Monday, August 22, 2016

Bukan Diriku (Part 4)

Part 4

"Maaf, Bu, Pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin."

Jantung Ify rasanya berhenti berdetak mendengar pernyataan sang dokter. Tubuhnya melemah dan air matanya kembali mengalir.

"Kami tidak berhasil membawa Rio keluar dari masa kritisnya, Bu, Pak. Operasi berhasil, namun keadaan Rio tidak membaik. Dengan berat hati saya katakan jika Rio mengalami koma."

Biru dan Cakka hanya bisa menghela pasrah. Sedangkan mama Rio menjerit histeris yang langsung ditenangkan oleh sang suami yang juga tampak shock. Ify terdiam. Namun air matanya terus mengalir. Pilu hatinya tak tergambarkan lagi. Rio koma. Dan itu entah untuk berapa lama. Tak sanggup Ify bayangkan sakitnya menunggu tanpa kepastian. Menunggu Rio terbangun atau pergi selamanya.  Sedangkan Sivia yang juga tak kalah shock, berusaha menenangkan Ify yang begitu terguncang. Meski juga menangis, namun Sivia masih dapat mengontrol perasaannya.

Dalam kepasrahan, orang-orang yang menyayangi Rio itu menuntun bed yang membawa Rio menuju ruang ICU untuk diberikan perawatan lebih lanjut. Hanya ada tangis di sepanjang selasar. Juga jerit histeris sang bunda yang terus memanggil nama putra semata wayangnya yang kini hanya terbaring lemah dengan mata terpejam. Luka-luka diwajahnya, menyiratkan sebuah penderitaan besar juga perjuangan berat antara kembali atau pergi. Dan ibu mana yang tega melihat kondisi sang anak yang hanya bisa terbaring dengan bantuan berbagai peralatan medis untuk membantu hidupnya?

Semua kembali menunggu di depan ruang ICU. Pastinya masih dengan air mata yang terus mengalir jatuh. Suster membawa masuk Rio tanpa mengizinkan satu orangpun mengikuti.

"Ify!"

Seruan itu membuat semua yang berada di sana menoleh. Tak terkecuali si pemilik nama yang nampak tak memiliki gairah pada awalnya. Namun melihat sosok Alvin yang kini tengah menghampirinya, membuat Ify menegakkan tubuhnya dan menyambut kedatangan Alvin dengan wajah penuh kemurkaan.

"Fy, lo engga apa-apa kan?" tanya Alvin khawatir seraya menyentuh kedua bahu Ify.

Ify tak menyahut. Dipandanginya wajah pucat dengan perban yang menggulung di pelipisnya itu. Tanpa suara. Dengan gigi yang gemertak, menahan emosi yang mulai menggumpal berang.

PLAK!

Dengan kebencian yang membara dan kepiluan yang tak mampu disembunyikan, Ify melayangkan sebuah tamparan yang tak akan cukup untuk membendung amarahnya pada pemuda ini. Membuat semua yang berada di sana semakin beku dalam kebungkaman. Mereka mengerti kekecewaan yang Ify rasakan.

"Brengsek! Ini semua karna lo! Puas lo ngeliat Kak Rio kaya gini?! Puas lo?! Lo bener-bener iblis! Enggak punya hati! Harusnya lo yang ada di posisinya Kak Rio! Kak Rio orang baik! Kak Rio bukan iblis kaya lo! Lo yang pantesnya mati, bukan Kak Rio!" jerit Ify histeris dengan air mata yang membludak jatuh seraya menunjuk wajah Alvin dan mendorong tubuh Alvin berkali-kali. Menumpahkan segala sakit hatinya.

Sivia dibantu oleh Biru berusaha menahan Ify agar tidak berbuat lebih anarkis lagi dengan mencengkram kedua lengan Ify yang selalu memberontak agar dilepaskan. Alvin bergeming. Ia menunduk tak tau lagi harus berkata apa. Ini bukan salahnya. Tapi juga ini karenanya. Ia tak mengingkan Rio terbaring di dalam ruang mengerikan itu. Ia hanya ingin Ify jatuh ke pelukannya. Hanya itu.

"Fy, tenang. Ini rumah sakit!" bisik Sivia tepat di telinga sahabatnya yang tengah mengamuk itu.

"Ini semua gara-gara dia, Vi! Gara-gara dia Kak Rio harus berjuang antara hidup dan mati! Gara-gara makhluk brengsek ini, Vi!"

"Fy, ini kehendak Allah. Bukan salah siapa-siapa." Kali ini Biru buka suara.

"Jangan belain setan brengsek ini! Dia itu jahat! Enggak punya hati! Dia pasti lagi ketawa bahagia di dalem hati ngeliat Kak Rio kaya gini!"

"Fy, gue enggak pernah berniat nyelakain Rio. Sumpah! Maksud gue tadi cuman mau ngebawa lo pergi. Bukan nyelakain Rio!" Alvin berusaha menjelaskan meski ia tau, Ify tak akan mungkin meluluh dengan penjelasannya itu.

Ify tertawa mencibir. "Munafik! Gue benci sama lo! Pergi lo dari hadapan gue! Gue muak liat muka lo!"

"Fy," Alvin terlihat memohon. Ia hanya ingin terus menemani Ify. Ia tau Ify tengah berada di titik terbawahnya sekarang. Biar bagaimanapun, Alvin menyadari dengan pasti, Rio adalah sesuatu yang begitu berpengaruh untuk segala macam kehidupan dan perasaan gadis yang dicintainya itu. Rio bagaikan perhiasan yang amat berharga bagi Ify. Meski sedikit tidak rela, namun Alvin bisa melihatnya. Melihat cinta yang begitu besar dari Ify untuk Rio.

"Pergi gue bilang!" Ify mereda. Emosinya memang tak sama sekali berkurang. Namun kekalutannya sudah berhenti. Ia sadar jika jeritan histeris sekalipun tidak akan membuat Rio terbangun dari komanya. Maka akan sangat percuma ia membuang-buang tenaganya yang juga sudah menipis.

"Maafin gue, Fy," lirih Alvin menahan semburat emosi yang mulai menyergapnya. Emosi yang tumbuh seketika kala mengingat jika cinta Ify hanyalah untuk Rio. Tidak untuk dirinya. Tidak akan pernah terbagi.

"PERGI!" bentak Ify.

Alvin menghela. Tangannya terkepal. Namun ia tetap memutar tubuhnya dan melangkah pergi dari sana. Alvin merasa terinjak. Ketika ia terbangun dari ketidaksadarannya tadi, pikirannya  langsung tertuju pada Ify. Bagaimana keadaan gadis itu setelah mobilnya menabrak tiang penyangga gedung parkir. Ia bahkan mengabaikan keadaannya sendiri dan langsung bertanya pada suster yang menanganinya. Setelah mendapat jawaban, Alvin segera berlari menuju ruang ICU untuk mencari tahu keadaan gadis yang kini menempati seluruh ruang di hatinya tanpa memberikan sela untuk siapapun. Namun nyatanya, Ify menganggapnya tak lebih dari iblis tak berhati yang tega membuat Rio harus berjuang antara hidup dan mati.

Langkah gontai Alvin terarah pada taman yang terletak di belakang rumah sakit. Tak berniat pulang, karena pikirannya  membutuhkan udara segar kali ini, Alvin menjatuhkan tubuhnya di atas bangku taman. Mencari ketenangan yang tak pernah ia dapatkan selama ini. Berusaha meluapkan sesak yang terus menghimpit semenjak ia menyadari jika cintanya bertepuk sebelah tangan.

Dua tahun hidup dengan penuh rasa dengki tak berujung pada Rio. Berusaha membalaskannya dengan cara apapun. Berupaya menjebloskan Rio ke dalam jurang sesak yang sama. Meski pada akhirnya ia tau, kekalahanlah yang akan selalu berpihak padanya. Pahit. Namun tak dapat menghindar. Takdir. Menyakitkan namun inilah yang harus ia jalani. Seandainya bisa, Alvin ingin memilih pergi. Namun Ify seolah memakunya. Gadis itu membuatnya menggila. Hingga di detik inipun, sulit rasanya untuk merelakan Ify berbahagia dengan Rio.

Dan tetap. Keegoisannya merajai. Tak akan ia biarkan Ify bertahan untuk Rio. Toh kini Rio tengah diambang kematian. Bukankah peluang itu lebih besar untuknya?

Alvin menarik tepi bibirnya. Menatap langit hitam seolah menantang. Lihat dirinya. Kali ini, Alvin pasti memenangkannya!

*****

Rio mengerjapkan matanya beberapa kali. Mencari cahaya yang entah bersembunyi di mana. Gelap. Hitam. Tak ada yang dapat dijangkau penglihatannya. Semua terasa kosong. Tak ada satupun benda yang dapat disentuhnya. Di mana ia sekarang?

Rio berusaha melangkah ke manapun untuk mencari tahu. Tubuhnya benar-benar terasa ringan. Padahal seingatnya, siang tadi ia mengalami kecelakaan tragis yang seakan membuat nyawanya direnggut paksa. Rio terus melangkah penuh keheranan. Sampai ia menemukan secercah cahaya kecil tak jauh dari kakinya berpijak. Dihampirinya cahaya itu.

Rio melongokan kepalanya. Celingak-celinguk mencari sesosok manusia yang bisa ia tanyakan di mana ia berada kini. Hingga tiba-tiba, secara samar Rio mendengar suara tangisan. Tangisan yang sangat ia hafal. Tangisan milik gadisnya.

Rio berusaha mencari sumber suara dan melangkah mengikuti arah munculnya tangisan itu. Selasar panjang yang sunyi dan hanya ada warna putih sejauh mata memandang, membuat Rio semakin dilanda kebingungan. Tempat macam apa ini? Kenapa suasananya begitu hampa?

Suara tangis Ify itu kini disertai dengan lirihan sang mama yang memanggil namanya. Ada apa ini? Mengapa orang-orang yang dicintainya itu bersuara memerih?

Rio terus melangkah hingga pada ujung selasar ia berbelok dan menemukan teman-temannya, kedua orang tuanya, Sivia, dan juga Ify, tengah berurai air mata di depan ruang ICU. Rio melanjutkan langkahnya dan menghampiri mereka semua.

"Fy, kamu kenapa?" tanya Rio tepat dihadapan gadis itu.

Namun Ify tak menyahuti. Ia tetap tertunduk dengan air mata yang tak mampu dihentikannya.

"Fy! Fy! Hey!"

Rio mengangkat tangannya lalu berusaha menyentuh Ify. Namun aneh. Tangannya berhasil menembus tubuh sang gadis. Rio membelalak. Lalu menatap tangannya. Ada apa ini? Mengapa tangannya melolosi sang gadis? Mengapa tangannya tak dapat menyentuh gadisnya?

Rio beralih pada sang bunda yang masih saja melirihkan namanya yang kini tengah ditenangkan oleh sang ayah.

"Mah! Ini Rio, Mah! Mama kenapa? Mama jangan nangis. Ini Rio ada di depan mama. Mah!" jerit Rio namun sang bunda melakukan hal yang sama. Tetap tak menanggapi. Bahkan menolehpun tidak.

Rio mencoba menyentuh sang bunda. Namun tetap sama. Tangannya tak berhasil menggapai tubuh sang bunda. Ia seakan menyentuh angin yang takkan mungkin dapat tergenggam.

Kali ini Rio menghampiri kedua sohibnya yang bersangga pada dinding ruang tunggu. Hampir frustasi. Rio kembali berbicara pada teman-temannya

"Biru, Kka! Lo berdua kenapa sedih? Ini gue! Please, liat gue!"

Rio mengepalkan tangannya ingin meninju kedua sohibnya. Namun ia malah terhuyung ke depan seakan tak ada siapapun di sana.

Rio mencoba berbicara pada perawat yang hilir mudik. Namun tak ada satupun yang menanggapi kehadirannya. Kali ini ia benar-benar frustasi. Rio tak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Mengapa ia seperti angin berhembus yang tak dihiraukan keberadaannya?

Rio melihat seorang dokter keluar dari ruang ICU yang langsung dikerubungi oleh Ify, Sivia, Biru, Cakka, dan kedua orang tuanya. Penasaran, Rio melangkah menghampiri mereka.

"Gimana dok keadaan anak saya?"

Rio menyernyit mendengar mamanya bertanya demikian.

"Masih belum ada peningkatan, Bu. Hanya mukjizat yang bisa membuat Rio kembali bangun. Kali ini, Rio sudah boleh dijenguk. Tapi jangan langsung masuk semua. Saya permisi."

Lagi-lagi tangis kembali pecah. Namun kali ini semua sudah memasrahkan. Tak ada cara lain selain mendoakan.

Mama Riolah yang pertama kali masuk ke dalam. Penasaran, Rio mengekori sang bunda. Dan matanya langsung membelalak kaget melihat raganya terbaring tak berdaya dengan peralatan medis yang menempel di hampir seluruh bagian tubuhnya. Rio sampai menutup mulutnya saking tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya ini. Jika raganya tergeletak di tempat tidur itu, lalu ia ini apa?

Rio melihat tubuhnya yang dapat ia jangkau. Pada dasarnya kakinya memang menapaki lantai. Namun tubuhnya terasa begitu ringan. Apakah dia ini hantu? Tapi ia masih hidup. Ditaktor jantung menunjukan detakan jantungnya yang memang lemah. Lalu dia ini apa?

Rio kembali menatap sang bunda yang kini tengah menggenggam tangannya yang di tusuk jarum infus dan jarinya yang dijepitkan pulse oxymeter. Mamanya tak lagi histeris. Namun air mata tetap jatuh dari pelupuknya. Hati Rio mencelos. Mamanya benar-benar bermuram durja. Matanya membengkak. Dan ini semua karenanya. Dengan berat hati -juga karena tak tega melihat mamanya-, Rio melangkah keluar ruang ICU dengan menembus pintu. Tidak mungkin ia membukanya sedangkan tak ada satupun orang yang bisa melihatnya.

Rio menghampiri Ify yang juga sangat terguncang. Matanya tak kalah sembab dengan mamanya. Membuat hati Rio semakin teriris. Ingin rasanya ia berteriak untuk memberitahu jika ia baik-baik saja. Namun sekencang apapun ia keluarkan suaranya, tetap saja tidak ada yang akan mendengarnya. Rio menghela putus asa.

Dilihatnya Alvin tengah melangkah dengan wajah penuh kelegaan dan senyum culas yang membuatnya ingin sekali meninju wajah itu. Sayang sekali kini ia hanya bisa menggeram dan menelan sendiri kebenciannya pada pemuda itu. Melihat Alvin melangkah hendak menghampiri Ify, Riopun memasang badan untuk menjaga-jaga. Mudah-mudahan saja, walaupun ia tak dapat menyentuh apapun sekarang ini, ia bisa tetap menahan Alvin menjahati gadisnya dengan cara apapun.

Ify bangkit dari duduknya melihat Alvin menghampirinya. Dihapusnya kasar air matanya yang masih tak mau berhenti menggenang, lalu ditatapnya Alvin seolah mengoyak ke dasar hati pemuda itu. Dan menegaskan jika kini hanya ada kebencian mutlak untuknya.

"Ngapain lagi sih lo ke sini?! Belum puas juga?!" cecar Ify langsung.

"Fy, please, kasih gue kesempatan buat buktiin ke lo kalo gue mampu jadi kaya Rio. Gue sayang sama lo, Fy!"

Ify berdecak jengah.

"Kak Alvin, please, ini bukan waktunya buat nyatain perasaan," Sivia ikut buka suara karena baginya Alvin benar-benar tidak tau waktu dan kondisi. Di saat kesedihan melanda, ia justru masih mementingkan egonya sendiri. Benar-benar tak punya hati.

Alvin hanya melemparkan tatapan tak sukanya pada Sivia lalu kembali tak menghiraukannya. Dialihkan pandangannya pada Ify. Lalu memasang wajah memohon penuh harap.

"Dasar engga tau diri!" cecar Ify benci.

Tak terima, Alvin mencengkram kuat kedua bahu Ify. Dipaksanya Ify menatap kedua matanya. Meyakinkan pada Ify jika perasaannya tidaklah sedangkal itu.

Rio yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, mulai merasa tak terima dengan perlakuan Alvin terhadap gadisnya. Matanya mulai menatap tajam pada Alvin yang takkan mungkin dilihat oleh orang lain.

"Apaan sih?! Lepasin!" ketus Ify berontak.

"Dengerin gue! Gue enggak akan pernah berenti ngejar lo sampe lo bener-bener jadi milik gue!" Nadanya seakan mengancam Ify. Namun bukan ancaman yang ingin Alvin lontarkan. Alvin hanya ingin menegaskan jika apapun yang ia inginkan harus ia dapatkan termasuk hati seseorang yang sudah memiliki hatinya dengan utuh.

"Mimpi aja sama lo!" sahut Ify bengis. Ia lalu mencibir meremehkan.

Membuat Alvin meremas kedua bahu Ify kuat. Hingga Ify meringis dan Rio tak terima. Ia menjulurkan tangannya hendak meninju Alvin pada mulanya. Namun tiba-tiba saja, jiwanya seakan ditarik oleh suatu kekuatan besar yang membuat Rio tak mampu menahan jiwanya untuk tetap di tempat. Hingga akhirnya ia tertarik masuk ke dalam raga Alvin.

Alvin tersentak. Seperti orang kerasukan, Alvin terhuyung mundur dan langsung melepaskan cengkramannya pada bahu Ify. Tubuhnya menengang dan sedetik kemudian ia mengejang.

Ify mengernyit heran. Sedangkan Biru dan Cakka yang sedari tadi hanya bungkam menyaksikan, kini melangkah mendekat lalu menepuk-nepuk pundak Alvin.

"Vin, lo kenapa?" tanya Cakka yang mengambil posisi di hadapan Alvin menggantikan posisi Ify membuat Ify melangkah mundur ke belakang.

Sivia menghampiri Ify lalu berbisik. "Kak Alvin kenapa?"

"Enggak tau," tanggap Ify tak perduli seraya mengangkat bahu. Meski penasaran, Ify berusaha tak mengacuhkan Alvin yang kini mulai tersadar. Matanya membelalak namun tak lama ia mengerjap. Seakan kesadarannya baru pulih, Alvin mengangkat kedua tangannya lalu diamatinya dengan penuh ketakjuban. Ia menyentuh wajahnya dan menepuknya beberapa kali. Seakan mendapatkan kembali raganya, Alvin tersenyum sumringah.

Dialihkan pandangannya pada Ify. Lalu dihampirinya Ify yang tengah bersedekap jengah lalu meliriknya seraya mendesis tak suka.

"Fy..."

"Apa lagi sih?! Masih belum puas ngancemnya?!"

Dengan perlahan dan penuh kehati-hatian, Alvin menyentuh kedua pipi Ify yang otomatis langsung disentak gadis itu.

"Fy, ini aku Ri...."

Seperti tersetrum aliran listrik bertegangan tinggi, Alvin kembali mengejang. Dan keluarlah jiwa Rio dari tubuh Alvin. Rio menatap bingung dirinya dan Alvin yang juga nampak kebingungan. Dengan ragu, Rio kembali mengulurkan tangannya mencoba menyentuh Alvin. Dan iapun kembali tertarik masuk ke dalam raga Alvin.

Bingung, Rio yang kini berada di dalam raga Alvin menatap sekujur tubuh Alvin yang dapat terjangkau matanya. Lalu menatap Ify berbinar.

Langsung saja Rio menarik Ify ke dalam dekapannya. Memeluk erat tubuh gadisnya. Membuat Ify sontak berontak.

"Ih apaan sih ini! Lepasin! Lepasin gue!" Ify berusaha melepaskan pelukan -yang Ify anggap- Alvin, sebelum sebuah perasaan hangat menjalarinya tanpa terduga. Sebuah kenyamanan yang terasa nyata. Dan rindu yang seakan tersalurkan. Ify berhenti memberontak. Berusaha mencari tahu, perasaan apa yang tengah dirasakannya ini. Kehangatan ini, kehangatan yang selalu mengalir dari pelukan Rio. Kehangatan yang hidup. Kehangatan yang hanya hadir dari dekapan pemilik hatinya. Mengapa kehangatan ini tercipta saat justru tangan Alvin yang mendekapnya erat?

Tanpa suara, dalam keheningan, semua menyaksikan pelukan ganjil itu. Asing rasanya, namun seperti pernah terjadi sebelumnya.

Tak ingin terlarut jauh dengan perasaan aneh yang menyerangnya, Ify tersadar tiba-tiba dan lantas mendorong tubuh Alvin sekuat tenaga. Ia memicing menatap Alvin penuh benci.

"Jangan suka cari kesempatan lo!" cecar Ify.

Rio menatapnya tak terbaca. Memaku tatapan Ify pada manik matanya. Dan lagi-lagi kehangatan itu kembali merambati seluruh relung hatinya. Rindu yang membeku, kehilangan yang samar, cinta yang utuh hanya untuk dan memang milik Rio, seakan tersalurkan melalui mata itu. Binarnya menghanyutkan. Seperti yang selalu ia rasakan jika mata Rio menatapnya penuh cinta.

Kembali Ify tersadar. Pemuda yang dihadapannya ini Alvin, bukan Rio!

"Pergi lo!" usir Ify tajam.

"Fy, aku sayang sama kamu." Rio tak memperdulikan pengusiran yang Ify lontarkan.

"Gue bilang pergi!"

"Fy, ini aku. Aku, Fy. Ri..."

Lagi-lagi Rio terhempas keluar dari tubuh Alvin sebelum ia sempat melengkapi pemberitahuannya. Kali ini Rio meyakini jika ia tak bisa memberi tahukan identitasnya pada Ify. Rio membuang nafas keras. Sementara ini ia harus memendam dalam-dalam keinginannya untuk membuat Ify mengetahui jika jiwanya masih hidup dan akan selalu ada di sekitarnya untuk selalu menjaga gadisnya itu di manapun. Setidaknya ia tetap bisa menyentuh dan berbicara pada Ify ataupun teman-temannya melalui raga Alvin.

"Fy!" Alvin terengah entah karena apa. Ia merasa sangat letih untuk penyebab yang tak jelas. Tubuhnya terasa lemas.

"PERGI!!!" teriak Ify.

"Lo mending pergi deh, Vin. Tolong jangan cari ribut. Ini rumah sakit!" Biru angkat bicara. Membuat Alvin mengepalkan tangannya keras. Jika tidak ingat ini rumah sakit, ia pasti sudah melayangkan kepalan tangan itu ke wajah Biru. Ia merasa direndahkan sekali.

Namun pada akhirnya, Alvin hanya melepaskan tinjunya ke udara dan melangkah pergi. Membuat semuanya bernafas lega tanpa mengetahui, dendam itu terus saja berkobar di dalam dadanya. Tanpa sedikitpun merasa bersalah atas semua kejadian yang telah menghidupkan duka mendalam untuk orang-orang di sana. Karena Alvin tetaplah Alvin. Yang akan terus mengejar obsesinya sampai ia benar-benar memilikinya penuh dan utuh. Hanya miliknya.

*****

Ify menutup pintu ruang ICU perlahan seraya menatap sendu raga penuh luka yang dibalut perban serta peralatan medis yang menempel, yang terbaring tanpa daya di bednya. Iapun mengambil posisi duduk di sebelah kanan Rio. Mengamati setiap inch rupa sang kekasih. Yang selalu mampu menghadirkan getar menggelitik di hatinya. Masih getar yang sama serta cinta yang sama. Yang hanya pada Rio akan ia serahkan seluruhnya seutuhnya.

"Kak, bangun! Aku ngerasa sendirian banget di dunia ini tanpa kamu," lirih Ify seraya membelai lembut wajah Rio.

"Maafin aku, Kak. Gara-gara aku kamu jadi begini,"

Mengingat kejadian tadi, Ify benar-benar merasa bersalah. Karenanya Rio harus mengemudikan mobil secara ugal-ugalan. Karenanya Rio akhirnya harus bertaruh nyawa.

"Maaf..." Suara Ify mulai bergetar.

"Bukan salah kamu sayang," jawab Rio menyahut dari sebrang bed. Tentu saja tak dapat di dengar Ify.

"Bangun, Kak. Aku mohon. Aku tau hidup aku udah enggak akan sama lagi setelah ini, Kak. Hampa banget pasti tanpa kamu."

"Aku yang minta maaf, Fy. Jaga diri aku aja aku enggak becus. Apalagi jagain kamu," lirih Rio menatap penuh sesal pada Ify.

Kini ia seperti hembusan angin. Tak terlihat juga tak teraba. Tapi Rio tetap berharap, Ify akan bisa merasakan kehadirannya. Rio benar-benar tak mengerti mengapa Tuhan membiarkan jiwanya hidup dengan raga yang terbaring lemah. Namun Rio bersyukur karena ia masih diberi kehidupan meski tak sama lagi.

"Jangan takut, Fy. Aku akan selalu jagain kamu. Aku akan selalu melangkah di samping kamu. Aku janji, Fy."

Bersambung....

No comments:

Post a Comment