Friday, March 4, 2016

Bukan Diriku (Part 3)

Part 3

Hari Minggu merupakan hari yang menyenangkan bagi kebanyakan orang. Hari libur permanen. Harinya santai. Harinya jalan-jalan. Seperti kedua pasangan remaja ini. Rio dan Ify. Sejak kemarin, Ify sudah merajuk meminta ditemani menonton bioskop. Film komedi Indonesia terbaru yang sudah sejak lama dinantinya akhirnya release juga.

Dan di sinilah mereka berdua. Di sebuah bioskop di salah satu mall besar di Jakarta. Menatap pada layar besar di depan ruangan. Sesekali keduanya tertawa, bersamaan dengan para penonton lainnya yang kebetulan memenuhi ruangan teater hari itu. Hingga pada pertengahan film, tiba-tiba saja Ify mendapat panggilan alam yang sudah tak bisa lagi ditahannya. Buru-buru ia bangkit dan menyolek lengan Rio yang masih serius menyaksikan film.

"Kak Rio, aku mau ke toilet dulu ya," bisik Ify agar tidak menarik perhatian orang lain.

Rio hanya menoleh sekilas dan mengangguk. Setelah itu matanya sudah kembali pada layar besar di depan ruang bioskop tersebut. Ifypun menuruni anak tangga sedikit tergesa.

Tak lama Ify keluar dari toilet dan segera menuju kembali ke teater tempatnya tadi menonton film. Namun baru saja sampai di depan toilet yang letaknya diujung bioskop, sebuah tangan menariknya dan membekap mulutnya. Membawa paksa Ify keluar bioskop dengan tergesa melewati pintu keluar yang langsung terhubung ke tangga darurat. Diseretnya Ify yang berada dalam bekapannya menuruni tangga untuk mencapai pintu keluar yang mengarah ke parkiran.

Ify berusaha meronta namun tak mempan. Cekalan tangan dan bekapan pada mulutnya begitu kuat. Hingga Ify tak sanggup melawan banyak.

Saat tangan itu membuka pintu menuju parkiran, disaat itulah Ify menggunakan kesempatannya untuk menyikut si penculik dengan keras. Membuatnya mengaduh dan Ifypun berlari kembali menaiki tangga.

Alvinlah si penculik yang menyeret Ify paksa dari bioskop tadi. Ia langsung mengejar Ify yang sudah menaiki tangga darurat.

"IFY!" seru Alvin menggema di setiap sudut.

Ify berusaha menaiki anak tangga dengan berlari seraya menguhubungi Rio. Untunglah tak lama kemudian Rio mengangkat panggilannya dan langsung saja Ify serobot sebelum Rio mengucapkan apapun.

"Kak Rio, aku di tangga darurat sekarang mau balik ke bioskop. Tadi Kak Alvin nyulik aku di toilet ujung. Tolongin aku, Kak. Dia lagi ngejar...."

"Kamu lari terus, Fy. Aku susul kamu!" Laporan Ify dipotong Rio langsung. Dan sedetik kemudian panggilannya telah terputus. Ify memasukan kembali ponselnya ke dalam tas masih sambil membuang langkahnya panjang dan berusaha cepat.

Namun memang dasar sial, Alvin keburu mengejarnya dan menarik tangannya. Kaki panjang Alvin ternyata mampu mengalahkan kecepatan larinya yang memang sudah pasti lebih lambat dari seorang lelaki. Apalagi lelaki itu kini tengah mengejar apa yang menjadikan dasar dari kebencian sekaligus ambisi yang tumbuh dengan sempurna di dalam hatinya.

Ify tertarik ke belakang dari dua anak tangga atas yang langsung ditangkap Alvin. Dengan gerakan kilat, Ify berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Alvin di bahu dan lengannya. Namun sayang tenaganya kalah kuat dibanding Alvin. Alhasil, lagi-lagi Alvin mampu menariknya paksa menuruni anak tangga. Kali ini Alvin tak ingin kecolongan lagi sehingga ia mencengkram tangan Ify lebih kuat dari sebelumnya, mencegah Ify untuk melarikan diri.

Ify tak mampu lagi berbuat banyak. Ia hanya bisa menangis, berteriak, meronta, meminta dilepaskan. Tapi sudah dapat dipastikan jika Alvin tak akan melepaskan Ify barang hanya melonggarkan cekalannya saja.

"Lepasin gue! Lepasin!" jerit Ify seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya agar bisa terbebas dari cekalan Alvin.

"Diem!" bentak Alvin. Air mata Ify mengalir deras. Ketakutan itu kembali menawannya. Mencekik hingga ke bagian yang paling lubuk. Alvin adalah orang dengan segala kenekatan, yang mampu melakukan apapun untuk mendapatkan yang ia inginkan. Mengingat itu, tangisan Ify semakin lantang.

"Kak Alvin, please! Lepasin gue," lirih Ify melemahkan rontaannya. Karena ia tau, sekeras apapun usahanya meronta, ia tidak akan mungkin berhasil melepaskan diri. Dan itu hanya akan membuang energi saja.

"Lo itu bisa diem enggak sih!"

"IFY!!!"

"Shit!"

Tepat pada saat Alvin akan membuka pintu, suara Rio menggelegar di sekitar tangga darurat. Dengan tergesa, Alvin membuka pintu yang menjadi penghalang terakhir menuju ke parkiran.

"Kak Rio! Tolong! Mmmbbbbhh!!!"

Mendengar suara Rio, Ify kembali berteriak dan meronta. Perbuatannya itu membangkitkan kembali emosi Alvin yang dengan segera membekap mulut Ify untuk memperlambat pencarian Rio akan keberadaan Ify. Meskipun sebenarnya iti hanya tindakan bodoh.

Langkah kaki Rio terdengar semakin dekat. Membuat Alvin kembali pada fokus awalnya membuka pintu. Pekerjaan mudah itu menjadi sulit karena kini ia harus melakukan dua tindakan sekaligus. Ia harus melumpuhkan pergerakan Ify yang terus memberontak. Hingga pintu berhasil terbuka setengah, tepat pada saat tubuh Rio muncul dari tikungan tangga.

"IFY!" teriak Rio yang sempat melihat Ify mengulurkan tangannya sebelum pintu kembali tertutup karena dorongan closer door di pojok pintu. Tanpa pikir panjang lagi, Rio langsung menuruni anak-anak tangga secepat mungkin untuk mencapai pintu.

Alvin menyeret Ify yang masih dibekapnya keluar dari pintu darurat. Ditengokan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Mengamati keadaan sekitar. Setelah dirasa aman karena ia tidak melihat satu orang pun melintas diparkiran, Alvin langsing menyeret Ify menuju mobilnya. Memaksa Ify masuk dan langsung menjalankan mobilnya.

"Sial!" umpat Rio mengingat mobilnya ia parkir di lantai atas ketika ia melihat Alvin membawa Ify masuk ke dalam mobilnya. Rio bergerak cepat menaiki anak tangga seraya mengambil kunci mobil yang ia letakan di saku celana. Dengan cepat pula Rio membuka pintu mobil dan menjalankannya mengejar Alvin.

Rio turun satu lantai dari lantai sembilan parkiran mobil mall yang memang didesain banyak karena mall tersebut tak pernah sepi pengunjung. Meski tergolong ugal-ugalan, Rio tetap memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi di area parkiran. Mencari keberadaan mobil Alvin yang sudah tak terkihat. Tak mengacuhkan hujatan-hujatan dari para penjaga parkiran untuknya. Biar bagaimanapun ia harus bisa menemukan mobil Alvin dan menghentikan pergerakannya.

Di dalam mobil Alvin, Ify terus saja menjerit meminta Alvin membebaskannya. Ketakutannya semakin besar melihat wajah penuh emosi pemuda itu. Seakan nyawanya akan direnggut paksa hari ini juga.

"Kak Alvin jahat!" jerit Ify di tengah tangisnya.

"Diem! Bisa engga sih sekali aja lo ikutin gue?! Nurut sama gue! Gue jamin lo aman!" sahut Alvin bengis tanpa menoleh. Meski kini tatapannya terfokus ke depan, tak dapat dipungkiri jika seluruh uratnya tertarik menahan emosi. Alhasil, Alvin melampiaskannya dengan memukul stir berkali-kali dan mencengkramnya seakan stir itu adalah lawannya yang ingin ia habiskan.

Berkali-kali Ify menoleh ke belakang. Mencari keberadaan mobil Rio. Namun tak kunjung didapatinya. Ify semakin gelisah saat mengingat Rio memarkirkan mobilnya di lantai paling atas karena parkiran memang sedang penuh-penuhnya.

'Kak Rio, selamatin aku!' teriak Ify dalam hati.

Deru meskin mobil yang Rio kendarai terdengar sampai ke telinga Alvin dan Ify. Ify menoleh seketika dan menemukan mobil Rio terlihat di belakang melaju dengan kecepatan tinggi. Diam-diam Ify bernafas lega.

"AH! Sial!" Berbeda dengan Ify, Alvin mengumpat berkali-kali saat melihat kemunculan mobil Rio dari kaca spionnya. Tak ingin Rio berhasil menghentikannya, Alvin menginjak pedal gas lebih dalam lagi untuk meningkatkan laju mobilnya.

"Kak Alvin berenti! Gue takut! Pelan-pelan!" Ify berteriak keras mengeluarkan rasa takutnya. Ini bukanlah jalan tol yang bisa digunakan untuk memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Ify sampai ikut terhuyung ke kanan saat Alvin menikung dengan tajam untuk menuruni lantai berikutnya.

Tak jauh berbeda dengan Alvin, Riopun kembali memperdalam injakan gasnya. Matanya terfokus pada sedan putih yang sedang membawa gadisnya itu. Rio mencengkram stir mobilnya meluapkan emosinya yang mengendap. Emosi dan rasa khawatir atas keadaan Ify di dalam mobil itu. Tak ada yang bisa menjamin keadaan Ify kini masih baik-baik saja di dalam sana. Lebih lagi, Ify bersama dengan Alvin yang bisa saja nekat berbuat kasar pada Ify. Memikirkannya, emosi Riopun kian melonjak.

Sampai pada lantai enam, Rio tersentak saat mendapati seseorang melintas di depannya. Orang itu terbelalak dan meloncat mundur penuh keterketujan. Namun Rio hilang kendali. Dengan keadaan terbakar emosi sekaligus terkejut dan panik, Rio tak sempat menggeser kakinya pada pedal rem, dan malah semakin menekan dalam gasnya.

Panik, Rio membanting stirnya ke kiri dan mobinyapun menabrak tembok pembatas parkiran. Menimbulkan bunyi keras dan mengerikan. Tanpa berhenti, mobil itu akhirnya terjun bebas ke lantai paling dasar.

Ify membelalakkan matanya dan menganga lebar melihat mobil Rio lepas kontrol. Kepanikan dahsyat langsung mencekiknya. Ify bahkan menahan nafas kala menyaksikan dengan mata kepalanya, sedan hitam yang dikendarai oleh Rio itu menabrak pembatas parkiran dan akhirnya jatuh ke bawah hingga tak terlihat lagi.

"KAK RIOOOOOOOOO!!!"

Jeritan Ify itu membuat Alvin yang juga melihat kejadian itu dari spion mobilnya terlonjak. Bukan hanya karena jeritan Ify, namun juga karena hantaman keras mobil Rio pada tembok pembatas. Alvin langsung menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati tembok pembatas itu hancur lebur. Lupa pada mobilnya, membuat Alvin tersadar seketika dan saat ia menoleh kembali ke depan, mobil Alvin sudah berada kurang dari dua puluh meter dari sebuah tiang besar. Mobil melaju dalam kecepatan tinggi dan Alvin terlambat menginjak rem. Alvin tak dapat menghindarinya dan akhirnya menabrak kencang tiang penyangga besar itu hingga menimbulkan goncangan dahsyat di dalam mobil itu.

"AAAAAAAA!!" teriak Ify yang belum saja tersadar dari kertekejutannnya melihat mobil Rio yang terjun bebas dari lantai enam.

Keduanya terpental ke depan dengan kepala Ify membentur dashboard, sedangkan Alvin terpental ke depan dan belakang sebanyak dua kali hingga akhirnya membentur stir. Alvin langsung tak sadarkan diri dengan darah mengalir deras dari pelipisnya.

Ify masih tersadar pasca benturan keras pelipisnya dengan dashboard tanpa pelindung apapun meskipun darah juga mengalir dari pelipisnya. Ia meringis keras merasakan nyeri dan perih di pelipisnya.

"Eerrggh.." erang Ify.

Ia mengurut kepalanya yang terasa nyeri dan pusing luar biasa. Lalu membuka paksa pintu mobil Alvin setelah menemukan tombol buka kunci otomatis dan keluar dari sana. Ify hampir saja terjembab ke jalanan jika saja tangannya tak bertumpu pada pintu mobil. Banyak orang yang langsung mengerubungi mobil Alvin. Dan beberapa orang menawarkan bantuan pada Ify yang langsung ditolak mentah-mentah.

"Kak Rio..." gumamnya lirih seperti orang mabuk.

Ify berjalan sempoyongan sambil bertumpu pada pegangan tangga untuk menjaga keseimbangannya menuju lantai dasar. Sesungguhnya kesadarannya hanya tinggal setengah. Ditambah lagi dengan rasa sakit di kepalanya, membuat semua yang ada di sekitarnya terasa berputar. Banyak pandangan-pandangan heran bercampur iba melihat keadaan Ify. Pelipisnya terluka parah namun masih berusaha berjalan sendirian dengan air mata yang mengucur deras. Ify sudah tak peduli lagi pada rasa sakitnya. Yang ia fikirkan hanya satu, keadaan Rio di bawah sana.

Suara sirine ambulance terdengar memekik di lantai dasar saat Ify sudah berada di lantai tiga. Dan sebuah ambulance mengarah ke atas pastinya untuk membawa Alvin ke rumah sakit. Parkiran yang tadinya lengang mendadak penuh oleh orang-orang yang ingin melihat langsung keadaan korban, terutama keadaan Rio yang mengalami kecelakaan mengerikan.

"Kak Rio.." Ify terus saja memanggil nama Rio. Berharap Rio mendengarnya, lalu menghampirinya dan memapahnya berjalan. Air matanya mengalir deras. Sudah pasti tidak akan mungkin Rio dalam keadaan baik-baik saja sekarang. Terjun bebas bersama mobilnya dari lantai enam, sudah pasti bukanlah kecelakaan biasa seperti yang dialaminya. Pikiran burukpun langsung membayangi Ify. Membuat tangisnya semakin kencang tak teredam. Tangisan penuh kekhawatiran. Tangisan kepiluan. Tak mampu terbayangkan bagaimana kondisi Rio saat ini.

Ify sampai di lantai dasar dan langsung berusaha berlari tertatih-tatih melihat bangkai mobil Rio yang sudah tak berbentuk lagi. Melihat mobilnya saja hati Ify sudah nelangsa. Sempat ia hanya terperanjat beberapa detik meratapi sedan yang sebelumnya sangat cantik itu berubah bentuk secara mengenaskan. Bagaimana dengan pengemudinya jika mobilnya saja menjadi sehancur lebur itu.

Ify menghampiri bangkai mobil yang tengah di kelilingi orang-orang yang ingin menyaksikan proses evakuasi korban dari dalam mobil itu. Bahkan ada banyak wartawan yang ikut meliput kejadian ini. Ify tak peduli. Ify menyelip pada kerumunan hingga sampai di depan mobil tersebut. Jantungnya berdegup kencang. Gelisah. Takut. Menanti kehadiran Rio dikeluarkan dari mobil naas itu.

Hingga akhirnya petugas berhasil mengeluarkan tubuh Rio yang terjebak dari dalam mobil. Seketika mata Ify membelalak. Mulutnya ternganga. Hatinya tersentak. Detak jantungnya sudah tak terkendali lagi. Nyeri. Ngilu. Sakit. Takut. Wajah, lengan, dan kaki, penuh luka, lebam, dan darah. Baju yang sudah robek compang-camping. Tubuhnya menegang kaku. Air matanya jatuh mengaliri wajahnya. Tubuh Ify melemas seakan tulang-tulang melolosi kulitnya.

"KAK RIOOOO!!!"

Sejurus kemudian Ify berlari sekuat tenaga. Menghampiri Rio yang kini tengah dipindahkan ke atas bed dengan berbagai pelengkapan medis yang dipasangkan di tubuh Rio.

"KAK RIOOOO..." tangis Ify saat ia sudah berada di samping tubuh Rio yang masih dipasangkan berbagai alat yang tak Ify ketahui fungsinya.

Muncul desas-desus dan bisik-bisikan berbagai argumen dari para pengujung yang tengah mengerubung. Mereka mengira-ngira Ify mengenali Rio. Bahkan ada juga yang menyebut Ify adalah temannya, saudaranya, juga pacarnya. Para wartawanpun kini berpindah mengerubungi Rio dan Ify yang terus dihalangi oleh petugas keamanan. Mereka berusaha mengambil gambar keadaan korban kecelakaan yang bisa disebut maut itu. Namun Ify sama sekali tak peduli akan itu. Ia terus menangis seraya mencengkram lengan Rio.

"Kak Rio... Ke..napa begini..." Ify sesegukan. "Kak Rio bangun! Kak Rio jangan tinggalin aku! KAK RIOOOO!" jerit Ify seraya memejamkan matanya. Tak kuat melihat kondisi Rio yang mengenaskan. Bahkan nafas Rio sesekali tersengal.

"Maaf, mba ini siapa? Mba kenal sama korban?" seorang petugas rumah sakit menghampiri Ify. Ify menoleh.

"Pak, to..tolong Kak Rio, Pak! Selamatin Kak Rio, Pak..." pinta Ify tersengal.

Petugas rumah sakit itu mengerti perasaan dan kondisi Ify. Ifypun nampak tengah terluka. "Yaudah, mba ikut ambulance aja. Sekalian lukanya diobatin nanti di rumah sakit."

Ify mengangguk mengikuti petugas rumah sakit memasuki ambulance bersamaan dengan bed Rio yang didorong masuk. Sepanjang perjalanan, air mata Ify tak henti-hentinya mengalir.

"Kak Rio, bertahan, Kak. Aku mohon..." lirih Ify berulang kali.

Sesampainya di rumah sakit, Rio langsung dibawa ke ruang UGD. Ify berlari mengikuti para suster yang mendorong bed Rio menuju UGD.

"Sus, mba ini tolong diobatin juga ya kepalanya." Petugas ambulance tadi memberikan amanah. Sang susterpun mengangguk dan membawa Ify memasuki ruang UGD.

Ify dibaringkan di sebuah bed di sebelah Rio. Sembari menunggu suster mengambil peralatan, Ify menoleh menatapi Rio yang tertutupi gorden hijau. Namun Ify tetap dapat melihat kesibukan dalam kepanikan di balik tirai tersebut. Bagimana para petugas jaga dan seorang dokter jaga UGD hilir-mudik dengan terburu-buru. Ify menggigit bibirnya. Kecemasan menerjangnya tanpa ampun.

"Mba, ini lukanya robek, jadi harus dijahit." ujar seorang suster sambil meneliti luka di pelipis Ify dan membersihkan darahnya. Ify tak menyadari kehadiran sang suster karena terlalu sibuk dengan pikirannya dan kekhawatirannya.

Suster itu mengernyit melihat Ify bergeming dengan air mata yang terus mengalir. Ia menghentikan aktifitasnya dan kembali berusaha memanggil Ify.

"Mba.. Maaf.."

Ify terkesiap lalu menoleh. "I..iya sus?"

"Ini lukanya harus dijahit mba karena robek." jelas ulang.

"Oh iya sus, jahit aja." Ify menjawab itu dengan separuh kesadaran karena fokus utamanya adalah keadaan Rio. Bagaimana nasib pemuda itu dan apa yang akan terjadi melihat kondisi yang separah itu.

Tubuh Ify benar-benar melemah. Tak manpu lagi berfikir apapun. Bahkan hanya untuk mengabari keluarga dan teman-temannyapun Ify tak terfikirkan. Ia terlalu fokus memikirkan Rio. Terlalu banyak kecemasan di hatinya hingga tak mampu lagi memikirkan hal lain. Hanya Rio.

Ify terus menangis dalam diam. Ketakutan itu sudah tak terjelaskan lagi. Melihat kondisinya saja, Ify yakin dengan sangat jika keadaan Rio jauh dari baik-baik saja. Walaupun di relung hatinya Ify selalu menampik pernyataan itu. Rio pasti akan baik-baik saja. Rio akan bangun dari sadarnya dalam kurun waktu beberapa jam ke depan. Pasti!

Tangis Ify semakin parau meski tak bersuara. Ketakutannya, mematikan seluruh inderanya. Bahkan saat suster menyuntikkan pengebal rasa sebelum menjahit pelipisnya, Ify tak sama sekali merasakan sakit di pelipisnya. Justru sakit itu menyerang hatinya. Sakit akan ketakutan yang begitu besar. Ketakutan sejenis kehilangan yang samar. Ketakutan akan hilangnya jamal paling berharga dalam hidupnya. Permata dan harta, sosok dan figur, cinta dan kasih. Semuanya adalah Rio. Terbungkus dalam satu rupa yang sempurna. Tak akan mungkin Ify sanggup kehilangannya. Tak pernah ada hari tanpa namanya. Jika kehilangan itu benar-benar terjadi, bagaimana hidup Ify kedepannya? Tak sanggup Ify bayangkan jika hal buruk itu menjadi kenyataan pahit.

Semoga Tuhan mau berbaik hati untuk tetap mempertahankan jiwa Rio agar tetap hidup dalam raganya yang kembali sehat tanpa kurang satu apapun. Semoga

*****

Sivia berlari memasuki rumah sakit menuju ruang UGD. Berita kecelakaan yang menimpa Rio sudah menjadi hot news diseluruh acara berita. Berawal dari Sivia yang iseng menonton acara berita karena bosan tak ada kerjaan lain. Sampai berita berjudul "Kecelakaan : Mobil Terjun Dari Lantai Enam" ditayangkan, Sivia masih belum menyadari. Awalnya ia hanya penasaran karena laporannyapun ditayangkan secara live. Juga saat melihat mobil yang hancur, membuat Sivia semakin tergoda untuk menyaksikan berita itu. Penasaran dengan keadaan korban. Hingga kamera terarah kepada korban, Sivia mengernyit melihat sosok mirip Ify tengah memeluk korban naas itu sambil menangis, barulah Sivia mengamati layar televisinya lebih jeli lagi.

"Itu kok mirip Ify sih? Ify bukan sih?!" Sivia bahkan sampai mendekati televisi untuk memastikan dengan jelas benarkah dugaannya. Dan Sivia terkesiap saat otaknya menyakini yang dilihatnya itu benar-benar Ify.

"Yaampun, itu beneran Ify!" serunya panik.

Setelah si reporter menyebutkan nama rumah sakit tempat korban dilarikan, segera saja Sivia bersiap-siap dan meluncur ke rumah sakit.

Sivia berhenti melangkah saat mendapati Ify tengah duduk di depan ruang UGD. Lalu dihampirinya sahabatnya yang terlihat benar-benar kacau dan shock itu.

"Fy! Gimana keadaan lo? Yaampun gue kaget banget sumpah ngeliat berita lo kecelakaan. Ini jidat lo..."

"Kak Rio, Vi..." Celotehan Sivia dihentikan tiba-tiba oleh lirihan Ify. Ify mengangkat wajahnya, menatap sendu Sivia yang masih terlihat panik mengetahui insiden itu benar-benar menimpa sahabatnya.

"Kak Rio kenapa, Fy?"

"Kak Rio masih diperiksa sama dokter. Katanya... Katanya kritis.."

Sivia bungkam, tak mampu lagi berkomentar. Ia hanya membiarkan Ify menangis dalam sandarannya. Ia teringat akan headline news di televisi tadi. Kecelakaan : Mobil Terjun Dari Lantai Enam. Lantai enam? Sivia menelan ludah dengan susah payah. Dan ia juga teringat bagaimana hancurnya mobil Rio yang sampai tak lagi dikenali. Sivia mengeratkan rangkulannya pada Ify. Mencoba membagi sedikit kekuatan yang ia miliki pada sahabatnya ini yang pasti sudah kehilangan seluruh dayanya.

"Kak Rio pasti baik-baik aja, Fy," Sivia berusaha berfikir positif yang diamini Ify dalam tangisnya. Meskipun kemungkinannya sangatlah kecil tapi harapan itu masih ada.

Ify kembali duduk normal dan bersandar pada dinding. Sesungguhnya kepalanya sangat pening dan tubuhnya benar-benar lemas. Ia butuh sesuatu untuk mengisi energinya kembali. Tapi sungguh, tak ada hasrat apapun saat ini selain mendapatkan kabar baik dari dokter di dalam. Entah apa yang dilakukan sang dokter hingga pemeriksaan tak kunjung selesai. Ify masih menanti kabar selanjutnya dengan gusar dan penuh ketakutan.

"Keluarganya udah lo kabarin, Fy?"

Ify hanya menggeleng pelan. Boro-boro mengabari keluarga Rio. Sang bunda saja belum ia kabari atas kecelakaan ini. Bahkan mengurus dirinya sendiri saja Ify sudah tak ingin. Sivia mengerti. Maka ia keluarkan ponsel Ify yang masih berada di dalam tasnya yang memang selalu ia sampirkan di bahunya dan mengabari mama Rio dan teman-teman Rio.

Setengah jam kemudian mama Rio bersama ayah Rio datang bertepatan saat dokter keluar dari ruang UGD. Ify dan Siviapun langsung bangkit dan menghampiri dokter.

"Dokter gimana keadaan anak saya, Dok?" tanya mama Rio yang sudah bercucuran air mata sejak dikabari Sivia tentang kecelakaan Rio.

"Maaf, Bu. Keadaan korban kritis. Dan kami harus melakukan tindakan operasi. Menurut diagnosa awal, pembuluh darah di kakinya robek akibat tergores patahan tulang kakinya, Bu."

Mama Rio melemas kaget mendengar penjelasan sang dokter.  Juga dengan Ify yang langsung terhuyung hampir terjatuh jika Sivia tidak menahannya. Tangispun kembali pecah.

"Silahkan lakukan yang terbaik dok untuk anak saya." Ayah Riolah yang memberikan tanggapan karena beliau satu-satunya yang masih mampu mengolah fikirannya dengan baik meskipun shock juga menyergapnya.

"Baik, silahkan tandatangani surat pernyataan ini."

Dokter memberikan selembar kertas berisi surat pernyataan persetujuan untuk melakukan operasi terhadap pasien yang langsung ditandatangani oleh ayah Rio.

*****

Biru dan Cakka berlarian di sepanjang selasar menuju ruang operasi untuk segera menghampiri Ify, Sivia, dan kedua orang tua Rio yang mereka ketahui kabarnya dari Sivia dan juga pesan-pesan melalui whatsapp-an dengan Sivia selama perjalan menuju ke rumah sakit. Raut-raut sendu dan cemas mejadi pemandangan yang memilukan di sana.

"Fy, gimana keadaan Rio?" Biru langsung mengajukan pertanyaan sesampainya ia di hadapan Ify.

Ify menggeleng. Ia juga tidak tau bagaimana keadaan Rio sekarang. Pasalnya sang dokter yang mengoperasi Rio belum juga keluar.

"Kondisi terakhirnya kritis. Sekarang lagi dioperasi." Sivialah yang menjawab pertanyaan Biru itu.

Biru langsung menyenderkan tubuhnya pada dinding rumah sakit dan Cakka menghela keras karena shock mengetahui kondisi sahabatnya itu. Bahkan mereka belum mengetahui secara pasti dan rinci keadaannya. Mendengar kata 'kritis' saja sudah membuat mereka berdua cemas setengah mati. Berharap kondisi itu akan membaik pasca operasi ini.

Berjam-jam mereka menunggu dalam keheningan, ketidakpastian dan terbalutkan khawatir yang tak teruntuhkan. Lantunan doa terus mengalun meski hanya dalam hati masing-masing. Berharap kabar baiklah yang akan mereka terima.

Tak lama pintu ruang operasi dibuka dan sang dokterpun keluar. Mereka semua langsung menghampiri dokter yang langsung menurunkan masker hijau yang dikenakannya.

"Gimana dok?" Ayah Rio bertanya mewakili keingin tahuan  yang lain.

Sang dokter tak langsung menjawab, melainkan menatap wajah penuh harap di hadapannya satu persatu. Melihat ekspresi dokter tersebut, ketakutan itu kembali menyergap Ify. Perasaan tak enak langsung menghantuinya. Jantungnya berdebar dengan ritme yang sudah tak terkontrol lagi.

"Maaf, Bu, Pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin."

Bersambung....

1 comment:

  1. Lanjuuttt kak.. udah aku tungguin loh tiap hari aku cek terus ayodong

    ReplyDelete