Part 10
Dengan malas Ify melangkah menyusuri jalanan Ibu Kota yang masih sepi itu. Karena hari ini Ia berniat untuk berangkat dengan menggunakan angkutan umum, akhirnya Ia berangkat lebih pagi dari biasanya karena takut terlambat yang menyebabkan Ia harus kembali pulang jika Ia tiba di sekolah ketika gerbang sudah ditutup. Akhirnya Ia harus rela bangun lebih pagi dari biasanya.
Namun untuk naik angkutan umum, Ia harus berjalan terlebih dahulu ke depan komplek dan menunggu di halte. Karena Ia adalah anak tunggal dan sang bunda tidak bisa mengendarai mobil sedangkan sang ayah tengah tugas di luar negeri, Iapun harus pergi dengan berjalan kaki. Padahal jarak dari rumahnya ke depan komplek perumahannya lumayan jauh.
Ify menggerutu dalam hati. Merutuki supirnya yang izin tanpa mencarikan pengganti. Membuat Ify kerepotan saja. Dalam waktu beberapa minggu ke depan, Ia harus berjalan kaki ke depan komplek dan pulang-pergi naik angkutan umum ke sekolah. Ia benar-benar jengkel bila memikirkannya.
Untuk mempersingkat waktu, Ify memilih lewat jalan tikus yang memang sepi jika waktu belum menunjukan pukul tujuh tiga puluh. Karena orang-orang di sekitar sana, akan mulai beraktifitas di luarrumah jika jarum pendek sudah menunjuk angka setengah delapan.
Ify mengambil dompet dari dalam tasnya untuk memeriksa apakah Ia masih menyimpan uang receh untuk naik angkutan umum nanti. Akan sangat ribet bila Ia membayar dengan uang 100 ribuan. Ternyata uang kecil di dompetnya masih tersisa. Ifypun bernafas lega.
Ify menutup kembali dompet berwarna pink tua itu dan mengulurkan tangan kirinya ke bawah -karena tasnya bermodel selempang- hendak memasukkan dompetnya ke dalam tasnya kembali. Ia mencoba membuka re-sletingnya dengan tangan kanannya. Namun tiba-tiba saja seseorang mengambil paksa dompet itu dari tangan Ify. Ify menoleh kaget karena dompetnya kini berpindah tangan. Iapun berteriak-teriak.
"Haaaah? Copet!! Copet!!!"
Namun memang dasar nasibnya sedang sial, Ia tidak dapat mengejar jambret yang mengendarai sepeda motor itu dengan berlari. Ify berhenti berlari karena Ia sudah tidak melihat jejak jambret itu lagi. Nafasnya tersengal. Ia memegangi dadanya yang terasa sedikit sesak karena berlari cukup jauh. Ia menendang benda apapun yang ada di depannya, meluapkan emosinya. Lalu berdecak kesal.
"Masya Allah! Ini pagi-pagi udah sial begini. Terus sekarang gimana caranya gue naik bus kalau uang aja nggak ada?! Kalo pulang lagi, sama aja muter balik. Udah kejauhan. Huaaaaaa mama," Ify berteriak frustasi sambil menghentakkan kakinya ke jalanan. Tak habis pikir mengapa nasib sial mengawali paginya hari ini.
Dengan pasrah Iapun melanjutkan perjalanannya menuju sekolah. Berharap Tuhan mengirimkan sesosok malaikat untuk mengurangi bebannya pagi ini. Jika Ia benar-benar harus berjalan kaki ke sekolah, mungkin Ia akan sampai ke sekolah siang nanti ketika jam istirahat. Oh Tuhaaaaan.
Sambil menendang-nendang batu yang berada di hadapannya, Ify berjalan di trotoar jalanan yang sudah mulai dipadati oleh kendaraan bermotor. Masih dengan hati yang dongkol, Ia melanjutkan perjalannya. Tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna Midnight Blue membunyikan klakson. Membuat Ify berhenti melangkah dan menoleh.
Melihat mobil itu, Ify menghela nafas. Inikah malaikat yang Tuhan kirimkan untuknya pagi ini? Tapi mengapa harus dia?
Kaca mobil terbuka dan terlihatlah sosok Rio dari dalam sana.
"Jalan kaki?" tanya Rio.
"Enggak! Naik onta!" ketus Ify jengkel. Sudah tau jalan kaki, masih saja bertanya. Basa-basi yang terlalu basi.
"Udah naik buruan!" suruh Rio.
Ify bingung. Haruskah Ia berutang budi lagi pada lelaki ini? Namun jika Ia tidak ikut Rio, bisa-bisa Ia terlambat dan kakinya bisa putus ketika sampai di sekolah nanti. Ia melirik Rio yang tengah menatapnya, menunggu jawaban.
"Lo yakin mau ke sekolah jalan kaki? Setengah jam lagi bel dan jarak ke sekolah masih sepuluh kilo lagi. Hem, paling kalo nggak putus tuh kaki lo karna harus lari-lari, lo mati pas nyampe sekolah karna keabisan oksigen."
Ify menghela nafas mendengar ucapan Rio. Ia tak mungkin jalan kaki ke sekolah. Oh Tuhan, tak adakah malaikat lain yang bisa Kau kirimkan sehingga harus laki-laki ini yang muncul?
"Terpaksa deh kan gue harus berutang budi lagi sama lo."
Ify membuka pintu mobil Rio dan masuk ke dalamnya. Rio terkekeh mendengar gerutuan Ify.
"Hari ini berarti lo harus traktir gue bakso di kantin."
"Mau traktir gimana? Dompet gue aja dicopet orang. Kalo dompet gue nggak dicopet juga gue ogah harus minta bantuan sama lo!"
"Udah takdirnya sih kayanya hidup lo nggak jauh-jauh dari gue," Rio terkekeh membuat Ify semakin gondok setengah mati mendengarnya. Semoga ini yang terakhir kalinya Ia harus meminta bantuan pada Rio.
*****
Bel istirahat berbunyi. Membuat seluruh murid Global Bintang berhamburan keluar kelas menuju kantin untuk melepas penat dan mengisi perut. Namun tidak dengan Ify. Meskipun perutnya terasa seperti diremas karena memang cacing-cacingnya sudah berdemo meminta diisi, namun Ia tidak memiliki uang untuk membeli makan karena copet tadi telah merampas seluruh uangnya.
"Fy, kantin yuk!" ajak Via yang baru saja selesai menata buku-buku yang digunakan ketika pelajaran sebelum istirahat tadi. Ify hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Gue udah kenyang, Vi."
Terpaksa Ify berbohong pada Via. Tadi pagi Via bercerita padanya tentang kado untuk Alvin dan Via harus mengumpulkan uang untuk membelinya. Ia tidak mau merepotkan Via yang sedang mengumpulkan uang untuk membeli kado Alvin.
"Yakin lo?" tanya Via tak yakin. Ify tetap mengangguk mencoba meyakinkan Via.Via tampak menimbang.
"Gue udah kenyang, Vi. Beneran deh. Lo aja gih sana ke kantin. Lo pasti laper."
"Iya sih. Tapi beneran lo nggak laper?"
"Yaampun, Viaaa. Musti berapa kali gue bilang iya?"
"Yaudah deh, gue ke kantin dulu ya? Kalo mau nitip telpon aja," Ify mengangguk mengiyakan.
Setelah Via keluar kelas dan tak terlihat lagi, Ifypun bangkit berdiri. Daripada Ia melamun di kelas, lebih baik Ia ke taman mencari udara.
*****
Ify meremas perutnya yang terasa sangat perih itu. Ia tau ini akibatnya jika Ia telat makan. Maagnya pasti tidak dapat diajak kompromi. Dan alhasil, perutnya akan terasa seperti diremukan oleh suatu mesin peremuk. Perih. Namun apa daya, seluruh uangnya telah raib dibawa copet sialan itu.
Ify meringis merasakan perutnya semakin terasa perih. Ia meremas perutnya semakin kencang. Mencoba mengusir rasa sakit yang begitu menyiksa perutnya itu. Namun tidak ada perubahan sama sekali. Perutnya malah terasa semakin perih.
"Errrgh."
Ify berhenti melangkahkan kakinya yang sejak tadi mengajaknya melangkah tanpa arah. Sakit itu semakin menyerangnya tanpa belas kasihan. Hingga akhirnya Ia tak mampu menahan tubuhnya, Iapun terjatuh ke atas rerumputan taman. Ia meringkuk kesakitan di sana.
"Errrgh. Sa...sakiiit.....," ringis Ify. Setitik air mata keluar saking sakitnya maag itu menyerang perutnya.
Ia bersender pada kursi taman. Ia begitu lemas. Tak mampu berbuat banyak. Sakit itu terus saja menyerang perutnya.
"Ify?!"
Sebuah suara memekik membuatnya terpaksa menoleh dengan susah payah.
"Kaaaakk...Riii..iiooo...," panggil Ify terbata melihat Rio tengah berjongkok di hadapannya.
"Lo kenapa?" tanya Rio dengan nada khawatir yang terdengar jelas.
"Sakiiit, Kak," ucap Ify lemah sambil meremas perutnya.
"Maag?" tanya Rio. Ify mengangguk pelan.
Tanpa basa-basi lagi, Rio membantu Ify untuk bangun dan memapah Ify menuju ruang kesehatan.
*****
"Ifyyyy!!! Lo kenapa nggak bilang kalo lo kecopetan??! Kan gue bias nraktir lo makan. Ah, elo mah nyari penyakit, Fy!" omel Via ketika Ia mengetahui kabar tentang Ify. Saat itu Ia bertemu dengan Rio di kantin ketika Rio ingin membelikan teh hangat dan makanan untuk Ify.
"Gue nggak mau ngerepotin lo, hehe," ujar Ify lemah. Ia baru saja diberi obat maag untuk mengurangi rasa sakitnya.
"Yaampun Ifyyyyy! Lo tuh bener-bener ya! Lo nggak akan ngerepotin guelah, Fy! Dodol banget lo mah, ih! Lain kali jangan kaya gini lagi! Pantesan aja gue tadi tuh rada curiga sama lo."
"Iya, iya. Maaf ya," Ify cengengesan.
"Makanya jadi orang itu nggak usah sok kuat kalo nggak kuat!" sindir Rio yang baru saja datang dengan membawa segelas teh hangat dan sepiring nasi goreng.
Ify menghembuskan nafas jengkel mendengar sindiran Rio.
"Nih, makan!" suruh Rio seraya menyodorkan sesendok nasi pada Ify. Mau tak mau Ifypun membuka mulutnya dan menguyah nasi yang Rio suapi padanya itu.
"Masih sakit nggak perut lo?" tanya Rio yang sudah selesai menyuapi Ify makan.
"Udah mendingan. Gak seperih tadi."
Via menatap keduanya curiga setelah memperhatikan adegan demi adegan yang terjadi di hadapannya. Pertanyaan-pertanyaan seputar keakraban dan keakuran keduanya yang tak biasa itu bergelayut liar di benaknya. Membuatnya ingin mengintrograsi dua insan Tuhan ini demi sebuah penjelasan. Namun rasa tak tepat waktu membuatnya mengurungkan niat untuk bertanya sekarang.
Kesembuhan Ify jauh lebih penting daripada rasa penasarannya.
*****
Ify tengah merapikan buku-bukunya yang masih berserakan di meja ketika Rio menghampirinya ke dalam ruangan kelas, membuat penghuni kelas yang belum meninggalkan ruangan itu ternganga tak percaya mendapati seorang Mario Stevano berpijak di atas lantai ruangan yang sama seperti mereka. Tatapan-tatapan berbinar dari para adik kelasnya mengantarkan Rio memasuki ruangkelas untuk menghampiri Ify.
Ify hanya menghela nafas melihat reaksi-reaksi berebihan dari teman-teman sekelasnya. Ia menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir mengapa laki-laki seperti Rio bisa menjadi idola. Di sekolahnya itu, Robert Pattinsonpun kalah kontroversial dengan Mario Stevano.
"Fy."
Panggilan dari suara yang sudahIa ketahuipasti siapa pemiliknya itu tak membuat Ify menghentikan aktifitasnya merapikan buku-bukunya yang sudah hampir masuk semua ke dalam tas.
"Hemm," sahut Ify tanpa mengalihkan pandangannya.
"Pulang sama gue?"
Para siswi yang masih berada di dalam kelas ternganga kaget mendengar pertanyaan Rio yang lebih ke menawarkan. Rio, senior yang mereka kenal dingin dan malas dengan cewek manapun, kini menawarkan Ify pulang bareng. Merekapun 'menggigit jari'.
Sedangakan Ify yang sudah selesai merapikan buku-bukunya menatap Rio sambil menghelas nafas. Pengharapannya tadi pagi tak dikabulkan Tuhan. Tadi pagi bukan terakhir kalinya Ia berutang budi pada Rio. Haruskah sekarang Ia membiarkan Rio kembali menjadi malaikat penolongnya lagi?
Via yang mendengarkan tawaran Rio itu ternganga tak percaya. Rio-menawarkan-Ify-pulang-bersamanya? Semakin curiga Ia dibuatnya, Ia menyipitkan matanya, mencoba menerka ada apa dengan keakuran keduanya yang benar-benar membuat sebuah keanehan tak biasa. Terlebih Rio yang Ia tau memiliki sifat jaim setengah mati, namun kini menunjukan sebuah perhatian yang tersirat pada Ify meskipun berusaha ditutupinya.
"Sebenernya ya, Kak, gue itu sangat amat males meminta bantuan lo. But, gue nggak punya pilihan lain."
Rio terkekeh mendengar pernyataan Ify itu. Sebenarnya Ia merasa sedikit heran dengan gadis ini. Ia mengetahui pasti, siswi-siswi di sekolah ini mengimpikan hal ini terjadi pada mereka. Namun mengapa Ify dengan berat hati harus menerima tawarannya?
"Kan gue udah bilang, Fy. Mungkin Tuhan emang udah nulisin takdir kalo lo bakal selalu butuh gue. Haha."
"Nggak usah sok jadi hero deh lo! Males gue dengernya!" ketus Ify sambil memutar kedua bola matanya.
"Gimana kalo suatu hari nanti, lo bakalan bilang ke gue kalau elo emang butuh gue bukan cuma sebagai hero lo, tapi juga sebagai pemilik hati lo?" Rio menarik tepi bibir kanannya. Bertanya dengan nada seolah menantang. Membuat Ify ingin sekali meninju wajah itu.
"Lo nggak usah kebanyakan berangan deh, Kak Mario! Mungkin orang-orang bisa lo takhlukin dengan segala keperfect-kan lo menurut mereka. Tapi lo nggak akan bisa jadi pemilik hati gue cuma karna lo per-fect."
"Kalian ini, sebenernya ada apa?"
Satu pertanyaan yang mewakili seluruh rasa penasarannya yang sejak tadi bersarang di benaknya akhirnya keluar juga dari bibirnya. Via sudah tak mampu menahan diri dari rasa penasarannya yang seolah ingin meledak.
Ify dan Rio menoleh bersamaan. Mengalihkan pandangan mereka yang sebelumnya sedang beradu tatap, kepada Via. Menatap Via tidak mengerti. Apa maksud dari pertanyaannya?
"Maksudnya?" tanya Ify.
"Ya, ada apa sama kalian berdua? Hari ini gue bener-bener ngeliat keanehan dari kalian. Kalian yang biasanya selek, musuhan, berantem, saling bales dendam, hari ini kok bisa-bisanya berubah gitu? Kak Rio apalagi. Pake acara panik pas Ify pingsan. Terus sekarang nawarin Ify pulang bareng lagi. Atau kalian lagi kena sindrom benci jadi cinta ya?"
Via menjelaskan seluruh rasa penasarannya. Dua insan Tuhan yang biasanya saling mempertahankan gengsi dan ego ini, kini melebur dalam sebuah keanehan tersirat.
Meskipun mereka berusaha menyangkal dengan tetap berkata ketus atau terkadang dalam sebuah nada sindiran dan cibiran, namun bahasa tubuh dan tatapan mata mereka tengah menjelaskan ada sesuatu yang tak biasa dalam diri mereka. Diri? Benarkah? Atau... hati?
"Apaan sih lo? Gue sama dia? Ada apa-apa? Mungkin nanti kalo mata gue udah mulai katarak," jawab Ify sambil tertawa heran. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Bisa-bisanya Via berfikir seperti itu.
Sedangkan Rio tersenyum tipis namun tajam. Matanya memandang Ify dengan tatapan seolah menantang. Ia mencibir perkataan Ify barusan dalam hati.
*****
Via melangkah di sepanjang koridor sambil memandang lapangan yang siang itu sedang sepi. Walaupun Ify sudah menjawab pertanyaannya, namun rasa penasaran itu belum juga terjawab. Ia meyakini ada sesuatu yang tengah terjadi antara seniornya dan sahabatnya. Rio dan Ify.
Ia tidak percaya dengan bantahan yang dikatakan Ify. Ia lebih percaya dengan apa yang dilihatnya. Meskipun hal itu membuatnyadilanda kebingungan.
"Via!"
Mendengar namanya dipanggil, lamunan tentang kebingungannyapun menguap begitu saja. Apalagi Ia mengetahui suara siapa yang menyerukan namanya. Ia celingak-celinguk mencari sosok itu.
Dan tiba-tiba saja pundaknya ditepuk. Sontak Via menoleh ke belakang. Terlihatlah sosok Alvin, membuat dada Via berdesir ketika matanya menangkap sebuah senyuman tercipta di wajah Alvin. Viapun ikut tersenyum.
"Eh, Kak Alvin."
"Mau ke mana, Vi? Kok sendirian? Biasanya juga nempel sama Ify," Alvin terkekeh dengan ucapannya sendiri. Sedangkan Via nyengir menunjukan deretan gigi putihnya.
"Mau pulang, Kak. Tadi tuh Ify diajakin paksa pulang bareng sama Kak Rio. Yaudah, gue sendirian deh."
"Oh, jadi tadi Rio buru-buru keluar kelas gara-gara mau jemput Ify? Lah? Tumben-tumbenan dia ngajak cewek pulang bareng?" Alvin mengernyitkan keningnya sedikit bingung juga dengan sikap Rio yang menurutnya aneh belakangan ini. Wajahnyapun selalu terlihat berseri.
"Tau tuh, Ify sama Kak Rio emang rada-rada aneh belakangan ini. Jangan-jangan mereka lagi pdkt lagi?" Via menerka-nerka.
"Ya, nggak apa-apa kalo mereka emang lagi pdkt mah. Gue seneng akhirnya ada yang bisa ngeruntuhin kerasnya hati Rio. Tu anakkan hatinya terbuat dari batu karang. Keras banget."
"Segitunya?" Alvin mengangguk menanggapi pertanyaan Via.
"Oh, ya, Vi, mau pulang kan? Bareng yuk?!"
Ajakan Alvin itu membekukan Via. Namun di detik ke sekian Via tersadar. Hatinya membuncah bahagia. Namun tak mau terlalu geer. Takut-takut jika Ia salah mengartikan ajakan Alvin ini.
