Wednesday, March 25, 2015

Pilihan Hati (Part 5)



Part 5

Laki-laki bermata sipit itu memangku gitar yang diambilnya dari ruang OSIS. Ia tau itu adalah gitar milik Rio yang memang sering dititipkan di ruang OSIS. Karena sayang jika dibiarkan menganggur, Ia lah yang akhirnya mengambil alih gitar itu.
Sambil duduk di taman menikmati semilir angin pagi yang sangat menyejukan, Ia memetik gitarnya asal. Mencari lagu yang kira-kira cocok untuk dimainkan olehnya di pagi hari yang masih sejuk ini. Sejak lima belas menit yang lalu, Ia belum menemukan lagu yang pas untuk dimainkannya.
Sedikit frustasi karena bingung, akhirnya Alvin menghentikan permainan tak terarahnya itu. Alvin menghela nafas berat. Bosan. Ketika pelajaran ditiadakan seperti ini, Ia selalu bingung untuk mengisinya dengan apa. Padahal jika ada pelajaranpun, Ia malas. Huft. Alvin memikirkan apa yang kira-kira bisa dilakukannya.
"Kak Alvin."
Tiba-tiba seseorang memanggil Alvin. Alvinpun menoleh menatap gadis yang kini sedang berdiri di sebelah kanannya.
"Eh, hai, Vi," Alvin tersenyum melihat Via.
"Lagi ngapain, Kak? Kok kaya orang bingung gitu?" tanya Via yang kini sudah duduk di sebelah Alvin.
"Iya, Vi, gue bingung mau ngapain," jelas Alvin.
"Loh, itu kakak bawa gitar? Kenapa nggak dimainin aja?" tanya Via menunjuk gitar yang sedang dipangku Alvin.
Alvin menatap gitar yang masih dipangkunya itu. "Bingung mau nyanyi lagu apa. Hehe," Alvin nyengir lalu menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Via terkekeh.
"Yeeee, si kakak mah. Sini gue aja yang main. Daripada bingung," Via mengambil gitar itu.
Alvin memperhatikan Via yang kini sedang menyetel gitar tersebut. "Bisa main gitar, Vi?" tanya Alvin.
Via mengangguk. "Pernah bisa. Mudah-mudahan aja sekarang masih bisa," Alvin mengangguk-ngangguk.
Via mulai menggenjreng gitarnya. Memulai intro awal lagu. Ternyata Ia masih bisa. Via tersenyum sendiri. Iapun mulai bernyanyi.

"Bila cinta mengunggah rasa
begitu indah mengukir hatiku
menyentuh jiwaku
hapuskan semua gelisah

Duhai cintaku, duhai pujaanku
datang padaku dekat di sampingku
kuingin hidupku
selalu dalam peluknya

Terang saja aku menantinya
terang saja aku mendambanya
terang saja aku merindunya
karna dia, karena dia begitu indah

Duhai cintaku, pujaan hatiku
peluk diriku, dekaplah jiwaku
bawa ragaku melayang
memeluk bintang

Terang saja aku menantinya
terang saja aku mendambanya
terang saja aku merindunya
karna dia, karena dia begitu indah"

(Padi - Begitu Indah)

Alvin menatapnya tanpa berkedip. Demi apapun permainan Via tadi terdengar sangat indah. Suaranya yang merdu, benar-benar membuat Alvin merinding dibuatnya. Permainan gitarnyapun sangat baik, tidak ada nada yang meleset.
Via menunduk malu. Ia sadar sejak tadi Alvin tak henti memperhatikannya. Lagu yang dibawakan, bukanlah tanpa arti. Lagu itu seperti ungkapan hatinya. Keinginannya. Hasratnya. Apa yang dirasakannya. Terangkum dalam lagu itu. Meskipun Ia tau, Alvin takkan mungkin mengetahui maksud dari Via memilih lagu itu.
PROK PROK PROK
"Keren banget, Vi," puji Alvin sambil bertepuk tangan setelah sadar dari keterpesonaannya.
Via menoleh menatap Alvin. Lalu tersenyum. "Makasih, Kak."
Alvin mengangguk sambil mengacungkan kedua jempolnya.
Tiba-tiba saja sebuah suara yang terdengar tak jauh dari tempat Alvin dan Via mengagetkan mereka berdua. Suara seseorang yang sepertinya tengah mengamuk. Alvin dan Via celingak-celinguk mencari di mana sumber suara tersebut. Siapa yang tengah mengamuk di taman pagi-pagi seperti ini?
Alvin memicingkan matanya. Memastikan apakah yang dilihatnya itu benar atau tidak. Matanya melebar mendapati seorang gadis yang sangat dikenalnya kini tengah menendang-nendang kursi taman yang terbuat dari batu itu. Penampilannya benar-benar acak-acakan.
Alvin langsung berdiri dari duduknya, lalu berlari menghampiri gadis itu. "Shilla!!!"
Via yang kaget tiba-tiba Alvin pergipun ikutan bangkit.
"Kak Alvin, mau ke mana?" teriak Via. Namun Alvin tak menjawab, tetap berlari menghampiri gadis yang berteriak seperti mengamuk tadi. Via mendengus kecewa.
*****

Shilla berlari melewati koridor sekolah yang selalu ramai jika jam sedang kosong. Tak menghiraukan tatapan orang-orang yang bertanya-tanya. Air matanya Ia biarkan terus terlampiaskan, menyeruak keluar dari matanya terus-menerus. Rasanya sakit sekali.
Setelah sekian lama Ia mencoba bersabar menghadapi respon Rio, beginikah balasan yang harus didapatkannya? Rasa sakit yang seperti menyayat hatinya itu kini tengah menggoreskan luka yang terasa sangat pedih.
Shilla terus berlari entah ke mana. Mengikuti kakinya, kemanapun kakinya itu ingin melangkah. Ia tak perduli dengan apapun sekarang. Yang ada dibenaknya kini, Ia hanya ingin berteriak melampiaskan seluruh perih hatinya. Mengapa Rio begitu jahat padanya? Apa salahnya hingga Rio sebegitu ilfeel padanya?
Di sini sekarang kakinya berhenti melangkah. Di taman sekolah. Tempat yang cukup ramai, namun cukup menenangkan. Shillapun menendang kursi yang terbuat dari batu yang ada di hadapannya. Tak perduli rasa sakit yang mulai menggerogoti kakinya. Tak perduli dengan tatapan orang-orang di taman yang mulai memperhatikannya kembali.
"Aaaargh!! Gue benci!! BENCI!!!!! Jahat!!!! JAHAAAAAAT!!!!" teriak Shilla.
"Kak Riooooo, lo jahaaaaaat!!!"
Shillapun memukul-mukulkan tangannya ke sebuah pohon besar yang terletak di sebelah kirinya. Melampiaskan sakit hatinya. Membayangkan jika pohon itu adalah Rio. Dipukulinya tanpa ampun pohon besar itu. Dan lagi-lagi, Ia kembali tak memperdulikan tangannya yang mulai mengeluarkan darah.
"Shilla!!!"
Shilla tak menghiraukan teriakan itu. Ia tetap memukul pohon itu. Jika pohon itu manusia, mungkin sudah sekarat di rumah sakit akibat pukulan Shilla yang tanpa ampun itu.
"Shilla! Shel! Stop! Lo kenapa?!"
Alvin, segera menghentikan perbuatan gila Shilla itu karena melihat tangan Shilla yang sudah mengeluarkan banyak darah. Ditariknya Shilla dari pohon itu. Lalu diputar tubuhnya menghadap kepadanya.
"Lepasin gue! LEPAS!!" bentak Shilla berusaha meronta dari pegangan Alvin. Namun Alvin mencengkram bahu Shilla lebih kuat lagi. Shilla tetap meronta dengan sekuat tenaga. Ia mencoba mendorong Alvin dengan kedua tangannya. Namun karena tenaga Alvin lebih kuat darinya, akhirnya semua itu hanya menjadi usaha yang sia-sia.
"Lo kenapa sih?!" tanya Alvin sedikit memaksa.
"LEPASIN GUE!!!" bentak Shilla lagi.
"Jelasin sama gue, lo kenapa?" paksa Alvin serata menggoyang pelan kedua bahu Shilla.
"Nggak usah sok peduli deh lo sama gue! Gue nggak butuh! Lepasin gue!" Teriak Shilla histeris.
"Enggak, gue nggak akan lepasin lo!"
"Lepasin!!"
"Enggak akan!!!"
"LEPASIN GUE!!"
"ADA APA SIH SAMA LO SHEL?! JAWAB GUE! JELASIN KE GUE!!! KENAPA?! KARNA RIO?! IYA?! SHILLA! STOP NGELAKUIN HAL GILA KARNA RIO! BERENTI NGEJAR DIA! BERENTI BERUSAHA NGEGAPAI MATAHARI, KARNA LO NGGAK AKAN PERNAH DAN NGGAK AKAN MUNGKIN BISA NYENTUH MATAHARI!!" bentak Alvin dengan nada yang semakin meninggi seraya menggoyangkan kedua bahu Shilla. Berusaha menyadarkan Shilla dari kekalapannnya. Juga menyadarkan Shilla dari obsesinya, mendapatkan Rio.
Shilla berhenti berontak. Tubuhnya melemah. Tangisnyapun melemah. Hanya tersisa isakan dan bahunya yang bergetar. Rasa sakit itu seperti menghimpit hatinya. Tak memberinya ruang untuk berfikir jernih. Sesak.
Shilla menggeleng-geleng lemah. Entah apa yang dipikirkannya kini. Yang Ia tau, ucapan Rio tadi benar-benar menusuknya. Rasa sesak kini merajai hatinya. Dan Shilla tak tau harus berbuat apa.
Setelah memastikan Shilla sudah sedikit tenang, Alvin merengkuh Shilla. Menarik Shilla ke dalam dekapannya. Membiarkan Shilla menumpahkan sisa-sisa luka hatinya di dadanya, di dalam dekapannya. Hati Alvin teriris, melihat Shilla seperti tak berdaya jika sudah menyangkut urusan Rio. Padahal setaunya, Shilla adalah gadis yang kuat dan pemberani.
"Kenapa Kak Rio nggak bisa ngeliat gue sedikitpun? Kenapa?" lirih Shilla dalam pelukan Alvin. Alvin semakin memepererat pelukannya. Mencoba menyalurkan sebuah kekuatan untuk Shilla.
Kacau. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Shilla. Sangat kacau bahkan. Bukan hanya hatinya, penampilannyapun sudah tak berbentuk. Hati Alvin berontak. Melihat Shilla terluka sebegininya. Rasa tak terima melihat gadis yang disayanginya sejak hampir setahun yang lalu itu menyergapnya.
'Rio harus bertanggung jawab atas semua ini,' serunya dalam hati.
Alvin melepaskan pelukannya. Menyentuh kedua bahu Shilla. Menatap Shilla yang tangisnya sudah mereda tergantikan oleh isakan. Shilla menunduk.
"Udah jangan dipikirin lagi. Riokan emang kaya gitu orangnya."
Meskipun Alvin tak tau apa yang telah Rio lalukan terhadap Shilla, namun Alvin tau Rio telah melakukan sesuatu terhadap Shilla. Tak mungkin jika Shilla melakukan semua ini tanpa alasan. Dan Alvin tau pasti alasan Shilla dibalik semua ini pasti tak lain dan tak bukan adalah Rio.
Shilla mengangguk lemah. Alvinpun menuntun Shilla ke kantin. Siapa tau dengan meminum segelas teh hangat, hati Shilla bisa sedikit lebih tenang.
Via menyaksikan semua adegan yang terjadi di depan matanya tadi dengan hati yang porak poranda. Bagaimana bisa Alvin sebegitu perhatiannya dengan Shilla? Pelukan itu. Hatinya panas. Jika di kepalanya ada cerobong uap, pasti uap-uap itu sudah mengepul di atas kepalanya. Via menghela nafas berat.
Apa iya Alvin menyukai Shilla? Apa iya cintanya takkan mungkin bisa terbalaskan? Apa iya? Apa benar firasatnya? Melihat perhatian Alvin pada Shilla tadi yang menurutnya terlalu over untuk status yang hanya teman tanpa 'rasa' lain.
Ya Tuhan... Jangan hancurkan mimpi itu. Tak dapat dipungkiri jika Ia merasakan sindrom yang orang sering sebut dengan cemburu. Tapi apa haknya? Memikirkannya, Via menghentakkan kakinya ke tanah. Kesal, resah, takut. Semua bercampur menjadi satu dalam hatinya.
Viapun berbalik badan dan pergi dari sana. Mencari tempat atau suasana yang pas untuk mendinginkan hatinya yang kini tengah terbakar. Terbakar cemburu.
*****

Dengan susah payah, Ify membawa figura berukuran 70 x 50 cm itu ke arah gudang. Bukan hanya berat. Namun figura yang berisikan foto Presiden Indonesia itu juga sudah berdebu. Menyesal sekali Ify tadi melewati ruang guru. Kalau saja tadi Ia memutar arah, pasti Ia tidak akan bertemu dengan Pak Wibowo, kepala sekolah Global Bintang. Dan kini Ia pasti sudah duduk santai di kursi kelas.
"Heuh, Pak Bowo ada-ada aja nih nyuruh gue. Emangnya nggak ada cowok apa ya yang bisa disuruh bawain beginian," gerutu Ify yang sedang menggotong bingkai besar itu dengan tertatih-tatih.
Sampailah Ify di depan gudang. Yang letaknya dipojokan gedung sekolah. Ify mencoba membuka pintu gudang. Didorongnya pintu yang seperti tak terurus itu. Berat sekali. Ify jadi kerepotan sendiri. Dicobanya berulang kali, namun tetap saja usahanya gagal.
"Errgh, ini pintu ampun deh. Dilemin apa ya? Heuh," gerutu Ify lagi sambil memeluk figura itu. Akhirnya Ify menyerah. Ia pun menyenderkan tubuhnya di pintu tersebut.
Namun tiba-tiba saja pintu itu terdorong, dan terbukalah pintu gudang. Hampir saja Ify terjatuh jika Ia tidak cepat-cepat berdiri tegak.
"Dasar pintu aneh. Tadi giliran gue buka-buka gak bisa. Sekarang mau bikin gue jatoh," lagi-lagi Ify menggerutu merutuki kekagetannya yang hampir saja jatuh karena pintu yang tiba-tiba terbuka.
Ifypun melangkahkan kakinya memasuki gudang itu. Gudang itu sebenarnya tidak begitu menyeramkan seperti yang ada di cerita-cerita horor kebanyakan. Gudang itu tertata dengan rapi. Hanya saja lampunya yang sedikit redup itu membuat ruangan tempat menyimpan barang yang sudah tak terpakai itu menjadi remang-remang.
Ify melangkah menuju ke salah satu sudut gudang. Dimana terdapat rak yang lumayan besar yang digunakan untuk menyimpan figura-figura foto berbagai ukuran. Dan figura yang seukuran dengan ukuran figura yang Ify bawa, berada di rak yang paling atas. Ify menghela nafas kesal. 'Merepotkan saja.' pikir Ify.
Ify mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru gudang. Dicarinya sesuatu yang bisa digunakan untuk naik. Dan matanya melebar ketika melihat tangga di pojokan gudang. Diambilnya tangga itu. Lalu diposisikan dengan benar. Setelah siap, dengan hati-hati Ifypun naik ke atas dengan membawa figura itu. Setelah sampai di atas, Iapun meletakkan figura itu.
"Akhirnya."
Senyum Ify mengembang. Iapun lekas turun ke bawah karena tidak tahan dengan debu yang begitu banyak di atas sana. Baru saja Ia mau menurunkan kakinya ke anak tangga yang berikutnya, tiba-tiba saja bola berwarna orange yang entah darimana datanganya itu menghantam kepalanya.
DUUGH
"Aaaw!" pekik Ify. Seketika itu juga, Ia merasakan kepalanya seperti diketuk-ketuk palu. Tubuhnyapun kehilangan keseimbangan. Iapun oleng di atas tangga.
"Aaaa aaa aaaah huaaaaaaaa!" teriak Ify yang akhirnya jatuh dari ujung anak tangga paling atas yang tingginya hampir dua setengah meter itu. Ify memejamkan matanya karena shock dengan apa yang baru saja terjadi dengannya. Namun Ify tak merasakan tubuhnya membentur lantai. Tapi Ia juga tak melihat bahwa ada benda apapun di bawahnya tadi yang dapat menyelamatkannya. Lantas? Jatuh ke mana Ia?
Perlahan Ify membuka matanya. Diperhatikannya wajah seseorang yang ternyata ketika insiden tadi dengan sigap menangkapnya. Dan matanya langsung saja melebar menyadari siapa yang telah menolongnya itu.
"Kak Rio.......," panggilnya sedikit terbata karena kaget menyadari kini Ia tengah dalam gendongan Rio.
DEG.
Tiba-tiba saja perasaannnya menjadi tak karuan melihat wajah Rio dari jarak sedekat itu. Jantungnya berdegup kencang tak terkendali. Seluruh tubuhnya terasa panas. Dan seperti banyak kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya, menggelitiknya.
Ada satu hal yang sejak awal bertemu Rio sudah diakuinya dalam hati namun Ia selalu saja mencoba mengelaknya. Ternyata benar kata para siswi di sekolah. Rio sangat manis. Wajahnya meneduhkan. Apalagi jika dilihat dalam jarak sedekat ini.
Memikirkannya, jantung Ifypun nyaris lompat dari tempatnya, saking kencangnya debaran jantung Ify. Ia berharap, Rio tak merasakan debaran dahsyat itu. Walaupun Ia tau, kecil kemungkinan bila Rio tak merasakannya.
Ify lebih merinding lagi kala hidungnya menangkap aroma tubuh Rio yang katanya mampu menghipnotis setiap wanita yang menghirupnya. Dan lagi-lagi Ify menyetujui pernyataan itu. Aroma tubuh Rio membuat hatinya tergilitik. Ia merasakan kedamaian yang tak pernah Ia rasakan sebelumnya. Aroma itu begitu menenangkan hatinya.
Menyadari Rio mengernyitkan keningnya melihat Ify yang terlongo-longo memandangnya, Ifypun kembali sadar akan dunia nyatanya. Dan merutuki pikirannya tadi.
"Turunin gue!" bentak Ify tiba-tiba membuat Rio terlonjak kaget dan reflek menjatuhkan tubuh Ify.
"AAAAAAWW!!" teriak Ify sambil memegangi pinggangnya yang serasa lepas dari tubuhnya itu. Mengingat Rio yang melakukannya dan laki-laki itu hanya membelalakan mata menyadari apa yang baru saja diperbuatnya pada Ify, Ifypun menatap tajam laki-laki hitam manis itu.
Ify berusaha bangkit dengan susah payah, karena tulang duduknya terasa sakit sekali.
"Heh, cowok belagu! Lo buta apa ya?! Bantuin gue bangun kek! Masya Allah, salah apa sih punya kakak kelas sedableg lo! Sakit ini punggang gue Kak Rio!" omel Ify dengan gemas melihat Rio hanya diam saja, tak bereaksi sama sekali.
"Maaf. Lagian lo ngagetin gue tiba-tiba teriak," ujar Rio datar, tanpa rasa penyesalan dan malah seakan menyalahkan Ify atas apa yang terjadi tadi.
Mendengar ucapan Rio tadi, Ify menjadi geram sekali. Ingin rasanya meninju wajah tak berekspresi Rio itu kalau tidak ingat Ia sangat malas berurusan dengan Shilla. Karena pasti Shilla akan mencarinya jika terjadi apa-apa dengan Rio. 'Menyebalkan,' cibir Ify dalam hati.
Ify memutar tubuhnya. Mengambil bola basket yang Ia yakini siapa pemiliknya itu. Bola berwarna orange yang entah darimana datangnya, yang tiba-tiba saja menghantam kepalanya. Membuatnya hampir mati atau minimal patah tulang jika saja tak ada Rio tadi.
"Ini pasti bola lo kan? Lo dendam banget ya sama gue sampe bikin gue nyaris mati gara-gara jatoh dari atas sana?! Nggak fair lo!" tuduh Ify langsung dan memukul dada Rio dengan bola itu.
Rio sedikit meringis akibat dadanya yang dihantam bola basket oleh Ify. Biar bagaimanapun Ify itu jago main basket. Jadi hantaman bola tadi cukup membuat dada Rio nyut-nyutan.
"Lo tuh bukannya terima kasih udah gue tolongin, malah nuduh gue yang enggak-enggak kaya gitu. Kalo nggak ada gue tadi mau jadi apa lo?! Tau kaya gitu tadi gue biarin aja badan lo remuk gara-gara ciuman sama lantai."
"Kalo bukan gara-gara bola basket jelek lo ini juga gue nggak bakalan jatoh tadi, manusiaaaaaaa," ucap Ify geregetan melihat cara bicara Rio seolah-olah Ia adalah pahlawan yang sangat berjasa terhadap bangsa dan negara.
"Terserah lo deh. Males gue ribut sama cewek aneh kaya lo," kata Rio dengan nada malas dan tak perdulinya. Riopun mengambil bola basketnya yang tergeletak di lantai semenjak Ify menghantam dadanya dengan bola itu. Lalu Ia melangkah hendak keluar gudang.
Ify menghela nafas jengkel. Dosa apa dia dipertemukan dengan manusia secuek dan tak seacuh itu terhadap sekelilingnya. Merasa seperti tak ada orang lain yang hidup di bumi ini selain dia. Gerutu Ify dalam hati sambil menatap dongkol Rio yang sedang mencoba membuka pintu gudang.
"Kok nggak bisa dibuka sih pintunya?" tanya Rio setelah berulang kali mencoba membuka handle pintu gudang, namun tetap tidak mau terbuka.
"Serius lo Kak?" tanya Ify balik mendengar suara handle pintu yang dipaksakan agar terbuka pintunya oleh Rio. Ifypun menghampiri Rio dengan langkah pincang-pincang karena tulang duduk dan pinggangnya yang masih terasa nyeri itu.
"Lo coba aja deh," suruh Rio ketika Ify sudah berada di sebelahnya.
Ifypun mengikuti suruhan Rio itu. Berkali-kali Ify membuka handle pintu agar pintu itu terbuka. Namun usahanya gagal total karena memang pintunya tak dapat dibuka.
"Yah... Kok gak bisa sih? Jangan-jangan pintunya rusak. Atau.....," Ify menyerah lalu menatap Rio dengan sedikit panik. Ia menggantung ucapannya yang membuatnya semakin panik.
"Apa?" tanya Rio yang penasaran dengan apa yang terlintas di benak Ify. Apa sama seperti yang Ia pikirkan?
"Jangan-jangan kita dikunciin lagi. Huaaaaaaaa," Ifypun makin panik mendengar pernyataan yang ia lontarkan barusan. Membuat Rio menghela nafas jengah.
"Nggak usah lebay deh. Ada hape kali. Telpon kan bisa."
Riopun mengeluarkan Blackberrynya dari saku celana dan langsung mengumpat ketika mencoba menyalakan handphonenya yang ternyata tak mau menyala sama sekali. Ia hampir saja membanting handphone itu ketika mengingat betapa bodohnya Ia semalam lupa mencharge smartphone yang sangat boros baterai itu jika Ify tidak menahannya.
"Jangan main banting juga kali," cibir Ify melihat kelakuan Rio yang ternyata suka main asal banting barang berharga jika sedang emosi. Pantas saja Ia melihat Rio memegang handphone yang berbeda dari yang minggu lalu Ia lihat. Ternyata gara-gara suka dibanting-bantingin.
'Dasar manusia gak punya rasa syukur,' cibir Ify lagi namun kali ini dalam hati.
"Pake hape gue aja kalo gitu," Ify meraba saku di kemejanya. Namun ternyata saku itu tak ada isinya. Seketika rasa panik kembali menyergapnya.
            "Loh loh? Hape gue mana? Masya Allah!" Ify menepuk dahinya membuat Rio mengernyitkan kening melihat tingkah gadis di hadapannya ini. "Tadikan hapenya gue taro di tas," sesal Ify.
Lagi-lagi Rio menghela nafas, kesal.
"Huaaaa, masa gue harus ke kurung di sini semaleman? Sama lo lagi?! Huaaaa," Ify histeris sendiri mengingat jika biasanya penjaga sekolah akan membuka pintu gudang pada pukul sembilan pagi. Ify menyenderkan tubuhnya pada pintu gudang.
"Kak Rio, cari cara dong!" suruh Ify yang melihat Rio hanya mendrible bola dengan tenangnya. Seolah Ia sedang bermain di lapangan, bukan terkunci di gudang.
"Lo mau gue dobrak ini pintu dan besok gue jadi buronan ketua yayasan yang pelitnya tujuh turunan itu?" tanya Rio dengan santainya tanpa beban. Membuat Ify semakin dongkol dengan laki-laki itu.
"Ya, tapi masa lo diem aja sih kekunci di sini?"
"Ya, mau gimana lagi."
Kali ini Ify benar-benar dibuat gondok setengah mati mendengar jawaban Rio yang tanpa beban itu. 'Ini orang sebenernya cuek banget atau terlalu pasrah sih? Ya Allah.' teriak Ify dalam hati.
*****

Via melangkah setengah berlari menuju ke kelasnya. Ia masih merasa kesal setengah mati karena Alvin meninggalkannya hanya demi menenangkan Shilla. Ia tau Ia tak punya hak sama sekali atas Alvin. Iapun tak berhak untuk marah pada Alvin karena Alvin meninggalkannya demi Shilla. Toh, Alvin bukan siapa-siapanya hingga Alvin tak punya alasan untuk lebih memilih bersamanya daripada menenangkan Shilla yang sedang kalap tadi. Tapi entah mengapa, perasaan menyebalkan itu menyergap hatinya kuat. Menghimpit perasaannya tanpa ampun. Membuatnya merasakan sesak yang teramat sangat ketika mendapati kenyataan bahwa Alvin lebih memilih Shilla daripada dirinya. Via sangat cemburu.
Beberapa kali Via menghentakan kakinya di koridor sekolah membuat perhatian beberapa murid tertuju padanya. Namun Ia tak perduli. Yang Ia tau, Ia ingin meluapkan seluruh rasa menyesakkan dada itu agar sedikit lebih lega. Namun tetap saja, rasa cemburu itu mengerubungi relung hatinya. Tak berkurang sama sekali. Malah bertambah.
Ketika sampai di kelas, Via mengambil tasnya berniat ingin angkat kaki dari sekolah yang membuat moodnya hancur berantakan dalam sekejap. Ia melihat tas Ify terletak rapih di atas mejanya. 'Berarti Ify masih di sekolah. Udahlah, nanti aja pamitnya. Di SMS,' Via membatin dan langsung pergi dari sana. Entah ke mana. Ke manapun kakinya membawanya. Asalkan rasa sesaknya bisa hilang atau minimal berkurang.
*****


1 comment:

  1. yeayyyyy... ini di lanjut lagi.. beberapa hari ini gue gak buka blog udah dua part ini lanjut.. makin kece makin oke.. gue suka rify yang suka berantem.. next yaa ka...

    ReplyDelete