Friday, March 4, 2016

Bukan Diriku (Part 3)

Part 3

Hari Minggu merupakan hari yang menyenangkan bagi kebanyakan orang. Hari libur permanen. Harinya santai. Harinya jalan-jalan. Seperti kedua pasangan remaja ini. Rio dan Ify. Sejak kemarin, Ify sudah merajuk meminta ditemani menonton bioskop. Film komedi Indonesia terbaru yang sudah sejak lama dinantinya akhirnya release juga.

Dan di sinilah mereka berdua. Di sebuah bioskop di salah satu mall besar di Jakarta. Menatap pada layar besar di depan ruangan. Sesekali keduanya tertawa, bersamaan dengan para penonton lainnya yang kebetulan memenuhi ruangan teater hari itu. Hingga pada pertengahan film, tiba-tiba saja Ify mendapat panggilan alam yang sudah tak bisa lagi ditahannya. Buru-buru ia bangkit dan menyolek lengan Rio yang masih serius menyaksikan film.

"Kak Rio, aku mau ke toilet dulu ya," bisik Ify agar tidak menarik perhatian orang lain.

Rio hanya menoleh sekilas dan mengangguk. Setelah itu matanya sudah kembali pada layar besar di depan ruang bioskop tersebut. Ifypun menuruni anak tangga sedikit tergesa.

Tak lama Ify keluar dari toilet dan segera menuju kembali ke teater tempatnya tadi menonton film. Namun baru saja sampai di depan toilet yang letaknya diujung bioskop, sebuah tangan menariknya dan membekap mulutnya. Membawa paksa Ify keluar bioskop dengan tergesa melewati pintu keluar yang langsung terhubung ke tangga darurat. Diseretnya Ify yang berada dalam bekapannya menuruni tangga untuk mencapai pintu keluar yang mengarah ke parkiran.

Ify berusaha meronta namun tak mempan. Cekalan tangan dan bekapan pada mulutnya begitu kuat. Hingga Ify tak sanggup melawan banyak.

Saat tangan itu membuka pintu menuju parkiran, disaat itulah Ify menggunakan kesempatannya untuk menyikut si penculik dengan keras. Membuatnya mengaduh dan Ifypun berlari kembali menaiki tangga.

Alvinlah si penculik yang menyeret Ify paksa dari bioskop tadi. Ia langsung mengejar Ify yang sudah menaiki tangga darurat.

"IFY!" seru Alvin menggema di setiap sudut.

Ify berusaha menaiki anak tangga dengan berlari seraya menguhubungi Rio. Untunglah tak lama kemudian Rio mengangkat panggilannya dan langsung saja Ify serobot sebelum Rio mengucapkan apapun.

"Kak Rio, aku di tangga darurat sekarang mau balik ke bioskop. Tadi Kak Alvin nyulik aku di toilet ujung. Tolongin aku, Kak. Dia lagi ngejar...."

"Kamu lari terus, Fy. Aku susul kamu!" Laporan Ify dipotong Rio langsung. Dan sedetik kemudian panggilannya telah terputus. Ify memasukan kembali ponselnya ke dalam tas masih sambil membuang langkahnya panjang dan berusaha cepat.

Namun memang dasar sial, Alvin keburu mengejarnya dan menarik tangannya. Kaki panjang Alvin ternyata mampu mengalahkan kecepatan larinya yang memang sudah pasti lebih lambat dari seorang lelaki. Apalagi lelaki itu kini tengah mengejar apa yang menjadikan dasar dari kebencian sekaligus ambisi yang tumbuh dengan sempurna di dalam hatinya.

Ify tertarik ke belakang dari dua anak tangga atas yang langsung ditangkap Alvin. Dengan gerakan kilat, Ify berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Alvin di bahu dan lengannya. Namun sayang tenaganya kalah kuat dibanding Alvin. Alhasil, lagi-lagi Alvin mampu menariknya paksa menuruni anak tangga. Kali ini Alvin tak ingin kecolongan lagi sehingga ia mencengkram tangan Ify lebih kuat dari sebelumnya, mencegah Ify untuk melarikan diri.

Ify tak mampu lagi berbuat banyak. Ia hanya bisa menangis, berteriak, meronta, meminta dilepaskan. Tapi sudah dapat dipastikan jika Alvin tak akan melepaskan Ify barang hanya melonggarkan cekalannya saja.

"Lepasin gue! Lepasin!" jerit Ify seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya agar bisa terbebas dari cekalan Alvin.

"Diem!" bentak Alvin. Air mata Ify mengalir deras. Ketakutan itu kembali menawannya. Mencekik hingga ke bagian yang paling lubuk. Alvin adalah orang dengan segala kenekatan, yang mampu melakukan apapun untuk mendapatkan yang ia inginkan. Mengingat itu, tangisan Ify semakin lantang.

"Kak Alvin, please! Lepasin gue," lirih Ify melemahkan rontaannya. Karena ia tau, sekeras apapun usahanya meronta, ia tidak akan mungkin berhasil melepaskan diri. Dan itu hanya akan membuang energi saja.

"Lo itu bisa diem enggak sih!"

"IFY!!!"

"Shit!"

Tepat pada saat Alvin akan membuka pintu, suara Rio menggelegar di sekitar tangga darurat. Dengan tergesa, Alvin membuka pintu yang menjadi penghalang terakhir menuju ke parkiran.

"Kak Rio! Tolong! Mmmbbbbhh!!!"

Mendengar suara Rio, Ify kembali berteriak dan meronta. Perbuatannya itu membangkitkan kembali emosi Alvin yang dengan segera membekap mulut Ify untuk memperlambat pencarian Rio akan keberadaan Ify. Meskipun sebenarnya iti hanya tindakan bodoh.

Langkah kaki Rio terdengar semakin dekat. Membuat Alvin kembali pada fokus awalnya membuka pintu. Pekerjaan mudah itu menjadi sulit karena kini ia harus melakukan dua tindakan sekaligus. Ia harus melumpuhkan pergerakan Ify yang terus memberontak. Hingga pintu berhasil terbuka setengah, tepat pada saat tubuh Rio muncul dari tikungan tangga.

"IFY!" teriak Rio yang sempat melihat Ify mengulurkan tangannya sebelum pintu kembali tertutup karena dorongan closer door di pojok pintu. Tanpa pikir panjang lagi, Rio langsung menuruni anak-anak tangga secepat mungkin untuk mencapai pintu.

Alvin menyeret Ify yang masih dibekapnya keluar dari pintu darurat. Ditengokan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Mengamati keadaan sekitar. Setelah dirasa aman karena ia tidak melihat satu orang pun melintas diparkiran, Alvin langsing menyeret Ify menuju mobilnya. Memaksa Ify masuk dan langsung menjalankan mobilnya.

"Sial!" umpat Rio mengingat mobilnya ia parkir di lantai atas ketika ia melihat Alvin membawa Ify masuk ke dalam mobilnya. Rio bergerak cepat menaiki anak tangga seraya mengambil kunci mobil yang ia letakan di saku celana. Dengan cepat pula Rio membuka pintu mobil dan menjalankannya mengejar Alvin.

Rio turun satu lantai dari lantai sembilan parkiran mobil mall yang memang didesain banyak karena mall tersebut tak pernah sepi pengunjung. Meski tergolong ugal-ugalan, Rio tetap memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi di area parkiran. Mencari keberadaan mobil Alvin yang sudah tak terkihat. Tak mengacuhkan hujatan-hujatan dari para penjaga parkiran untuknya. Biar bagaimanapun ia harus bisa menemukan mobil Alvin dan menghentikan pergerakannya.

Di dalam mobil Alvin, Ify terus saja menjerit meminta Alvin membebaskannya. Ketakutannya semakin besar melihat wajah penuh emosi pemuda itu. Seakan nyawanya akan direnggut paksa hari ini juga.

"Kak Alvin jahat!" jerit Ify di tengah tangisnya.

"Diem! Bisa engga sih sekali aja lo ikutin gue?! Nurut sama gue! Gue jamin lo aman!" sahut Alvin bengis tanpa menoleh. Meski kini tatapannya terfokus ke depan, tak dapat dipungkiri jika seluruh uratnya tertarik menahan emosi. Alhasil, Alvin melampiaskannya dengan memukul stir berkali-kali dan mencengkramnya seakan stir itu adalah lawannya yang ingin ia habiskan.

Berkali-kali Ify menoleh ke belakang. Mencari keberadaan mobil Rio. Namun tak kunjung didapatinya. Ify semakin gelisah saat mengingat Rio memarkirkan mobilnya di lantai paling atas karena parkiran memang sedang penuh-penuhnya.

'Kak Rio, selamatin aku!' teriak Ify dalam hati.

Deru meskin mobil yang Rio kendarai terdengar sampai ke telinga Alvin dan Ify. Ify menoleh seketika dan menemukan mobil Rio terlihat di belakang melaju dengan kecepatan tinggi. Diam-diam Ify bernafas lega.

"AH! Sial!" Berbeda dengan Ify, Alvin mengumpat berkali-kali saat melihat kemunculan mobil Rio dari kaca spionnya. Tak ingin Rio berhasil menghentikannya, Alvin menginjak pedal gas lebih dalam lagi untuk meningkatkan laju mobilnya.

"Kak Alvin berenti! Gue takut! Pelan-pelan!" Ify berteriak keras mengeluarkan rasa takutnya. Ini bukanlah jalan tol yang bisa digunakan untuk memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Ify sampai ikut terhuyung ke kanan saat Alvin menikung dengan tajam untuk menuruni lantai berikutnya.

Tak jauh berbeda dengan Alvin, Riopun kembali memperdalam injakan gasnya. Matanya terfokus pada sedan putih yang sedang membawa gadisnya itu. Rio mencengkram stir mobilnya meluapkan emosinya yang mengendap. Emosi dan rasa khawatir atas keadaan Ify di dalam mobil itu. Tak ada yang bisa menjamin keadaan Ify kini masih baik-baik saja di dalam sana. Lebih lagi, Ify bersama dengan Alvin yang bisa saja nekat berbuat kasar pada Ify. Memikirkannya, emosi Riopun kian melonjak.

Sampai pada lantai enam, Rio tersentak saat mendapati seseorang melintas di depannya. Orang itu terbelalak dan meloncat mundur penuh keterketujan. Namun Rio hilang kendali. Dengan keadaan terbakar emosi sekaligus terkejut dan panik, Rio tak sempat menggeser kakinya pada pedal rem, dan malah semakin menekan dalam gasnya.

Panik, Rio membanting stirnya ke kiri dan mobinyapun menabrak tembok pembatas parkiran. Menimbulkan bunyi keras dan mengerikan. Tanpa berhenti, mobil itu akhirnya terjun bebas ke lantai paling dasar.

Ify membelalakkan matanya dan menganga lebar melihat mobil Rio lepas kontrol. Kepanikan dahsyat langsung mencekiknya. Ify bahkan menahan nafas kala menyaksikan dengan mata kepalanya, sedan hitam yang dikendarai oleh Rio itu menabrak pembatas parkiran dan akhirnya jatuh ke bawah hingga tak terlihat lagi.

"KAK RIOOOOOOOOO!!!"

Jeritan Ify itu membuat Alvin yang juga melihat kejadian itu dari spion mobilnya terlonjak. Bukan hanya karena jeritan Ify, namun juga karena hantaman keras mobil Rio pada tembok pembatas. Alvin langsung menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati tembok pembatas itu hancur lebur. Lupa pada mobilnya, membuat Alvin tersadar seketika dan saat ia menoleh kembali ke depan, mobil Alvin sudah berada kurang dari dua puluh meter dari sebuah tiang besar. Mobil melaju dalam kecepatan tinggi dan Alvin terlambat menginjak rem. Alvin tak dapat menghindarinya dan akhirnya menabrak kencang tiang penyangga besar itu hingga menimbulkan goncangan dahsyat di dalam mobil itu.

"AAAAAAAA!!" teriak Ify yang belum saja tersadar dari kertekejutannnya melihat mobil Rio yang terjun bebas dari lantai enam.

Keduanya terpental ke depan dengan kepala Ify membentur dashboard, sedangkan Alvin terpental ke depan dan belakang sebanyak dua kali hingga akhirnya membentur stir. Alvin langsung tak sadarkan diri dengan darah mengalir deras dari pelipisnya.

Ify masih tersadar pasca benturan keras pelipisnya dengan dashboard tanpa pelindung apapun meskipun darah juga mengalir dari pelipisnya. Ia meringis keras merasakan nyeri dan perih di pelipisnya.

"Eerrggh.." erang Ify.

Ia mengurut kepalanya yang terasa nyeri dan pusing luar biasa. Lalu membuka paksa pintu mobil Alvin setelah menemukan tombol buka kunci otomatis dan keluar dari sana. Ify hampir saja terjembab ke jalanan jika saja tangannya tak bertumpu pada pintu mobil. Banyak orang yang langsung mengerubungi mobil Alvin. Dan beberapa orang menawarkan bantuan pada Ify yang langsung ditolak mentah-mentah.

"Kak Rio..." gumamnya lirih seperti orang mabuk.

Ify berjalan sempoyongan sambil bertumpu pada pegangan tangga untuk menjaga keseimbangannya menuju lantai dasar. Sesungguhnya kesadarannya hanya tinggal setengah. Ditambah lagi dengan rasa sakit di kepalanya, membuat semua yang ada di sekitarnya terasa berputar. Banyak pandangan-pandangan heran bercampur iba melihat keadaan Ify. Pelipisnya terluka parah namun masih berusaha berjalan sendirian dengan air mata yang mengucur deras. Ify sudah tak peduli lagi pada rasa sakitnya. Yang ia fikirkan hanya satu, keadaan Rio di bawah sana.

Suara sirine ambulance terdengar memekik di lantai dasar saat Ify sudah berada di lantai tiga. Dan sebuah ambulance mengarah ke atas pastinya untuk membawa Alvin ke rumah sakit. Parkiran yang tadinya lengang mendadak penuh oleh orang-orang yang ingin melihat langsung keadaan korban, terutama keadaan Rio yang mengalami kecelakaan mengerikan.

"Kak Rio.." Ify terus saja memanggil nama Rio. Berharap Rio mendengarnya, lalu menghampirinya dan memapahnya berjalan. Air matanya mengalir deras. Sudah pasti tidak akan mungkin Rio dalam keadaan baik-baik saja sekarang. Terjun bebas bersama mobilnya dari lantai enam, sudah pasti bukanlah kecelakaan biasa seperti yang dialaminya. Pikiran burukpun langsung membayangi Ify. Membuat tangisnya semakin kencang tak teredam. Tangisan penuh kekhawatiran. Tangisan kepiluan. Tak mampu terbayangkan bagaimana kondisi Rio saat ini.

Ify sampai di lantai dasar dan langsung berusaha berlari tertatih-tatih melihat bangkai mobil Rio yang sudah tak berbentuk lagi. Melihat mobilnya saja hati Ify sudah nelangsa. Sempat ia hanya terperanjat beberapa detik meratapi sedan yang sebelumnya sangat cantik itu berubah bentuk secara mengenaskan. Bagaimana dengan pengemudinya jika mobilnya saja menjadi sehancur lebur itu.

Ify menghampiri bangkai mobil yang tengah di kelilingi orang-orang yang ingin menyaksikan proses evakuasi korban dari dalam mobil itu. Bahkan ada banyak wartawan yang ikut meliput kejadian ini. Ify tak peduli. Ify menyelip pada kerumunan hingga sampai di depan mobil tersebut. Jantungnya berdegup kencang. Gelisah. Takut. Menanti kehadiran Rio dikeluarkan dari mobil naas itu.

Hingga akhirnya petugas berhasil mengeluarkan tubuh Rio yang terjebak dari dalam mobil. Seketika mata Ify membelalak. Mulutnya ternganga. Hatinya tersentak. Detak jantungnya sudah tak terkendali lagi. Nyeri. Ngilu. Sakit. Takut. Wajah, lengan, dan kaki, penuh luka, lebam, dan darah. Baju yang sudah robek compang-camping. Tubuhnya menegang kaku. Air matanya jatuh mengaliri wajahnya. Tubuh Ify melemas seakan tulang-tulang melolosi kulitnya.

"KAK RIOOOO!!!"

Sejurus kemudian Ify berlari sekuat tenaga. Menghampiri Rio yang kini tengah dipindahkan ke atas bed dengan berbagai pelengkapan medis yang dipasangkan di tubuh Rio.

"KAK RIOOOO..." tangis Ify saat ia sudah berada di samping tubuh Rio yang masih dipasangkan berbagai alat yang tak Ify ketahui fungsinya.

Muncul desas-desus dan bisik-bisikan berbagai argumen dari para pengujung yang tengah mengerubung. Mereka mengira-ngira Ify mengenali Rio. Bahkan ada juga yang menyebut Ify adalah temannya, saudaranya, juga pacarnya. Para wartawanpun kini berpindah mengerubungi Rio dan Ify yang terus dihalangi oleh petugas keamanan. Mereka berusaha mengambil gambar keadaan korban kecelakaan yang bisa disebut maut itu. Namun Ify sama sekali tak peduli akan itu. Ia terus menangis seraya mencengkram lengan Rio.

"Kak Rio... Ke..napa begini..." Ify sesegukan. "Kak Rio bangun! Kak Rio jangan tinggalin aku! KAK RIOOOO!" jerit Ify seraya memejamkan matanya. Tak kuat melihat kondisi Rio yang mengenaskan. Bahkan nafas Rio sesekali tersengal.

"Maaf, mba ini siapa? Mba kenal sama korban?" seorang petugas rumah sakit menghampiri Ify. Ify menoleh.

"Pak, to..tolong Kak Rio, Pak! Selamatin Kak Rio, Pak..." pinta Ify tersengal.

Petugas rumah sakit itu mengerti perasaan dan kondisi Ify. Ifypun nampak tengah terluka. "Yaudah, mba ikut ambulance aja. Sekalian lukanya diobatin nanti di rumah sakit."

Ify mengangguk mengikuti petugas rumah sakit memasuki ambulance bersamaan dengan bed Rio yang didorong masuk. Sepanjang perjalanan, air mata Ify tak henti-hentinya mengalir.

"Kak Rio, bertahan, Kak. Aku mohon..." lirih Ify berulang kali.

Sesampainya di rumah sakit, Rio langsung dibawa ke ruang UGD. Ify berlari mengikuti para suster yang mendorong bed Rio menuju UGD.

"Sus, mba ini tolong diobatin juga ya kepalanya." Petugas ambulance tadi memberikan amanah. Sang susterpun mengangguk dan membawa Ify memasuki ruang UGD.

Ify dibaringkan di sebuah bed di sebelah Rio. Sembari menunggu suster mengambil peralatan, Ify menoleh menatapi Rio yang tertutupi gorden hijau. Namun Ify tetap dapat melihat kesibukan dalam kepanikan di balik tirai tersebut. Bagimana para petugas jaga dan seorang dokter jaga UGD hilir-mudik dengan terburu-buru. Ify menggigit bibirnya. Kecemasan menerjangnya tanpa ampun.

"Mba, ini lukanya robek, jadi harus dijahit." ujar seorang suster sambil meneliti luka di pelipis Ify dan membersihkan darahnya. Ify tak menyadari kehadiran sang suster karena terlalu sibuk dengan pikirannya dan kekhawatirannya.

Suster itu mengernyit melihat Ify bergeming dengan air mata yang terus mengalir. Ia menghentikan aktifitasnya dan kembali berusaha memanggil Ify.

"Mba.. Maaf.."

Ify terkesiap lalu menoleh. "I..iya sus?"

"Ini lukanya harus dijahit mba karena robek." jelas ulang.

"Oh iya sus, jahit aja." Ify menjawab itu dengan separuh kesadaran karena fokus utamanya adalah keadaan Rio. Bagaimana nasib pemuda itu dan apa yang akan terjadi melihat kondisi yang separah itu.

Tubuh Ify benar-benar melemah. Tak manpu lagi berfikir apapun. Bahkan hanya untuk mengabari keluarga dan teman-temannyapun Ify tak terfikirkan. Ia terlalu fokus memikirkan Rio. Terlalu banyak kecemasan di hatinya hingga tak mampu lagi memikirkan hal lain. Hanya Rio.

Ify terus menangis dalam diam. Ketakutan itu sudah tak terjelaskan lagi. Melihat kondisinya saja, Ify yakin dengan sangat jika keadaan Rio jauh dari baik-baik saja. Walaupun di relung hatinya Ify selalu menampik pernyataan itu. Rio pasti akan baik-baik saja. Rio akan bangun dari sadarnya dalam kurun waktu beberapa jam ke depan. Pasti!

Tangis Ify semakin parau meski tak bersuara. Ketakutannya, mematikan seluruh inderanya. Bahkan saat suster menyuntikkan pengebal rasa sebelum menjahit pelipisnya, Ify tak sama sekali merasakan sakit di pelipisnya. Justru sakit itu menyerang hatinya. Sakit akan ketakutan yang begitu besar. Ketakutan sejenis kehilangan yang samar. Ketakutan akan hilangnya jamal paling berharga dalam hidupnya. Permata dan harta, sosok dan figur, cinta dan kasih. Semuanya adalah Rio. Terbungkus dalam satu rupa yang sempurna. Tak akan mungkin Ify sanggup kehilangannya. Tak pernah ada hari tanpa namanya. Jika kehilangan itu benar-benar terjadi, bagaimana hidup Ify kedepannya? Tak sanggup Ify bayangkan jika hal buruk itu menjadi kenyataan pahit.

Semoga Tuhan mau berbaik hati untuk tetap mempertahankan jiwa Rio agar tetap hidup dalam raganya yang kembali sehat tanpa kurang satu apapun. Semoga

*****

Sivia berlari memasuki rumah sakit menuju ruang UGD. Berita kecelakaan yang menimpa Rio sudah menjadi hot news diseluruh acara berita. Berawal dari Sivia yang iseng menonton acara berita karena bosan tak ada kerjaan lain. Sampai berita berjudul "Kecelakaan : Mobil Terjun Dari Lantai Enam" ditayangkan, Sivia masih belum menyadari. Awalnya ia hanya penasaran karena laporannyapun ditayangkan secara live. Juga saat melihat mobil yang hancur, membuat Sivia semakin tergoda untuk menyaksikan berita itu. Penasaran dengan keadaan korban. Hingga kamera terarah kepada korban, Sivia mengernyit melihat sosok mirip Ify tengah memeluk korban naas itu sambil menangis, barulah Sivia mengamati layar televisinya lebih jeli lagi.

"Itu kok mirip Ify sih? Ify bukan sih?!" Sivia bahkan sampai mendekati televisi untuk memastikan dengan jelas benarkah dugaannya. Dan Sivia terkesiap saat otaknya menyakini yang dilihatnya itu benar-benar Ify.

"Yaampun, itu beneran Ify!" serunya panik.

Setelah si reporter menyebutkan nama rumah sakit tempat korban dilarikan, segera saja Sivia bersiap-siap dan meluncur ke rumah sakit.

Sivia berhenti melangkah saat mendapati Ify tengah duduk di depan ruang UGD. Lalu dihampirinya sahabatnya yang terlihat benar-benar kacau dan shock itu.

"Fy! Gimana keadaan lo? Yaampun gue kaget banget sumpah ngeliat berita lo kecelakaan. Ini jidat lo..."

"Kak Rio, Vi..." Celotehan Sivia dihentikan tiba-tiba oleh lirihan Ify. Ify mengangkat wajahnya, menatap sendu Sivia yang masih terlihat panik mengetahui insiden itu benar-benar menimpa sahabatnya.

"Kak Rio kenapa, Fy?"

"Kak Rio masih diperiksa sama dokter. Katanya... Katanya kritis.."

Sivia bungkam, tak mampu lagi berkomentar. Ia hanya membiarkan Ify menangis dalam sandarannya. Ia teringat akan headline news di televisi tadi. Kecelakaan : Mobil Terjun Dari Lantai Enam. Lantai enam? Sivia menelan ludah dengan susah payah. Dan ia juga teringat bagaimana hancurnya mobil Rio yang sampai tak lagi dikenali. Sivia mengeratkan rangkulannya pada Ify. Mencoba membagi sedikit kekuatan yang ia miliki pada sahabatnya ini yang pasti sudah kehilangan seluruh dayanya.

"Kak Rio pasti baik-baik aja, Fy," Sivia berusaha berfikir positif yang diamini Ify dalam tangisnya. Meskipun kemungkinannya sangatlah kecil tapi harapan itu masih ada.

Ify kembali duduk normal dan bersandar pada dinding. Sesungguhnya kepalanya sangat pening dan tubuhnya benar-benar lemas. Ia butuh sesuatu untuk mengisi energinya kembali. Tapi sungguh, tak ada hasrat apapun saat ini selain mendapatkan kabar baik dari dokter di dalam. Entah apa yang dilakukan sang dokter hingga pemeriksaan tak kunjung selesai. Ify masih menanti kabar selanjutnya dengan gusar dan penuh ketakutan.

"Keluarganya udah lo kabarin, Fy?"

Ify hanya menggeleng pelan. Boro-boro mengabari keluarga Rio. Sang bunda saja belum ia kabari atas kecelakaan ini. Bahkan mengurus dirinya sendiri saja Ify sudah tak ingin. Sivia mengerti. Maka ia keluarkan ponsel Ify yang masih berada di dalam tasnya yang memang selalu ia sampirkan di bahunya dan mengabari mama Rio dan teman-teman Rio.

Setengah jam kemudian mama Rio bersama ayah Rio datang bertepatan saat dokter keluar dari ruang UGD. Ify dan Siviapun langsung bangkit dan menghampiri dokter.

"Dokter gimana keadaan anak saya, Dok?" tanya mama Rio yang sudah bercucuran air mata sejak dikabari Sivia tentang kecelakaan Rio.

"Maaf, Bu. Keadaan korban kritis. Dan kami harus melakukan tindakan operasi. Menurut diagnosa awal, pembuluh darah di kakinya robek akibat tergores patahan tulang kakinya, Bu."

Mama Rio melemas kaget mendengar penjelasan sang dokter.  Juga dengan Ify yang langsung terhuyung hampir terjatuh jika Sivia tidak menahannya. Tangispun kembali pecah.

"Silahkan lakukan yang terbaik dok untuk anak saya." Ayah Riolah yang memberikan tanggapan karena beliau satu-satunya yang masih mampu mengolah fikirannya dengan baik meskipun shock juga menyergapnya.

"Baik, silahkan tandatangani surat pernyataan ini."

Dokter memberikan selembar kertas berisi surat pernyataan persetujuan untuk melakukan operasi terhadap pasien yang langsung ditandatangani oleh ayah Rio.

*****

Biru dan Cakka berlarian di sepanjang selasar menuju ruang operasi untuk segera menghampiri Ify, Sivia, dan kedua orang tua Rio yang mereka ketahui kabarnya dari Sivia dan juga pesan-pesan melalui whatsapp-an dengan Sivia selama perjalan menuju ke rumah sakit. Raut-raut sendu dan cemas mejadi pemandangan yang memilukan di sana.

"Fy, gimana keadaan Rio?" Biru langsung mengajukan pertanyaan sesampainya ia di hadapan Ify.

Ify menggeleng. Ia juga tidak tau bagaimana keadaan Rio sekarang. Pasalnya sang dokter yang mengoperasi Rio belum juga keluar.

"Kondisi terakhirnya kritis. Sekarang lagi dioperasi." Sivialah yang menjawab pertanyaan Biru itu.

Biru langsung menyenderkan tubuhnya pada dinding rumah sakit dan Cakka menghela keras karena shock mengetahui kondisi sahabatnya itu. Bahkan mereka belum mengetahui secara pasti dan rinci keadaannya. Mendengar kata 'kritis' saja sudah membuat mereka berdua cemas setengah mati. Berharap kondisi itu akan membaik pasca operasi ini.

Berjam-jam mereka menunggu dalam keheningan, ketidakpastian dan terbalutkan khawatir yang tak teruntuhkan. Lantunan doa terus mengalun meski hanya dalam hati masing-masing. Berharap kabar baiklah yang akan mereka terima.

Tak lama pintu ruang operasi dibuka dan sang dokterpun keluar. Mereka semua langsung menghampiri dokter yang langsung menurunkan masker hijau yang dikenakannya.

"Gimana dok?" Ayah Rio bertanya mewakili keingin tahuan  yang lain.

Sang dokter tak langsung menjawab, melainkan menatap wajah penuh harap di hadapannya satu persatu. Melihat ekspresi dokter tersebut, ketakutan itu kembali menyergap Ify. Perasaan tak enak langsung menghantuinya. Jantungnya berdebar dengan ritme yang sudah tak terkontrol lagi.

"Maaf, Bu, Pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin."

Bersambung....

Bukan Diriku (Part 2)

Part 2

Ify mengambil kalender meja yang memang tersedia di meja belajar kamarnya. Dua hari lagi, Rio ulang tahun. Entah mengapa rasanya tak sabar menyambut hari itu datang. Tak ada pesta besar memang. Apalagi jamuan makan malam spesial untuknya -setidaknya sampai sejauh ini belum terlihat tanda-tanda akan adanya rencana itu-. Namun Ify sudah menyiapkan hadiah spesial untuk sang kekasih. Dan ia tak sabar melihat reaksi Rio saat menerima hadiah darinya itu.

Pikiran-pikirannya terus melayang tak karuan hingga sampai pada bayangan tentang kisahnya yang tak kunjung berjalan mulus karena ada Alvin di sana. Ify menghela. Terkadang letih dengan badai yang ada. Memang hadirnya Alvin samar. Dia bukan orang ketiga. Dia bukan masalah untuk ujian kesetiaan Ify. Tapi kehadiran Alvin tidak dapat dianggap sepele.

Alvin. Jika teringat nama itu, bagaikan terbayang pada ancaman dan kehancuran. Entah sampai kapan Alvin akan menyerah. Entah berapa lama lagi Ify dan Rio harus terus dihantui gangguan-gangguan Alvin. Mungkin saat ini, hanya harapanlah yang mampu memudarkan sedikit rasa takutnya. Sedikit saja. Karena kenyataan yang ada tak seindah harapan yang terbayang.

*****

Lapangan sekolah tidak seperti jam istirahat sebelumnya. Kali ini lapangan terlihat ramai para murid yang didominasi oleh siswi-siswi. Mulai dari kelas sepuluh hingga kelas duabelas. Semua mengerubungi pinggir lapangan. Bersorak-sorai menyebutkan dua nama fenomenal yang tak pernah lepas dari sorotan publik. Alvin dan Rio.

Sejak bel istirahat berbunyi, Alvin dan Rio sudah berdiri di tengah lapangan. Saling menatap tajam dengan sorot yang berbeda. Alvin yang selalu melemparkan kebenciannya. Sedangkan Rio dengan sorot tenang namun menusuk. Seakan menegaskan lewat tatapannya, dialah sang pemenang. Membuat Alvin menggeram tertahan. Tak suka dengan pandangan yang meremehkan itu.

Rio tersenyum miring. Membalas geraman tertahan Alvin yang tertangkap indera pendengerannya di tengah-tengah sorak-sorai yang menggelegar siang itu. Detik berikutnya, Biru yang bertindak sebagai wasit, melemparkan bola oranye itu ke atas dan meniupkan pluit pertanda pertandingan dimulai. Keduanya langsung saling memperebutkan bola. Tak ada yang mau mengalah. Bola yang kini berada dalam drible-an Alvin itu terus dipertahankannya. Tak mengizinkan Rio merebutnya. Sesaat kemudian Alvin melempar bila itu dan berhasil mencetak dua point untuk mengungguli Rio. Alvin tersenyum culas. Gantian meremehkan Rio.

Alvin kembali menguasai bola. Dengan kobaran ego yang membara, kembali di driblenya bola itu dan dibawa berlari memutari lapangan basket untuk mengecoh Rio. Ia berhenti di tengah lapangan. Namun kini fokusnya tak lagi berjalan sempurna. Telinganya menangkap teriakan Ify memanggil nama rivalnya. Ekor matanya melirik ke gerombolan penonton dan menemukan Ify berdiri di antara mereka dan tengah menyemangati Rio meski wajahnya memancarkan kekhawatiran dan ketidaktenangan. 'SHIT!' Umpat Alvin dalam hati.

Rio menyadari kelengahan Alvin atas bola yang masih didriblenya. Tak mau melewatkan kesempatan, diambilnya bola itu dari tangan Alvin dan langsung ia lemparkan dengan mulus menuju ring. Ringpun menelan bola yang Rio lemparkan dengan sempurna hingga berhasil membuat three point dan berhasil membalik keadaan. Sorak sorai kembali terdengar diiringi dengan tepuk tangan meriah seakan pertandingan itu adalah asean games dan Indonesia berhasil mengalahkan lawannya.

Alvin melebarkan matanya. Tak percaya ia bisa kecolongan seperti ini. Dan keteledorannya itu membuat emosinya semakin membara. Dihampirinya Rio yang tengah asik membawa bola oranye itu menuju ke ring. Lalu disenggolnya Rio dengan tubuhnya. Hingga bolapun terlepas bersamaan dengan Rio yang terhuyung ke belakang. Hampir saja terjatuh jika Rio tak bisa menjaga keseimbangan. Alhasil, ia hanya terdorong mundur beberapa langkah. Sejurus kemudian, ditatapnya Alvin yang terlihat dipenuhi kemurkaan.

"Maksud lo apa?!" tanya Rio menahan geram seraya melangkah mendekat pada Alvin. Keheningan langsung mencengkram kuat seisi lapangan. Seluruhnya menyaksikan dengan serius seraya menerka-nerka dalam hati apa yang akan terjadi selanjutnya.

Alvin memicing sengit pada rivlnya itu. Tanpa memikirkan apapun lagi, Alvin segera melayangkan tinjunya pada Rio. Menumpahkan segala sesak di dadanya, sekaligus membalas bogem yang Rio daratkan untuknya tempo hari.

Kali ini Alvin berhasil membuat Rio tersungkur. Membuat semua yang menyaksikan berkoor terkejut dan melongo serempak. Tak terkecuali Ify dan Sivia, juga Shilla yang memang menyaksikan keduanya bertanding -tidak dikatakan bermain karena keduanya sama-sama mengincar kemenangan- basket. Ify langsung berlari ke tengah lapangan menghampiri keduanya, diikuti oleh Sivia tepat pada saat Alvin mencemgkram kemeja Rio dan hendak melayangkan lagi pukulannya yang kedua.

"Biar bogem ini yang ngehawab pertanyaan lo!"

"KAK ALVIN JANGAN!!!" seru Ify yang berhasil membuat Alvin menahan tinjunya di udara.

Ditariknya tubuh Alvin yang menegang sekuat tenaga. Dibantu oleh Biru, Cakka, dan Gabrie hingga berhasil menjauhkan Alvin dari Rio.

Ify langsung merunduk dan memelas. "Kak Rio engga apa-apa?" lirih Ify yang tak berani meyentuh Rio terlalu intens karena sekarang semua mata tertuju pada mereka.

Rio mengulas senyum tipis. "Aku engga apa-apa, Fy."

Ditariknya tangan Rio berusaha membantu Rio bangkit walaupun sebenarnya tak ada pengaruhnya sama sekali karena Rio bangkit dengan tenaganya sendiri. Kemudian ia melangkah mendekati Alvin yang masih dibekuk.

"Lepasin gue! Biarin gue hajar nih orang biar mampus sekalian!" jerit Alvin kalap sembari meronta agar cekalan tangan-tangan milik Biru, Cakka, dan Gabriel terlepas dari tubuhnya meski tak sama sekali membuahkan hasil.

"Vin, tahan! Ini tengah lapangan, Vin!" bisik Gabriel tepat di telinga sahabatnya itu.

"Biarin aja mereka semua jadi saksi berakhirnya hidup si brengsek ini!"

"Hidup gue berakhir? Hidup lo yang berakhir!" timpal Rio tenang.

"Enggak usah banyak bacot lo! Lepasin gue!" Alvin masih terus meronta. "Lo selalu lancang ambil posisi jadi pemenang yang seharusnya gue dapetin!"

Rio tertawa mengejek. "Pecundang!"

"Bangsat!" Disikutnya ketiga orang yang tadi mencekal pergerakannya itu hingga berhasil melepaskan diri. Alvin sudah berancang-ancang untuk mengayunkan kembali kepalan tangannya menuju wajah Rio, yang dihentikan seketika oleh pergerakan spontan Ify menjadi tameng pembatas dengan berdiri di depan Rio. Wajahnya ia buat semenantang mungkin agar Alvin tidak meremehkannya.

"Kalo lo berani pukul Kak Rio, berarti lo harus pukul gue dulu!" uja Ify tepat saat kepalan tangan itu berada di depan wajahnya.

"Minggur! Ini urusan cowok! Lo engga usah ikut campur!"

"Ikut campur?! Urusan Kak Rio urusan gue juga! Kak Rio dipukul gue juga harus dipukul! Kak Rio sakit gue juga harus sakit!" tegasnya mencoba tenang seraya meningkatkan nyali.

Kepalan tangan itu memerah karena Alvin semakin memperkuatnya. Seakan meremukan ucapan Ify barusan yang teramat menohok hatinya. Mengoyaknya tanpa simpati. Meluruhkan kekuatannya seketika. Mengapa cinta yang begitu besar itu bukan tercurah untuknya? Mengapa pembelaan itu bukan tetuju padanya?

Tanpa terduga. Alvin menarik Ify paksa ke dalam dekapannya. Sekali ini saja. Atau kalau bisa terus untuk selamanya, ia ingin merasakan kehangatan itu. Ingin merasakan jadi Rio. Ingin menumpahkan dan memberikan cinta ini pada yang seharusnya menerima. Hanya Ify yang ia izinkan mendapatkan cintanya. Meski Ify engga menerimanya.

Semua tercengang. Shillalah yang paling dibuat nestapa akan pelukan itu. Air matanya meleleh tanpa bisa ditahannya. Ketegangannya berganti tanpa perintah menjadi kesesakan. Shilla memilih meninggalkan lapangan untuk melampiaskan segala sesak yang menghimpitnya itu.

"Lepasin gue, Kak Alvin!!" Ify berontak. Namun tak bisa meloloskan diri. Dekapan Alvin begitu kuat. Benci itu semakin menerjangnya. Kebencian untuk Alvin. Abadi.

Rio memisahkan paksa kedua tubuh yang tengah menyatu tanpa jarak itu. Ditariknya Ify ke belakang tubuhnya. Membuat Alvin kembali diserang emosi.

"Lo boleh hajar gue! Tapi enggak dengan nyentuh Ify! Brengsek!"

"Apa sih, Fy, yang Rio punya gue ga punya? Apa yang Rio bisa kasih gue engga bisa kasih? Rio kaya gue juga. Rio ranking gue juga. Rio cinta sama lo gue juga. Apa yang bikin Rio menangin hati lo?!" Tak mengindahkan cercaan Rio untuknya, Alvin malah berseru menumbuk masalah kembali. Ditatapnya Ify seakan meminta penjelasan dan jawaban yang tidak akan pernah Alvin terima, apapun itu.

"Lo salah! Kak Rio punya cinta yang tulus. Bukan pemaksaan kaya yg lo lakuin," Ify melangkah ke sisi Rio dan menuturkan jawaban yang membuat Alvin tertohok..

"Semuanya karena cinta, Fy. Karena cinta gue besar. Mungkin lebih daripada Rio," Alvin melirih. Namun tetap tajam dan penuh penekanan.

"Engga ada cinta yang bikin takut. Engga ada cinta yang memaksakan kehendak. Cinta itu rela. Cinta itu berkorban. Dan yang lo lakuin sama sekali bukan cinta. Obsesi semata."

Telak. Tak ada lagi yang bisa Alvin elakan. Pemaksaannya juga beralas pada cinta. Cinta yang egois yang harus menjerat si pemilik hatinya ke dalam dekapannya. Dan baginya cinta harus adil. Jika ia tak bisa mendapatkan Ify, maka juga tidak untuk Rio.

"Cabut!" Alvin berbalik badan dan memberikan perintah pada Gabriel yang langsung diangguki oleh sahabatnya itu. Mereka melangkah pergi diikuti oleh bubarnya para penonton yang mengerubunginya tadi. Bel pertanda istirahat masuk sudah berbunyi. Membuat area sekolah kembali sepi.

Sivia yang sedari tadi hanya mengambil lakon sebagai penonton tanpa suara, menghampiri Ify. Terlihat Ify mengurut pelipisnya pertanda pening mulai menyerang. Kelakuan Alvin selalu saja membuat Ify pusing mendadak.

"Fy, lo engga apa-apa?" tanya Sivia khawatir.

"Engga, Vi. Gue cuman cape banget aja ngadepin Kak Alvin yang selalu nyari masalah kaya gitu."

Semua menghela nafas berat. Melepas letih yang mendera. Menghadapi Alvin memang butuh energi banyak. Seperti lari maraton, berusaha menghindari namun Alvin selalu mengejar mereka tanpa henti sembari melempar batu. Membuat mereka berlari juga dengan tertatih untuk menampik batu-batu itu. Tak ayal, semua yang termasuk dalam lingkungan Rio dan Ify akan ikut tersangkutpautkan meski mereka tak perlu berlari untuk menghindari Alvin. Hanya bisa berperan serta sebagai penengah atau penyemangat keduanya.

Tapi toh, berlari dan menghindarpun akan sangat sia-sia. Maka satu-satu jalan yang bisa mereka tempuh hanyalah menghadapi Alvin dengan tenang. Meski ketenangan itu terkadang terpatahkan oleh emosi Alvin yang sudah diluar batas kewajaran seseorang dalam menbenci dan membalas dendam. Alvin, sosok mengerikan yang terbungkus dalam rupa tampan pangeran dingin.

*****

Sivia melangkah dalam diam. Memikirkan banyak hal tentang keruwetan hubungan antara Rio dan Alvin. Memang bukan urusannya terlalu dalam mengerecoki. Hanya saja Ify menjadi korban yang harus ikutan menanggung beban. Dan sebagai sahabat, tentu Sivia tak tega melihat sahabatnya terus-menerus diterjang kekacauan seperti itu. Seakan hidup tenang bagi Ify memang hanyalah bualan cerita novel yang menjunjung tinggi harapan yang tak pernah sampai.

Sivia berhenti melangkah di sepanjang trotoar kala melihat sebuah taksi berhenti di sebelahnya. Seakan mendapat durian runtuh, Sivia hampir saja terlonjak. Supirnya entah ke mana bermuara. Sudah hampir sejam Sivia menunggu namun juga tak kunjung datang. Kesal, akhrnya ia memutuskan untuk jalan sampai menemukan taksi kosong untuk mengantarnya ke rumah.

Sivia mengetuk kaca sebelah kiri taksi, tak lama kaca turun dan terlihatlah sosok supir berseragam biru tersenyum ramah padanya.

"Selamat siang, mba. Mau ke mana?"

"Pak, ke Corona City?"

"Oh, iya, mba, bisa."

Sivia tersenyum senang lantas membuka pintu belakang taksi. Taksipun melaju menuju alamat yang telah Sivia sebutkan. Sembari menunggu taksi sampai di depan rumahnya, Sivia memasang earphone di telinganya dan memutar playlist dari handphonenya.

Tak lama Sivia mendongak untuk mengamati jalan. Ia mengernyit heran. Ia tak mengenali di mana ia berada sekarang. Bingung. Akhirnya Sivia mengalungkan earphonenya lalu memajukan tubuhnya.

"Pak, kok lewat sini? Rumah saya kan di Corona City?"

"Diem kalo lo mau selamat!"

Sontak Sivia membelalak. Sejurus kemudian rasa takut langsung menyergapnya lekat. Sivia berusaha bersikap tenang agar supir itu tidak menjahatinya. Ditengah kepanikannya, Sivia tak mampu lagi memikirkan cara untuk melarikan diri.

"Pak, tolong putar balik! Saya mau pulang!"

"DIEM!"

Sivia berusaha membuka pintu taksi yang terkunci disaat supir taksi itu menambah kecepatan laju taksinya. Sivia menggedor-gedor kaca, mencoba mencari pertolongan agar siapapun bisa mendengarnya dan menyelamatkannya. Pasalnya, entah tempat apa ini. Namun lingkungan itu benar-benar sepi dan jauh dari rumah penduduk.

Supir taksi itu menarik rambut Sivia dan menjauhkannya dari jangkauan pintu. Tak terasa air mata Sivia merembes jatuh. Ditariknya dengan kencang tangan supir itu. Dengan cepat, Sivia memutar kenop jendela.

"Jangan coba kabur!" seru supir taksi itu melihat Sivia memnuka kaca lebar-lebar.

Tak peduli apa akibat yang akan tetjadi jika ia melompat dalam keadaan taksi melaju kencang. Lebih baik mati karena menyelamatkan diri. Daripada menjadi korban penculikan dan kehilangan kehormatan.

Supir taksi itu kembali mengulurkan tangannya ke belakang untuk meraih Sivia. Namun gagal karena fokusnya terpecah oleh jalanan.

Dengan kekuatan yang tinggal separuh lagi, Sivia melongokan kepalanya keluar jendela. Lalu melompat turun dari taksi tersebut. Tubuhnya jatuh terpental ke lahan kosong yang ditumbuhi banyak terumputan dan terguling beberapa kali di sana. Tubuhnya melemah. Tak mampu lagi bangkit. Sivia mengerang merasakan sakit disekujur tubuhnya.

"To..tolong!" teriaknya parau.

*****

Entah mengapa moodnya benarbenar sedang tidak baik. Alih-alih pulang ke rumah, Gabriel memutar motornya menuju pinggiran Jakarta mendekati Bogor. Di sana udara terasa asri. Menenangkan jiwa dan tentunya pikiran. Peliknya dendam Alvin sang sahabat atas Rio dan Ify, membuatnya ikut letih lahir batin. Tak mau ikut terlibat tapi tak mungkin. Sebisa mungkin ia menghindari pertengkaran tak berkesudahan itu. Namun tetap saja ia tak mungkin membiarkan Alvin berperang sendiri meski ia tau Alvin terkadang sudah kelewat batas.

Beribu-ribu kali ia mencoba menasehati Alvin. Membuka mata hati Alvin. Namun tetap saja Alvin tak tersentuh. Alvin sekeras karang. Tak mampu dilunakkan dengan cara apapun. Gabriel lelah. Namun hanya ia sahabat yang Alvin miliki satu-satunya.

Dari kejauhan, Gabriel melihat sebuah taksi melaju ugal-ugalan. Gabriel menggeleng-gelengkan kepalanya. Mentang-mentang jalanan sepi jadi bisa berkemudi seenaknya. Tiba-tiba muncul sebuah kepala berambut panjang dari jendela taksi. Ganriel makin menggelengkan kepala melihat kelakuan wanita itu.

'Norak amat sih, cuman naek taksi aja begitu kelakuannya,' Gabriel membatin.

Tapi tunggu. Wanita itu bukan sedang menikmati udara segar di sini. Lalu apa yang dia lakukan dengan menyembulkan kepalanya dari jendela? Belum saja Gabriel berhasil memecahkan jawabannya, tiba-tiba saja wanita itu melompat keluar dan terpelanting ke atas rerumputan hingga berguling beberapa kali. Gabriel tersentak. Wanita itu ingin bunuh diri! Tanpa berfikir panjang lagi, Gabriel memutar gas dan melajukannya sekencang mungkin. Hingga tak butuh waktu lama untuk sampai pada tempat wanita itu melompat.

"To.. Tolong..."

Samar Gabriel mendengar permintaan tolong yang melirih itu. Setelah memarkirkan motornya asal, Gabriel langsung turun dan menghampiri wanita tadi.

Gabriel terperajat melihat gadisnitu memakai seragam sekolahnya yang memang memiliki khas sendiri. Dihampirinya gadis itu, lalu disingkapkan rambutnya. Dan Gabriel sampai menahan nafas sakit terkejutnya menemukan gadis yang ia kenal yang baru saja menjalankan aksi bunuh diri.

"Elo?!"

Sivia menoleh menatap kedatangan sang penolong yang tidak dapat ia lihat dengan jelas. Karena di detik berikutnya, Sivia sudah memejamkan matanya tak lagi bergerak.

Gabriel tersentak. Gadis itu pingsan. Beberapa kali Gabriel mencoba menepuk-nepuk pipinya. Namun tak ada respon dari Sivia. Takut terjadi sesuatu yang fatal, Gabriel segera membawa Sivia ke rumah sakit setelah mencari taksi kosong yang kebetulan lewat.

*****

Setelah menjalani berbagai macam pemeriksaan dan pengobatan, Sivia dinyatakan baik-baik saja dan diizinkan pulang. Luka-lukanya pun hanya luka luar saja, tidak ada yang serius. Membuat Gabriel yang mendengar penjelasan dokter mendengus lega sekaligus dongkol.

Sivia melangkah tertatih mengikuti Gabriel ke lobby untuk mengurus administrasi. Ditundukkan kepala dalam-dalam. Masih shock atas kejadian yang baru saja ia alami. Ia tak mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya terus mengikuti Gabriel yang kini melangkah ke halaman rumah sakit.

"Rumah lo di mana?"

Sejak tadi, Gabriel belum bertanya apapun pada gadis ini, kecuali tentang keadaannya. Itupun pada dokter.

"Co..rona City," jawabnya terputus. Ternyata, Sivia menangis sejak tadi. Menyadari itu, Gabriel berdecak jengah.

"Lo ngapain sih nangis?! Orang lo juga engga kenapa-napa," sahutnya kesal.

"Gu..e takut, Kak."

"Yaudah, ini juga kan mau gue anterin pulang. Tapi kita harus balik ke tempat tadi. Motor gue masih di sana. Itupun kalo engga dimaling orang."

Sivia menunduk dalam-dalam. Sedikit trauma jika harus kembali pulang dengan orang asing. Meskipun ia mengenal Gabriel, tetap saja Sivia tak tau seluk beluk hati dan pikirannya. Siapa tau dia juga jahat.

"Ck, terus lo mau naik taksi sendiri?!"

Sivia menggeleng cepat.

"Yaudah, ikut gue! Lagian lo ngapain sih tadi bunuh diri kaya gitu? Abis diputusin lo!?"

Sivia kembali menggeleng. Tangisnya sudah berhenti. Namun keparnoannya tak juga surut.

"Dasar cewek! Kerjaannya nangis sama nyusahin doang!"

Mendengar itu tentu saja Sivia geram. Rasa takutnya kini berganti marah. Dihentakannya kaki kencang-kencang lalu dipukulnya punggung Gabriel hingga berbunyi keras.

"AW! Apa-apaan sih lo?!"

"Lo kalo engga iklas nolong engga usah nolongin gue! Nolong tapi ngegerutu! Gue juga engga minta tolong sama lu kok!" Tanpa menunggu jawaban Gabriel, Sivia melangkah pergi.

Gabriel tersadar. Ucapannya pasti menyinggung gadis itu. Segera ia berlari menyusul Sivia. Llu ditariknya tangan Sivia hingga Sivia berhenti melangkah.

"Apa?!" sahutnya tajam.

"Dih. Iya iya sori. Gue enggak maksud nyinggung lo kok! Ya abisnya lo bukannya bilang makasih kek, traktir gue kek sebagai ucapan makasih. Malah nangis. Gue paling sebel tau liat cewek nangis." Gabriel melunak.

"Ya namanya juga takut, shock, trauma. Pasti nangislah! Mending gue ga jejeritan!"

"Iya iya. Sori. Yaudah ayo gue anter pulang. Daripada lo kenapa-napa lagi nanti. Yang ada malah sia-sia gue bayarin rumah sakit lo."

Sivia melotot menusukkan pandangannya. Gabriel menyeringai.

"Hehe, peace! Ayo!"

Tanpa sadar, Gabriel menggenggam tangan Sivia dan menariknya. Dan tanpa sadar pula, Sivia tersipu. Pasalnya ini kali pertamanya ada seorang pemuda yang menggandeng tangannya. Kontan saja jantungnya berdegup kencang. Meski sudah sering melihat adegan seperti ini yang dilakoni oleh Rio dan Ify, namun tetap saja berbeda jika ia merasakannya sendiri.

Bersambung...