Sunday, July 28, 2013

The Story of The Past - Part 2


The Story of The Past - Part 2

            Waktu menunjukan pukul 13.10. Matahari bersinar dengan sangat terik. Dan kini berada tepat di atas bumi. Membuat udara terasa seperti hembusan api. BIHS sudah sepi. Seluruh murid telah beranjak dari sekolah menuju rumah masing-masing.

            Di saat teman-teman yang lainnya ingin segera berbaring di tempat tidur kamar guna melepas penat dan lelah, gadis manis ini justru segera berlari ke ruang musik. Semenjak Sivia memperkenalkan ruang musik tempo hari, Ify sudah tak sabar ingin menarikan jemarinya di atas tuts hitam putih piano.

            Setelah kini Ify berada di hadapan grand piano putih yang diincarnya sejak beberapa hari yag lalu, Ify tersenyum lebar. Ia menggosok-gosokan kedua telapak tangannya. Lalu maju mendekati grand piano itu. Dengan perlahan dibukanya penutup yang menyembunyikan tuts-tuts hitam putihnya. Senyum Ify semakin lebar dan tangannya semakin terasa gatal, tak sabar ingin mencobanya.

            Ify duduk di bangku yang tersedia di hadapan grand piano putih itu. Wajahnya terlihat sangat berseri seperti seorang anak kecil yang diberikan lolipop besar. Ify mulai menyentuh tuts-tuts itu dan mencoba menekannya. Terdengar bunyi dentingan.

            Ifypun mulai menekan tuts-tuts itu hingga terdengar lantunan nada yang indah. Ia memulai permainannya. Sebuah intro lagu terdengar. Jemarinya semakin bermain lincah.

"If ever you wondered
If you touched my soul
Yes you do
Since I met you I'm not the same
You bring life to everything I do
Just the way you say hello
With one touch I can't let go
Never thought I'd fall in love with you

Because of you my life has changed
Thank you for the love and the joy you bring
Because of you I feel no shame
I'll tell the world just because of you

Sometimes I get lonely
And all I gotta do is think of you
You captured something inside of me
You make all of my dreams come true
It's not enough that you love me for me
You reached inside and touched me internally
I Love You best explains how I feel for you

Because of you my life has changed
Thank you for the love and the joy you bring
Because of you I feel no shame
I'll tell the world just because of you

The magic in your eyes
True love I can't deny
When you hold me
I just lose control
I want you to know
That I'm never letting go
You mean so much to me
I want the world to see
It's because of you

Because of you my life has changed
Thank you for the love and the joy you bring
Because of you I feel no shame
I'll tell the world just because of you"

(Keith Martin - Because Of You)

            Ify membuka matanya. Senyumnya mengembang. Hatinya berseri. Lagu itu menghipnotisnya, mengontrol perasaannya. Liriknya menyentuh. Maknanya sampai ke hati. Itulah alasan Ify menyukai lagu ini.

            "Haaaah, seandainya ada pangeran yang nyanyiin lagu ini buat gue. Ngelamar gue sambil nyanyi lagu ini. Gue pasti jadi putri yang paling bahagia di dunia...,"gumam Ify berkhayal.

            Ify adalah seorang gadis biasa yang mengimpikan seorang pangeran melamarnya dengan lagu ini. Lagu favoritnya. Bermimpi suatu saat nanti Ia menjadi seorang putri yang dicintai oleh seorang pangeran tampan. Itulah salah satu mimpi terbesar dalam hidupnya.

            Tiba-tiba sekelebat bayangan tentang serpihan masa kecilnya terputar di otaknya. Bayangan tentang Mario.

            Ify menurunkan penutup tuts-tuts piano dengan hati-hati. Lalu bertopang dagu. Terlarut dalam sekelebat kisah masa kecilnya.
°°°°°

            Alyssa berlari-lari mengejar sosok teman laki-lakinya sambil membawa sebuah sketsa bergambar wajahnya dan teman laki-lakinya. Ia baru saja ditinggal oleh temannya itu. Sebelumnya mereka tengah saling menggambar sketsa di taman. Dan temannya tiba-tiba saja berlari menuju sepedanya dan segera mengayuhnya. Alyssa yang terkejut segera berdiri dan mengejarnya.

            "Kak Malio!! Jangan tinggalin Alyssa! Kak Malio, tungguin Alyssa! Kak Malio!!" teriak Alyssa dengan suara imutnya. Alyssa masih terus berlari mengejar teman laki-lakinya yang sedang mengayuh sepeda.

            "Ayo kejar Kak Mario kalo Alyssa bisa!" teriak Mario juga lalu memeletkan lidahnya ke Alyssa.

            "Kak Malio jahat! Kak Malio jahat!!" teriak Alyssa dan berhenti berlari. Alyssa berjongkok lalu menelungkupkan wajahnya di antara kedua tangannya yang dilipat di atas lutut. Ia menangis.

            Mario menoleh ke belakang. Ia segera mengerem sepedanya dan memutar balik sepedanya. Mariopun menghampiri Alyssa.

            "Alyssa kok nangis? Maafin Kak Mario ya. Kak Mario cuma bercanda kok," Mario menyentuh bahu Alyssa yang bergetar.

            "Hiks, hiks. Kak Malio jahat! Kak Malio mau ninggalin Alyssa sendirian."

            "Enggak kok. Kan Kak Mario sayang sama Alyssa. Kak Mario nggak mungkin ninggalin Alyssa sendirian." ujar Mario lembut seraya mengelus rambut Alyssa.

            Alyssa mendongak kepalanya lalu menatap Mario dengan air mata yang mengalir di pipinya. Tangisnya mereda namun masih terdengar isakan kecil.

            "Beneran Kak Malio nggak bakalan tinggalin Alyssa sendirian?" tanya Alyssa.

            "Iya, beneran. Kak Mario nggak akan ninggalin Alyssa sendirian," Mario tersenyum meyakinkan Alyssa. Membuat Alyssa ikut tersenyum.

            "Jangan nangis lagi ya?"Alyssa mengangguk lalu menghapus air matanya.

            "Ayo kita naik sepeda. Kak Mario boncengin deh."

            "Beneran?" Mario mengangguk.

            "Ayo!" ajak Mario dan segera menaiki sepedanya. Alyssapun berdiri di jalu boncengan Rio sambil memegang pundak Mario. Mario mulai mengayuh sepedanya. Dan merekapun berkeliling kompleks hingga matahari terbenam. Menikmati sore berdua dengan tawa khas anak kecil polos yang merasakan indahnya bermain sepeda di sore hari bersama teman.
°°°°°

            Ify menghela nafas. Lalu memejamkan matanya sejenak. Rasa rindunya terhadap teman kecilnya itu kini menyergap perasaannya. Di manakah Mario? Ia sangat merindukannya? 10 tahun menghilang tanpa kabar, serta secara tiba-tiba, membuat tanda tanya besar untuk Ify.

            "Huuuh, Kak Mario. Kakak di mana sih?" gumam Ify seraya menghela nafas berat.

            Ify teringat pada sosok kakak kelasnya yang kemarin melemparkan bola ke kepalanya tanpa sengaja. Sosok menawan yang sesungguhnya membuatnya jatuh hati sejak pertama menatapnya. Wajahnya yang sangat manis, membuat sebuah debaran liar di dadanya. Namun ada hal lain yang lebih menggetarkan hatinya. Sosok itu mengingatkan Ify pada teman kecilnya, Mario.

            Benarkah Mario yang membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama itu adalah Mario teman kecilnya? Jika benar, mengapa Mario tidak mengenalnya?

            Ify menyentuh kalung berbandul 'MA' yang melingkar di lehernya. Pemberian Mario yang terakhir sebelum akhirnya Mario menghilang entah ke mana. Ia menundukan kepalanya berusaha melihat kalung tersebut.

            Merasa tak ada gunanya meratapi semuanya, Ify akhirnya mengambil tasnya dan bangkit. Ia segera berjalan menuju pintu.

            Baru saja ingin menyentuh handle pintu dan membukannya, tiba-tiba saja seseorang membuka pintunya dan membuat dahi Ify terbentur pintu.

            DUG!

            "Aw!"
°°°°°

            Rio melangkah di sepanjang selasar lantai 2 dengan sedikit tergesa-gesa. Sambil memainkan ponselnya entah apa yang dilihatnya. Sesampainya di depan pintu ruang musik, Rio menyentuh handle pintu dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya masih mengutak-atik ponselnya. Dengan mata yang terfokus pada ponsel, Rio membuka pintu ruang musik dengan sedikit tergesa.

            DUG!

            "Aw!"

            Rio menoleh terkejut ketika mendengar pekikan seseorang. Ia melebarkan matanya kala mendapatkan seorang gadis tengah mengelus-elus dahinya sambil meringis. Pasti tadi pintu yang dibukanya membentur gadis ini. Rio langsung memasukan ponselnya ke dalam saku celana abu-abunya.

            "Aduh, kejedot pintu ya? Sorry sorry, gue nggak tau kalo ada orang. Sorry, ya," sesal Rio seraya menghampiri gadis itu.

            Ify -gadis yang terbentur pintu- mendongakan kepalanya. Seketika Ia terkejut melihat Rio berdiri di hadapannya dengan ekspresi wajah menyesalnya. Namun Ify berusaha bersikap biasa saja. Menyembunyikanjantungnya yang berdetak tak karuan.

                        "Ah, nggak apa-apa kok, Kak. Cuman kaget aja tadi. Hehe," ujar Ify seraya tersenyum, meyakinkan Rio.

            "Serius nggak kenapa-napa? Tapi jidat lo ungu gitu," tanya Rio memastikan. Ia merasa sedikit tak enak kala melihat sebuah bulatan yang sedikit menjendol berwarna ungu di dahi Ify.

            Ify menyentuh dahinya yang sebenarnya terasa berdenyut-denyut. Lalu Ia tertawa. "Haha, nggak apa-apa kok, Kak. Paling dikasih balsem juga sembuh."

            Pandangan Rio turun ke bawah karenaada sesuatu yang menganggu pandangannya. Rio menemukan sebuah kalung berbandul 'MA' yang tergantung di leher Ify. Rio memicingkan matanya, meneliti kalung itu. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar cepat.

            "Kalung itu...," gumam Rio. Matanya tak lepas dari kalung yang Ify pakai.

            Ify mengikuti arah pandang Rio kala mendengar gumaman Rio. Ia menyentuh bandul kalung itu, lalu di tariknya ke depan.

            "Kakak kenal sama kalung ini?" tanya Ify seraya mengalihkan pandangan ke Rio yang masih menatap lekat kalung itu.

            "Kalung itu...,"

            "Sayaaang."

            Suara seseorang membuat Ify melepaskan tangannya dari kalungnya lalu menoleh. Sedangkan Rio tak sama sekali mengalihkan pandangannyadari kalung Ify.Sesosok gadis cantik berpenampilan modis khas remaja metropolitan berdiri di hadapan Ify dan langsung menggamit lengan Rio. Ify melebarkan matanya mendengar gadis cantik itu menyebut Rio dengan panggilan sayang.

           Merasa ada tangan yang menggamitnya, Rio langsung menoleh dan mendapati gadisnya berdiri di sebelahnya.

            "Eh, Shil...,"tegurnya sedikit terkejut kala kesadarannya sudah kembali.

            "Ashilla...," gumam Ify terkejut tanpa suara. Seketika Ify merasakan ada sebuah gemuruh menyakitkan di dadanya.

            "Kok ada murid beasiswa ini?" tanya Ashilla -gadis cantik berpenampilan modis, kekasih Rio- sambil menatap sinis Ify yang masih terkejut.

            "Ini, tadi aku nggak sengaja bikin dia kejedot pintu sampe benjol gitu jidatnya," jelas Rio. Gadis itu menoleh menatap Ify. Lalu tertawa meremehkan.

            "Oh," gumamnya sinis dengan nada meremehkan."Jidat lo nggak apa-apa kan? Maafin cowok gue. Katanya dia nggak sengaja," lanjutnya dengan nada tak berselera.

            Ify mengangguk canggung, "Nggak apa-apa kok. Gue juga yang salah tadi nggak liat-liat dulu."

            "Sekali lagi sorry ya. Nggak enak nih gue jadinya," kata Rio sambil mengangguk tengkuknya. Ify menunjukan senyumnya, meyakinkan Rio.

            "Nggak apa-apa, Kak. Yaudah gue permisi dulu, ya. Maaf."
°°°°°

            Suasana panas matahari yang terasa pekat di kulittak berpengaruh pada gadis cantik ini. Disupiri dengan mobil mewah membuatnya merasa nyaman, hingga aktifitasnya mendengarkan lagu dengan earphone berwarna pinknya terasa sangat sempurna. Sambil memejamkan mata menghayati lagu, Ia sedikit menggoyangkan kaki atau tangannya mengikuti irama lagu.

            Terlahir di tengah keluarga kaya raya, membuat hidup gadis cantik ini benar-benar indah. Wajah cantiknya dihiasi dengan mata bulat dan bola mata berwarna almond. Bibir tipis dengan warna pink merekah tanpa lipgloss. Hidung kecil mancung, serta kulit putih bersih. Fisik yang sempurna, dengan tubuh semampai dan ideal.

            Namanya Sivia Azizah. Anak dari pengusaha berlian terkenal, John Darwin sang Ayah dan Renna Azizah sang Ibu. Kedua orang tua yang sangat menyayanginya dan selalu memenuhi kebutuhan hidupnya. Memiliki seorang sahabat seperti Agni membuat hidupnya terasa semakin sempurna. Sahabat dalam suka dan duka. Tak kenal lelah dan pamrih untuk selalu ada ketika sahabatnya butuh. Ia selalu mensyukuri segala anugrah indah yang selalu Tuhan limpahkan untuknya.

            Mobilnya tiba-tiba saja mengerem secara dadakan. Membuat Sivia terdorong ke depan dan membentur kursi yang berada di hadapannya.

            "Aduh!" Sivia mengelus dahinya yang terasa berdenyut-denyut lalu membuka earphonenya.

            "Ada apa sih, Pak? Kok ngerem mendadak?"sunggut Sivia kesal.

            "Maaf, Non. Tapi itu, ada teman Non yang tiba-tiba nyegat, Non," jelas supir Sivia seraya menunjuk seorang laki-laki dengan Ninja merah yang sudah bertengger di depan mobilnya. Sivia menatap tajam laki-laki itu, lalu membuka pintu mobil. Ia segera turun dan menghampiri laki-laki yang tengah berdiri di sebelah motornya dengan senyum manis yang Ia sunggingkan untuk menyambut Sivia.

            "Lo kalo mau mati janganngelibatin gue dong! Bosen hidup lo!?" bentak Sivia sambil mendorong pundak laki-laki itu dengan tangan kanannya yang langsung dicengkeram oleh laki-laki berwajah oriental tersebut.

            "Issh, lepasin! Lepas!" Sivia berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman laki-laki itu. Namun tetap saja semua itu hanya menjadi usaha yang sia-sia.

            "Ikut gue!" serunya seraya menarik tangan Sivia ke jok belakang motornya.

            "ENGGAK! ALVIN JONATHAN, lepasin tangan gue! Atau nggak...,"

            "Atau tangan lo gue patahin! Naik!"

            "Kak Alvin, please lepasin! Gue mau pulang,"Sivia mulai melunak.

            "Gue akan nganter lo pulang. Setelah lo ikut gue."

            "Mau ke mana, Kak?" tanya Sivia lemas. Jika Alvin -laki-laki berwajah oriental- telah mengancamnya, Ia tak dapat menolak, karena Ia tahu Alvin takkan main-main dengan ucapannya.

            "Ikut aja. Gue nggak akan macem-macem kok. Justru gue yang akan jagain lo, My Ladylove," bisik Alvin kala Ia memanggil Sivia dengan sebutan 'My Ladylove'. Menurutnya itu adalah panggilan sayang. Sivia tercekat mendengar panggilan yang baru pertama kalinya Alvin ucapkan padanya itu. Sebuah desiran halus terasa di dadanya.

            "Non...,"panggilan supir Sivia membuat keduanya menoleh. Sivia menatap sayu supirnya, lalu menggeleng dan menyuruhnya pulang duluan.

            "Non yakin nggak apa-apa?" tanya supirnya lagi memastikan.Sivia mengangguk.

            "Saya yang akan nganter dia pulang tanpa satu lecetpun, Pak. Bapak pulang aja,"ujar Alvin seraya tersenyum. Supir Siviapun mengangguk, lalu kembali masuk ke dalam mobil dan menjalankan kembali mobilnya.

            Sivia menghela nafas.

            "Naik!"suruh Alvin setelah Ia berada di atas motornya. Dengan setengah hati, Sivia akhirnya naik ke motor Alvin. Setelah memakai helmnya, Alvin segera menggas motornya pergi.
°°°°°

            Ify melangkah dengan langkah yang lebar-lebar. Jantungnya masih berdegup tak karuan. Ditambah lagi rasa shocknya mengetahui bahwa Ashilla adalah kekasih Rio.

            Ify berhenti di tengah tangga. Lalu menjatuhkan dirinya di sana. Ia melipat tangannya di atas lutut lalu menelungkupkan wajahnya di dalam sana. Sedikit lelah dengan kerinduannya akan Mario dan rasa shocknya mengetahui status Rio sudah tak lagi sendiri.

            Ify mengangkat kembali kepalanya. Lalu menyentuh huruf 'MA' di kalungnya. Ia memutar-mutarkan huruf 'MA' itu dengan telunjuk dan ibu jarinya.

            "Baru juga beberapa hari di sini, udah patah hati aja," gumam Ify seraya menghela nafas. Ia menundukan kepalanya.

            "Patah hati sama siapa?" suara seseorang mengejutkan Ify dan membuatnya langsung memutar kepala, menoleh ke sumber suara yang berasal dari tangga di atasnya.

            "Hah?" Ify melebarkan matanya melihat seseorang tengah tersenyum ke arahnya.
°°°°°

            Suara pantulan bola basket terdengar menggema di seluruh sudut lapangan. Hari beranjak sore. Mataharipun bergerak semakin ke barat. Meski cahayanya masih bersinar dengan sisa semangatnya, pemuda berwajah tampan ini tetap tak kehilangan semangatnya untuk terus melemparkan bola ke dalam ring.

            Peluh mengucur deras. Namun pemuda ini tak juga mengindahkannya. Ia tetap mendrible bolanya berulang kali dan melemparkannya ke dalam ring. Terkadang masuk dengan mulus dan tak jarang juga meleset.

            "Kak,"panggilan seseorang tak membuatnya berhenti. Ia hanya berhenti berlari namun tetap mendrible bolanya. Seorang gadis tomboy melangkah mendekatinya lalu mengulurkan sebotol air mineral.

            "Minum dulu, Kak. Lo main kalap banget. Istirahat dulu," gadis itu memperingati. Sedangkan pemuda tampan itu hanya menggeleng lemas.

            "Payah lo!" cerca gadis itu, membuat si pemuda menoleh.

            "Maksud lo apa, Ag?" tanyanya tak terima.

            "Kak Cakka, lo itu cowok. Cowok itu seharusnya kuat. Nggak cengeng kaya gini," ujar Agni -gadis tomboy- dengan nada sedikit meremehkan sambil melempar-lemparkan botol yang tak diterima oleh Cakka -pemuda tampan- ke atas.

            Cakka melemparkan bola basketnya asal, lalu menarik kerah kemeja Agni. Agni yang terkejut langsung terdiam.

            "Lo nggak tau, Ag! Nggak pernah tau rasanya ditolak! Ditolak sama orang yang lo sayang! Rasanya sakit, Ag!" bentak Cakka tertahan. Ia menatap Agni dengan tajam. Agni tertawa meremehkan.

            "Sakit yang gue rasain, jauh lebih menyakitkan!"ujarnya sengit membalas tatapan tajam Cakka. Cakka melepaskan kasar kemeja Agni lalu mengalihkan pandangannya. Agni merapikan kembali kemejanya.

            "Lo nggak tau kan? Nggak pernah tau kalo sekarang, gue... lagi ngerasain sakit yang teramat sangat? Lo nggak tau, karna lo cuman ngurusin hidup lo doang tanpa pernah perduli hidup gue. So, lo nggak usah ngerasa jadi manusia yang paling terpuruk di dunia ini,"ujar Agni datar tanpa menatap Cakka. Ia lebih memilih memain-mainkan botol mineral tersebut. Ucapan Agni membuatCakka menoleh. Sebuah rasa sesal menyergapmya tiba-tiba.

            "Sorry, Ag. Gue cuman masih nggak percaya sama penolakan tadi siang," sesal Cakka.

            Agni menoleh. Ia memicingkan matanya menatap Cakka. Lalu menghela nafas. "Ternyata lo nggak kenal gue. Percuma lo jadi temen gue dari kecil,"lagi-lagi Agni berucap dengan datar namun cukup menusuk di hati Cakka. Agni melempar botol itu secara kasar lalu melangkah pergi meninggalkan Cakka.

            Cakka mengacak rambutnya kesal. "ERRGH!" teriaknya meluapkan emosi. Pikirannya benar-benar berantakan. Rasa sakit akibat penolakan yang terjadi di sekolah tadi belum juga hilang, kini ditambah lagi dengan rasa sesalnya terhadap Agni.

            Dengan kasar Cakka mengambil tasnya yang terletak di dekat kakinya. Lalu beranjak pergi dari sana.
°°°°°

The Story of The Past - Part 1

            Terik matahari bersinar pekat bagai membakar isi bumi. Udara yang berhembus terasa seperti radiator pendingin ruangan. Membuat peluh berjatuhan dan kulit menjadi semerah kepiting rebus.

            Gadis manis itu berdecak kagum menatap gedung Bintang International High School. Ia menganga tak percaya bisa berada di depan gerbang BIHS. Gadis itu tak henti-hentinya menggeleng-gelengkan kepala, terperangah melihat gedung yang berdiri dengan gagah di hadapannya. Bangunan yang menjulang tinggi, bak berusaha menggapai langit. Seperti namanya, gedung berlantai 8 itu adalah salah satu sekolah bergengsi yang bersinar di Ibu Kota. Tidak hanya butuh uang banyak, untuk menembus BIHS juga diperlukan otak yang cemerlang.

            Bagi gadis manis ini, mendapatkan beasiswa di sekolah bergengsi ini tentu merupakan prestasi terbesar yang pernah diraihnya dalam hidup. Bahkan sebelumnya, Ia tidak pernah bermimpi untuk dapat memasuki kawasan elit BIHS ini, walaupun hanya untuk sekedar survey.

            Ia mendapat beasiswa atas prestasinya di musik dan pelajaran Matematika. Ia beberapa kali menjuarai olimpiade Matematika. Bahkan sampai tingkat nasional.

            "Dek, ngapain berdiri di situ?"

            Suara seorang satpam membuyarkan lamunannya. Gadis itu lantas menoleh, lalu menunjukan cengirannya pada satpam tersebut. Ia melangkah masuk ke dalam gerbang.
°°°°°

            "Ify, silahkan masuk!"

            Seluruh murid di kelas X-IPA 1 memicingkan matanya menatap siswi baru yang kini sudah berdiri di depan kelas. Seorang gadis bertubuh mungil dengan gaya yang sedikit, ehem... tertinggal.

            "Silahkan perkenalkan diri, Ify," Ify mengangguk.

            "Selamat pagi teman-teman. Nama saya, Ify."

            "Ada yang ingin bertanya?" tanya sang guru.

            "Lo pernah ke luar negeri mana aja?" tanya salah satu siswi dengan nada meremehkan.

            "Waktu kecil, saya pernah ke Singapure."

            "Kok bisa? Emang ada yayasan yang ngebantuin orang miskin buat keluar negeri?" tanya siswi lainnya. Ify hanya menghela nafas, mencoba bersabar menanggapi celaan teman barunya.

            "Selain beasiswa matematika, kelebihan lo apa lagi?" tanya seorang siswi berpipi chubby. Kali ini tidak dengan nada sinis, melainkan dengan ramah.

            "Main piano," jawab Ify seraya menyunggingkan senyum manisnya ke siswi tadi.

            "Wow. Hebat juga ya ada orang miskin yang bisa main piano. Lo dapet beasiswa juga di tempat les piano? Atau ada juga lembaga permasyarakatan yang ngebantu orang nggak mampu buat les piano? Haha," ceplos seorang siswa membuat teman-teman yang lainnya tertawa. "Hahaha."

            "Waktu kecil, di rumah saya ada piano," jawab Ify lagi-lagi mencoba bersabar.

            "Bantuan dari mana lagi tuh piano? Haha."

            "Sudah sudah! Kalian ini bisanya menghina orang saja. Ify, silahkan kamu duduk di samping Sivia," sang guru menunjuk salah satu tempat duduk yang kosong.

            Ify bernafas lega kala melihat gadis cantik berpipi chubby yang tadi bertanya ramah padanyalah yang ditunjuk sang guru. Ify tersenyum pada sang guru dan mengangguk. Lalu segera melangkah ke tempat duduk yang dimaksud sang guru.

            Ketika tengah melangkah, seseorang dengan sengaja menyelengkat Ify dengan kakinya. Membuat Ify yang tak sadar ada kaki yang terulur di depannya spontan terjatuh.

           "Aw!" pekik Ify terkejut. Ify terjatuh dalam posisi telungkup, dengan kedua tangan yang menumpu tubuhnya. Wajah Ify berhasil selamat tak terbentur lantai. Namun tidak dengan lututnya. Ify meringis merasakan nyeri di lututnya. Seluruh murid tertawa melihatnya.

            "Hahahahahahaha."

            "Ashilla! Apa-apaan kamu ini?!" bentak sang guru seraya menghampiri Ify dan membantu Ify untuk berdiri.

            "Orang dia yang nggak hati-hati, Bu," elak gadis yang bernama Ashilla itu.

            "Lain kali hati-hati ya, Ify."

            "Iya, Bu. Terima kasih," Ify tersenyum masam. Ia merapikan kembali seragamnya yang tadi sempat berantakan. Lalu kembali melangkah dan segera duduk di kursinya. Ia tersenyum kepada teman semejanya yang membalas senyumnya dengan ramah.

            "Sivia," gadis berpipi chubby itu mengulurkan tangannya masih dengan senyum yang terukir di bibirnya. Dengan senyum yang juga merekah, Ify membalas uluran tangan Sivia.

            "Ify."
°°°°°

            Alyssa Saufika Umari, kerap disapa Ify. Gadis berumur 15 tahun yang memiliki segudang prestasi. Ify mencintai musik dan mahir dalam memainkan beberapa jenis alat musik. Salah satu yang paling menonjol adalah piano. Sejak kecil, Ify sangat menyukai dentingan indah piano. Membuatnya tertarik untuk mempelajari piano. Selain piano, Ify juga menguasai gitar. Ify juga memiliki suara yang sangat indah.

            Sebenarnya Ify adalah gadis yang manis. Ia memiliki dagu tirus, membuat wajahnya semakin terlihat manis. Kulitnya putih langsat. Rambutnya lurus panjang sepinggang. Tubuhnya mungil, membuatnya terlihat sangat menggemaskan. Namun status sosial membuat semua itu tenggelam di mata teman-teman barunya.

            Ify terlahir di tengah keluarga mapan. Ayahnya seorang pengusaha terkenal di tanah air. Namun sebuah tragedi tak terduga membuat perusahaan sang ayah bangkrut dan melenyapkan seluruh harta yang kelurga kecilnya miliki. Tak lama setelah itu, sang ayah meninggal dunia. Dan kehidupan Ify dan sang bundapun menjadi luntang-lantung karena seluruh hartanya tak ada yang tersisa satupun.

            Kini sang bunda berprofesi sebagai tukang jualan gado-gado. Untunglah Ify adalah anak yang berprestasi. Sehingga sang bunda tak perlu memikirkan pendidikannya karena Ify selalu mendapat beasiswa dan pendidikannyapun selalu terjamin.

            Ify adalah gadis yang periang. Ify jarang sekali bersedih untuk hal apapun. Ia adalah gadis yang kuat. Selma ini tak ada yang bisa meruntuhkan ketegaran yang Ify miliki. Menurutnya, menjadi gadis yang kuat adalah salah satu kunci untuk bertahan hidup.
°°°°°

            Ify melangkah dengan semangat menuju lapangan basket. Jam istirahat digunakan Ify untuk mengenali sekolah barunya. Sivia mengajaknya berkeliling, memperkenalkan ruangan-ruangan yang tersedia di BIHS. Mereka baru saja keluar dari ruang musik.

            Ify masih takjub dengan ruang musik yang tersedia di sekolah ini. Ruangan yang memang sengaja di desain sebagai ruang konser. Dengan panggung yang berada di depan ruangan, membuat ruangan tersebut memiliki kesan studio konser. Yang paling membuat Ify tertarik adalah sebuah grand piano putih yang berada di pinggir panggung. Ia yakin ruangan itu akan menjadi tempat favoritnya di sekolah ini.

            Sorak sorai terdengar riuh saat Ify melangkahkan kaki di sebelah lapangan basket. Banyak siswi yang berkumpul di pinggir lapangan seraya berseru meneriaki beberapa siswa yang tengah bermain basket. Ify mengerutkan kening.

            "Ini kebiasaan murid cewek di sini. Kalau tiga orang itu udah main basket, lapangan nggak akan pernah sepi," jelas Sivia yang dapat membaca keheranan di wajah teman barunya itu.

            "Siapa tiga orang itu?" tanya Ify penasaran sambil mencoba mencuri pandang ke tengah lapangan yang tertutupi oleh gerombolan siswi-siswi yang menonton.

            "Kak Rio, Kak Alvin, Kak Cakka."

            Ify menoleh pada Sivia. "Siapa mereka?"

            "Mereka bintang sekolah, Fy. Nggak ada satu orangpun yang nggak tau mereka. Semua kagum sama mereka."

            "Lo juga dong?"

            "Kecuali gue, sama Agni."

            "Agni?"

            "Iya, nanti gue kenalin deh. Dia duduk di belakang kita," Ify mengangguk-angguk.

            Ify kembali menoleh ke arah lapangan. Mencoba mencari celah untuk melihat tiga orang yang Sivia katakan tadi. Namun apalah daya. Lapangan yang sangat ramai itu membuat pandangannya tak dapat menerobos ke tengah lapangan. Ify menghela nafas, menyerah. Ia kembali menatap Sivia.

            "Gue penasaran, Vi, sama tiga orang itu," ucap Ify seraya menatap Sivia

            "Lo pasti ketemu mereka deh. Ayo ah, kita ke kantin. Agni udah nungguin nih," ajak Sivia sambil menatap layar Iphone 5-nya. Ia baru saja membaca pesan singkat yang dikirimkan temannya yang bernama Agni yang memberitahukan bahwa Agni menunggunya di kantin.

            Ify mengangguk-ngangguk seraya menyunggingkan senyumnya, "Ayo!"

            Ify membalikan tubuhnya dan melangkahkan kakinya di sepanjang koridor mengikuti Sivia yang telah berjalan di depannya. Ify sedikit berlari kecil untuk mengejar Sivia.

            DUGGGH!

            "Aw!"

            Hantaman bola orange ke kepala Ify secara tiba-tiba membuat Ify terjatuh seketika dan memekik kaget. Sivia menoleh ke belakang dan mendapati Ify tengah terduduk sambil mengurut pelipisnya. Siviapun menghampiri Ify.

            "Lo nggak apa-apa, Fy?" Ify menggeleng lemah menjawab pertanyaan Sivia. Sesungguhnya kepalanya terasa berdenyut-denyut akibat dihantam bola basket itu. Sivia menghela nafas, lalu bangkit berdiri.

            Seluruh penonton yang berada di lapangan melihat Ify yang tengah terduduk di koridor. Suasana seketika hening. Sivia mengambil bola basket yang tergeletak, lalu memicingkan mata ke lapangan.

            "Siapa yang ngelempar?!" tanyanya garang sambil mengangkat bola basket itu sekepalanya.

            "Gue."

            Sivia memutar kedua bola matanya mendengar jawaban dari laki-laki hitam manis yang tengah melangkah mendekatinya.

            "Kalau nggak bisa main, nggak usah main!" seru Sivia setelah laki-laki itu berada di hadapannya. Laki-laki itu menatap Sivia tak acuh lalu melirik Ify.

            Ify berusaha bangkit berdiri dan menghampiri Sivia dengan langkah yang sedikit sempoyongan karena kepalanya masih terasa berdenyut-denyut.

            "Gue nggak apa-apa kok, Vi," Ify menatap Sivia yang langsung menoleh padanya.

            "Tapi nih cowok tetep harus dikasih tau biar lebih hati-hati," Sivia menunjuk laki-laki hitam manis itu dengan dagunya.

            Ify mengalihkan pandangannya ke laki-laki hitam manis yang berdiri di hadapan Sivia. Seketika matanya melebar melihat sosok itu. Jantungnya berdegup kencang.

            "Kak.... Marrr...riooo...," panggil Ify terbata. Ify merasa dejavu melihat sosok laki-laki di hadapannya. Laki-laki itu mengernyit.

            "Lo kenal dia, Fy?" tanya Sivia heran.

            "Kak Mario. Sumpah ini Kak Mario? Kakak ke mana aja? Ify kangen banget sama Kakak!" seru Ify dan langsung mendekap laki-laki itu. Sivia menganga melihat kelakuan Ify. Begitu juga dengan seluruh murid yang berada di lapangan.

            "Hey hey hey! Lo apa-apaan sih?! Lo siapa?! Gue kenal sama lo!" laki-laki itu berusaha melapaskan tangan Ify dari tubuhnya. Ify menatap terkejut laki-laki itu.

            "Kak Mario nggak kenal sama Ify? Ini Alyssa, Kak! Temen Kakak waktu kecil."

            "Alyssa? Temen kecil? Sorry, gue besar di Jerman. Dan gue nggak kenal sama lo."

            Ify terdiam. Laki-laki hitam manis ini besar di Jerman? Ify menatap nanar laki-laki yang tengah merebut bola yang dipegang Sivia.

            "Jidat lo nggak apa-apa kan? Sorry, gue nggak sengaja," Rio -laki-laki hitam manis yang tadi melemparkan bola secara tidak sengaja ke kepala Ify- melangkah kembali ke tengah lapangan sambil mendrible bolanya. Iapun kembali bermain dengan kedua temannya tadi. Para siswi yang menonton kembali fokus terhadap tiga bintang sekolah itu dan kembali menyerukan nama mereka.

            Sedangkan Ify masih terdiam menatap kerumunan siswi-siswi itu seolah pandangannya dapat menembus mereka dan melihat Rio. Tatapan yang tak terbaca. Namun otaknya berusaha mencerna setiap ucapan yang terlontar dari mulut Rio.

            Mengapa Ia bisa tiba-tiba menyangka laki-laki itu adalah teman kecilnya, Kak Mario? Wajahnya begitu mirip. Yang membedakannya kini wajah lugu Mario kecil menjadi sangat dewasa dan menawan. Namun benarkah sosok itu yang selalu dicarinya selama ini?

            Sepuluh tahun yang lalu, Ify kehilangan teman kecilnya yang bernama Mario. Semenjak Mario kecil memberikannya kalung berbandul huruf 'MA' yang hingga sekarang masih melingkar di lehernya, Ify tak pernah lagi bertemu dengan Mario. Mario menghilang tak ada kabar. Ify kecil yang dahulu dipanggil Alyssa selalu menunggu Mario berharap teman laki-lakinya itu akan menghampirinya di taman. Namun harapan itu memang hanya sebuah harapan. Tak pernah terwujud menjadi nyata.

            Hingga kini, Ify masih terus menunggu sosok itu. Sosok Mario yang sangat dirindukannya. Dan Ia masih berharap, Mario-nya akan kembali.

            "Fy, lo kenal dia?"

            Pertanyaan Sivia membuyarkan lamunanIfy tentang Mario-nya. Ify kembali ke dunia nyatanya lalu menoleh menatap Sivia."Enggak," Ify memaksakan sebuah senyum.

            "Tapi kok lo tau namanya?"

            "Namanya beneran Mario?" tanya Ify terkejut.

            "Iya, namanya Mario."

            Ify menelan ludah lalu kembali menatap ke lapangan. Namanya Mario? Sungguh sulit dipercaya. Wajahnya mirip. Namanya sama. Rasa curiga yang membingungkan mulai menyergapnya.
°°°°°

            Ify pasrah saja mengikuti Sivia yang kini tengah menarik tangannya. Gadis berpipi chubby itu membawa Ify ke kantin seperti yang dikatakannya sebelum insiden bola basket itu terjadi. Langkah Sivia berhenti di salah satu meja kantin yang telah ditempati oleh seorang gadis manis yang tengah mengaduk-aduk minumannya seraya menatap tajam ke arah Ify dan Sivia.

            Sivia menyentuh dadanya mencoba mengatur nafasnya yang tak beraturan. Berlari-larian dari koridor ke kantin, membuatnya menjadi berolahraga siang. Sedangkan Ify mengatur nafasnya dalam diam.

            "Ck, lo lewat Bandung ya ke kantinnya?" tanya gadis manis itu sinis.

           "Sorry, Ag. Tadi ada kecelakaan kecil," jawab Sivia yang langsung duduk di hadapan gadis manis itu."Oh iya, Ag, ini Ify. Temen sekelas baru kita. Fy, ini Agni. Yang tadi gue bilang," Sivia memperkenalkan keduanya.

            Ify mengulurkan tangannya sambil tersenyum, "Ify."

            "Agni,"gadis manis bernama Agni itu menjabat tangan Ify dan membalas senyum Ify. "Duduk, Fy."

            Ify mengangguk lalu duduk di sebelah Sivia. Ify memperhatikan gadis manis di hadapannya. Rambutnya dikuncir kuda membuat Agni terlihat tomboy. Ditambah lagi dengan kulitnya yang hitam manis khas orang Jawa, membuat Agni terlihat semakin tomboy. Namun dengan tampilan simplenya, kesan orang berada tetap melekat pada Agni.

            Ify mengalihkan pandangannya ke gadis berpipi chubby di sebelahnya. Gadis ini benar-benar menampilkan style gadis Ibu Kota. Rambut hitam panjang yang digerai dan dihiasi dengan bando berhias pita berwarna pink. Aroma parfum elegan Rose membuat semua yang berada didekatnya mengetahui parfum mahalah yang disemprotkan ke tubuhnya.

            Pernak-pernik yang digunakan Sivia tidaklah emas atau intan berlian. Namun juga bukan pernak-pernik murah yang berceceran di toko-toko. Melainkan pernak-pernik mahal yang terdapat di mall-mall ternama di Jakarta. Kulit putihnya yang terawat memperjelas profilnya sebagai orang berada.

            Seketika itu juga Ify merasa minder berada di antara Sivia dan Agni yang notabennya adalah orang berkelas. Tidak seperti dirinya yang tak mampu berias karena sang bunda tak mampu membelikan make-up untuknya. Rambutnya yang hanya dikuncir kuda. Dan penampilan yang terlihat jelas berbeda dengan Sivia dan Agni. Juga dengan seluruh siswi di sekolah ini.

            "Mau pesen apa, Fy?" pertanyaan Sivia membuyarkan lamunannya. Ify menoleh menatap Sivia.

            "Makanan di sini pasti mahal-mahal. Gue nggak punya uang buat beli makanannya," ujar Ify seraya menundukan kepalanya. Ia menggigit bibir bawahnya.

            "Terus kalo nggak jajan di sini, lo makan apa?" tanya Agni yang mendengar jawaban Ify tadi.

            Ify hanya menggeleng semakin merasa kecil di hadapan kedua teman barunya ini. Rasa minder semakin menyergap kuat hatinya.

            "Udah lo pesen aja. Ntar gue yang bayarin,"

            Ify mendongakan wajahnya menatap Sivia yang tengah tersenyum kepadanya. Ify kembali menggeleng merasa tak enak.

            "Nggak usah, Vi. Ntar gue makan di rumah aja."

            "Nggak usah ngerasa nggak enak, Fy. Sekarang kita temen. Kalo lo anggep kita temen, lo pesen aja. Soal bayar, lo nggak perlu bingung. Kita bakalan traktir lo dengan senang hati,"ujar Agni.

            "Bener tuh kata Agni, Fy. Pokoknya mulai sekarang, kita berdua bakalan jadi temen lo yang siap ngebantu lo dalam masalah apapun. Lo nggak perlu segan sama kita," tambah Sivia. Ia merangkul pundak Ify.

            Ify menatap Sivia dan Agni bergantian. Perlahan, senyumnya mengembang.

            "Makasih ya, kalian baik banget sih," Ify memeluk Sivia yang berada di sampingnya. Sivia menepuk-nepuk punggung Ify lantas tersenyum. Ify melepaskan pelukannya.

            Ify merasa beruntung di hari pertamanya, Ify langsung dipertemukan dengan kedua teman berhati malaikat seperti Agni dan Sivia. Semoga saja hari-harinya di BIHS akan terasa indah karena kehadiran Sivia dan Agni.

Bersambung...

The Story of The Past - Prolog


Gadis kecil itu tersenyum senang melihat kalung yang baru saja dipakaikan ke lehernya oleh seorang pria kecil yang tak lain adalah temannya. Gadia kecil berparas manis itu memainkan bandul kalung yang tertuliskan huruf'MA'. Kalung itu terlihat begitu cantik. Bukan kalung emas atau berlian mahal. Hanya kalung imitasi yang tak berharga. Namun tetap membuat gadis kecil yang masih berumur 5 tahun itu bahagia.

            Teman laki-laki yang berumur 3 tahun lebih tua dari gadis itu tersenyum. Ia senang melihat gadis kecil itu tersenyum bahagia menatap kalungyang diberikannya.

            "Alyssa suka?"

            Gadis kecil yang bernama Alyssa itu menoleh. Senyumnya semakin mengembang. Kali ini menunjukan deretan gigi putihnya.

            "Suka banget, Kak Malio," seru Alyssa antusias.

            "Kamu makin cantik pake kalung itu,"Alyssa menunduk tersipu mendengar pujian teman laki-lakinya yang Ia panggil Kak Malio. Ia kembali menyentuh bandul kalung itu dan kembali tersenyum.

            "MARIO!!!! PULAAAAAANG!!!!"

            Suara bentakan tiba-tiba dari seorang wanita mengejutkan keduanya. Alyssa dan Mario menoleh bersama ke arah sumber suara. Senyum keduanya seketika menghilanh tergantikan dengan wajah yang berubah muram dan ketakutan. Wanita muda itu menarik tangan Mario dan menyeretnya paksa.

            "Lepasin Mario, Mah! Mario mau main sama Alyssa! Mario nggak mau pulang! Lepasin Mario!!" Mario meronta.Wanita muda yang ternyata adalah Ibu dari Mario malah menggendong anaknya yang terus menerus berontak.

            "Jangan membantah mama, Mario!"

            "Mama jahat! Mama jahat!"

            "Kak Maliooo!! Jangan tinggalin Alyssa, Kak! Kak Malioooo!!!" Alyssa menangis berusaha mengejar Mario.

            "Alyssa, pakai terus kalung itu ya?! Jangan sampai hilang! Mario sayang sama Alyssa,"seru Mario.

            Alyssa yang tak kuat lagi berlari akhirnya terjatuh. Ia menangis kejer di tengah taman. Menatap sendu Mario yang semakin menjauh dan akhirnya tak terlihat lagi di pintu keluar taman.

            Alyssa tertunduk sedih. Ia menatap kalung yang diberikan Mario tadi. Lalu kembali memainkan bandul kalungnya sambil terisak.

            "Kak Malio, Alyssa sayang sama Kak Malio."

Bersambung……