Part 2
Ify mengambil kalender meja yang memang tersedia di meja belajar kamarnya. Dua hari lagi, Rio ulang tahun. Entah mengapa rasanya tak sabar menyambut hari itu datang. Tak ada pesta besar memang. Apalagi jamuan makan malam spesial untuknya -setidaknya sampai sejauh ini belum terlihat tanda-tanda akan adanya rencana itu-. Namun Ify sudah menyiapkan hadiah spesial untuk sang kekasih. Dan ia tak sabar melihat reaksi Rio saat menerima hadiah darinya itu.
Pikiran-pikirannya terus melayang tak karuan hingga sampai pada bayangan tentang kisahnya yang tak kunjung berjalan mulus karena ada Alvin di sana. Ify menghela. Terkadang letih dengan badai yang ada. Memang hadirnya Alvin samar. Dia bukan orang ketiga. Dia bukan masalah untuk ujian kesetiaan Ify. Tapi kehadiran Alvin tidak dapat dianggap sepele.
Alvin. Jika teringat nama itu, bagaikan terbayang pada ancaman dan kehancuran. Entah sampai kapan Alvin akan menyerah. Entah berapa lama lagi Ify dan Rio harus terus dihantui gangguan-gangguan Alvin. Mungkin saat ini, hanya harapanlah yang mampu memudarkan sedikit rasa takutnya. Sedikit saja. Karena kenyataan yang ada tak seindah harapan yang terbayang.
*****
Lapangan sekolah tidak seperti jam istirahat sebelumnya. Kali ini lapangan terlihat ramai para murid yang didominasi oleh siswi-siswi. Mulai dari kelas sepuluh hingga kelas duabelas. Semua mengerubungi pinggir lapangan. Bersorak-sorai menyebutkan dua nama fenomenal yang tak pernah lepas dari sorotan publik. Alvin dan Rio.
Sejak bel istirahat berbunyi, Alvin dan Rio sudah berdiri di tengah lapangan. Saling menatap tajam dengan sorot yang berbeda. Alvin yang selalu melemparkan kebenciannya. Sedangkan Rio dengan sorot tenang namun menusuk. Seakan menegaskan lewat tatapannya, dialah sang pemenang. Membuat Alvin menggeram tertahan. Tak suka dengan pandangan yang meremehkan itu.
Rio tersenyum miring. Membalas geraman tertahan Alvin yang tertangkap indera pendengerannya di tengah-tengah sorak-sorai yang menggelegar siang itu. Detik berikutnya, Biru yang bertindak sebagai wasit, melemparkan bola oranye itu ke atas dan meniupkan pluit pertanda pertandingan dimulai. Keduanya langsung saling memperebutkan bola. Tak ada yang mau mengalah. Bola yang kini berada dalam drible-an Alvin itu terus dipertahankannya. Tak mengizinkan Rio merebutnya. Sesaat kemudian Alvin melempar bila itu dan berhasil mencetak dua point untuk mengungguli Rio. Alvin tersenyum culas. Gantian meremehkan Rio.
Alvin kembali menguasai bola. Dengan kobaran ego yang membara, kembali di driblenya bola itu dan dibawa berlari memutari lapangan basket untuk mengecoh Rio. Ia berhenti di tengah lapangan. Namun kini fokusnya tak lagi berjalan sempurna. Telinganya menangkap teriakan Ify memanggil nama rivalnya. Ekor matanya melirik ke gerombolan penonton dan menemukan Ify berdiri di antara mereka dan tengah menyemangati Rio meski wajahnya memancarkan kekhawatiran dan ketidaktenangan. 'SHIT!' Umpat Alvin dalam hati.
Rio menyadari kelengahan Alvin atas bola yang masih didriblenya. Tak mau melewatkan kesempatan, diambilnya bola itu dari tangan Alvin dan langsung ia lemparkan dengan mulus menuju ring. Ringpun menelan bola yang Rio lemparkan dengan sempurna hingga berhasil membuat three point dan berhasil membalik keadaan. Sorak sorai kembali terdengar diiringi dengan tepuk tangan meriah seakan pertandingan itu adalah asean games dan Indonesia berhasil mengalahkan lawannya.
Alvin melebarkan matanya. Tak percaya ia bisa kecolongan seperti ini. Dan keteledorannya itu membuat emosinya semakin membara. Dihampirinya Rio yang tengah asik membawa bola oranye itu menuju ke ring. Lalu disenggolnya Rio dengan tubuhnya. Hingga bolapun terlepas bersamaan dengan Rio yang terhuyung ke belakang. Hampir saja terjatuh jika Rio tak bisa menjaga keseimbangan. Alhasil, ia hanya terdorong mundur beberapa langkah. Sejurus kemudian, ditatapnya Alvin yang terlihat dipenuhi kemurkaan.
"Maksud lo apa?!" tanya Rio menahan geram seraya melangkah mendekat pada Alvin. Keheningan langsung mencengkram kuat seisi lapangan. Seluruhnya menyaksikan dengan serius seraya menerka-nerka dalam hati apa yang akan terjadi selanjutnya.
Alvin memicing sengit pada rivlnya itu. Tanpa memikirkan apapun lagi, Alvin segera melayangkan tinjunya pada Rio. Menumpahkan segala sesak di dadanya, sekaligus membalas bogem yang Rio daratkan untuknya tempo hari.
Kali ini Alvin berhasil membuat Rio tersungkur. Membuat semua yang menyaksikan berkoor terkejut dan melongo serempak. Tak terkecuali Ify dan Sivia, juga Shilla yang memang menyaksikan keduanya bertanding -tidak dikatakan bermain karena keduanya sama-sama mengincar kemenangan- basket. Ify langsung berlari ke tengah lapangan menghampiri keduanya, diikuti oleh Sivia tepat pada saat Alvin mencemgkram kemeja Rio dan hendak melayangkan lagi pukulannya yang kedua.
"Biar bogem ini yang ngehawab pertanyaan lo!"
"KAK ALVIN JANGAN!!!" seru Ify yang berhasil membuat Alvin menahan tinjunya di udara.
Ditariknya tubuh Alvin yang menegang sekuat tenaga. Dibantu oleh Biru, Cakka, dan Gabrie hingga berhasil menjauhkan Alvin dari Rio.
Ify langsung merunduk dan memelas. "Kak Rio engga apa-apa?" lirih Ify yang tak berani meyentuh Rio terlalu intens karena sekarang semua mata tertuju pada mereka.
Rio mengulas senyum tipis. "Aku engga apa-apa, Fy."
Ditariknya tangan Rio berusaha membantu Rio bangkit walaupun sebenarnya tak ada pengaruhnya sama sekali karena Rio bangkit dengan tenaganya sendiri. Kemudian ia melangkah mendekati Alvin yang masih dibekuk.
"Lepasin gue! Biarin gue hajar nih orang biar mampus sekalian!" jerit Alvin kalap sembari meronta agar cekalan tangan-tangan milik Biru, Cakka, dan Gabriel terlepas dari tubuhnya meski tak sama sekali membuahkan hasil.
"Vin, tahan! Ini tengah lapangan, Vin!" bisik Gabriel tepat di telinga sahabatnya itu.
"Biarin aja mereka semua jadi saksi berakhirnya hidup si brengsek ini!"
"Hidup gue berakhir? Hidup lo yang berakhir!" timpal Rio tenang.
"Enggak usah banyak bacot lo! Lepasin gue!" Alvin masih terus meronta. "Lo selalu lancang ambil posisi jadi pemenang yang seharusnya gue dapetin!"
Rio tertawa mengejek. "Pecundang!"
"Bangsat!" Disikutnya ketiga orang yang tadi mencekal pergerakannya itu hingga berhasil melepaskan diri. Alvin sudah berancang-ancang untuk mengayunkan kembali kepalan tangannya menuju wajah Rio, yang dihentikan seketika oleh pergerakan spontan Ify menjadi tameng pembatas dengan berdiri di depan Rio. Wajahnya ia buat semenantang mungkin agar Alvin tidak meremehkannya.
"Kalo lo berani pukul Kak Rio, berarti lo harus pukul gue dulu!" uja Ify tepat saat kepalan tangan itu berada di depan wajahnya.
"Minggur! Ini urusan cowok! Lo engga usah ikut campur!"
"Ikut campur?! Urusan Kak Rio urusan gue juga! Kak Rio dipukul gue juga harus dipukul! Kak Rio sakit gue juga harus sakit!" tegasnya mencoba tenang seraya meningkatkan nyali.
Kepalan tangan itu memerah karena Alvin semakin memperkuatnya. Seakan meremukan ucapan Ify barusan yang teramat menohok hatinya. Mengoyaknya tanpa simpati. Meluruhkan kekuatannya seketika. Mengapa cinta yang begitu besar itu bukan tercurah untuknya? Mengapa pembelaan itu bukan tetuju padanya?
Tanpa terduga. Alvin menarik Ify paksa ke dalam dekapannya. Sekali ini saja. Atau kalau bisa terus untuk selamanya, ia ingin merasakan kehangatan itu. Ingin merasakan jadi Rio. Ingin menumpahkan dan memberikan cinta ini pada yang seharusnya menerima. Hanya Ify yang ia izinkan mendapatkan cintanya. Meski Ify engga menerimanya.
Semua tercengang. Shillalah yang paling dibuat nestapa akan pelukan itu. Air matanya meleleh tanpa bisa ditahannya. Ketegangannya berganti tanpa perintah menjadi kesesakan. Shilla memilih meninggalkan lapangan untuk melampiaskan segala sesak yang menghimpitnya itu.
"Lepasin gue, Kak Alvin!!" Ify berontak. Namun tak bisa meloloskan diri. Dekapan Alvin begitu kuat. Benci itu semakin menerjangnya. Kebencian untuk Alvin. Abadi.
Rio memisahkan paksa kedua tubuh yang tengah menyatu tanpa jarak itu. Ditariknya Ify ke belakang tubuhnya. Membuat Alvin kembali diserang emosi.
"Lo boleh hajar gue! Tapi enggak dengan nyentuh Ify! Brengsek!"
"Apa sih, Fy, yang Rio punya gue ga punya? Apa yang Rio bisa kasih gue engga bisa kasih? Rio kaya gue juga. Rio ranking gue juga. Rio cinta sama lo gue juga. Apa yang bikin Rio menangin hati lo?!" Tak mengindahkan cercaan Rio untuknya, Alvin malah berseru menumbuk masalah kembali. Ditatapnya Ify seakan meminta penjelasan dan jawaban yang tidak akan pernah Alvin terima, apapun itu.
"Lo salah! Kak Rio punya cinta yang tulus. Bukan pemaksaan kaya yg lo lakuin," Ify melangkah ke sisi Rio dan menuturkan jawaban yang membuat Alvin tertohok..
"Semuanya karena cinta, Fy. Karena cinta gue besar. Mungkin lebih daripada Rio," Alvin melirih. Namun tetap tajam dan penuh penekanan.
"Engga ada cinta yang bikin takut. Engga ada cinta yang memaksakan kehendak. Cinta itu rela. Cinta itu berkorban. Dan yang lo lakuin sama sekali bukan cinta. Obsesi semata."
Telak. Tak ada lagi yang bisa Alvin elakan. Pemaksaannya juga beralas pada cinta. Cinta yang egois yang harus menjerat si pemilik hatinya ke dalam dekapannya. Dan baginya cinta harus adil. Jika ia tak bisa mendapatkan Ify, maka juga tidak untuk Rio.
"Cabut!" Alvin berbalik badan dan memberikan perintah pada Gabriel yang langsung diangguki oleh sahabatnya itu. Mereka melangkah pergi diikuti oleh bubarnya para penonton yang mengerubunginya tadi. Bel pertanda istirahat masuk sudah berbunyi. Membuat area sekolah kembali sepi.
Sivia yang sedari tadi hanya mengambil lakon sebagai penonton tanpa suara, menghampiri Ify. Terlihat Ify mengurut pelipisnya pertanda pening mulai menyerang. Kelakuan Alvin selalu saja membuat Ify pusing mendadak.
"Fy, lo engga apa-apa?" tanya Sivia khawatir.
"Engga, Vi. Gue cuman cape banget aja ngadepin Kak Alvin yang selalu nyari masalah kaya gitu."
Semua menghela nafas berat. Melepas letih yang mendera. Menghadapi Alvin memang butuh energi banyak. Seperti lari maraton, berusaha menghindari namun Alvin selalu mengejar mereka tanpa henti sembari melempar batu. Membuat mereka berlari juga dengan tertatih untuk menampik batu-batu itu. Tak ayal, semua yang termasuk dalam lingkungan Rio dan Ify akan ikut tersangkutpautkan meski mereka tak perlu berlari untuk menghindari Alvin. Hanya bisa berperan serta sebagai penengah atau penyemangat keduanya.
Tapi toh, berlari dan menghindarpun akan sangat sia-sia. Maka satu-satu jalan yang bisa mereka tempuh hanyalah menghadapi Alvin dengan tenang. Meski ketenangan itu terkadang terpatahkan oleh emosi Alvin yang sudah diluar batas kewajaran seseorang dalam menbenci dan membalas dendam. Alvin, sosok mengerikan yang terbungkus dalam rupa tampan pangeran dingin.
*****
Sivia melangkah dalam diam. Memikirkan banyak hal tentang keruwetan hubungan antara Rio dan Alvin. Memang bukan urusannya terlalu dalam mengerecoki. Hanya saja Ify menjadi korban yang harus ikutan menanggung beban. Dan sebagai sahabat, tentu Sivia tak tega melihat sahabatnya terus-menerus diterjang kekacauan seperti itu. Seakan hidup tenang bagi Ify memang hanyalah bualan cerita novel yang menjunjung tinggi harapan yang tak pernah sampai.
Sivia berhenti melangkah di sepanjang trotoar kala melihat sebuah taksi berhenti di sebelahnya. Seakan mendapat durian runtuh, Sivia hampir saja terlonjak. Supirnya entah ke mana bermuara. Sudah hampir sejam Sivia menunggu namun juga tak kunjung datang. Kesal, akhrnya ia memutuskan untuk jalan sampai menemukan taksi kosong untuk mengantarnya ke rumah.
Sivia mengetuk kaca sebelah kiri taksi, tak lama kaca turun dan terlihatlah sosok supir berseragam biru tersenyum ramah padanya.
"Selamat siang, mba. Mau ke mana?"
"Pak, ke Corona City?"
"Oh, iya, mba, bisa."
Sivia tersenyum senang lantas membuka pintu belakang taksi. Taksipun melaju menuju alamat yang telah Sivia sebutkan. Sembari menunggu taksi sampai di depan rumahnya, Sivia memasang earphone di telinganya dan memutar playlist dari handphonenya.
Tak lama Sivia mendongak untuk mengamati jalan. Ia mengernyit heran. Ia tak mengenali di mana ia berada sekarang. Bingung. Akhirnya Sivia mengalungkan earphonenya lalu memajukan tubuhnya.
"Pak, kok lewat sini? Rumah saya kan di Corona City?"
"Diem kalo lo mau selamat!"
Sontak Sivia membelalak. Sejurus kemudian rasa takut langsung menyergapnya lekat. Sivia berusaha bersikap tenang agar supir itu tidak menjahatinya. Ditengah kepanikannya, Sivia tak mampu lagi memikirkan cara untuk melarikan diri.
"Pak, tolong putar balik! Saya mau pulang!"
"DIEM!"
Sivia berusaha membuka pintu taksi yang terkunci disaat supir taksi itu menambah kecepatan laju taksinya. Sivia menggedor-gedor kaca, mencoba mencari pertolongan agar siapapun bisa mendengarnya dan menyelamatkannya. Pasalnya, entah tempat apa ini. Namun lingkungan itu benar-benar sepi dan jauh dari rumah penduduk.
Supir taksi itu menarik rambut Sivia dan menjauhkannya dari jangkauan pintu. Tak terasa air mata Sivia merembes jatuh. Ditariknya dengan kencang tangan supir itu. Dengan cepat, Sivia memutar kenop jendela.
"Jangan coba kabur!" seru supir taksi itu melihat Sivia memnuka kaca lebar-lebar.
Tak peduli apa akibat yang akan tetjadi jika ia melompat dalam keadaan taksi melaju kencang. Lebih baik mati karena menyelamatkan diri. Daripada menjadi korban penculikan dan kehilangan kehormatan.
Supir taksi itu kembali mengulurkan tangannya ke belakang untuk meraih Sivia. Namun gagal karena fokusnya terpecah oleh jalanan.
Dengan kekuatan yang tinggal separuh lagi, Sivia melongokan kepalanya keluar jendela. Lalu melompat turun dari taksi tersebut. Tubuhnya jatuh terpental ke lahan kosong yang ditumbuhi banyak terumputan dan terguling beberapa kali di sana. Tubuhnya melemah. Tak mampu lagi bangkit. Sivia mengerang merasakan sakit disekujur tubuhnya.
"To..tolong!" teriaknya parau.
*****
Entah mengapa moodnya benarbenar sedang tidak baik. Alih-alih pulang ke rumah, Gabriel memutar motornya menuju pinggiran Jakarta mendekati Bogor. Di sana udara terasa asri. Menenangkan jiwa dan tentunya pikiran. Peliknya dendam Alvin sang sahabat atas Rio dan Ify, membuatnya ikut letih lahir batin. Tak mau ikut terlibat tapi tak mungkin. Sebisa mungkin ia menghindari pertengkaran tak berkesudahan itu. Namun tetap saja ia tak mungkin membiarkan Alvin berperang sendiri meski ia tau Alvin terkadang sudah kelewat batas.
Beribu-ribu kali ia mencoba menasehati Alvin. Membuka mata hati Alvin. Namun tetap saja Alvin tak tersentuh. Alvin sekeras karang. Tak mampu dilunakkan dengan cara apapun. Gabriel lelah. Namun hanya ia sahabat yang Alvin miliki satu-satunya.
Dari kejauhan, Gabriel melihat sebuah taksi melaju ugal-ugalan. Gabriel menggeleng-gelengkan kepalanya. Mentang-mentang jalanan sepi jadi bisa berkemudi seenaknya. Tiba-tiba muncul sebuah kepala berambut panjang dari jendela taksi. Ganriel makin menggelengkan kepala melihat kelakuan wanita itu.
'Norak amat sih, cuman naek taksi aja begitu kelakuannya,' Gabriel membatin.
Tapi tunggu. Wanita itu bukan sedang menikmati udara segar di sini. Lalu apa yang dia lakukan dengan menyembulkan kepalanya dari jendela? Belum saja Gabriel berhasil memecahkan jawabannya, tiba-tiba saja wanita itu melompat keluar dan terpelanting ke atas rerumputan hingga berguling beberapa kali. Gabriel tersentak. Wanita itu ingin bunuh diri! Tanpa berfikir panjang lagi, Gabriel memutar gas dan melajukannya sekencang mungkin. Hingga tak butuh waktu lama untuk sampai pada tempat wanita itu melompat.
"To.. Tolong..."
Samar Gabriel mendengar permintaan tolong yang melirih itu. Setelah memarkirkan motornya asal, Gabriel langsung turun dan menghampiri wanita tadi.
Gabriel terperajat melihat gadisnitu memakai seragam sekolahnya yang memang memiliki khas sendiri. Dihampirinya gadis itu, lalu disingkapkan rambutnya. Dan Gabriel sampai menahan nafas sakit terkejutnya menemukan gadis yang ia kenal yang baru saja menjalankan aksi bunuh diri.
"Elo?!"
Sivia menoleh menatap kedatangan sang penolong yang tidak dapat ia lihat dengan jelas. Karena di detik berikutnya, Sivia sudah memejamkan matanya tak lagi bergerak.
Gabriel tersentak. Gadis itu pingsan. Beberapa kali Gabriel mencoba menepuk-nepuk pipinya. Namun tak ada respon dari Sivia. Takut terjadi sesuatu yang fatal, Gabriel segera membawa Sivia ke rumah sakit setelah mencari taksi kosong yang kebetulan lewat.
*****
Setelah menjalani berbagai macam pemeriksaan dan pengobatan, Sivia dinyatakan baik-baik saja dan diizinkan pulang. Luka-lukanya pun hanya luka luar saja, tidak ada yang serius. Membuat Gabriel yang mendengar penjelasan dokter mendengus lega sekaligus dongkol.
Sivia melangkah tertatih mengikuti Gabriel ke lobby untuk mengurus administrasi. Ditundukkan kepala dalam-dalam. Masih shock atas kejadian yang baru saja ia alami. Ia tak mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya terus mengikuti Gabriel yang kini melangkah ke halaman rumah sakit.
"Rumah lo di mana?"
Sejak tadi, Gabriel belum bertanya apapun pada gadis ini, kecuali tentang keadaannya. Itupun pada dokter.
"Co..rona City," jawabnya terputus. Ternyata, Sivia menangis sejak tadi. Menyadari itu, Gabriel berdecak jengah.
"Lo ngapain sih nangis?! Orang lo juga engga kenapa-napa," sahutnya kesal.
"Gu..e takut, Kak."
"Yaudah, ini juga kan mau gue anterin pulang. Tapi kita harus balik ke tempat tadi. Motor gue masih di sana. Itupun kalo engga dimaling orang."
Sivia menunduk dalam-dalam. Sedikit trauma jika harus kembali pulang dengan orang asing. Meskipun ia mengenal Gabriel, tetap saja Sivia tak tau seluk beluk hati dan pikirannya. Siapa tau dia juga jahat.
"Ck, terus lo mau naik taksi sendiri?!"
Sivia menggeleng cepat.
"Yaudah, ikut gue! Lagian lo ngapain sih tadi bunuh diri kaya gitu? Abis diputusin lo!?"
Sivia kembali menggeleng. Tangisnya sudah berhenti. Namun keparnoannya tak juga surut.
"Dasar cewek! Kerjaannya nangis sama nyusahin doang!"
Mendengar itu tentu saja Sivia geram. Rasa takutnya kini berganti marah. Dihentakannya kaki kencang-kencang lalu dipukulnya punggung Gabriel hingga berbunyi keras.
"AW! Apa-apaan sih lo?!"
"Lo kalo engga iklas nolong engga usah nolongin gue! Nolong tapi ngegerutu! Gue juga engga minta tolong sama lu kok!" Tanpa menunggu jawaban Gabriel, Sivia melangkah pergi.
Gabriel tersadar. Ucapannya pasti menyinggung gadis itu. Segera ia berlari menyusul Sivia. Llu ditariknya tangan Sivia hingga Sivia berhenti melangkah.
"Apa?!" sahutnya tajam.
"Dih. Iya iya sori. Gue enggak maksud nyinggung lo kok! Ya abisnya lo bukannya bilang makasih kek, traktir gue kek sebagai ucapan makasih. Malah nangis. Gue paling sebel tau liat cewek nangis." Gabriel melunak.
"Ya namanya juga takut, shock, trauma. Pasti nangislah! Mending gue ga jejeritan!"
"Iya iya. Sori. Yaudah ayo gue anter pulang. Daripada lo kenapa-napa lagi nanti. Yang ada malah sia-sia gue bayarin rumah sakit lo."
Sivia melotot menusukkan pandangannya. Gabriel menyeringai.
"Hehe, peace! Ayo!"
Tanpa sadar, Gabriel menggenggam tangan Sivia dan menariknya. Dan tanpa sadar pula, Sivia tersipu. Pasalnya ini kali pertamanya ada seorang pemuda yang menggandeng tangannya. Kontan saja jantungnya berdegup kencang. Meski sudah sering melihat adegan seperti ini yang dilakoni oleh Rio dan Ify, namun tetap saja berbeda jika ia merasakannya sendiri.
Bersambung...
Ify mengambil kalender meja yang memang tersedia di meja belajar kamarnya. Dua hari lagi, Rio ulang tahun. Entah mengapa rasanya tak sabar menyambut hari itu datang. Tak ada pesta besar memang. Apalagi jamuan makan malam spesial untuknya -setidaknya sampai sejauh ini belum terlihat tanda-tanda akan adanya rencana itu-. Namun Ify sudah menyiapkan hadiah spesial untuk sang kekasih. Dan ia tak sabar melihat reaksi Rio saat menerima hadiah darinya itu.
Pikiran-pikirannya terus melayang tak karuan hingga sampai pada bayangan tentang kisahnya yang tak kunjung berjalan mulus karena ada Alvin di sana. Ify menghela. Terkadang letih dengan badai yang ada. Memang hadirnya Alvin samar. Dia bukan orang ketiga. Dia bukan masalah untuk ujian kesetiaan Ify. Tapi kehadiran Alvin tidak dapat dianggap sepele.
Alvin. Jika teringat nama itu, bagaikan terbayang pada ancaman dan kehancuran. Entah sampai kapan Alvin akan menyerah. Entah berapa lama lagi Ify dan Rio harus terus dihantui gangguan-gangguan Alvin. Mungkin saat ini, hanya harapanlah yang mampu memudarkan sedikit rasa takutnya. Sedikit saja. Karena kenyataan yang ada tak seindah harapan yang terbayang.
*****
Lapangan sekolah tidak seperti jam istirahat sebelumnya. Kali ini lapangan terlihat ramai para murid yang didominasi oleh siswi-siswi. Mulai dari kelas sepuluh hingga kelas duabelas. Semua mengerubungi pinggir lapangan. Bersorak-sorai menyebutkan dua nama fenomenal yang tak pernah lepas dari sorotan publik. Alvin dan Rio.
Sejak bel istirahat berbunyi, Alvin dan Rio sudah berdiri di tengah lapangan. Saling menatap tajam dengan sorot yang berbeda. Alvin yang selalu melemparkan kebenciannya. Sedangkan Rio dengan sorot tenang namun menusuk. Seakan menegaskan lewat tatapannya, dialah sang pemenang. Membuat Alvin menggeram tertahan. Tak suka dengan pandangan yang meremehkan itu.
Rio tersenyum miring. Membalas geraman tertahan Alvin yang tertangkap indera pendengerannya di tengah-tengah sorak-sorai yang menggelegar siang itu. Detik berikutnya, Biru yang bertindak sebagai wasit, melemparkan bola oranye itu ke atas dan meniupkan pluit pertanda pertandingan dimulai. Keduanya langsung saling memperebutkan bola. Tak ada yang mau mengalah. Bola yang kini berada dalam drible-an Alvin itu terus dipertahankannya. Tak mengizinkan Rio merebutnya. Sesaat kemudian Alvin melempar bila itu dan berhasil mencetak dua point untuk mengungguli Rio. Alvin tersenyum culas. Gantian meremehkan Rio.
Alvin kembali menguasai bola. Dengan kobaran ego yang membara, kembali di driblenya bola itu dan dibawa berlari memutari lapangan basket untuk mengecoh Rio. Ia berhenti di tengah lapangan. Namun kini fokusnya tak lagi berjalan sempurna. Telinganya menangkap teriakan Ify memanggil nama rivalnya. Ekor matanya melirik ke gerombolan penonton dan menemukan Ify berdiri di antara mereka dan tengah menyemangati Rio meski wajahnya memancarkan kekhawatiran dan ketidaktenangan. 'SHIT!' Umpat Alvin dalam hati.
Rio menyadari kelengahan Alvin atas bola yang masih didriblenya. Tak mau melewatkan kesempatan, diambilnya bola itu dari tangan Alvin dan langsung ia lemparkan dengan mulus menuju ring. Ringpun menelan bola yang Rio lemparkan dengan sempurna hingga berhasil membuat three point dan berhasil membalik keadaan. Sorak sorai kembali terdengar diiringi dengan tepuk tangan meriah seakan pertandingan itu adalah asean games dan Indonesia berhasil mengalahkan lawannya.
Alvin melebarkan matanya. Tak percaya ia bisa kecolongan seperti ini. Dan keteledorannya itu membuat emosinya semakin membara. Dihampirinya Rio yang tengah asik membawa bola oranye itu menuju ke ring. Lalu disenggolnya Rio dengan tubuhnya. Hingga bolapun terlepas bersamaan dengan Rio yang terhuyung ke belakang. Hampir saja terjatuh jika Rio tak bisa menjaga keseimbangan. Alhasil, ia hanya terdorong mundur beberapa langkah. Sejurus kemudian, ditatapnya Alvin yang terlihat dipenuhi kemurkaan.
"Maksud lo apa?!" tanya Rio menahan geram seraya melangkah mendekat pada Alvin. Keheningan langsung mencengkram kuat seisi lapangan. Seluruhnya menyaksikan dengan serius seraya menerka-nerka dalam hati apa yang akan terjadi selanjutnya.
Alvin memicing sengit pada rivlnya itu. Tanpa memikirkan apapun lagi, Alvin segera melayangkan tinjunya pada Rio. Menumpahkan segala sesak di dadanya, sekaligus membalas bogem yang Rio daratkan untuknya tempo hari.
Kali ini Alvin berhasil membuat Rio tersungkur. Membuat semua yang menyaksikan berkoor terkejut dan melongo serempak. Tak terkecuali Ify dan Sivia, juga Shilla yang memang menyaksikan keduanya bertanding -tidak dikatakan bermain karena keduanya sama-sama mengincar kemenangan- basket. Ify langsung berlari ke tengah lapangan menghampiri keduanya, diikuti oleh Sivia tepat pada saat Alvin mencemgkram kemeja Rio dan hendak melayangkan lagi pukulannya yang kedua.
"Biar bogem ini yang ngehawab pertanyaan lo!"
"KAK ALVIN JANGAN!!!" seru Ify yang berhasil membuat Alvin menahan tinjunya di udara.
Ditariknya tubuh Alvin yang menegang sekuat tenaga. Dibantu oleh Biru, Cakka, dan Gabrie hingga berhasil menjauhkan Alvin dari Rio.
Ify langsung merunduk dan memelas. "Kak Rio engga apa-apa?" lirih Ify yang tak berani meyentuh Rio terlalu intens karena sekarang semua mata tertuju pada mereka.
Rio mengulas senyum tipis. "Aku engga apa-apa, Fy."
Ditariknya tangan Rio berusaha membantu Rio bangkit walaupun sebenarnya tak ada pengaruhnya sama sekali karena Rio bangkit dengan tenaganya sendiri. Kemudian ia melangkah mendekati Alvin yang masih dibekuk.
"Lepasin gue! Biarin gue hajar nih orang biar mampus sekalian!" jerit Alvin kalap sembari meronta agar cekalan tangan-tangan milik Biru, Cakka, dan Gabriel terlepas dari tubuhnya meski tak sama sekali membuahkan hasil.
"Vin, tahan! Ini tengah lapangan, Vin!" bisik Gabriel tepat di telinga sahabatnya itu.
"Biarin aja mereka semua jadi saksi berakhirnya hidup si brengsek ini!"
"Hidup gue berakhir? Hidup lo yang berakhir!" timpal Rio tenang.
"Enggak usah banyak bacot lo! Lepasin gue!" Alvin masih terus meronta. "Lo selalu lancang ambil posisi jadi pemenang yang seharusnya gue dapetin!"
Rio tertawa mengejek. "Pecundang!"
"Bangsat!" Disikutnya ketiga orang yang tadi mencekal pergerakannya itu hingga berhasil melepaskan diri. Alvin sudah berancang-ancang untuk mengayunkan kembali kepalan tangannya menuju wajah Rio, yang dihentikan seketika oleh pergerakan spontan Ify menjadi tameng pembatas dengan berdiri di depan Rio. Wajahnya ia buat semenantang mungkin agar Alvin tidak meremehkannya.
"Kalo lo berani pukul Kak Rio, berarti lo harus pukul gue dulu!" uja Ify tepat saat kepalan tangan itu berada di depan wajahnya.
"Minggur! Ini urusan cowok! Lo engga usah ikut campur!"
"Ikut campur?! Urusan Kak Rio urusan gue juga! Kak Rio dipukul gue juga harus dipukul! Kak Rio sakit gue juga harus sakit!" tegasnya mencoba tenang seraya meningkatkan nyali.
Kepalan tangan itu memerah karena Alvin semakin memperkuatnya. Seakan meremukan ucapan Ify barusan yang teramat menohok hatinya. Mengoyaknya tanpa simpati. Meluruhkan kekuatannya seketika. Mengapa cinta yang begitu besar itu bukan tercurah untuknya? Mengapa pembelaan itu bukan tetuju padanya?
Tanpa terduga. Alvin menarik Ify paksa ke dalam dekapannya. Sekali ini saja. Atau kalau bisa terus untuk selamanya, ia ingin merasakan kehangatan itu. Ingin merasakan jadi Rio. Ingin menumpahkan dan memberikan cinta ini pada yang seharusnya menerima. Hanya Ify yang ia izinkan mendapatkan cintanya. Meski Ify engga menerimanya.
Semua tercengang. Shillalah yang paling dibuat nestapa akan pelukan itu. Air matanya meleleh tanpa bisa ditahannya. Ketegangannya berganti tanpa perintah menjadi kesesakan. Shilla memilih meninggalkan lapangan untuk melampiaskan segala sesak yang menghimpitnya itu.
"Lepasin gue, Kak Alvin!!" Ify berontak. Namun tak bisa meloloskan diri. Dekapan Alvin begitu kuat. Benci itu semakin menerjangnya. Kebencian untuk Alvin. Abadi.
Rio memisahkan paksa kedua tubuh yang tengah menyatu tanpa jarak itu. Ditariknya Ify ke belakang tubuhnya. Membuat Alvin kembali diserang emosi.
"Lo boleh hajar gue! Tapi enggak dengan nyentuh Ify! Brengsek!"
"Apa sih, Fy, yang Rio punya gue ga punya? Apa yang Rio bisa kasih gue engga bisa kasih? Rio kaya gue juga. Rio ranking gue juga. Rio cinta sama lo gue juga. Apa yang bikin Rio menangin hati lo?!" Tak mengindahkan cercaan Rio untuknya, Alvin malah berseru menumbuk masalah kembali. Ditatapnya Ify seakan meminta penjelasan dan jawaban yang tidak akan pernah Alvin terima, apapun itu.
"Lo salah! Kak Rio punya cinta yang tulus. Bukan pemaksaan kaya yg lo lakuin," Ify melangkah ke sisi Rio dan menuturkan jawaban yang membuat Alvin tertohok..
"Semuanya karena cinta, Fy. Karena cinta gue besar. Mungkin lebih daripada Rio," Alvin melirih. Namun tetap tajam dan penuh penekanan.
"Engga ada cinta yang bikin takut. Engga ada cinta yang memaksakan kehendak. Cinta itu rela. Cinta itu berkorban. Dan yang lo lakuin sama sekali bukan cinta. Obsesi semata."
Telak. Tak ada lagi yang bisa Alvin elakan. Pemaksaannya juga beralas pada cinta. Cinta yang egois yang harus menjerat si pemilik hatinya ke dalam dekapannya. Dan baginya cinta harus adil. Jika ia tak bisa mendapatkan Ify, maka juga tidak untuk Rio.
"Cabut!" Alvin berbalik badan dan memberikan perintah pada Gabriel yang langsung diangguki oleh sahabatnya itu. Mereka melangkah pergi diikuti oleh bubarnya para penonton yang mengerubunginya tadi. Bel pertanda istirahat masuk sudah berbunyi. Membuat area sekolah kembali sepi.
Sivia yang sedari tadi hanya mengambil lakon sebagai penonton tanpa suara, menghampiri Ify. Terlihat Ify mengurut pelipisnya pertanda pening mulai menyerang. Kelakuan Alvin selalu saja membuat Ify pusing mendadak.
"Fy, lo engga apa-apa?" tanya Sivia khawatir.
"Engga, Vi. Gue cuman cape banget aja ngadepin Kak Alvin yang selalu nyari masalah kaya gitu."
Semua menghela nafas berat. Melepas letih yang mendera. Menghadapi Alvin memang butuh energi banyak. Seperti lari maraton, berusaha menghindari namun Alvin selalu mengejar mereka tanpa henti sembari melempar batu. Membuat mereka berlari juga dengan tertatih untuk menampik batu-batu itu. Tak ayal, semua yang termasuk dalam lingkungan Rio dan Ify akan ikut tersangkutpautkan meski mereka tak perlu berlari untuk menghindari Alvin. Hanya bisa berperan serta sebagai penengah atau penyemangat keduanya.
Tapi toh, berlari dan menghindarpun akan sangat sia-sia. Maka satu-satu jalan yang bisa mereka tempuh hanyalah menghadapi Alvin dengan tenang. Meski ketenangan itu terkadang terpatahkan oleh emosi Alvin yang sudah diluar batas kewajaran seseorang dalam menbenci dan membalas dendam. Alvin, sosok mengerikan yang terbungkus dalam rupa tampan pangeran dingin.
*****
Sivia melangkah dalam diam. Memikirkan banyak hal tentang keruwetan hubungan antara Rio dan Alvin. Memang bukan urusannya terlalu dalam mengerecoki. Hanya saja Ify menjadi korban yang harus ikutan menanggung beban. Dan sebagai sahabat, tentu Sivia tak tega melihat sahabatnya terus-menerus diterjang kekacauan seperti itu. Seakan hidup tenang bagi Ify memang hanyalah bualan cerita novel yang menjunjung tinggi harapan yang tak pernah sampai.
Sivia berhenti melangkah di sepanjang trotoar kala melihat sebuah taksi berhenti di sebelahnya. Seakan mendapat durian runtuh, Sivia hampir saja terlonjak. Supirnya entah ke mana bermuara. Sudah hampir sejam Sivia menunggu namun juga tak kunjung datang. Kesal, akhrnya ia memutuskan untuk jalan sampai menemukan taksi kosong untuk mengantarnya ke rumah.
Sivia mengetuk kaca sebelah kiri taksi, tak lama kaca turun dan terlihatlah sosok supir berseragam biru tersenyum ramah padanya.
"Selamat siang, mba. Mau ke mana?"
"Pak, ke Corona City?"
"Oh, iya, mba, bisa."
Sivia tersenyum senang lantas membuka pintu belakang taksi. Taksipun melaju menuju alamat yang telah Sivia sebutkan. Sembari menunggu taksi sampai di depan rumahnya, Sivia memasang earphone di telinganya dan memutar playlist dari handphonenya.
Tak lama Sivia mendongak untuk mengamati jalan. Ia mengernyit heran. Ia tak mengenali di mana ia berada sekarang. Bingung. Akhirnya Sivia mengalungkan earphonenya lalu memajukan tubuhnya.
"Pak, kok lewat sini? Rumah saya kan di Corona City?"
"Diem kalo lo mau selamat!"
Sontak Sivia membelalak. Sejurus kemudian rasa takut langsung menyergapnya lekat. Sivia berusaha bersikap tenang agar supir itu tidak menjahatinya. Ditengah kepanikannya, Sivia tak mampu lagi memikirkan cara untuk melarikan diri.
"Pak, tolong putar balik! Saya mau pulang!"
"DIEM!"
Sivia berusaha membuka pintu taksi yang terkunci disaat supir taksi itu menambah kecepatan laju taksinya. Sivia menggedor-gedor kaca, mencoba mencari pertolongan agar siapapun bisa mendengarnya dan menyelamatkannya. Pasalnya, entah tempat apa ini. Namun lingkungan itu benar-benar sepi dan jauh dari rumah penduduk.
Supir taksi itu menarik rambut Sivia dan menjauhkannya dari jangkauan pintu. Tak terasa air mata Sivia merembes jatuh. Ditariknya dengan kencang tangan supir itu. Dengan cepat, Sivia memutar kenop jendela.
"Jangan coba kabur!" seru supir taksi itu melihat Sivia memnuka kaca lebar-lebar.
Tak peduli apa akibat yang akan tetjadi jika ia melompat dalam keadaan taksi melaju kencang. Lebih baik mati karena menyelamatkan diri. Daripada menjadi korban penculikan dan kehilangan kehormatan.
Supir taksi itu kembali mengulurkan tangannya ke belakang untuk meraih Sivia. Namun gagal karena fokusnya terpecah oleh jalanan.
Dengan kekuatan yang tinggal separuh lagi, Sivia melongokan kepalanya keluar jendela. Lalu melompat turun dari taksi tersebut. Tubuhnya jatuh terpental ke lahan kosong yang ditumbuhi banyak terumputan dan terguling beberapa kali di sana. Tubuhnya melemah. Tak mampu lagi bangkit. Sivia mengerang merasakan sakit disekujur tubuhnya.
"To..tolong!" teriaknya parau.
*****
Entah mengapa moodnya benarbenar sedang tidak baik. Alih-alih pulang ke rumah, Gabriel memutar motornya menuju pinggiran Jakarta mendekati Bogor. Di sana udara terasa asri. Menenangkan jiwa dan tentunya pikiran. Peliknya dendam Alvin sang sahabat atas Rio dan Ify, membuatnya ikut letih lahir batin. Tak mau ikut terlibat tapi tak mungkin. Sebisa mungkin ia menghindari pertengkaran tak berkesudahan itu. Namun tetap saja ia tak mungkin membiarkan Alvin berperang sendiri meski ia tau Alvin terkadang sudah kelewat batas.
Beribu-ribu kali ia mencoba menasehati Alvin. Membuka mata hati Alvin. Namun tetap saja Alvin tak tersentuh. Alvin sekeras karang. Tak mampu dilunakkan dengan cara apapun. Gabriel lelah. Namun hanya ia sahabat yang Alvin miliki satu-satunya.
Dari kejauhan, Gabriel melihat sebuah taksi melaju ugal-ugalan. Gabriel menggeleng-gelengkan kepalanya. Mentang-mentang jalanan sepi jadi bisa berkemudi seenaknya. Tiba-tiba muncul sebuah kepala berambut panjang dari jendela taksi. Ganriel makin menggelengkan kepala melihat kelakuan wanita itu.
'Norak amat sih, cuman naek taksi aja begitu kelakuannya,' Gabriel membatin.
Tapi tunggu. Wanita itu bukan sedang menikmati udara segar di sini. Lalu apa yang dia lakukan dengan menyembulkan kepalanya dari jendela? Belum saja Gabriel berhasil memecahkan jawabannya, tiba-tiba saja wanita itu melompat keluar dan terpelanting ke atas rerumputan hingga berguling beberapa kali. Gabriel tersentak. Wanita itu ingin bunuh diri! Tanpa berfikir panjang lagi, Gabriel memutar gas dan melajukannya sekencang mungkin. Hingga tak butuh waktu lama untuk sampai pada tempat wanita itu melompat.
"To.. Tolong..."
Samar Gabriel mendengar permintaan tolong yang melirih itu. Setelah memarkirkan motornya asal, Gabriel langsung turun dan menghampiri wanita tadi.
Gabriel terperajat melihat gadisnitu memakai seragam sekolahnya yang memang memiliki khas sendiri. Dihampirinya gadis itu, lalu disingkapkan rambutnya. Dan Gabriel sampai menahan nafas sakit terkejutnya menemukan gadis yang ia kenal yang baru saja menjalankan aksi bunuh diri.
"Elo?!"
Sivia menoleh menatap kedatangan sang penolong yang tidak dapat ia lihat dengan jelas. Karena di detik berikutnya, Sivia sudah memejamkan matanya tak lagi bergerak.
Gabriel tersentak. Gadis itu pingsan. Beberapa kali Gabriel mencoba menepuk-nepuk pipinya. Namun tak ada respon dari Sivia. Takut terjadi sesuatu yang fatal, Gabriel segera membawa Sivia ke rumah sakit setelah mencari taksi kosong yang kebetulan lewat.
*****
Setelah menjalani berbagai macam pemeriksaan dan pengobatan, Sivia dinyatakan baik-baik saja dan diizinkan pulang. Luka-lukanya pun hanya luka luar saja, tidak ada yang serius. Membuat Gabriel yang mendengar penjelasan dokter mendengus lega sekaligus dongkol.
Sivia melangkah tertatih mengikuti Gabriel ke lobby untuk mengurus administrasi. Ditundukkan kepala dalam-dalam. Masih shock atas kejadian yang baru saja ia alami. Ia tak mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya terus mengikuti Gabriel yang kini melangkah ke halaman rumah sakit.
"Rumah lo di mana?"
Sejak tadi, Gabriel belum bertanya apapun pada gadis ini, kecuali tentang keadaannya. Itupun pada dokter.
"Co..rona City," jawabnya terputus. Ternyata, Sivia menangis sejak tadi. Menyadari itu, Gabriel berdecak jengah.
"Lo ngapain sih nangis?! Orang lo juga engga kenapa-napa," sahutnya kesal.
"Gu..e takut, Kak."
"Yaudah, ini juga kan mau gue anterin pulang. Tapi kita harus balik ke tempat tadi. Motor gue masih di sana. Itupun kalo engga dimaling orang."
Sivia menunduk dalam-dalam. Sedikit trauma jika harus kembali pulang dengan orang asing. Meskipun ia mengenal Gabriel, tetap saja Sivia tak tau seluk beluk hati dan pikirannya. Siapa tau dia juga jahat.
"Ck, terus lo mau naik taksi sendiri?!"
Sivia menggeleng cepat.
"Yaudah, ikut gue! Lagian lo ngapain sih tadi bunuh diri kaya gitu? Abis diputusin lo!?"
Sivia kembali menggeleng. Tangisnya sudah berhenti. Namun keparnoannya tak juga surut.
"Dasar cewek! Kerjaannya nangis sama nyusahin doang!"
Mendengar itu tentu saja Sivia geram. Rasa takutnya kini berganti marah. Dihentakannya kaki kencang-kencang lalu dipukulnya punggung Gabriel hingga berbunyi keras.
"AW! Apa-apaan sih lo?!"
"Lo kalo engga iklas nolong engga usah nolongin gue! Nolong tapi ngegerutu! Gue juga engga minta tolong sama lu kok!" Tanpa menunggu jawaban Gabriel, Sivia melangkah pergi.
Gabriel tersadar. Ucapannya pasti menyinggung gadis itu. Segera ia berlari menyusul Sivia. Llu ditariknya tangan Sivia hingga Sivia berhenti melangkah.
"Apa?!" sahutnya tajam.
"Dih. Iya iya sori. Gue enggak maksud nyinggung lo kok! Ya abisnya lo bukannya bilang makasih kek, traktir gue kek sebagai ucapan makasih. Malah nangis. Gue paling sebel tau liat cewek nangis." Gabriel melunak.
"Ya namanya juga takut, shock, trauma. Pasti nangislah! Mending gue ga jejeritan!"
"Iya iya. Sori. Yaudah ayo gue anter pulang. Daripada lo kenapa-napa lagi nanti. Yang ada malah sia-sia gue bayarin rumah sakit lo."
Sivia melotot menusukkan pandangannya. Gabriel menyeringai.
"Hehe, peace! Ayo!"
Tanpa sadar, Gabriel menggenggam tangan Sivia dan menariknya. Dan tanpa sadar pula, Sivia tersipu. Pasalnya ini kali pertamanya ada seorang pemuda yang menggandeng tangannya. Kontan saja jantungnya berdegup kencang. Meski sudah sering melihat adegan seperti ini yang dilakoni oleh Rio dan Ify, namun tetap saja berbeda jika ia merasakannya sendiri.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment