Terik matahari bersinar pekat bagai
membakar isi bumi. Udara yang berhembus terasa seperti radiator pendingin ruangan. Membuat peluh berjatuhan dan kulit
menjadi semerah kepiting rebus.
Gadis manis itu berdecak kagum
menatap gedung Bintang International High
School. Ia menganga tak percaya bisa berada di depan gerbang BIHS. Gadis itu tak henti-hentinya
menggeleng-gelengkan kepala, terperangah melihat gedung yang berdiri dengan
gagah di hadapannya. Bangunan yang menjulang tinggi, bak berusaha menggapai
langit. Seperti namanya, gedung berlantai 8 itu adalah salah satu sekolah
bergengsi yang bersinar di Ibu Kota. Tidak hanya butuh uang banyak, untuk
menembus BIHS juga diperlukan otak
yang cemerlang.
Bagi gadis manis ini, mendapatkan
beasiswa di sekolah bergengsi ini tentu merupakan prestasi terbesar yang pernah
diraihnya dalam hidup. Bahkan sebelumnya, Ia tidak pernah bermimpi untuk dapat
memasuki kawasan elit BIHS ini,
walaupun hanya untuk sekedar survey.
Ia mendapat beasiswa atas
prestasinya di musik dan pelajaran Matematika. Ia beberapa kali menjuarai
olimpiade Matematika. Bahkan sampai tingkat nasional.
"Dek, ngapain berdiri di
situ?"
Suara seorang satpam membuyarkan
lamunannya. Gadis itu lantas menoleh, lalu menunjukan cengirannya pada satpam
tersebut. Ia melangkah masuk ke dalam gerbang.
°°°°°
"Ify, silahkan masuk!"
Seluruh murid di kelas X-IPA 1
memicingkan matanya menatap siswi baru yang kini sudah berdiri di depan kelas.
Seorang gadis bertubuh mungil dengan gaya yang sedikit, ehem... tertinggal.
"Silahkan perkenalkan diri,
Ify," Ify mengangguk.
"Selamat pagi teman-teman. Nama
saya, Ify."
"Ada yang ingin bertanya?"
tanya sang guru.
"Lo pernah ke luar negeri mana
aja?" tanya salah satu siswi dengan nada meremehkan.
"Waktu kecil, saya pernah ke
Singapure."
"Kok bisa? Emang ada yayasan
yang ngebantuin orang miskin buat keluar negeri?" tanya siswi lainnya. Ify
hanya menghela nafas, mencoba bersabar menanggapi celaan teman barunya.
"Selain beasiswa matematika,
kelebihan lo apa lagi?" tanya seorang siswi berpipi chubby. Kali ini tidak dengan nada sinis, melainkan dengan ramah.
"Main piano," jawab Ify
seraya menyunggingkan senyum manisnya ke siswi tadi.
"Wow. Hebat juga ya ada orang
miskin yang bisa main piano. Lo dapet beasiswa juga di tempat les piano? Atau
ada juga lembaga permasyarakatan yang ngebantu orang nggak mampu buat les
piano? Haha," ceplos seorang siswa membuat teman-teman yang lainnya
tertawa. "Hahaha."
"Waktu kecil, di rumah saya ada
piano," jawab Ify lagi-lagi mencoba bersabar.
"Bantuan dari mana lagi tuh
piano? Haha."
"Sudah sudah! Kalian ini
bisanya menghina orang saja. Ify, silahkan kamu duduk di samping Sivia,"
sang guru menunjuk salah satu tempat duduk yang kosong.
Ify bernafas lega kala melihat gadis
cantik berpipi chubby yang tadi
bertanya ramah padanyalah yang ditunjuk sang guru. Ify tersenyum pada sang guru
dan mengangguk. Lalu segera melangkah ke tempat duduk yang dimaksud sang guru.
Ketika tengah melangkah, seseorang
dengan sengaja menyelengkat Ify dengan kakinya. Membuat Ify yang tak sadar ada
kaki yang terulur di depannya spontan terjatuh.
"Aw!" pekik Ify terkejut.
Ify terjatuh dalam posisi telungkup, dengan kedua tangan yang menumpu tubuhnya.
Wajah Ify berhasil selamat tak terbentur lantai. Namun tidak dengan lututnya.
Ify meringis merasakan nyeri di lututnya. Seluruh murid tertawa melihatnya.
"Hahahahahahaha."
"Ashilla! Apa-apaan kamu
ini?!" bentak sang guru seraya menghampiri Ify dan membantu Ify untuk
berdiri.
"Orang dia yang nggak
hati-hati, Bu," elak gadis yang bernama Ashilla itu.
"Lain kali hati-hati ya,
Ify."
"Iya, Bu. Terima kasih,"
Ify tersenyum masam. Ia merapikan kembali seragamnya yang tadi sempat
berantakan. Lalu kembali melangkah dan segera duduk di kursinya. Ia tersenyum
kepada teman semejanya yang membalas senyumnya dengan ramah.
"Sivia," gadis berpipi chubby itu mengulurkan tangannya masih
dengan senyum yang terukir di bibirnya. Dengan senyum yang juga merekah, Ify
membalas uluran tangan Sivia.
"Ify."
°°°°°
Alyssa Saufika Umari, kerap disapa
Ify. Gadis berumur 15 tahun yang memiliki segudang prestasi. Ify mencintai musik
dan mahir dalam memainkan beberapa jenis alat musik. Salah satu yang paling
menonjol adalah piano. Sejak kecil, Ify sangat menyukai dentingan indah piano.
Membuatnya tertarik untuk mempelajari piano. Selain piano, Ify juga menguasai
gitar. Ify juga memiliki suara yang sangat indah.
Sebenarnya Ify adalah gadis yang
manis. Ia memiliki dagu tirus, membuat wajahnya semakin terlihat manis.
Kulitnya putih langsat. Rambutnya lurus panjang sepinggang. Tubuhnya mungil,
membuatnya terlihat sangat menggemaskan. Namun status sosial membuat semua itu
tenggelam di mata teman-teman barunya.
Ify terlahir di tengah keluarga
mapan. Ayahnya seorang pengusaha terkenal di tanah air. Namun sebuah tragedi
tak terduga membuat perusahaan sang ayah bangkrut dan melenyapkan seluruh harta
yang kelurga kecilnya miliki. Tak lama setelah itu, sang ayah meninggal dunia.
Dan kehidupan Ify dan sang bundapun menjadi luntang-lantung karena seluruh
hartanya tak ada yang tersisa satupun.
Kini sang bunda berprofesi sebagai
tukang jualan gado-gado. Untunglah Ify adalah anak yang berprestasi. Sehingga
sang bunda tak perlu memikirkan pendidikannya karena Ify selalu mendapat
beasiswa dan pendidikannyapun selalu terjamin.
Ify adalah gadis yang periang. Ify
jarang sekali bersedih untuk hal apapun. Ia adalah gadis yang kuat. Selma ini
tak ada yang bisa meruntuhkan ketegaran yang Ify miliki. Menurutnya, menjadi
gadis yang kuat adalah salah satu kunci untuk bertahan hidup.
°°°°°
Ify melangkah dengan semangat menuju
lapangan basket. Jam istirahat digunakan Ify untuk mengenali sekolah barunya.
Sivia mengajaknya berkeliling, memperkenalkan ruangan-ruangan yang tersedia di BIHS. Mereka baru saja keluar dari ruang
musik.
Ify masih takjub dengan ruang musik
yang tersedia di sekolah ini. Ruangan yang memang sengaja di desain sebagai
ruang konser. Dengan panggung yang berada di depan ruangan, membuat ruangan
tersebut memiliki kesan studio konser. Yang paling membuat Ify tertarik adalah
sebuah grand piano putih yang berada di pinggir panggung. Ia yakin ruangan itu
akan menjadi tempat favoritnya di sekolah ini.
Sorak sorai terdengar riuh saat Ify
melangkahkan kaki di sebelah lapangan basket. Banyak siswi yang berkumpul di
pinggir lapangan seraya berseru meneriaki beberapa siswa yang tengah bermain
basket. Ify mengerutkan kening.
"Ini kebiasaan murid cewek di
sini. Kalau tiga orang itu udah main basket, lapangan nggak akan pernah
sepi," jelas Sivia yang dapat membaca keheranan di wajah teman barunya
itu.
"Siapa tiga orang itu?"
tanya Ify penasaran sambil mencoba mencuri pandang ke tengah lapangan yang
tertutupi oleh gerombolan siswi-siswi yang menonton.
"Kak Rio, Kak Alvin, Kak
Cakka."
Ify menoleh pada Sivia. "Siapa
mereka?"
"Mereka bintang sekolah, Fy.
Nggak ada satu orangpun yang nggak tau mereka. Semua kagum sama mereka."
"Lo juga dong?"
"Kecuali gue, sama Agni."
"Agni?"
"Iya, nanti gue kenalin deh.
Dia duduk di belakang kita," Ify mengangguk-angguk.
Ify kembali menoleh ke arah
lapangan. Mencoba mencari celah untuk melihat tiga orang yang Sivia katakan
tadi. Namun apalah daya. Lapangan yang sangat ramai itu membuat pandangannya
tak dapat menerobos ke tengah lapangan. Ify menghela nafas, menyerah. Ia
kembali menatap Sivia.
"Gue penasaran, Vi, sama tiga
orang itu," ucap Ify seraya menatap Sivia
"Lo pasti ketemu mereka deh.
Ayo ah, kita ke kantin. Agni udah nungguin nih," ajak Sivia sambil menatap
layar Iphone 5-nya. Ia baru saja
membaca pesan singkat yang dikirimkan temannya yang bernama Agni yang
memberitahukan bahwa Agni menunggunya di kantin.
Ify mengangguk-ngangguk seraya
menyunggingkan senyumnya, "Ayo!"
Ify membalikan tubuhnya dan
melangkahkan kakinya di sepanjang koridor mengikuti Sivia yang telah berjalan
di depannya. Ify sedikit berlari kecil untuk mengejar Sivia.
DUGGGH!
"Aw!"
Hantaman bola orange ke kepala Ify
secara tiba-tiba membuat Ify terjatuh seketika dan memekik kaget. Sivia menoleh
ke belakang dan mendapati Ify tengah terduduk sambil mengurut pelipisnya.
Siviapun menghampiri Ify.
"Lo nggak apa-apa, Fy?"
Ify menggeleng lemah menjawab pertanyaan Sivia. Sesungguhnya kepalanya terasa
berdenyut-denyut akibat dihantam bola basket itu. Sivia menghela nafas, lalu
bangkit berdiri.
Seluruh penonton yang berada di
lapangan melihat Ify yang tengah terduduk di koridor. Suasana seketika hening.
Sivia mengambil bola basket yang tergeletak, lalu memicingkan mata ke lapangan.
"Siapa yang ngelempar?!"
tanyanya garang sambil mengangkat bola basket itu sekepalanya.
"Gue."
Sivia memutar kedua bola matanya
mendengar jawaban dari laki-laki hitam manis yang tengah melangkah
mendekatinya.
"Kalau nggak bisa main, nggak
usah main!" seru Sivia setelah laki-laki itu berada di hadapannya.
Laki-laki itu menatap Sivia tak acuh lalu melirik Ify.
Ify berusaha bangkit berdiri dan
menghampiri Sivia dengan langkah yang sedikit sempoyongan karena kepalanya
masih terasa berdenyut-denyut.
"Gue nggak apa-apa kok,
Vi," Ify menatap Sivia yang langsung menoleh padanya.
"Tapi nih cowok tetep harus
dikasih tau biar lebih hati-hati," Sivia menunjuk laki-laki hitam manis
itu dengan dagunya.
Ify mengalihkan pandangannya ke
laki-laki hitam manis yang berdiri di hadapan Sivia. Seketika matanya melebar
melihat sosok itu. Jantungnya berdegup kencang.
"Kak....
Marrr...riooo...," panggil Ify terbata. Ify merasa dejavu melihat sosok laki-laki di hadapannya. Laki-laki itu
mengernyit.
"Lo kenal dia, Fy?" tanya
Sivia heran.
"Kak Mario. Sumpah ini Kak
Mario? Kakak ke mana aja? Ify kangen banget sama Kakak!" seru Ify dan
langsung mendekap laki-laki itu. Sivia menganga melihat kelakuan Ify. Begitu
juga dengan seluruh murid yang berada di lapangan.
"Hey hey hey! Lo apa-apaan
sih?! Lo siapa?! Gue kenal sama lo!" laki-laki itu berusaha melapaskan
tangan Ify dari tubuhnya. Ify menatap terkejut laki-laki itu.
"Kak Mario nggak kenal sama
Ify? Ini Alyssa, Kak! Temen Kakak waktu kecil."
"Alyssa? Temen kecil? Sorry, gue besar di Jerman. Dan gue
nggak kenal sama lo."
Ify terdiam. Laki-laki hitam manis
ini besar di Jerman? Ify menatap nanar laki-laki yang tengah merebut bola yang
dipegang Sivia.
"Jidat lo nggak apa-apa kan? Sorry, gue nggak sengaja," Rio
-laki-laki hitam manis yang tadi melemparkan bola secara tidak sengaja ke
kepala Ify- melangkah kembali ke tengah lapangan sambil mendrible bolanya.
Iapun kembali bermain dengan kedua temannya tadi. Para siswi yang menonton
kembali fokus terhadap tiga bintang sekolah itu dan kembali menyerukan nama
mereka.
Sedangkan Ify masih terdiam menatap
kerumunan siswi-siswi itu seolah pandangannya dapat menembus mereka dan melihat
Rio. Tatapan yang tak terbaca. Namun otaknya berusaha mencerna setiap ucapan
yang terlontar dari mulut Rio.
Mengapa Ia bisa tiba-tiba menyangka laki-laki
itu adalah teman kecilnya, Kak Mario? Wajahnya begitu mirip. Yang membedakannya
kini wajah lugu Mario kecil menjadi sangat dewasa dan menawan. Namun benarkah
sosok itu yang selalu dicarinya selama ini?
Sepuluh tahun yang lalu, Ify
kehilangan teman kecilnya yang bernama Mario. Semenjak Mario kecil
memberikannya kalung berbandul huruf 'MA' yang hingga sekarang masih melingkar
di lehernya, Ify tak pernah lagi bertemu dengan Mario. Mario menghilang tak ada
kabar. Ify kecil yang dahulu dipanggil Alyssa selalu menunggu Mario berharap
teman laki-lakinya itu akan menghampirinya di taman. Namun harapan itu memang
hanya sebuah harapan. Tak pernah terwujud menjadi nyata.
Hingga kini, Ify masih terus
menunggu sosok itu. Sosok Mario yang sangat dirindukannya. Dan Ia masih
berharap, Mario-nya akan kembali.
"Fy, lo kenal dia?"
Pertanyaan Sivia membuyarkan
lamunanIfy tentang Mario-nya. Ify kembali ke dunia nyatanya lalu menoleh
menatap Sivia."Enggak," Ify memaksakan sebuah senyum.
"Tapi kok lo tau namanya?"
"Namanya beneran Mario?"
tanya Ify terkejut.
"Iya, namanya Mario."
Ify menelan ludah lalu kembali
menatap ke lapangan. Namanya Mario? Sungguh sulit dipercaya. Wajahnya mirip.
Namanya sama. Rasa curiga yang membingungkan mulai menyergapnya.
°°°°°
Ify pasrah saja mengikuti Sivia yang
kini tengah menarik tangannya. Gadis berpipi chubby itu membawa Ify ke kantin seperti yang dikatakannya sebelum
insiden bola basket itu terjadi. Langkah Sivia berhenti di salah satu meja
kantin yang telah ditempati oleh seorang gadis manis yang tengah mengaduk-aduk
minumannya seraya menatap tajam ke arah Ify dan Sivia.
Sivia menyentuh dadanya mencoba
mengatur nafasnya yang tak beraturan. Berlari-larian dari koridor ke kantin,
membuatnya menjadi berolahraga siang. Sedangkan Ify mengatur nafasnya dalam
diam.
"Ck, lo lewat Bandung ya ke
kantinnya?" tanya gadis manis itu sinis.
"Sorry, Ag. Tadi ada kecelakaan kecil," jawab Sivia yang
langsung duduk di hadapan gadis manis itu."Oh iya, Ag, ini Ify. Temen
sekelas baru kita. Fy, ini Agni. Yang tadi gue bilang," Sivia
memperkenalkan keduanya.
Ify mengulurkan tangannya sambil
tersenyum, "Ify."
"Agni,"gadis manis bernama
Agni itu menjabat tangan Ify dan membalas senyum Ify. "Duduk, Fy."
Ify mengangguk lalu duduk di sebelah
Sivia. Ify memperhatikan gadis manis di hadapannya. Rambutnya dikuncir kuda
membuat Agni terlihat tomboy. Ditambah lagi dengan kulitnya yang hitam manis
khas orang Jawa, membuat Agni terlihat semakin tomboy. Namun dengan tampilan simplenya, kesan orang berada tetap
melekat pada Agni.
Ify mengalihkan pandangannya ke
gadis berpipi chubby di sebelahnya.
Gadis ini benar-benar menampilkan style
gadis Ibu Kota. Rambut hitam panjang yang digerai dan dihiasi dengan bando
berhias pita berwarna pink. Aroma parfum elegan Rose membuat semua yang berada didekatnya mengetahui parfum mahalah
yang disemprotkan ke tubuhnya.
Pernak-pernik yang digunakan Sivia
tidaklah emas atau intan berlian. Namun juga bukan pernak-pernik murah yang
berceceran di toko-toko. Melainkan pernak-pernik mahal yang terdapat di
mall-mall ternama di Jakarta. Kulit putihnya yang terawat memperjelas profilnya
sebagai orang berada.
Seketika itu juga Ify merasa minder
berada di antara Sivia dan Agni yang notabennya adalah orang berkelas. Tidak seperti
dirinya yang tak mampu berias karena sang bunda tak mampu membelikan make-up untuknya. Rambutnya yang hanya
dikuncir kuda. Dan penampilan yang terlihat jelas berbeda dengan Sivia dan
Agni. Juga dengan seluruh siswi di sekolah ini.
"Mau pesen apa, Fy?"
pertanyaan Sivia membuyarkan lamunannya. Ify menoleh menatap Sivia.
"Makanan di sini pasti
mahal-mahal. Gue nggak punya uang buat beli makanannya," ujar Ify seraya
menundukan kepalanya. Ia menggigit bibir bawahnya.
"Terus kalo nggak jajan di
sini, lo makan apa?" tanya Agni yang mendengar jawaban Ify tadi.
Ify hanya menggeleng semakin merasa
kecil di hadapan kedua teman barunya ini. Rasa minder semakin menyergap kuat
hatinya.
"Udah lo pesen aja. Ntar gue
yang bayarin,"
Ify mendongakan wajahnya menatap
Sivia yang tengah tersenyum kepadanya. Ify kembali menggeleng merasa tak enak.
"Nggak usah, Vi. Ntar gue makan
di rumah aja."
"Nggak usah ngerasa nggak enak,
Fy. Sekarang kita temen. Kalo lo anggep kita temen, lo pesen aja. Soal bayar,
lo nggak perlu bingung. Kita bakalan traktir lo dengan senang hati,"ujar
Agni.
"Bener tuh kata Agni, Fy.
Pokoknya mulai sekarang, kita berdua bakalan jadi temen lo yang siap ngebantu
lo dalam masalah apapun. Lo nggak perlu segan sama kita," tambah Sivia. Ia
merangkul pundak Ify.
Ify menatap Sivia dan Agni
bergantian. Perlahan, senyumnya mengembang.
"Makasih ya, kalian baik banget
sih," Ify memeluk Sivia yang berada di sampingnya. Sivia menepuk-nepuk
punggung Ify lantas tersenyum. Ify melepaskan pelukannya.
Ify merasa beruntung di hari
pertamanya, Ify langsung dipertemukan dengan kedua teman berhati malaikat
seperti Agni dan Sivia. Semoga saja hari-harinya di BIHS akan terasa indah karena kehadiran Sivia dan Agni.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment