Monday, August 29, 2016

Bukan Diriku (Part 5)

Part 5
TOKTOKTOK

Shilla berdiri dengan resah di depan pintu rumah Alvin. Kabar tentang kecelakaan itu baru sampai di telinganya kemarin malam Sangat tidak mungkin jika ia harus keluar tengah malam untuk menemui Alvin. Kabar yang ia dengar kemaren pun Alvin tidak terluka parah. Namun tetap saja rasa cemas menghampirinya mendengar Alvin mengalami kecelakaan.

Pintu rumah dibuka oleh wanita paruh baya yang Shilla yakini adalah pelayan di rumah itu karena matanya menangkap sebuah kain lap tersampir di bahunya. Pelayan itu tersernyum ramah seraya menganggukan kepala kecil memberi salam.

"Selamat pagi. Cari siapa mbaknya?" tanyanya ramah.

"Pagi, Bi. Alvinnya ada?"

"Den Alvin ada di belakang, Non. Silahkan,"

"Terima kasih, Bi."

Shilla mengikuti langkah pelayan itu menuju ke halaman belakang rumah Alvin. Seraya meyakinkan diri untuk bertamu demi mengetahui keadaan Alvin.

Tubuh Shilla menegang kala matanya menangkap pemuda yang mengisi hatinya itu tengah membelakanginya dengan gitar yang dimainkan asal.  Hingga Shilla tak medengar saat bibi pelayan pamit meninggalkannya. Rasanya kaki Shilla tertancap paku besar hingga tak mampu bergerak. Suasana sejuk pagi hari berubah menjadi panas seketika. Shilla ragu namun ia benar-benar ingin mengetahui keadaan Alvin, meskipun dari sini Shilla sudah bisa mengetahui bahwa pemilik hatinya itu dalam keadaan baik-baik saja.

Shilla berancang untuk berbalik. Namun sisi lain hatinya mengatakan jika Shilla harus menemui Alvin. Demi rindu yang harus tercurah. Demi gusar yang terus mendera.

Shilla menghela. Rasa takutnya terkalahkan oleh egonya yang memaksa menang. Akhirnya Shilla melangkah pelan dengan harapan Alvin dapat menghargai kehadirannya yang terus mengkhawatirkannya.

Semakin dekat dengan pemuda itu semakin Shilla dapat melihat jelas sosok Alvin yang selalu terlihat sempurna untuknya meski nyatanya ia tak pernah terlihat sedikitpun.

Shilla berhenti tepat di belakang pemuda itu. Tetapi lidahnya mendadak kelu. Tak berani sama sekali mengganggu Alvin yang masih asyik dengan gitarnya dan udara sejuk pagi. Saat seperti ini sangat jarang Shilla dapatkan. Dan shilla tak mau menyia-nyiakannya. Meski hanya dari belakang, Shilla tetap menikmati setiap mili tubuh yang terbalut kaos putih itu.

Meski Alvin selalu menolak kehadirannya. Meski Alvin selalu menampik perhatiannya. Shilla tetap tak mampu pergi. Shilla tau sekeras-kerasnya karang, akan terkikis juga jika terus menerus diterpa ombak. Dan Shilla yakin suatu hari nanti, ia akan mampu membuat Alvin luluh dan melihat kehadirannya. Meski tak tau sampai kapan ia harus menunggu keajaiban itu terjadi.

"Belum puas lo gangguin gue?!"

Shilla terkesiap dan tersadar dari lamunannya kala Alvin bangkit dan langsung menyergap kehadirannya. Dengan susah payah Shilla menelan ludahnya untuk meresakan kekagetannya. Namun tak berhasil saat Alvin menatapnya begitu menusuk.

"Masih juga lo berani dateng ke sini?"

"Vin, gue cuma mau tau keadaan lo. Lo udah enggak apa-apa kan? Itu pelipis lo kenapa? Lukanya parah?"

"Dasar cewek gatau malu!"

Bagai tersambar petir, makian itu langsung menancap di bagian terdalam hatinya. Mengakari segala luka yang mulai berkecambah. Sakit. Dan sungguh jahat. Mata Shilla memanas hingga akhirnya cairan pengungkap luka itu jatuh tanpa mampu ditahannya. Lagi-lagi terluka. Dan selalu luka yang Alvin torehkan. Tidak bisakah sekali saja bahagia yang ia dapatkan dari pemuda itu?

"Vin... Lo jahat!" lirih Shilla terluka.

"Gue jahat? Terus lo apa?!"

"Vin, please, itu semua udah lalu, Vin. Gue hadir sebagai Shilla yang baru. Shilla yang punya cinta buat lo. Tulus."

"Cinta? Cih! Basi!"

"Hargain, Vin! Hargain perjuangan gue buat berubah!"

"Sekali busuk, tetep busuk!"

"Iya, gue tau dulu gue salah. Dulu gue jahat. Tapi itu Shilla yang berumur empatbelas tahun. Yang masih engga tau cinta yang sebenarnya. Yang masih awam soal itu!" Shilla melangkah mendekat. Lalu mencengkram kedua lengan Alvin. Masih dengan air mata yang jatuh bercucuran. "Tapi Shilla yang ada di hadapan lo ini, ada Shilla yang udah ngerti. Kalau cinta itu berharga. Bukan mainan. Bukan memperbudak."

Rahang Alvin mengeras. Tangannya terkepal kuat. Dan dengan sekali sentakan, cengkraman Shilla terlepas. Membuat gadis itu terhuyung. Dengan emosi penuh karena Shilla sudah berani membangkitkan luka lamanya, Alvin berganti mencengkram kedua lengan Shilla. Membuat Shilla meringis, menahan perih yang terasa.

"LO! Jangan pernah lagi lo ungkit cerita lama itu! Jangan pernah lo bangkitin lagi sakit hati gue yang enggak akan pernah mati! Dan lo, sekali benci tetep benci! Sekali mati tetep mati! Dan bagi gue, lo udah mati! Sama kaya dulu lo matiin perasaan gue!"

Bibir Shilla bergetar. Luka itu. Luka itu juga luka yang sama seperti yang diterimanya. Bahkan lebih. Jika Alvin hanya terluka kurang lebih lima bulan, maka Shilla harus menanggung luka dari penolakan-penolakan Alvin selama hampir empat tahun. Sudah cukup seharusnya! Sudah cukup semuanya! Tapi Shilla tak bisa mengelak. Ia terlalu mencintai Alvin.

Rasa bersalah itu menumbuhkan cinta. Semakin kuat rasa bersalahnya, semakin kuat pula cinta itu tertanam.

"Maaf buat empat tahun yang lalu," lirih Shilla seraya menunduk.

Masih dengan emosi yang sama, Alvin melepaskan cengkramannya dan melangkah pergi meninggalkan Shilla yang semakin tersedu. Sudah cukup luka dari Ify. Sudah cukup penolakan Ify membuatnya nyaris gila. Jangan tambahkan lagi dengan cerita pahitnya di masa lalu.

Alvin hanya manusia biasa. Ia tetap punya hati yang bisa mati jika terus-menerus ditiupkan luka. Alvin bertahan karena cinta yang ia yakini sempurna untuk Ify. Tapi tak tahu sampai kapan kekuatannya itu akan mampu membuatnya terus berdiri tegak.

*****

"Happy birthday happy birthday happy birthday Rio..."

Ify menyanyikan dengan lirih lagu selamat ulang tahun di samping tempat tidur Rio. Dengan kue tart berukuran sedang dan lilin berjumlah 18 seperti jumlah tahun kehidupan Rio, Ify tersenyum seraya meniupkan lilin-lilin itu mewakili Rio yang masih terbaring koma. Setitik air mata jatuh dari pelupuknya. Sesak itu kembali dirasakannya.

"Kak Rio, selamat ulang tahun ya. Tuh, kamu udah tua. Jadi harus lebih dewasa lagi. Harus bisa jadi panutan banyak orang. Jadi orang hebat yang berkualitas. Dan..." Ify menggigit bibir bawahnya. Menahan tangis yang memaksa untuk dikeluarkan. Membuat rahangnya bergetar. Dan akhirnya tak lagi tertahan. Air matanyapun jatuh, mengungkapkan kesedihan yang takkan bisa teredam.

"Dan... Cepet bangun, Kak," isak Ify. "Aku kangen."

"Makasih Ifyku sayang. Maaf aku cuman bisa nemenin kamu dengan cara kaya gini." Rio yang sejak tadi berada di sebrang bed, juga tak dapat menahan kesedihannya. Rasanya sakit sekali melihat orang yang kita sayang menangis tersedu, bersedih sepanjang waktu karena kita

Ify meletakan kue tartnya di meja yang di sediakan bagi penunggu pasien. Dan iapun meraih kado yang telah dipersiapkannya jauh-jauh hari.

"Taraaa! Ini kado buat, Kak Rio!" Ify menunjukan sebuah kado yang telah terbungkus cantik di hadapan Rio.

"Karna Kak Rio engga bisa buka, aku aja deh yang bukain." Ifypun membuka bungkus kado itu dan mengeluarkan isinya.

Sebuah sweater berwarna almond, hasil rajutan tangannya sendiri terpampang di hadapan jiwa dan raga Rio.

"Ini aku rajut sendiri. Belajar sama oma sebelum oma meninggal. Khusus buat Kak Rio. Sayang, Kak Rio engga bisa liat."

"Aku bisa liat, Fy. Cantik banget. Makasih ya, Fy." tanggap Rio berbinar. Ia terharu sekaligus bangga. Di saat seperti ini, Ify masih tetap berada di sampingnya. Tak tergoyahkan oleh segala macam kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Rio tak perlu meragukan cinta yang ada pada gadisnya itu. Sudah pasti sempurna.

"Kalo aku balik ke tubuh aku nanti, aku pasti bakalan langsung pake sweater kamu itu, Fy. Pasti!"

Ify meraih tangan Rio lalu dikecupnya tangan itu. Berharap keajaiban terjadi. Lalu menyandarkan pipinya pada punggung tangan Rio yang kini digenggamnya erat. Ify memejamkan matanya. Merasakan desakan rindu yang menyerang hatinya. Berharap dapat mengurangi rasa sesak itu. Meski nyatanya tak sama sekali terbayarkan. Ia ingin memeluk Rio yang hidup, yang berdiri tegak, yang berjiwa. Bukan Rio yang tengah terbaring tak berdaya seperti ini.

*****

Matanya menatap lurus pada objek yang berhasil mengusik hatinya. Tangannya meremas kemeja seragamnya yang mulai mengerut di bagian bawahnya. Entah mengapa melihat Gabriel tengah bercanda mesra dengan seorang gadis di pinggir lapangan, membuat hatinya memanas tak suka.

Merasa tak berhak, membuatnya semakin tak berdaya. Bukan siapa-siapa. Kalimat itu terus terngiang-ngiang membuat emosinya tersulut. Emosi yang tak jelas arahnya. Emosi yang tak seharusnya ada. Emosi yang sama sekali tak pantas. Inilah yang dinamakan cemburu?

Sivia tak yakin jika ia menyukai pemuda itu. Memang intensitas pertemuan mereka terbilang sering -karena Gabriel adalah sahabatnya Alvin. Otomatis Gabriel sering berada di dekat Alvin yang sering menghampiri Ify jika sedang bersamanya. Memang juga tak ada yang spesial dari pemuda itu sampai rasa simpatik dan trenyuh akan perhatiannya mulai menjalari hatinya.

Saat itu, yang terpikir oleh seorang gadis berstatus single seperti Sivia adalah Gabriel merupakan pemuda gentle yang membuat Sivia terlena untuk terus mengkhayalkan sosoknya. Mungkin terlalu cepat. Mungkin masih amat dini untuk meyakini jika Sivia jatuh cinta. Namun apa nama dari keanehan-keanehan perasaannya jika bukan jatuh cinta? Ditambah sesak yang ingin meledak melihat Gabriel kini tengah mengacak gemas rambut gadis di sebelahnya. Membuat Sivia yakin jika ia menyukai Gabriel.

Tidak salahkan? Bukankah wanita adalah makhluk yang paling mudah geer?

"Kalo suka bilang aja kali, gausah diliatin sampe segitunya!"

Sivia tersentak lalu menoleh terkesiap melihat Alvin tengah berdiri di sebelahnya dengan senyum meremehkan yang terlihat begitu merendahkan. Sivia menatap tajam Alvin, tak terima diremehkan seperti itu.

"Jangan pengecutlah jadi orang. Kalo emang suka tegasin! Kejar sampe dapet! Jangan jadi orang bodoh yang cuman bisa meratapi nasib ngeliat orang yang lo suka jatuh ke tangan orang lain," senyum Alvin semakin mengembang, dan keculasannyapun semakin melambung.

Sivia berdesis sinis.

"Lebih mending gue pengecut, cuman bisa ngeliat dari jauh dan ngeratapin nasib. Daripada setan di sebelah gue ini, udah engga tau diri, engga punya hati, keji. Menjijikan," Sivia menumpahkan emosinya dan rasa tak terimanya. Moodnya yang sedang buruk dipancing untuk mengobarkan amarah. Tak ayal, kata-kata pedaspun tumpah ruah untuk pemuda itu.

"Setan ini tidak bodoh. Setan ini mau memperjuangkan apa yang seharusnya dia dapetin!" cecar Alvin yang mulai tersulut.

"Oh iya, ya. Sampe-sampe gatau diri dengan menghalalkan segala cara. Dasar setan! Eh lupa. Setan kan emang licik ya. Mana ada setan yang bisa realistis. Setan kan tempatnya di neraka jahanam! Apalagi yang kerjaannya ngerusak kebahagiaan orang!" timpal Sivia tak mau kalah.

Gantian Alvin yang menatap tajam Sivia. Meski tak terima disindir sakartis seperti itu oleh seorang wanita, Alvin lebih memilih menahan emosinya agar tidak membuat keributan. Bagaimanapun orang-orang tidak akan membela laki-laki yang mengajak ribut seorang perempuan. Alhasil, ia hanya mengepalkan tangannya sekuat mungkin, mengumpulkan seluruh emosinya di sana hingga wajahnyapun ikut memerah.

"Gue ke sini bukan mau nyari ribut sama cewe bego kaya lo!"

"Engga ada juga yang ngundang lo ke sini! Cih!" Sivia benar-benar muak dengan pemuda ini. Terlebih lagi, kini Alvin mecelanya dengan kata-kata kasar. Namun tak berniat sama sekali meladeni Alvin, Sivia berancang-ancang untuk melangkah pergi, sebelum tangan Alvin mencekalnya dan menghentikan langkahnya.

"Apaan sih?! Lepas!"

"Di mana Ify?"

"Masih punya muka lo buat nanya Ify di mana?"

"Gue tanya, mana Ify?! Gue butuh jawaban! Bukan pertanyaan engga guna kaya gitu!"

"Gue enggak akan pernah jawab! Lepasin tangan lo!"

"Jangan paksa gue buat main kasar! Gue engga ada waktu buat ngeladenin lo!"

"HAHAHAHAHAHA! Tuan Alvin yang terhormat, saya tidak pernah berminat sama sekali berurusan dengan anda. Silahkan anda cari sendiri di mana Ify. Jangan pernah libatkan saya untuk menghancurkan Ify. Maaf, saya bukan orang keji yang akan membantu setan menghancurkan sahabat saya sendiri!"

Sivia menyentakkan tangan Alvin sekeras mungkin hingga berhasil melepaskan cengkramannya. Meski tangannya terasa seakan putus karena terlalu kuat menyentak, Sivia tetap bernafas lega dan memilih pergi meninggalkan Alvin. Tak sudi beradu lisan dengan pemuda itu.

"Brengsek!" umpat Alvin meluapkan emosinya. Sesungguhnya Alvin tidak pernah bisa menghirup udara dengan tenang. Sesungguhnya banyak perasaan resah karena ia tau, di setiap langkahnya, orang-orang akan selalu mencibirnya dan mengecapnya tak baik. Meski terkadang lelah, meski terkadang ia ingin berlari pergi, bersembunyi di ujung dunia yang tak dapat ditemui orang lain. Namun nyatanya, ia selalu menepis kembali perasaan-perasaan itu. Menekan segala risaunya sedalam mungkin. Membangkitkan egonya ke puncak. Karena ia yakin, bahagia itu pasti akan berpihak padanya. Tak peduli seberapa panjang jarak yang harus ia tempuh. Seberapa lama waktu yang harus ia lalui. Ia akan menjemput bahagianya dengan cara apapun.

*****

Lapangan indoor itu menggemakan suara pantulan bola yang tak dimainkan oleh si pemilik tangan. Ia hanya memantulkan asal bolanya dengan tatapan yang tak berisi. Raganya di sana, tapi jiwa dan pikiran melayang jauh ke tempat sang kekasih terbaring koma.

Sejak Ify terbangun tadi pagi, ia sudah tidak memiliki semangat untuk menjejaki sekolah kebanggannya ini. Teringat akan Rio dan selalu tentang Rio. Jam-jam pelajarapun hanya Ify lewati dengan termenung, melamun, dan fikiran yang terus saja dipenuhi oleh Rio dan keadaannya serta kemungkinan-kemungkinannya. Hingga jam istirahat yang memakan waktu empat puluh lima menit ini Ify gunakan untuk melarikan diri guna menyegarkan pikirannya yang benar-benar keruh saat ini.

Ify mendesah membuang sesak yang tak juga mereda. Sesak dan sakit yang terlarut dengan sebuah ketakutan besar membuat hidupnya seakan terhenti. Bayang-bayang akan kemungkinan buruk itu selalu menghantui dan tak dapat disergah dengan mudah. Meskipun doa selalu terpanjat, tetap saja tak semudah itu berpasrah. Ify terus berharap agar Rio kembali bangun dan tersenyum lagi untuknya.

"Kak Rio...." lirih Ify seraya memeluk erat bola basket itu. Tak peduli jika kuman dan debu dari bola itu berpindah ke bajunya. Ia hanya butuh sandaran. Ia butuh pelampiasan emosi. Ia butuh tubuh untuk dipeluk. Ia butuh Rio.

"Aku kangen liat Kak Rio main basket," Ify teringat kembali akan permainan basket Rio yang selalu menimbulkan decak kagum dari para siswi. Rio memang jago dalam bidang itu. Dan basket membuat Rio terlihat semakin mempesona. Basket adalah salah satu kesukaan Rio. Maka dari itu, memeluk bola itu sama saja memeluk Rio. Meski tak sama sekali mengurangi kerinduannya.

"Aku di sini, Fy."

Rio berdiri di hadapan Ify yang kini tengah menyandarkan punggungnya ke tiang basket. Entah bagaimana caranya menyampaikan pada gadisnya jika ia selalu ada bersama Ify. Ia ingin sekali memberitahu Ify dan membuat Ify melihatnya. Namun ia tak memiliki daya akan itu.

"Kalo aja kamu tau aku selalu ada di deket kamu, Fy."

Kali ini Rio berjongkok di hadapan Ify. Tangannya terjulur untuk menyentuh pipi Ify. Namun tetap tak teraih. Tangannya menembus wajah gadis itu. Rio mendesah kecewa.

Semilir angin menyapa wajah Ify. Membuat Ify mendongak seketika. Dari mana asal angin itu, sedangkan ruangan ini besar dan tertutup? Hanya ada ventilasi kecil di setiap dindingnya. Dan tak mungkin angin itu sampai ke wajahnya yang berjarak amat jauh dengan ventilasi-ventilasi itu. Ify lantas menatap ventilasi satu per satu. Seolah mencari jawaban atas fikiran-fikiran mistisnya. Ia hanya sendiri di dalam sana tanpa kipas angin atau pendingin ruangan. Dan satu-satunya hal yang terlintas dipikirannya hanya suasana yang tiba-tiba berubah mencekam.

Ify lantas bangkit dan membuang asal bola basket itu. Membuat Rio ikut bangkit. Ia tau Ify pasti berfikir ruangan ini berhantu. Riopun terkekeh melihat ekspresi tegang dari wajah Ify.

"Aduh sayang, kamu ini lucu banget sih kalo lagi ketakutan gitu. Kalo hantunya seganteng aku, kamu masih takut juga?" Rio semakin terkikik.

Ify hendak berlari sebelum terdengar pintu besar di salah satu sisi terbuka. Ify dan Rio menoleh seketika. Jantung Ify berdebar. Sampai akhirnya muncul sosok Alvin yang langsung membuat Ify bernafas lega sekaligus jengah tak suka.

"Fy!" seru Alvin yang langsung mengambil langkah seribu melihat Ify berbalik badan. Ia tau Ify hendak keluar melalui pintu di sisi lain untuk menghindarinya. Namun akhirnya Alvin beruntung karena tangannya mampu menggapai tangan Ify yang berusaha berlari. Ify berontak saat tiba-tiba langkahnya dihentikan paksa oleh cengkraman tangan Alvin.

"Lepas!" teriak Ify seraya berusaha melepaskan cekalan tangan Alvin.

"Fy, kasih gue kesempatan! Dengerin gue!"

"Enggak! Sampai nyawa gue dicabutpun, gue enggak akan sudi ngasih lo kesempatan! Lepasin gue!"

"Harus berapa kali lagi sih, Fy, gue memohon?! Harus dengan cara apalagi gue yakinin lo?!"

"Harus berapa kali lagi sih gue nolak lo?! Dan harus dengan cara apalagi gue tegasin ke elo kalo gue benci sama lo?!" balas Ify tajam.

"Enggak! Lo ga boleh benci sama gue!"

"Gue benci sama lo!" Ify kembali meronta berusaha melepaskan cekalan tangan Alvin yang justru semakin menguat. Membuat pergelangan tangannya terasa perih dan memanas.

"Enggak! Lo harus cinta sama gue!" tegas Alvin tak ingin dibantah. Ia semakin mengunci tangan Ify.

"Lepasin gue!" Kali ini Ify barengi dengan rintihan samar yang tak terbaca Alvin. Ify mulai kehabisan cara dan lelah. Namun ia tak akan membiarkan Alvin menang.

"Diem, Fy! Semakin lo berontak, semakin tangan lo sakit!"

"Lo jahat! Lo iblis! Lo enggak punya hati!" cerca Ify bengis. Kemuakannya merandang. Kebenciannya membara.

"Lo yang jahat! Lo ngebiarin gue ngemis-ngemis cinta lo tanpa lo sambut sedikitpun! Lo yang jahat dan lo yang udah ngerubah gue jadi kaya gini!" timpal Alvin keras.

"Gila!"

"LO YANG UDAH BUAT GUE GILA!!" bentak Alvin membuat Ify tersentak. Ify sontak terdiam dan air matanya mengalir seketika.

"Kak Rio enggak pernah memperlakukan gue sekasar ini," lirih Ify menunduk. Semenjak tadi ia menahan agar tidak menangis karena teringat Rio. Namun tak lagi dapat ditahannya kesakitan ini. Teringat akan Rio yang selalu menjaganya dan melindunginya dengan baik. Tak pernah ada bentakan seperti ini. Ify tak suka dibentak. Ify tak suka dipaksa. Tapi Alvin selalu melakukan itu. Isakan Ifypun semakin mengeras.

Rio tak sanggup lagi berdiam diri. Dengan penuh emosi, dirasukinya tubuh Alvin hingga membuat raga Alvin mengejang hebat. Ify terlonjak. Dan perlahan cekalan tangan Alvin merenggang hingga akhirnya terlepas. Ify membelalak takut.

"Kkk...kkakk Al..vin..." panggil Ify takut saat Alvin berhenti mengejang. Mata Alvin menatap lurus pada Ify dan perlahan tersenyum manis tak seperti biasanya.

"Fy,"  panggil Alvin lembut yang terdengar aneh namun tak asing. Alvin tak pernah memanggilnya selembut itu. Setiap kata atau kalimat yang keluar dari mulut Alvin adalah paksaan dan bentakan yang tak akan pernah bisa sampai ke hatinya. Namun panggilan ini terasa berbeda.

"Fy, kamu enggak apa-apa?"

Ify mengernyit. Kamu? Sejak kapan Alvin menggunakan kata kamu padanya? Sejak kapan nada bicaranya tanpa teriak dan penuh penekanan? Sejak kapan Alvin bisa bertanya bagaimana keadaannya setelah pemuda itu membentaknya tanpa perasaan?

"Lo kenapa?" Ify bertanya balik. Takut-takut, Ify melangkah mundur. Perubahan secara tak terduga itu membuat sel-sel otak Ify tak mampu mencerna apa yang sedang terjadi ini.

"Jangan takut, Fy. Aku akan jaga kamu. Selalu." Rio yang kini berada di dalam raga Alvin maju mendekati Ify yang semakin melangkah mundur. Rio tau Ify takut padanya karena kini yang dilihatnya adalah sosok Alvin, bukan dirinya. Namun Rio tak gentar. Ia hanya ingin bisa menyentuh gadisnya meski dengan raga orang lain.

"Apasih?! Jaga apa?" tanya Ify dengan intonasi meninggi. Tak suka dipermainkan seperti ini. Tak suka dibuat tak mengerti.

Ify akhirnya mencapai batas melangkahnya dan terpojok di dinding. Rio melangkah pelan namun tegas dan langsung mengunci gadisnya itu dengan kedua tangan yang ia tumpukan di masing-masing sisi tubuh Ify. Ify menelan ludah dengan susah payah. Dengan lirikan, Ify mencoba melihat ekspresi Alvin yang akhirnya berhasil membuatnya tak berkutik. Jarak yang amat dekat itu membuat Ify dapat mencium aroma tubuh pemuda itu.

Dan lagi-lagi rasa nyaman itu sayup-sayup mulai menyusupi hatinya dan menjalari setiap aliran darahnya. Mata itu mengikat erat matanya. Terpaku tak dapat teralih. Mata yang begitu teduh, membuat rindu itu semakin merasuk. Menyiksa tak berkesudahan. Dan anehnya, Ify menikmatinya. Menikmati setiap getaran yang hanya untuk Rio. Menikmati keteduhan yang hanya milik Rio. Mengapa Alvin mampu menciptakannya?

"Fy, aku sayang sama kamu. Kemarin, sekarang, dan sampai waktu yang tak terbatas. Selama Tuhan mengizinkan itu. Selama aku mampu mencintai kamu. Selama jantung ini berdetak hanya untuk membuat kamu bahagia. Selama hanya senyum kamu yang jadi dasar kebahagiaan aku. Selama itu aku akan selalu hidup di hati kamu. Jadi bunga cinta yang abadi. Untuk kamu. Cuman untuk kamu, Fy," dengan bisikan tegas yang terlontar dari bibir Alvin, Rio berharap Ify bisa mengerti jika ia memcintainya teramat dalam. Entah, selalu kata cinta yang ingin diucapkannya. Tak mungkin berkata jika ia adalah Rio, membuat rindu itu menguasainya sedemikian rupa.

Ify tercengang. Tak mampu lagi membalas ungkapan tulus itu. Dan pada akhirnya, Ify hanya bisa menunduk dalam-dalam untuk mengusir perasaan-perasaan aneh yang menggelayutinya kini. Kenyamanan itu membungkamnya. Sampai akhirnya Ify merasakan sebuah tangan menyentuh punggungnya, lalu menelusurinya hingga terhenti di pinggangnya. Ify merinding. Namun tak mampu melawan. Dan Rio menariknya mendekat untuk menghapus sela tipis yang tersisa. Dikecupnya lembut kening Ify dan menahannya sesaat. Meresapi setiap cinta yang menggelora. Menggali rindu terdalam untuk dicurahkan kepada pemiliknya.

Ify menegang. Merasakan bibir itu menyentuh keningnya. Benci, tak suka. Tapi sial, ia tak bisa melawan. Dan semakin sial, karena Ify bahkan menikmatinya. Ify memejamkan matanya. Merasakan kehangatan mendalam yang merambati dinding-dinding hatinya. Menggelorakan rindu yang menjebaknya. Rindu yang hanya untuk Rio.

Tidak! Ini tidak biaa dibiarkan. Rindu ini hanya milik Rio! Kenyamanan dan kehangatan ini juga hanya milik Rio! Tidak untuk siapapun apalagi Alvin! Ini jebakan! Ia tidak boleh mengkhianati Rio! Karena cinta itu hanya pantas dimiliki Rio! Hanya untuk Rio!

Dengan bibir yang bergetar kuat menahan tangis semampunya, Ify mebuka matanya dan mendorong kuat tubuh Alvin. Membuat tubuh itu hampir saja terjengkang. Dan Ify tak sanggup lagi menekan tangisnya yang seketika pecah. Membahana di ruangan olahraga indoor itu.

"Lo!" tunjuk Ify dengan isakan. Rio terkejut sampai memundurkan kepalanya beberapa centi. Hatinya mencelos melihat tatapan tajam Ify.

"Jangan pernah berharap bisa dapetin cinta gue! Jangan pernah! Cuman Kak Rio yang berhak! CUMAN KAK RIO! Inget itu!!!" tutur Ify penuh penekanan di setiap katanya. Menegaskan untuk yang kesekian kalinya pada Alvin, jika hatinya hanya milik Rio.

Setelah berkata seperti itu, Ify memutar tubuhnya dan segera berlari pergi. Seraya menghapus air matanya yang masih saja mengalir tak mau berhenti. Ify benci merasakan ini. Tak mungkin hatinya akan terbagi. Hatinya tetap utuh untuk Rio. Tetap hanya milik Rio. Kenyamanan samar itu... bukan! Ia hanya terlalu rindu pada sosok Rio. Membuatnya selalu terbawa perasaan.

Rio melepaskan diri dari raga Alvin. Membuat tubuh Alvin mengejang sesaat dan limbung.

"Fy! Ify!" Alvin berusaha mengejar meski entah kenapa tubuhnya terasa amat lelah. Dengan sekuat tenaga Alvin berlari mengejar meski akhirnya tak sanggup lagi menyusul. Tubuhnya amat lelah. Seakan energinya baru saja terkuras habis. Dengan sisa kekuatan, Alvin melangkah menuju ke dalam kelasnya.

Rio menatap keduanya dengan senyum simpul. Bangga akan gadisnya yang begitu hebat mencintainya. Rio tau ia tak bisa pergi. Ia tau ada Ify yang harus selalu ia jaga. Ada Ify yang membutuhkannya. Maka, tak akan ia pergi sebelum segalanya menjadi indah dengan sempurna. Mencintai Ify. Membawanya selalu dalam rajutan doa yang tiada pernah putus. Untuk satu kebahagiaan abadi yang menjadi tujuannya. Tujuannya terus hidup meski raganya tak lagi mampu. Dan suatu hari ia yakin, Tuhan akan mengembalikan kehidupannya lagi.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment