harapanlah yang mampu memudarkan sedikit rasa takutnya. Sedikit saja. Karena kenyataan yang ada tak seindah harapan yang terbayang.

*****

Lapangan sekolah tidak seperti jam istirahat sebelumnya. Kali ini lapangan terlihat ramai para murid yang didominasi oleh siswi-siswi. Mulai dari kelas sepuluh hingga kelas duabelas. Semua mengerubungi pinggir lapangan. Bersorak-sorai menyebutkan dua nama fenomenal yang tak pernah lepas dari sorotan publik. Alvin dan Rio.

Sejak bel istirahat berbunyi, Alvin dan Rio sudah berdiri di tengah lapangan. Saling menatap tajam dengan sorot yang berbeda. Alvin yang selalu melemparkan kebenciannya. Sedangkan Rio dengan sorot tenang namun menusuk. Seakan menegaskan lewat tatapannya, dialah sang pemenang. Membuat Alvin menggeram tertahan. Tak suka dengan pandangan yang meremehkan itu.

Rio tersenyum miring. Membalas geraman tertahan Alvin yang tertangkap indera pendengerannya di tengah-tengah sorak-sorai yang menggelegar siang itu. Detik berikutnya, Biru yang bertindak sebagai wasit, melemparkan bola oranye itu ke atas dan meniupkan pluit pertanda pertandingan dimulai. Keduanya langsung saling memperebutkan bola. Tak ada yang mau mengalah. Bola yang kini berada dalam drible-an Alvin itu terus dipertahankannya. Tak mengizinkan Rio merebutnya. Sesaat kemudian Alvin melempar bila itu dan berhasil mencetak dua point untuk mengungguli Rio. Alvin tersenyum culas. Gantian meremehkan Rio.

Alvin kembali menguasai bola. Dengan kobaran ego yang membara, kembali di driblenya bola itu dan dibawa berlari memutari lapangan basket untuk mengecoh Rio. Ia berhenti di tengah lapangan. Namun kini fokusnya tak lagi berjalan sempurna. Telinganya menangkap teriakan Ify memanggil nama rivalnya. Ekor matanya melirik ke gerombolan penonton dan menemukan Ify berdiri di antara mereka dan tengah menyemangati Rio meski wajahnya memancarkan kekhawatiran dan ketidaktenangan. 'SHIT!' Umpat Alvin dalam hati.

Rio menyadari kelengahan Alvin atas bola yang masih didriblenya. Tak mau melewatkan kesempatan, diambilnya bola itu dari tangan Alvin dan langsung ia lemparkan dengan mulus menuju ring. Ringpun menelan bola yang Rio lemparkan dengan sempurna hingga berhasil membuat three point dan berhasil membalik keadaan. Sorak sorai kembali terdengar diiringi dengan tepuk tangan meriah seakan pertandingan itu adalah asean games dan Indonesia berhasil mengalahkan lawannya.

Alvin melebarkan matanya. Tak percaya ia bisa kecolongan seperti ini. Dan keteledorannya itu membuat emosinya semakin membara. Dihampirinya Rio yang tengah asik membawa bola oranye itu menuju ke ring. Lalu disenggolnya Rio dengan tubuhnya. Hingga bolapun terlepas bersamaan dengan Rio yang terhuyung ke belakang. Hampir saja terjatuh jika Rio tak bisa menjaga keseimbangan. Alhasil, ia hanya terdorong mundur beberapa langkah. Sejurus kemudian, ditatapnya Alvin yang terlihat dipenuhi kemurkaan.

"Maksud lo apa?!" tanya Rio menahan geram seraya melangkah mendekat pada Alvin. Keheningan langsung mencengkram kuat seisi lapangan. Seluruhnya menyaksikan dengan serius seraya menerka-nerka dalam hati apa yang akan terjadi selanjutnya.

Alvin memicing sengit pada rivlnya itu. Tanpa memikirkan apapun lagi, Alvin segera melayangkan tinjunya pada Rio. Menumpahkan segala sesak di dadanya, sekaligus membalas bogem yang Rio daratkan untuknya tempo hari.

Kali ini Alvin berhasil membuat Rio tersungkur. Membuat semua yang menyaksikan berkoor terkejut dan melongo serempak. Tak terkecuali Ify dan Sivia, juga Shilla yang memang menyaksikan keduanya bertanding -tidak dikatakan bermain karena keduanya sama-sama mengincar kemenangan- basket. Ify langsung berlari ke tengah lapangan menghampiri keduanya, diikuti oleh Sivia tepat pada saat Alvin mencemgkram kemeja Rio dan hendak melayangkan lagi pukulannya yang kedua.

"Biar bogem ini yang ngehawab pertanyaan lo!"

"KAK ALVIN JANGAN!!!" seru Ify yang berhasil membuat Alvin menahan tinjunya di udara.

Ditariknya tubuh Alvin yang menegang sekuat tenaga. Dibantu oleh Biru, Cakka, dan Gabrie hingga berhasil menjauhkan Alvin dari Rio.

Ify langsung merunduk dan memelas. "Kak Rio engga apa-apa?" lirih Ify yang tak berani meyentuh Rio terlalu intens karena sekarang semua mata tertuju pada mereka.

Rio mengulas senyum tipis. "Aku engga apa-apa, Fy."

Ditariknya tangan Rio berusaha membantu Rio bangkit walaupun sebenarnya tak ada pengaruhnya sama sekali karena Rio bangkit dengan tenaganya sendiri. Kemudian ia melangkah mendekati Alvin yang masih dibekuk.

"Lepasin gue! Biarin gue hajar nih orang biar mampus sekalian!" jerit Alvin kalap sembari meronta agar cekalan tangan-tangan milik Biru, Cakka, dan Gabriel terlepas dari tubuhnya meski tak sama sekali membuahkan hasil.

"Vin, tahan! Ini tengah lapangan, Vin!" bisik Gabriel tepat di telinga sahabatnya itu.

"Biarin aja mereka semua jadi saksi berakhirnya hidup si brengsek ini!"

"Hidup gue berakhir? Hidup lo yang berakhir!" timpal Rio tenang.

"Enggak usah banyak bacot lo! Lepasin gue!" Alvin masih terus meronta. "Lo selalu lancang ambil posisi jadi pemenang yang seharusnya gue dapetin!"

Rio tertawa mengejek. "Pecundang!"

"Bangsat!" Disikutnya ketiga orang yang tadi mencekal pergerakannya itu hingga berhasil melepaskan diri. Alvin sudah berancang-ancang untuk mengayunkan kembali kepalan tangannya menuju wajah Rio, yang dihentikan seketika oleh pergerakan spontan Ify menjadi tameng pembatas dengan berdiri di depan Rio. Wajahnya ia buat semenantang mungkin agar Alvin tidak meremehkannya.

"Kalo lo berani pukul Kak Rio, berarti lo harus pukul gue dulu!" uja Ify tepat saat kepalan tangan itu berada di depan wajahnya.

"Minggur! Ini urusan cowok! Lo engga usah ikut campur!"

"Ikut campur?! Urusan Kak Rio urusan gue juga! Kak Rio dipukul gue juga harus dipukul! Kak Rio sakit gue juga harus sakit!" tegasnya mencoba tenang seraya meningkatkan nyali.

Kepalan tangan itu memerah karena Alvin semakin memperkuatnya. Seakan meremukan ucapan Ify barusan yang teramat menohok hatinya. Mengoyaknya tanpa simpati. Meluruhkan kekuatannya seketika. Mengapa cinta yang begitu besar itu bukan tercurah untuknya? Mengapa pembelaan itu bukan tetuju padanya?

Tanpa terduga. Alvin menarik Ify paksa ke dalam dekapannya. Sekali ini saja. Atau kalau bisa terus untuk selamanya, ia ingin merasakan kehangatan itu. Ingin merasakan jadi Rio. Ingin menumpahkan dan memberikan cinta ini pada yang seharusnya menerima. Hanya Ify yang ia izinkan mendapatkan cintanya. Meski Ify engga menerimanya.

Semua tercengang. Shillalah yang paling dibuat nestapa akan pelukan itu. Air matanya meleleh tanpa bisa ditahannya. Ketegangannya berganti tanpa perintah menjadi kesesakan. Shilla memilih meninggalkan lapangan untuk melampiaskan segala sesak yang menghimpitnya itu.

"Lepasin gue, Kak Alvin!!" Ify berontak. Namun tak bisa meloloskan diri. Dekapan Alvin begitu kuat. Benci itu semakin menerjangnya. Kebencian untuk Alvin. Abadi.

Rio memisahkan paksa kedua tubuh yang tengah menyatu tanpa jarak itu. Ditariknya Ify ke belakang tubuhnya. Membuat Alvin kembali diserang emosi.

"Lo boleh hajar gue! Tapi enggak dengan nyentuh Ify! Brengsek!"

"Apa sih, Fy, yang Rio punya gue ga punya? Apa yang Rio bisa kasih gue engga bisa kasih? Rio kaya gue juga. Rio ranking gue juga. Rio cinta sama lo gue juga. Apa yang bikin Rio menangin hati lo?!" Tak mengindahkan cercaan Rio untuknya, Alvin malah berseru menumbuk masalah kembali. Ditatapnya Ify seakan meminta penjelasan dan jawaban yang tidak akan pernah Alvin terima, apapun itu.

"Lo salah! Kak Rio punya cinta yang tulus. Bukan pemaksaan kaya yg lo lakuin," Ify melangkah ke sisi Rio dan menuturkan jawaban yang membuat Alvin tertohok..

"Semuanya karena cinta, Fy. Karena cinta gue besar. Mungkin lebih daripada Rio," Alvin melirih. Namun tetap tajam dan penuh penekanan.

"Engga ada cinta yang bikin takut. Engga ada cinta yang memaksakan kehendak. Cinta itu rela. Cinta itu berkorban. Dan yang lo lakuin sama sekali bukan cinta. Obsesi semata."

Telak. Tak ada lagi yang bisa Alvin elakan. Pemaksaannya juga beralas pada cinta. Cinta yang egois yang harus menjerat si pemilik hatinya ke dalam dekapannya. Dan baginya cinta harus adil. Jika ia tak bisa mendapatkan Ify, maka juga tidak untuk Rio.

"Cabut!" Alvin berbalik badan dan memberikan perintah pada Gabriel yang langsung diangguki oleh sahabatnya itu. Mereka melangkah pergi diikuti oleh bubarnya para penonton yang mengerubunginya tadi. Bel pertanda istirahat masuk sudah berbunyi. Membuat area sekolah kembali sepi.

Sivia yang sedari tadi hanya mengambil lakon sebagai penonton tanpa suara, menghampiri Ify. Terlihat Ify mengurut pelipisnya pertanda pening mulai menyerang. Kelakuan Alvin selalu saja membuat Ify pusing mendadak.

"Fy, lo engga apa-apa?" tanya Sivia khawatir.

"Engga, Vi. Gue cuman cape banget aja ngadepin Kak Alvin yang selalu nyari masalah kaya gitu."

Semua menghela nafas berat. Melepas letih yang mendera. Menghadapi Alvin memang butuh energi banyak. Seperti lari maraton, berusaha menghindari namun Alvin selalu mengejar mereka tanpa henti sembari melempar batu. Membuat mereka berlari juga dengan tertatih untuk menampik batu-batu itu. Tak ayal, semua yang termasuk dalam lingkungan Rio dan Ify akan ikut tersangkutpautkan meski mereka tak perlu berlari untuk menghindari Alvin. Hanya bisa berperan serta sebagai penengah atau penyemangat keduanya.

Tapi toh, berlari dan menghindarpun akan sangat sia-sia. Maka satu-satu jalan yang bisa mereka tempuh hanyalah menghadapi Alvin dengan tenang. Meski ketenangan itu terkadang terpatahkan oleh emosi Alvin yang sudah diluar batas kewajaran seseorang dalam menbenci dan membalas dendam. Alvin, sosok mengerikan yang terbungkus dalam rupa tampan pangeran dingin.

*****

Sivia melangkah dalam diam. Memikirkan banyak hal tentang keruwetan hubungan antara Rio dan Alvin. Memang bukan urusannya terlalu dalam mengerecoki. Hanya saja Ify menjadi korban yang harus ikutan menanggung beban. Dan sebagai sahabat, tentu Sivia tak tega melihat sahabatnya terus-menerus diterjang kekacauan seperti itu. Seakan hidup tenang bagi Ify memang hanyalah bualan cerita novel yang menjunjung tinggi harapan yang tak pernah sampai.

Sivia berhenti melangkah di sepanjang trotoar kala melihat sebuah taksi berhenti di sebelahnya. Seakan mendapat durian runtuh, Sivia hampir saja terlonjak. Supirnya entah ke mana bermuara. Sudah hampir sejam Sivia menunggu namun juga tak kunjung datang. Kesal, akhrnya ia memutuskan untuk jalan sampai menemukan taksi kosong untuk mengantarnya ke rumah.

Sivia mengetuk kaca sebelah kiri taksi, tak lama kaca turun dan terlihatlah sosok supir berseragam biru tersenyum ramah padanya.

"Selamat siang, mba. Mau ke mana?"

"Pak, ke Corona City?"

"Oh, iya, mba, bisa."

Sivia tersenyum senang lantas membuka pintu belakang taksi. Taksipun melaju menuju alamat yang telah Sivia sebutkan. Sembari menunggu taksi sampai di depan rumahnya, Sivia memasang earphone di telinganya dan memutar playlist dari handphonenya.

Tak lama Sivia mendongak untuk mengamati jalan. Ia mengernyit heran. Ia tak mengenali di mana ia berada sekarang. Bingung. Akhirnya Sivia mengalungkan earphonenya lalu memajukan tubuhnya.

"Pak, kok lewat sini? Rumah saya kan di Corona City?"

"Diem kalo lo mau selamat!"

Sontak Sivia membelalak. Sejurus kemudian rasa takut langsung menyergapnya lekat. Sivia berusaha bersikap tenang agar supir itu tidak menjahatinya. Ditengah kepanikannya, Sivia tak mampu lagi memikirkan cara untuk melarikan diri.

"Pak, tolong putar balik! Saya mau pulang!"

"DIEM!"

Sivia berusaha membuka pintu taksi yang terkunci disaat supir taksi itu menambah kecepatan laju taksinya. Sivia menggedor-gedor kaca, mencoba mencari pertolongan agar siapapun bisa mendengarnya dan menyelamatkannya. Pasalnya, entah tempat apa ini. Namun lingkungan itu benar-benar sepi dan jauh dari rumah penduduk.

Supir taksi itu menarik rambut Sivia dan menjauhkannya dari jangkauan pintu. Tak terasa air mata Sivia merembes jatuh. Ditariknya dengan kencang tangan supir itu. Dengan cepat, Sivia memutar kenop jendela.

"Jangan coba kabur!" seru supir taksi itu melihat Sivia memnuka kaca lebar-lebar.

Tak peduli apa akibat yang akan tetjadi jika ia melompat dalam keadaan taksi melaju kencang. Lebih baik mati karena menyelamatkan diri. Daripada menjadi korban penculikan dan kehilangan kehormatan.

Supir taksi itu kembali mengulurkan tangannya ke belakang untuk meraih Sivia. Namun gagal karena fokusnya terpecah oleh jalanan.

Dengan kekuatan yang tinggal separuh lagi, Sivia melongokan kepalanya keluar jendela. Lalu melompat turun dari taksi tersebut. Tubuhnya jatuh terpental ke lahan kosong yang ditumbuhi banyak terumputan dan terguling beberapa kali di sana. Tubuhnya melemah. Tak mampu lagi bangkit. Sivia mengerang merasakan sakit disekujur tubuhnya.

"To..tolong!" teriaknya parau.

*****

Entah mengapa moodnya benarbenar sedang tidak baik. Alih-alih pulang ke rumah, Gabriel memutar motornya menuju pinggiran Jakarta mendekati Bogor. Di sana udara terasa asri. Menenangkan jiwa dan tentunya pikiran. Peliknya dendam Alvin sang sahabat atas Rio dan Ify, membuatnya ikut letih lahir batin. Tak mau ikut terlibat tapi tak mungkin. Sebisa mungkin ia menghindari pertengkaran tak berkesudahan itu. Namun tetap saja ia tak mungkin membiarkan Alvin berperang sendiri meski ia tau Alvin terkadang sudah kelewat batas.

Beribu-ribu kali ia mencoba menasehati Alvin. Membuka mata hati Alvin. Namun tetap saja Alvin tak tersentuh. Alvin sekeras karang. Tak mampu dilunakkan dengan cara apapun. Gabriel lelah. Namun hanya ia sahabat yang Alvin miliki satu-satunya.

Dari kejauhan, Gabriel melihat sebuah taksi melaju ugal-ugalan. Gabriel menggeleng-gelengkan kepalanya. Mentang-mentang jalanan sepi jadi bisa berkemudi seenaknya. Tiba-tiba muncul sebuah kepala berambut panjang dari jendela taksi. Ganriel makin menggelengkan kepala melihat kelakuan wanita itu.

'Norak amat sih, cuman naek taksi aja begitu kelakuannya,' Gabriel membatin.

Tapi tunggu. Wanita itu bukan sedang menikmati udara segar di sini. Lalu apa yang dia lakukan dengan menyembulkan kepalanya dari jendela? Belum saja Gabriel berhasil memecahkan jawabannya, tiba-tiba saja wanita itu melompat keluar dan terpelanting ke atas rerumputan hingga berguling beberapa kali. Gabriel tersentak. Wanita itu ingin bunuh diri! Tanpa berfikir panjang lagi, Gabriel memutar gas dan melajukannya sekencang mungkin. Hingga tak butuh waktu lama untuk sampai pada tempat wanita itu melompat.

"To.. Tolong..."

Samar Gabriel mendengar permintaan tolong yang melirih itu. Setelah memarkirkan motornya asal, Gabriel langsung turun dan menghampiri wanita tadi.

Gabriel terperajat melihat gadisnitu memakai seragam sekolahnya yang memang memiliki khas sendiri. Dihampirinya gadis itu, lalu disingkapkan rambutnya. Dan Gabriel sampai menahan nafas sakit terkejutnya menemukan gadis yang ia kenal yang baru saja menjalankan aksi bunuh diri.

"Elo?!"

Sivia menoleh menatap kedatangan sang penolong yang tidak dapat ia lihat dengan jelas. Karena di detik berikutnya, Sivia sudah memejamkan matanya tak lagi bergerak.

Gabriel tersentak. Gadis itu pingsan. Beberapa kali Gabriel mencoba menepuk-nepuk pipinya. Namun tak ada respon dari Sivia. Takut terjadi sesuatu yang fatal, Gabriel segera membawa Sivia ke rumah sakit setelah mencari taksi kosong yang kebetulan lewat.

*****

Setelah menjalani berbagai macam pemeriksaan dan pengobatan, Sivia dinyatakan baik-baik saja dan diizinkan pulang. Luka-lukanya pun hanya luka luar saja, tidak ada yang serius. Membuat Gabriel yang mendengar penjelasan dokter mendengus lega sekaligus dongkol.

Sivia melangkah tertatih mengikuti Gabriel ke lobby untuk mengurus administrasi. Ditundukkan kepala dalam-dalam. Masih shock atas kejadian yang baru saja ia alami. Ia tak mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya terus mengikuti Gabriel yang kini melangkah ke halaman rumah sakit.

"Rumah lo di mana?"

Sejak tadi, Gabriel belum bertanya apapun pada gadis ini, kecuali tentang keadaannya. Itupun pada dokter.

"Co..rona City," jawabnya terputus. Ternyata, Sivia menangis sejak tadi. Menyadari itu, Gabriel berdecak jengah.

"Lo ngapain sih nangis?! Orang lo juga engga kenapa-napa," sahutnya kesal.

"Gu..e takut, Kak."

"Yaudah, ini juga kan mau gue anterin pulang. Tapi kita harus balik ke tempat tadi. Motor gue masih di sana. Itupun kalo engga dimaling orang."

Sivia menunduk dalam-dalam. Sedikit trauma jika harus kembali pulang dengan orang asing. Meskipun ia mengenal Gabriel, tetap saja Sivia tak tau seluk beluk hati dan pikirannya. Siapa tau dia juga jahat.

"Ck, terus lo mau naik taksi sendiri?!"

Sivia menggeleng cepat.

"Yaudah, ikut gue! Lagian lo ngapain sih tadi bunuh diri kaya gitu? Abis diputusin lo!?"

Sivia kembali menggeleng. Tangisnya sudah berhenti. Namun keparnoannya tak juga surut.

"Dasar cewek! Kerjaannya nangis sama nyusahin doang!"

Mendengar itu tentu saja Sivia geram. Rasa takutnya kini berganti marah. Dihentakannya kaki kencang-kencang lalu dipukulnya punggung Gabriel hingga berbunyi keras.

"AW! Apa-apaan sih lo?!"

"Lo kalo engga iklas nolong engga usah nolongin gue! Nolong tapi ngegerutu! Gue juga engga minta tolong sama lu kok!" Tanpa menunggu jawaban Gabriel, Sivia melangkah pergi.

Gabriel tersadar. Ucapannya pasti menyinggung gadis itu. Segera ia berlari menyusul Sivia. Llu ditariknya tangan Sivia hingga Sivia berhenti melangkah.

"Apa?!" sahutnya tajam.

"Dih. Iya iya sori. Gue enggak maksud nyinggung lo kok! Ya abisnya lo bukannya bilang makasih kek, traktir gue kek sebagai ucapan makasih. Malah nangis. Gue paling sebel tau liat cewek nangis." Gabriel melunak.

"Ya namanya juga takut, shock, trauma. Pasti nangislah! Mending gue ga jejeritan!"

"Iya iya. Sori. Yaudah ayo gue anter pulang. Daripada lo kenapa-napa lagi nanti. Yang ada malah sia-sia gue bayarin rumah sakit lo."

Sivia melotot menusukkan pandangannya. Gabriel menyeringai.

"Hehe, peace! Ayo!"

Tanpa sadar, Gabriel menggenggam tangan Sivia dan menariknya. Dan tanpa sadar pula, Sivia tersipu. Pasalnya ini kali pertamanya ada seorang pemuda yang menggandeng tangannya. Kontan saja jantungnya berdegup kencang. Meski sudah sering melihat adegan seperti ini yang dilakoni oleh Rio dan Ify, namun tetap saja berbeda jika ia merasakannya sendiri.

Bersambung...

Saturday, February 27, 2016

Bukan Diriku (Part 1)

Part 1

Keramaian di hari Minggu sepertinya memang sudah menjadi kebiasaan pagi kota Jakarta. Di manapun kaki melangkah dan ke manapun mata memandang, seakan tak ada ruang kosong bagi para insan bumi untuk menjejaki tanah. Kendaraan berlalu lalang begitu angkuh. Para pedagang nampaknya tetap tak jera mengais rejeki meski sudah berulang kali digusur petugas. Dan kaki-kaki sarat semangat dan penuh suka cita juga tak letih menyongsong hari libur ini dengan berbagai tujuan.

Motor Rio meliuk-liuk di tengah kepadatan arus lalu lintas. Tak peduli dengan teriakan Ify yang sudah memintanya menurunkan sedikit kecepatan yang ditempuhnya, yang kini tengah memeluknya erat guna mencari perlingdungan. Meski Ify tau, tak ada perlindungan lain yang bisa dilakukannya kecuali melafalkan doa untuk keselamatannya dan Rio tentunya.

"Kak Rio, please, aku masih muda. Perjalanan hidup aku masih panjang. Aku masih pengen kuliah, kerja, nikah, punya anak...."

"Aku juga!" potong Rio tiba-tiba.

"Ya terus kenapa nyari mati?!" Ify mendengus kesal dengan intonasi yang meninggi, berteriak untuk menyetarafkan volume suaranya dengan kebisingan jalan raya.

"Aku enggak mau telat, Fy. Kalo aku telat, Alvin bisa ngerasa menang sebelum bertarung. Udah kamu pegangan aja yang kenceng. Aku bisa pastiin kamu akan selamat sampai tujuan tanpa kurang satu apapun."

Ify kembali mendengus namun tak lagi berniat menyahuti. Rio dan Alvin. Keduanya memiliki sifat yang sama-sama keras dan tak mau terkalahkan. Namun dengan pengaplikasian yang berbeda. Jika Alvin dengan seluruh kekejaman dan kekuatannya. Rio lebih menggunakan otaknya untuk selalu menyandang predikat pemenang dalam hal apapun. Karena itu pula, Alvin seperti kebakaran jenggot karena meskipun dengan usaha sekuat apapun Alvin mencoba melawan Rio, sejatinya ia tak akan pernah menang. Dalam hal apapun.

Dan kedua perbedaan itulah yang akhirnya membuat Ify menjatuhkan hatinya sejatuh-jatuhnya pada Rio. Ia menyerahkan hatinya pada pemuda itu tanpa syarat apapun. Karena Ify yakin, Rio tidak akan mungkin menghancurkannya. Dan terbukti selama dua tahun menjadi kekasih Rio, tak pernah sekalipun Rio melukai hatinya. Bagi Ify, Rio adalah sosok sempurna yang bahkan tak Ify ketahui bagaimana cara mendeskripsikan kesempurnaannya.

Tampan, cerdas, kaya, itu saja sudah paket lengkap. Ditambah lagi dengan kepribadiannya yang mampu membuat Ify jatuh cinta berulang kali pada pemuda itu.

Motor Rio memasuki arena sirkuit yang biasa digunakan untuk pertandingan balap motor. Bukan sirkuit yang sesungguhnya. Sirkuit ini berupa jalanan pada project perumahan yang ditinggal pemiliknya yang diketahui mereka karena sengketa tanah yang tak kunjung usai. Rio menghentikan laju motornya di dekat kumpulan teman-temannya yang akan mendukungnya nanti. Setelah bertos ala cowok-cowok remaja pada semua teman-temannya yang menyambutnya, Rio mengedarkan pandangannya ke sebrang. Tempat teman-teman Alvin berkumpul. Namun ia tidak menemukan sosok Alvin berada diantara mereka. Alvin pasti belum datang. Fikirnya.

Ify turun dari boncengan motor Rio. Lalu merapikan rambutnya yang sudah tak berbentuk setelah menyerahkan helm yang tadi gunakannya pada Rio.

"Tetep cantik kok," goda Rio dengan senyum nakalnya.

"Cantik sih cantik. Tapi kan tetep aja kalo berantakan tapi didiemin keliatannya kaya orang gila." Ify melengos.

"Enggak kok, buat aku kamu tetep cantik dalam keadaan apapun." Rio mengacak lembut rambut Ify masih dengan senyum menggodanya. Membuat Ify mau tak mau tersenyum juga. Ia tau Rio bukanlah tipe pengobral gombal. Dan Ify tau pula, bahwa Rio tak pernah berkata bohong. Maka timbullah rona merah di pipinya yang menghangat mendengar pujian tulus Rio.

"Kak Rio," panggil Ify tiba-tiba. Teringat tujuannya datang ke sini. Ia menggigit bibirnya.

"Kenapa sayang?" tanggap Rio masih dengan senyum manisnya.

"Kak Rio yakin mau balapan?" Desir kekhawatiran melesak tiba-tiba, menimbun keyakinan yang sudah semalaman dibangunnya dengan susah payah. Meski sudah berulang kali Rio meloloskan tantangan Alvin di sirkuit untuk balapan, namun tetap saja rasa khawatir itu pasti ada.

Rio mengulum bibirnya lalu tersenyum tipis. Disentuhnya kedua bahu Ify dan menatap gadisnya seakan menumpukan kepingan keyakinan serta kesungguhan. Menyiratkan sebuah permintaan yang harus mendapatkan izin karena tak ada pilihan lain selain mengizinkan dengan iklas. Membuat Ify yang menatapnya bagai dihipnotis dan dipaksa menyetujui.

"Kamu percaya kan kalo aku bisa?"

"Iya, Kak Rio. Tapi kalo..."

"Aku yakin kalo aku bisa. Tapi kalo kamu engga yakin, aku pasti berat, Fy buat ngelakuin ini. Karena bagi aku, bagi kita, engga ada pilihan lain selain yakin kalo aku bisa. Kamu tau kan Alvin itu kaya gimana? Kalo aku ngalah, dia pasti engga akan pernah berhenti gangguin kamu. Dia akan ngerasa menang dan semakin seenaknya."

"Tapi aku takut kamu kenapa-kenapa, Kak," lirih Ify seraya menunduk. Ketakutan ini. Ketakutan yang sama yang selalu ia rasakan sebelum Rio melaju di sirkuit. Meskipun pada akhirnya Rio selalu berhasil kembali dengan membawa predikat sebagai pemenang yang pada akhirnya tetap tidak membuat Alvin jera.

"Kalo aku kenapa-kenapa itu emang udah takdirnya, Fy."

"Kak Rio jangan ngomong gitu!" sahut Ify dengan suara bergetar menahan tangis. Ketakutan akan kehilangan pemudanya. Ketakutan akan hal buruk. Ketakutan yang menghujamnya perlahan namun mampu membunuh keyakinannya.

"Iya maaf maaf. Aku bakalan baik-baik aja kok, Fy. Pasti!"

Dan pada akhirnya air mata itu tak sanggup lagi terbendung. Kehilangan Rio berarti kehilangan separuh jiwanya. Kehilangan separuh jiwanya berarti mematikan raga dan pula hidupnya. Tak akan pernah mampu Ify membayangkan jika Rio benar-benar pergi darinya.

Dipeluknya pemuda itu kuat-kuat. Seakan tak akan pernah ada lagi pelukan hangat itu di hari nanti. Membagi keresahannya. Menumpahkan ketakutannya. Dan mencari penangkal atas keraguannya.

Rio melingkarkan tangannya di leher Ify. Membalas pelukannya. Untuk entah yang keberapa kalinya, ia mencoba menyalurkan kasih sayangnya melalui sebuah dekapan tulus. Rio tau jika Ify bukanlah gadis lemah apalagi cengeng. Ify hanya membutuhkan sandaran sebagai sumber kekuatan yang mampu menopangnya.

Bukan. Bukan hanya Ify. Tapi juga dirinya. Ia dan Ify membutuhkannya. Yang menguatkan mereka. Yang meringankan segala beban. Yang menjadi pondasi kala badai cobaan dan ujian menerpa. Yang membuat segalanya menjadi sempurna. Itulah yang mereka sebut, cinta.

"Sial!" umpatan itu membuat keduanya kembali ke dunia nyata. Meninggalkan khayalan fana yang meski indah namun hanya sesaat. Namun itulah yang menjadi dasar tujuan dalam hubungan mereka. Mimpi. Yang akan segera mereka wujudkan.

Ify dan Rio kompak menoleh bersama. Dan mata mereka mendapati Alvin telah berada di antara teman-temannya dan tengah melempar tatapan penuh kebencian dan ketidaksukaan untuk keduanya yang lebih dkhususkan pada Rio.

"Pacaran teruuuuus!! Emang kita semua cuman jongos yang numpang hidup di dunia milik lo berdua!" seru Alvin tajam. Entah mengapa, rasa sakit itu selalu ada setiap melihat keduanya saling mendekap, merengkuh kebahagiaan berdua. Hanya berdua. Seakan memberi garis peringatan jika dunia mereka terlarang untuk orang lain. Dan memang seperti itu adanya.

"Ya emang!" sahut Ify kesal. Mengganggu saja!

"Udah, Fy. Enggak usah diladenin. Mendingan kamu doain aku biar aku menang," ujar Rio seraya mengacak rambut Ify.

"Aku selalu doain kamu, Kak. Bukan cuman buat kemenangan aja. Tapi juga keselamatan kamu. Aku engga rela kalo kamu menang tapi kamu kenapa-kenapa."

Rio tersenyum. "Makasih ya, sayang." Kali ini disentilnya lembut hidup bangir gadisnya yang selalu membuatnya gemas. Ify memanyunkan bibirnya.

"Janji balik dengan selamat?" Ify mengulurkan kelingkingnya.

"Janji!" jawab Rio mantap seraya mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Ify. Lalu diciumnya kening gadisnya itu. Membuat hati Ify menghangat.

"Buruan kali, elah! Pacaran mulu sih! Gua ngundang lu ke sini bukan buat pamer kemesraan. Bikin muak aja!" cecar Alvin yang tersulut emosinya. Dicengkramnya kuat stang motor sport kebanggannya itu. Melampiaskan seluruh emosinya dan segenap kecemburuan yang membakar hatinya.

Tak berniat menyahuti, Rio menegakan motornya. Sekali lagi dilemparkannya senyum pada Ify, dan pandangannya teralih pada teman-temannya yang sedari tadi juga hanya menyaksikan adegan demi adegan mesra yang terjadi di hadapan mereka.

"Biru, Kka, doain gue, ya!" Rio meminta restu sahabat-sahabatnya.

"Always, Yo. Seperti biasa." Biru menepuk-nepuk pundak Rio. Memberikan kepercayaan penuh pada sahabatnya itu jika Rio pasti bisa memenangkan kembali pertandingan ini. Seperti sebelum-sebelumnya.

"Gue selalu doain lo, Yo!" gantian Cakka yang memberikan dukungannya melalui senyuman penuh keyakinannya.

"Via, gue titip Ify. Jagain. Jangan sampe dia nanti lari ngejar gue," canda Rio pada Sivia. Sahabat sekaligus teman semeja Ify di kelasnya. Membuat tawa teman-temannya pecah, diikuti dengan Ify yang cemberut keki.

"Bercanda sayang. Oke bro, semuanya. Doain gue ya." Seperti biasa sebelum pertandingan dimulai, Rio selalu meminta dukungan, doa, dan semangat dari teman-temannya. Semuanya mengangguki. Riopun mengenakan helm fullfacenya dan mulai menyalakan motornya lalu melaju pelan menuju garis start.

Disebrangnya, kubu lawan. Kubu Alvin. Seorang gadis cantik, berdiri di sebelah Alvin yang masih terus menatap tajam pada Rio. Ashilla. Gadis cantik dengan sejuta pesona. Yang mampu membutakan pria manapun. Yang akan membuat para siswa di sekolahnya memfokuskan pandangan hanya padanya. Kecuali Alvin.

Shilla terus menandangi Alvin tanpa henti. Mengunci setiap lekukan wajahnya dengan jelas. Mengamatinya penuh kasih. Hatinya sakit. Hampir setahun ia mengharapkan cintanya terbalas. Namun apa daya. Alvin tetap memilih Ify. Tak pernah sekalipun memandanganya. Melihatnya ada.

"Vin." panggilnya lembut. Alvin tak menoleh apalagi menyahut. Masih terus tenggelam dalam kobaran benci dan sakit hati yang melebur.

"Vin, gue cuman mau bilang, hati-hati." Selalu saja begini. Hanya berharap. Tak gentar, Shilla menghela lirih. Berusaha mengusir rasa sesaknya yang kini melesak ke dalam hatinya. Alvin tak sama sekali menoleh. Ia selalu seakan tak terlihat. Namun sesegera mungkin ia buang pikiran itu.

"Good luck, bro!" Gabriel, sahabat yang Alvin miliki sejak duduk dibangku kelas duabelas karena mereka satu kelas, menepuk pundak Alvin memberikan semangat.

Sejurus kemudian, Alvin mengikuti. Disusulnya Rio yang telah siap pada posisi awal.

Suara deru mesin motor terus menggemuruh dengan sombongnya. Tak heran jika keduanya sama-sama merasa menjadi pemenang. Terutama Alvin yang sebenarnya tak mengerti apa maksudnya ia mengajak Rio balapan seperti ini. Yang Alvin ketahui dengan pasti, ia hanya ingin merebut Ify dari sisi Rio. Hanya itu. Tak butuh yang lain. Meskipun ia tau, berbagai cara mulai yang lunak hingga yang kotor sekalipun, takkan mampu membawa Ify berpaling ke pelukannya. Dan itulah yang membuatnya selalu mencari pelampiasan atas rasa sakitnya yang sudah tak ia mengerti bentuknya. Penolakan telak secara nyata dan gamblang yang Ify lakukan padanya selama ini, memupuk dendam untuk Rio. Karena baginya, kebencian Ify untuknya berakar pada Rio.

Dan di sini. Meski sudah puluhan kali digagalkan oleh kemenagan Rio yang sebenarnya diakui Alvin dalam hati memang pantas didapatkannya karena kemampuan Rio menarik gas dan meliukan motornya sudah tidak bisa diragukan lagi, namun tak mengurangi kebenciannya sama sekali. Malah kobaran dendam itu semakin membara hingga tak terkendali. Membuatnya terus menerus menginginkan kehancuran Rio yang tak kunjung ia dapatkan.

Bendera diangkat pertanda balapan dimulai. Dua motor sport berharga selangit itu langsung melaju kencang dan saling balap-membalap. Tak mengizinkan yang lain mengalahkan yang satunya. Ego dalam sebuah pertarungan yang sudah biasa. Kekalahan adalah harga diri yang diinjak.

Ify menyaksikan balapan itu dari tempatnya berdiri sembari menggigit bibirnya. Tak henti-hentinya melantunkan doa untuk keselamatan sang kekasih. Cemas. Namun tak ada yang bisa dilakukannya. Bahkan rangkulan Sivia tak mengurangi sedikitpun kekhawatirannya.

Sedangkan di arena, keduanya saling susul-menyusul. Setelah beberapa saat Rio berhasil memimpin lumayan jauh, Alvin yang tak mau kalah langsung menyusul tanpa terduga. Melihat Alvin berusaha keras mengalahkannya, Rio langsung menarik gasnya dan melesat sekencang mungkin. Dan terus seperti itu hingga akhirnya pada penghujung sesi, motor Rio berhasil melewati garis finish. Dan lagi-lagi seperti yang sudah-sudah, Rio kembali menjadi pemenangnya.

Teman-teman Rio langsung menghampiri sang juara bertahan melawan rivalnya. Dengan senyum bangga, mereka memberikan selamat untuk yang kesekian kalinya pada Rio.

"Selamat, bro! Lo emang hebat!" ucap Biru seraya menyalami Rio, setelah pemuda itu melepaskan helmnya.

"Selamat, bro!" Gantian Cakka yang menyalami. Disusul teman-teman yang lainnya.

"Thank you, thank you. Ini semua berkat doa dan dukungan kalian," ucap Rio tulus dengan senyum yang mengembang.

"Selamat, Kak Rio. Lo emang TOP BGT deh! Keren!" puji Sivia seraya menunjukan kedua jempolnya.

"Makasih, Vi."

Kini perhatian Rio teralih pada gadisnya yang tak menunjukan reaksi apapun. Masih kecemasan yang terlihat di rautnya. Namun tersamar karena kini Ify hanya menunduk.

"Hey, kamu kenapa? Aku nepatin janji aku kan buat balik dengan selamat plus bonus jadi juara?"

"Iya, Kak," jawab Ify dengan suara serak. "Makasih."

"Aku yang makasih sayang. Kamu udah dukung aku."

"Kak Rio. Jangan lagi," lirih Ify yang menundukan kepalanya semakin dalam.

"Jangan takut. Aku engga apa-apa kan?"

"Sekarang! Tapi nanti?!" Suara Ify terdengar mulai bergetar. "Kamu engga tau kan gimana kotar-katirnya aku? Gimana khawatirnya aku?! Gimana deg-degannya aku nungguin kamu selesai balapan?! Jangan lagi, Kak Rio! Aku enggak sanggup kehilangan kamu!" Dan Ify mulai terisak. Membayangkannya saja tak sanggup. Bagaimana jika itu terjadi?

"Hey, hey, engga ada yang tau kapan nyawa kita akan diambil. Semua itu udah ketentuan-Nya, Fy." Rio turun dari motornya setelah menurun standarnya, kemudian meraih satu tangan Ify dan digenggamnya erat.

"Tapi, Kak Rio..."

"Sssstt.. Sini sini." Langsung ditariknya Ify dengan lembut menuju rengkuhannya. Dengan segenap jiwa dan raga, dengan sepenuh hati, dan dengan seluruh cinta yang telah tercipta untuk Ify, Rio mendekapnya. Menangkis segala ketakutannya. Meluruhkan kegelisahannya. Rio tau, Ify begini karena ia amat mencintainya. Dan sudah pasti takut akan kehilangannya.

"Walaupun waktu bisa ngambil nyawa aku kapanpun, aku mau kamu tau satu hal, yang pasti dan engga akan berubah, aku punya kamu. Hati aku. Dan semua perasaan aku. Cinta aku. Punya kamu dan akan terus begitu."

Isakan Ify semakin jelas terdengar. Ia memang tipikal gadis yang terlalu perasa. Hingga apapun yang membuatnya resah dan takut, pasti akan membuatnya mengeluarkan air mata. Apalagi jika sudah menyangkut Rio.

"Kak Rio..."

Ify tak mampu lagi berkata. Hanya lirihan itu yang akhirnya keluar dari bibirnya. Membuatnya semakin mengeratkan pelukannya pada pemuda itu.

"Shit!"

Dari tempatnya, entah sudah yang keberapa kali Alvin mengumpat. Merutuki kekalahannya. Dan juga meluapkan kobaran api cemburu di dadanya. Selalu saja seperti itu. Selalu Rio yang jadi juara. Selalu Rio yang akhirnya memenangkannya. Seharusnya ia yang mendekap gadis itu. Seharusnya Alvin yang menjadi sandaran dari tiap tangisnya. Harusnya Alvin yang berada diposisi Rio.

Tak ingin menyaksikan lebih lanjut kemesraan Ify dan Rio yang pasti akan menghancurkannya lebih dari ini, Alvin memutuskan untuk meninggalkan area balap. Membawa segala pedih hatinya. Entah sampai kapan.

*****

Jam istirahat tiba. Belpun sudah berbunyi. Dan para murid langsung berhamburan keluar kelas. Ify dan Sivia juga melangkah menuju kantin. Waktunya untuk mengisi perut setelah hampir setengah hari menyerap ilmu pengetahuan.

Ify dan Sivia memasuki kantin dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru. Mencari dan memilah makanan apa yang kira-kira dapat mengenyangkan dan menyegarkan otak mereka. Dan pilihanpun jatuh kepada soto ayam yang memang terkenal juara rasanya. Setelah mengantri dengan sabar, Ify dan Sivia akhirnya mendapatkan dua mangkuk soto ayam dan membawanya ke salah satu meja kosong di kantin.

"Kok makan duluan sih?"

Ify yang sudah menandaskan isi mangkuk sotonya menoleh saat mendengar protesan Rio yang sudah berdiri di belakangnya. Wajahnya dibuat sekecewa mungkin, membuat Ify tergelak.

"Lebay! Aku laper banget abisnya."

Riopun langsung mengambil posisi di sebelah Ify.

"Sendiri, Kak? Biasanya bawa buntut," celetuk Sivia membuat kedua terkekeh.

"Tau tuh buntut buntut lagi pada nyari makanan." Sivia membulatkan bibirnya.

"Kak Rio udah makan?" tanya Ify yang baru saja menyeruput es jeruknya hingga setengah gelas tersisa.

"Aku engga laper, Fy. Lagi pengen sama kamu aja." Lagi-lagi Ify dibuat terkekeh, dan Sivia mencibir.

"Kalo lo udah berdua, gue bener-bener ngerasa kaya kambing congek yang cuman ngontrak dan dinyamukin pula," gerutu Sivia.

"Yee, maaf, Vi. Makanya lo cari pacar dong!"  celetuk Ify seraya tertawa.

"Iya neng, lo betah amat jomblo," tambah Rio.

"BISA ENGGAK SIH LO ENGGAK NGIKUTIN GUA MULU!!"

Bentakan itu membuat seluruh isi kantin tak terkecuali Ify, Rio, Sivia, juga Biru dan Cakka yang baru saja datang dengan nampan yang dibawa Biru menoleh. Tak jauh dari tempat mereka duduk, terlihat Alvin tengah menatap tajam pada Shilla yang nampak menunduk menahan tangis.

"ENGGAK ADA BOSEN-BOSENNYA YA LO GANGGUIN MACAN TIDUR?!"

"Ma.. Maaf, Vin. Gue... Bukannya ngikutin lo. Tadi gue enggak sengaja ngeliat lo mau ke kantin. Kebetulan gue juga mau ke kantin. Sumpah, enggak ada maksud buat ngikutin lo." Setitik air mata turun membuat aliran kecil dipipinya.

"Basi! Orang-orang di sini semua juga tau kalo, kalo lo ngejar-ngejar gue!"

Seisi kantin langsung menderaikan kasak-kusuk membicarakan dan mengomentari kejadian yang jelas saja menghebohkan kantin. Alvin berteriak membentak Shilla. Dan itu di tempat umum. Sudah menganggu, tak ada hati nuraninya sama sekali. Membentak seorang gadis di depan banyak orang. Alvin memang sudah terkenal memiliki emosi tingkat akut. Maka siapapun akan lebih memilih menjauh, daripada harus berurusan dengan macan sekolah ini.

"Kak Alvin enggak ada otaknya ya. Parah!" komentar Ify seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak habis fikir.

"Emang dia mah semacam orang stres yang selalu nyari pelampiasan, Fy. Gitu tuh orang kalo kebanyakan mimpi. Enggak jelas hidupnya! Enggak ada kerjaan lain dia selain marah-marah," timpal Sivia.

"Udah enggak aneh kalo dia mah kaya gitu. Di kelas juga ngerusuh mulu. Enggak jelas!" sambung Biru.

"Udahlah biarin aja. Enggak usah diurusin. Dia mah emang kaya gitu. Makanya sial banget yang punya urusan sama dia." Rio mengambil es teh manis milik Biru dan diseruputnya hingga hampir setengah gelas. Membuat Biru mendelik tajam.

"Punya gue, kampret!" Rio hanya menunjukkan cengirannya.

"Kasian tau si Shilla. Lagian tuh cewek udah tau Alvin begitu masih aja di kejar-kejar. Heran gue. Satu sekolah pada naksir dia juga. Ngapain dia masih ngarepin Alvin yang jelas-jelas enggak mau sama dia." Kali ini Cakka ikutan buka suara. Lalu menyantap mie ayam yang dipesannya.

Mereka kembali terdiam dan menoleh pada tempat kejadian perkara yang menuai perhatian seisi kantin. Terlihat Shilla sudah berlari keluar kantin yang pasti dengan air mata yang sudah menggenang di pipinya. Iba. Semua menatap iba pada Shilla. Gadis itu sungguh malang. Dia cantik, populer. Tapi stuck pada Alvin. Yang sudah jelas-jelas tidak menginginkannya. Berpuluh-puluh lelaki ditolaknya. Demi menunggu Alvin melihat kehadirannya. Namun bukannya meluluh, Alvin malah semakin menjadi. Kasar. Tak kenal belas kasihan. Bahkan Alvin bisa saja main tangan dengan wanita.

Alvin memutar tubuhnya. Dan tak sengaja pandangannya bertemu dengan Rio yang sedang bergerombol. Melihat Ify berada di sampingnya, tatapan itu semakin menusuk terlempar. Tangannya mengepal kuat.

"Gua akan pastiin lo dan Ify enggak akan pernah bahagia lagi!" serunya dalam hati yang berusaha Alvin sampaikan lewat tatapan matanya.

Iapun melangkah pergi membuat Rio menarik tepi bibirnya. Tersenyum sakartis. Mentertawakan tatapan mata itu yang menyiratkan ancaman. Dipikirnya Rio akan takut. Tidak akan pernah. Bagaimana mungkin ia akan melepaskan Ify untuk diserahkan pada lelaki seperti Alvin. Tempramen. Tak kenal rasa iba. Yang ia tau hanya segala yang diinginkannya harus ia dapat. Bisa-bisa Ify bukan dijadikan pacar, melainkan budaknya.

Tak mau ambil pusing, Rio kembali membuka obrolan dan tak lama mereka sudah terlihat oleh obtolan-obrolan seru.

Bersambung...