"Emang nggak ngerepotin, Kak?"
"Ya enggaklah, Vi. Kalo ngerepotin gue nggak bakalan nawarin lo. Lagian kan kita satu arah. Jadi apanya yang ngerepotin?"
"Ya, takutnya aja gitu kan ntar gue malah ngerepotin, hehe," Via cengengesan. "Boleh deh."
"Yaudah, yuk!" Alvinpun langsung merangkul pundak Via. Membuat darahnya mengalir dengan cepat menghasilkan desiran hebat dan debaran kuat. Ia menunduk menatap ujung sepatunya. Menyembunyikan pipinya yang memerah dan memanas.
Merekapun melangkah bersama menuju parkiran.
*****
"Turun!"
Rio membuka seatbeltnya. Menyuruh Ify turun dari mobilnya. Membuat Ify bersunggut merutuki Rio yang tidak membawanya sampai di depan rumah, malah berhenti di depan sebuah kedai pinggir jalan.
"Kak Rio gue mau pulang!"
"Kalo gue bilang turun, ya turun!" suruh Rio dengan nada meninggi. Namun Ify tetap bersikeras. Ia menggeleng kuat lalu melipat kedua tangannya di dada.
Geram, Rio membuka pintu mobilnya, lalu turun. Melangkah dengan langkah lebar-lebar ke arah pintu sebelah kiri. Lalu membuka pintunya.
"Cepetan turun!" Rio masih menyuruh dengan nada otoriternya. Dan Ify tetap menolak perintah Rio dengan menggelengkan kepalanya kuat dan berkata dengan lantang, "ENGGAK!"
Rio berdecak. Iapun membungkukkan tubuhnya lalu memasukkan tubuhnya ke dalam. Membuat Ify terkejut.
"Eh, eh, lo mau ngapain?" tanya Ify yang terkejut.
Rio memajukan tubuhnya untuk menggapai seatbelt yang Ify gunakan. Lalu berusaha menekannya agar terlepas. Namun karena ada Ify sebagai penghalang, Ia mendapat kesulitan untuk membukanya.
"Kak Rio lo ngapain sih?" Ify beringsut menjauhkan tubuhnya dari Rio yang melintaskan tubuhnya dihadapannya. Seperti menguncinya.
"Kak Rio!"
"Lo bisa diem gak?!" bentak Rio pada awalnya. Namun tiba-tiba saja waktu seakan berhenti berputar ketika Ia menoleh ke arah Ify yang tengah mencengkram tali seatbelt yang membentang diantara tubuh Ify. Menatap Ify dalam jarak kurang dari dua puluh centi tepat di manik matanya. Membuat sebuah debaran liar nan indah bergemuruh di dalam dadanya.
Ifypun tak berbeda jauh. Tiba-tiba saja nafasnya tercekat karena sepertinya udarapun berusaha menjauh memberikan ruang untuk mereka, tak ingin mengganggu. Membuat desiran halus berkali-kali di dadanya yang lama-lama menjadi debaran tak terkendali. Tubuhnya memanas. Jantungnya bekerja berpuluh kali lipat dari keadaan normal.
Aroma tubuh Rio kembali membiusnya. Ia tiba-tiba saja merutuki ucapannya pada Via di kelas tadi. Hatinya menyangkal ucapannya sendiri. Benarkah tak ada apa-apa pada dirinya? Atau.... hatinya?
Ify mengatupkan bibirnya rapat-rapat ketika tangan Rio mengelus wajahnya. Membingkai setiap inchi wajahnya. Membuat bulu kuduknya berdiri. Apalagi ketika Ia dapat merasakan desahan nafas Rio menerpa wajahnya. Ia bahkan lupa bagaimana caranya menghirup udara. Tangannya mencengkram jok berusaha meredam segala kekacauan yang terjadi dalam tubuhnya.
Rio menikmati aktifitasnya. Memandang wajah cantik gadis di hadapannya ini dari dekat. Menikmati setiap desiran dan debaran yang terjadi di dalam dadanya. Meskipun terasa aneh, namun Ia merasakan hal indah yang belum pernah Ia rasakan sebelumnya, yang tak mampu Ia gambarkan dengan kata apapun.
"Sebelum ketemu lo, gue nggak yakin bisa ngerasain debaran aneh kaya yang temen-temen gue bilang waktu mereka lagi jatuh cinta. Dan sekarang gue ngerasain itu, karna lo. Apa bener gue jatuh cinta?" bisik Rio.
Rio menggenggam tangan Ify yang tengah mencengkram seatbelt. Dituntunnya tangan itu menuju dadanya. Menyuruh Ify merasakan apa yang sedang dirasakannya. Debaran di dada yang hanya bisa dirasakannya ketika Ia bersama Ify. Hanya karena Ify.
'Debaran jantungnya sama kaya yang gue rasain. Dan debaran jantung ini cuma bisa gue rasain kalau gue lagi sama lo, Kak Rio,' Ify membatin.
Seketika Ia merasakan perasaan nyaman menggerubungi hatinya. Menyergapnya namun Ia tak berusaha meronta. Perasaan nyaman dan teduh yang tak Ia dapatkan dari lelaki manapun, termasuk mantan kekasihnya.
"Kak Rio, ajarin gue caranya bernafas. Gue selalu lupa gimana caranya nafas kalo gue ngeliat lo dalam jarak sedeket ini," bisik Ify.
Rio menarik kedua tepi bibirnya, melukiskan senyuman termanis miliknya yang membuat Ify semakin susah untuk bernafas normal. Apakah kini matanya sudah katarak? Sehingga pesona Rio mampu menyilaukannya?
"Kita makan eskrim, yuk!" ajak Rio lembut sembari memamerkan kembali senyum mautnya yang Ify yakini mampu membuat jantung seluruh siswi satu sekolah bocor jika melihatnya. Karena Ifypun merasakan tubuhnya seakan meleleh melihat senyum yang tak pernah Ia lihat dari Rio sebelumnya. Dan kali ini harus diakuinya, Rio lebih dari sekedar menawan.
Rio kembali menegakan tubuhnya setelah Ia berhasil melepaskan seatbelt Ify. Ia terkekeh melihat ekspresi shock bercampur seri di wajah Ify. Sambil menyentuh dadanya yang baru saja kembali berdetak normal, Ia melangkah menuju kedai.
Ify yang masih tak dapat mencerna dengan akal sehatnya atas apa yang baru saja terjadi, terdiam dengan tangan yang mencengkram dadanya. Ia masih merasakan debaran itu, meski tidak sehebat tadi.
Tersadar dari keterkejutannya, Ify menghembuskan nafas berkali-kali. Berusaha menetralkan detak jantungnya yang masih saja menyisakan gemuruh. Setelah Ia rasa cukup normal, Iapun segera turun dari mobil dan menyusul Rio ke kedai.
*****
kyaaaaaaa.... tambah kece... tambah oke...
ReplyDeleterify nya so sweet aduhh rio bikin envy gue yo... cie.. cie.. yang mau makan eskrim.. kapan atuh Rio ngajak gue makan eskrim*mimpi ketinggian wkwk*
Lanjuttt kaka.. gue selalu nunggu cerita ini...
nurdiana.web.id
kaka.... lo yang nulis cerbung the power of love sama rahasia hati yaaa???
ReplyDeleteya ampuuunnn cerbung-cerbung favorite gue bingits... apalagi yang rahasia hati bagian satunya duhhhh gue masih inget sama cerbung yang satu itu, padahal mah baca nya udah dua tahun yang lalu sama kayak the power of love nya ka sedih u,u pas bagian ending nya..
kerennn... keren.. semua cerita lo..
iya aku yang nulis. alhamdulillah kalo ada yang baca dan sampe suka. makasih udah ngikutin cerita-cerita aku:)
Delete