Sunday, July 28, 2013

The Story of The Past - Part 1

            Terik matahari bersinar pekat bagai membakar isi bumi. Udara yang berhembus terasa seperti radiator pendingin ruangan. Membuat peluh berjatuhan dan kulit menjadi semerah kepiting rebus.

            Gadis manis itu berdecak kagum menatap gedung Bintang International High School. Ia menganga tak percaya bisa berada di depan gerbang BIHS. Gadis itu tak henti-hentinya menggeleng-gelengkan kepala, terperangah melihat gedung yang berdiri dengan gagah di hadapannya. Bangunan yang menjulang tinggi, bak berusaha menggapai langit. Seperti namanya, gedung berlantai 8 itu adalah salah satu sekolah bergengsi yang bersinar di Ibu Kota. Tidak hanya butuh uang banyak, untuk menembus BIHS juga diperlukan otak yang cemerlang.

            Bagi gadis manis ini, mendapatkan beasiswa di sekolah bergengsi ini tentu merupakan prestasi terbesar yang pernah diraihnya dalam hidup. Bahkan sebelumnya, Ia tidak pernah bermimpi untuk dapat memasuki kawasan elit BIHS ini, walaupun hanya untuk sekedar survey.

            Ia mendapat beasiswa atas prestasinya di musik dan pelajaran Matematika. Ia beberapa kali menjuarai olimpiade Matematika. Bahkan sampai tingkat nasional.

            "Dek, ngapain berdiri di situ?"

            Suara seorang satpam membuyarkan lamunannya. Gadis itu lantas menoleh, lalu menunjukan cengirannya pada satpam tersebut. Ia melangkah masuk ke dalam gerbang.
°°°°°

            "Ify, silahkan masuk!"

            Seluruh murid di kelas X-IPA 1 memicingkan matanya menatap siswi baru yang kini sudah berdiri di depan kelas. Seorang gadis bertubuh mungil dengan gaya yang sedikit, ehem... tertinggal.

            "Silahkan perkenalkan diri, Ify," Ify mengangguk.

            "Selamat pagi teman-teman. Nama saya, Ify."

            "Ada yang ingin bertanya?" tanya sang guru.

            "Lo pernah ke luar negeri mana aja?" tanya salah satu siswi dengan nada meremehkan.

            "Waktu kecil, saya pernah ke Singapure."

            "Kok bisa? Emang ada yayasan yang ngebantuin orang miskin buat keluar negeri?" tanya siswi lainnya. Ify hanya menghela nafas, mencoba bersabar menanggapi celaan teman barunya.

            "Selain beasiswa matematika, kelebihan lo apa lagi?" tanya seorang siswi berpipi chubby. Kali ini tidak dengan nada sinis, melainkan dengan ramah.

            "Main piano," jawab Ify seraya menyunggingkan senyum manisnya ke siswi tadi.

            "Wow. Hebat juga ya ada orang miskin yang bisa main piano. Lo dapet beasiswa juga di tempat les piano? Atau ada juga lembaga permasyarakatan yang ngebantu orang nggak mampu buat les piano? Haha," ceplos seorang siswa membuat teman-teman yang lainnya tertawa. "Hahaha."

            "Waktu kecil, di rumah saya ada piano," jawab Ify lagi-lagi mencoba bersabar.

            "Bantuan dari mana lagi tuh piano? Haha."

            "Sudah sudah! Kalian ini bisanya menghina orang saja. Ify, silahkan kamu duduk di samping Sivia," sang guru menunjuk salah satu tempat duduk yang kosong.

            Ify bernafas lega kala melihat gadis cantik berpipi chubby yang tadi bertanya ramah padanyalah yang ditunjuk sang guru. Ify tersenyum pada sang guru dan mengangguk. Lalu segera melangkah ke tempat duduk yang dimaksud sang guru.

            Ketika tengah melangkah, seseorang dengan sengaja menyelengkat Ify dengan kakinya. Membuat Ify yang tak sadar ada kaki yang terulur di depannya spontan terjatuh.

           "Aw!" pekik Ify terkejut. Ify terjatuh dalam posisi telungkup, dengan kedua tangan yang menumpu tubuhnya. Wajah Ify berhasil selamat tak terbentur lantai. Namun tidak dengan lututnya. Ify meringis merasakan nyeri di lututnya. Seluruh murid tertawa melihatnya.

            "Hahahahahahaha."

            "Ashilla! Apa-apaan kamu ini?!" bentak sang guru seraya menghampiri Ify dan membantu Ify untuk berdiri.

            "Orang dia yang nggak hati-hati, Bu," elak gadis yang bernama Ashilla itu.

            "Lain kali hati-hati ya, Ify."

            "Iya, Bu. Terima kasih," Ify tersenyum masam. Ia merapikan kembali seragamnya yang tadi sempat berantakan. Lalu kembali melangkah dan segera duduk di kursinya. Ia tersenyum kepada teman semejanya yang membalas senyumnya dengan ramah.

            "Sivia," gadis berpipi chubby itu mengulurkan tangannya masih dengan senyum yang terukir di bibirnya. Dengan senyum yang juga merekah, Ify membalas uluran tangan Sivia.

            "Ify."
°°°°°

            Alyssa Saufika Umari, kerap disapa Ify. Gadis berumur 15 tahun yang memiliki segudang prestasi. Ify mencintai musik dan mahir dalam memainkan beberapa jenis alat musik. Salah satu yang paling menonjol adalah piano. Sejak kecil, Ify sangat menyukai dentingan indah piano. Membuatnya tertarik untuk mempelajari piano. Selain piano, Ify juga menguasai gitar. Ify juga memiliki suara yang sangat indah.

            Sebenarnya Ify adalah gadis yang manis. Ia memiliki dagu tirus, membuat wajahnya semakin terlihat manis. Kulitnya putih langsat. Rambutnya lurus panjang sepinggang. Tubuhnya mungil, membuatnya terlihat sangat menggemaskan. Namun status sosial membuat semua itu tenggelam di mata teman-teman barunya.

            Ify terlahir di tengah keluarga mapan. Ayahnya seorang pengusaha terkenal di tanah air. Namun sebuah tragedi tak terduga membuat perusahaan sang ayah bangkrut dan melenyapkan seluruh harta yang kelurga kecilnya miliki. Tak lama setelah itu, sang ayah meninggal dunia. Dan kehidupan Ify dan sang bundapun menjadi luntang-lantung karena seluruh hartanya tak ada yang tersisa satupun.

            Kini sang bunda berprofesi sebagai tukang jualan gado-gado. Untunglah Ify adalah anak yang berprestasi. Sehingga sang bunda tak perlu memikirkan pendidikannya karena Ify selalu mendapat beasiswa dan pendidikannyapun selalu terjamin.

            Ify adalah gadis yang periang. Ify jarang sekali bersedih untuk hal apapun. Ia adalah gadis yang kuat. Selma ini tak ada yang bisa meruntuhkan ketegaran yang Ify miliki. Menurutnya, menjadi gadis yang kuat adalah salah satu kunci untuk bertahan hidup.
°°°°°

            Ify melangkah dengan semangat menuju lapangan basket. Jam istirahat digunakan Ify untuk mengenali sekolah barunya. Sivia mengajaknya berkeliling, memperkenalkan ruangan-ruangan yang tersedia di BIHS. Mereka baru saja keluar dari ruang musik.

            Ify masih takjub dengan ruang musik yang tersedia di sekolah ini. Ruangan yang memang sengaja di desain sebagai ruang konser. Dengan panggung yang berada di depan ruangan, membuat ruangan tersebut memiliki kesan studio konser. Yang paling membuat Ify tertarik adalah sebuah grand piano putih yang berada di pinggir panggung. Ia yakin ruangan itu akan menjadi tempat favoritnya di sekolah ini.

            Sorak sorai terdengar riuh saat Ify melangkahkan kaki di sebelah lapangan basket. Banyak siswi yang berkumpul di pinggir lapangan seraya berseru meneriaki beberapa siswa yang tengah bermain basket. Ify mengerutkan kening.

            "Ini kebiasaan murid cewek di sini. Kalau tiga orang itu udah main basket, lapangan nggak akan pernah sepi," jelas Sivia yang dapat membaca keheranan di wajah teman barunya itu.

            "Siapa tiga orang itu?" tanya Ify penasaran sambil mencoba mencuri pandang ke tengah lapangan yang tertutupi oleh gerombolan siswi-siswi yang menonton.

            "Kak Rio, Kak Alvin, Kak Cakka."

            Ify menoleh pada Sivia. "Siapa mereka?"

            "Mereka bintang sekolah, Fy. Nggak ada satu orangpun yang nggak tau mereka. Semua kagum sama mereka."

            "Lo juga dong?"

            "Kecuali gue, sama Agni."

            "Agni?"

            "Iya, nanti gue kenalin deh. Dia duduk di belakang kita," Ify mengangguk-angguk.

            Ify kembali menoleh ke arah lapangan. Mencoba mencari celah untuk melihat tiga orang yang Sivia katakan tadi. Namun apalah daya. Lapangan yang sangat ramai itu membuat pandangannya tak dapat menerobos ke tengah lapangan. Ify menghela nafas, menyerah. Ia kembali menatap Sivia.

            "Gue penasaran, Vi, sama tiga orang itu," ucap Ify seraya menatap Sivia

            "Lo pasti ketemu mereka deh. Ayo ah, kita ke kantin. Agni udah nungguin nih," ajak Sivia sambil menatap layar Iphone 5-nya. Ia baru saja membaca pesan singkat yang dikirimkan temannya yang bernama Agni yang memberitahukan bahwa Agni menunggunya di kantin.

            Ify mengangguk-ngangguk seraya menyunggingkan senyumnya, "Ayo!"

            Ify membalikan tubuhnya dan melangkahkan kakinya di sepanjang koridor mengikuti Sivia yang telah berjalan di depannya. Ify sedikit berlari kecil untuk mengejar Sivia.

            DUGGGH!

            "Aw!"

            Hantaman bola orange ke kepala Ify secara tiba-tiba membuat Ify terjatuh seketika dan memekik kaget. Sivia menoleh ke belakang dan mendapati Ify tengah terduduk sambil mengurut pelipisnya. Siviapun menghampiri Ify.

            "Lo nggak apa-apa, Fy?" Ify menggeleng lemah menjawab pertanyaan Sivia. Sesungguhnya kepalanya terasa berdenyut-denyut akibat dihantam bola basket itu. Sivia menghela nafas, lalu bangkit berdiri.

            Seluruh penonton yang berada di lapangan melihat Ify yang tengah terduduk di koridor. Suasana seketika hening. Sivia mengambil bola basket yang tergeletak, lalu memicingkan mata ke lapangan.

            "Siapa yang ngelempar?!" tanyanya garang sambil mengangkat bola basket itu sekepalanya.

            "Gue."

            Sivia memutar kedua bola matanya mendengar jawaban dari laki-laki hitam manis yang tengah melangkah mendekatinya.

            "Kalau nggak bisa main, nggak usah main!" seru Sivia setelah laki-laki itu berada di hadapannya. Laki-laki itu menatap Sivia tak acuh lalu melirik Ify.

            Ify berusaha bangkit berdiri dan menghampiri Sivia dengan langkah yang sedikit sempoyongan karena kepalanya masih terasa berdenyut-denyut.

            "Gue nggak apa-apa kok, Vi," Ify menatap Sivia yang langsung menoleh padanya.

            "Tapi nih cowok tetep harus dikasih tau biar lebih hati-hati," Sivia menunjuk laki-laki hitam manis itu dengan dagunya.

            Ify mengalihkan pandangannya ke laki-laki hitam manis yang berdiri di hadapan Sivia. Seketika matanya melebar melihat sosok itu. Jantungnya berdegup kencang.

            "Kak.... Marrr...riooo...," panggil Ify terbata. Ify merasa dejavu melihat sosok laki-laki di hadapannya. Laki-laki itu mengernyit.

            "Lo kenal dia, Fy?" tanya Sivia heran.

            "Kak Mario. Sumpah ini Kak Mario? Kakak ke mana aja? Ify kangen banget sama Kakak!" seru Ify dan langsung mendekap laki-laki itu. Sivia menganga melihat kelakuan Ify. Begitu juga dengan seluruh murid yang berada di lapangan.

            "Hey hey hey! Lo apa-apaan sih?! Lo siapa?! Gue kenal sama lo!" laki-laki itu berusaha melapaskan tangan Ify dari tubuhnya. Ify menatap terkejut laki-laki itu.

            "Kak Mario nggak kenal sama Ify? Ini Alyssa, Kak! Temen Kakak waktu kecil."

            "Alyssa? Temen kecil? Sorry, gue besar di Jerman. Dan gue nggak kenal sama lo."

            Ify terdiam. Laki-laki hitam manis ini besar di Jerman? Ify menatap nanar laki-laki yang tengah merebut bola yang dipegang Sivia.

            "Jidat lo nggak apa-apa kan? Sorry, gue nggak sengaja," Rio -laki-laki hitam manis yang tadi melemparkan bola secara tidak sengaja ke kepala Ify- melangkah kembali ke tengah lapangan sambil mendrible bolanya. Iapun kembali bermain dengan kedua temannya tadi. Para siswi yang menonton kembali fokus terhadap tiga bintang sekolah itu dan kembali menyerukan nama mereka.

            Sedangkan Ify masih terdiam menatap kerumunan siswi-siswi itu seolah pandangannya dapat menembus mereka dan melihat Rio. Tatapan yang tak terbaca. Namun otaknya berusaha mencerna setiap ucapan yang terlontar dari mulut Rio.

            Mengapa Ia bisa tiba-tiba menyangka laki-laki itu adalah teman kecilnya, Kak Mario? Wajahnya begitu mirip. Yang membedakannya kini wajah lugu Mario kecil menjadi sangat dewasa dan menawan. Namun benarkah sosok itu yang selalu dicarinya selama ini?

            Sepuluh tahun yang lalu, Ify kehilangan teman kecilnya yang bernama Mario. Semenjak Mario kecil memberikannya kalung berbandul huruf 'MA' yang hingga sekarang masih melingkar di lehernya, Ify tak pernah lagi bertemu dengan Mario. Mario menghilang tak ada kabar. Ify kecil yang dahulu dipanggil Alyssa selalu menunggu Mario berharap teman laki-lakinya itu akan menghampirinya di taman. Namun harapan itu memang hanya sebuah harapan. Tak pernah terwujud menjadi nyata.

            Hingga kini, Ify masih terus menunggu sosok itu. Sosok Mario yang sangat dirindukannya. Dan Ia masih berharap, Mario-nya akan kembali.

            "Fy, lo kenal dia?"

            Pertanyaan Sivia membuyarkan lamunanIfy tentang Mario-nya. Ify kembali ke dunia nyatanya lalu menoleh menatap Sivia."Enggak," Ify memaksakan sebuah senyum.

            "Tapi kok lo tau namanya?"

            "Namanya beneran Mario?" tanya Ify terkejut.

            "Iya, namanya Mario."

            Ify menelan ludah lalu kembali menatap ke lapangan. Namanya Mario? Sungguh sulit dipercaya. Wajahnya mirip. Namanya sama. Rasa curiga yang membingungkan mulai menyergapnya.
°°°°°

            Ify pasrah saja mengikuti Sivia yang kini tengah menarik tangannya. Gadis berpipi chubby itu membawa Ify ke kantin seperti yang dikatakannya sebelum insiden bola basket itu terjadi. Langkah Sivia berhenti di salah satu meja kantin yang telah ditempati oleh seorang gadis manis yang tengah mengaduk-aduk minumannya seraya menatap tajam ke arah Ify dan Sivia.

            Sivia menyentuh dadanya mencoba mengatur nafasnya yang tak beraturan. Berlari-larian dari koridor ke kantin, membuatnya menjadi berolahraga siang. Sedangkan Ify mengatur nafasnya dalam diam.

            "Ck, lo lewat Bandung ya ke kantinnya?" tanya gadis manis itu sinis.

           "Sorry, Ag. Tadi ada kecelakaan kecil," jawab Sivia yang langsung duduk di hadapan gadis manis itu."Oh iya, Ag, ini Ify. Temen sekelas baru kita. Fy, ini Agni. Yang tadi gue bilang," Sivia memperkenalkan keduanya.

            Ify mengulurkan tangannya sambil tersenyum, "Ify."

            "Agni,"gadis manis bernama Agni itu menjabat tangan Ify dan membalas senyum Ify. "Duduk, Fy."

            Ify mengangguk lalu duduk di sebelah Sivia. Ify memperhatikan gadis manis di hadapannya. Rambutnya dikuncir kuda membuat Agni terlihat tomboy. Ditambah lagi dengan kulitnya yang hitam manis khas orang Jawa, membuat Agni terlihat semakin tomboy. Namun dengan tampilan simplenya, kesan orang berada tetap melekat pada Agni.

            Ify mengalihkan pandangannya ke gadis berpipi chubby di sebelahnya. Gadis ini benar-benar menampilkan style gadis Ibu Kota. Rambut hitam panjang yang digerai dan dihiasi dengan bando berhias pita berwarna pink. Aroma parfum elegan Rose membuat semua yang berada didekatnya mengetahui parfum mahalah yang disemprotkan ke tubuhnya.

            Pernak-pernik yang digunakan Sivia tidaklah emas atau intan berlian. Namun juga bukan pernak-pernik murah yang berceceran di toko-toko. Melainkan pernak-pernik mahal yang terdapat di mall-mall ternama di Jakarta. Kulit putihnya yang terawat memperjelas profilnya sebagai orang berada.

            Seketika itu juga Ify merasa minder berada di antara Sivia dan Agni yang notabennya adalah orang berkelas. Tidak seperti dirinya yang tak mampu berias karena sang bunda tak mampu membelikan make-up untuknya. Rambutnya yang hanya dikuncir kuda. Dan penampilan yang terlihat jelas berbeda dengan Sivia dan Agni. Juga dengan seluruh siswi di sekolah ini.

            "Mau pesen apa, Fy?" pertanyaan Sivia membuyarkan lamunannya. Ify menoleh menatap Sivia.

            "Makanan di sini pasti mahal-mahal. Gue nggak punya uang buat beli makanannya," ujar Ify seraya menundukan kepalanya. Ia menggigit bibir bawahnya.

            "Terus kalo nggak jajan di sini, lo makan apa?" tanya Agni yang mendengar jawaban Ify tadi.

            Ify hanya menggeleng semakin merasa kecil di hadapan kedua teman barunya ini. Rasa minder semakin menyergap kuat hatinya.

            "Udah lo pesen aja. Ntar gue yang bayarin,"

            Ify mendongakan wajahnya menatap Sivia yang tengah tersenyum kepadanya. Ify kembali menggeleng merasa tak enak.

            "Nggak usah, Vi. Ntar gue makan di rumah aja."

            "Nggak usah ngerasa nggak enak, Fy. Sekarang kita temen. Kalo lo anggep kita temen, lo pesen aja. Soal bayar, lo nggak perlu bingung. Kita bakalan traktir lo dengan senang hati,"ujar Agni.

            "Bener tuh kata Agni, Fy. Pokoknya mulai sekarang, kita berdua bakalan jadi temen lo yang siap ngebantu lo dalam masalah apapun. Lo nggak perlu segan sama kita," tambah Sivia. Ia merangkul pundak Ify.

            Ify menatap Sivia dan Agni bergantian. Perlahan, senyumnya mengembang.

            "Makasih ya, kalian baik banget sih," Ify memeluk Sivia yang berada di sampingnya. Sivia menepuk-nepuk punggung Ify lantas tersenyum. Ify melepaskan pelukannya.

            Ify merasa beruntung di hari pertamanya, Ify langsung dipertemukan dengan kedua teman berhati malaikat seperti Agni dan Sivia. Semoga saja hari-harinya di BIHS akan terasa indah karena kehadiran Sivia dan Agni.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment