Thursday, April 30, 2015

Pilihan Hati (Part 16)

Hai yang masih baca cerita ini. Makasih banyak yang sebesar-besar buat kalian yang udah apresiasiin tulisan aku. Aku seneng banget masih ada yang mau baca. Ini dua part aja di postnya. Soalnya besok kan libur. Kayanya sih ngga bisa posting hehe.
Sekali lagi makasih buat yang udah mau baca dan selalu nunggu. Apalagi yang  ninggaling komentar. Makasih banyak. Semoga cerita ini membawa inspirasi atau setidaknya bisa menghibur hehe.
Love you readers :-*

Part 16


Hari ini hari Minggu. Hari libur. Hari yang tepat untuk refreshing, untuk menghabiskan waktu bersama sang kekasih. Seperti yang Alvin lakukan dengan Via.

Saat sang mentari belum menampakan diri di langit yang masih berwarna hitam, Alvin sudah menjemput Via di rumahnya. Setelah mempersiapkan diri dan membawa peralatan yang diperlukan, Via dan Alvin pamit kepada orang tua Via. Merekapun akhirnya berangkat menuju Bogor

Setelah menempuh perjalan sekitar satu jam lebih, akhirnya mobil Alvin memasuki pekarangan taman yang berada di pinggiran kota Bogor. Sesaat setelah keluar dari mobil Alvin, Via langsung berlari sambil merentangkan tangannya. Berteriak bahagia sambil menghirup udara pagi yang terasa amat sejuk.

Alvin tertawa melihat tingkah Via bak anak kecil yang menemukan sebuah taman bermain yang banyak mainannya. Alvin melangkah menghampiri Via.

"Suka nggak?"

"Suka banget!"

"Ayo, kita ke danau!"

Alvin menarik tangan Via dan mengajaknya menuju ke danau. Setelah sampai di danau, mereka berdua menaiki perahu dayung yang tersedia di pinggir dermaga. Dengan dibantu Alvin, Via akhirnya berhasil naik ke atas perahu. Alvin mengambil dayungnya, lalu mulai mendayung perahunya untuk memutari danau.

"Udaranya sejuk banget, Kak."

"Berarti aku nggak salah pilih tempat kan?" Via mengangguk antusias sambil tersenyum.

Setelah perhau berada di tengah danau, Alvin meletakan dayungnya di perahu. Lalu Alvin berdiri di atas perahu.

"Kak Alvin pelan-pelan," seru Via sambil memegang kedua sisi perahu karena perahunya mulai oleng.

"Tenang aja, Vi."

Alvinpun merentangkan kedua tangannya. Lalu menghirup udara pagi Bogor yang masih sejuk dan jauh dari polusi. Tubuhnya terasa fresh. Andai saja udara di Jakarta sesejuk dan sebersih ini. Pasti penduduknya jarang yang mati muda.

Tiba-tiba saja perahu yang tadinya sudah seimbang itu kembali oleng lagi karena angin kencang yang tiba-tiba berhembus. Kali ini lebih oleng dari yang sebelumnya tadi. Viapun mulai panik.

"Loh, loh, Kak. Oleng. Kak Alvin, oleng!" seru Via panik sambil menggenggam kuat kedua sisi perahu.

Namun perahunya bukannya semakin normal, malah menjadi semakin oleng. Alvin mencoba menjaga keseimbangannya, namun ternyata perahu semakin oleng dan akhirnya Alvinpun jatuh tercebur ke dalam danau.

"KAK ALVIIIN!!"

Kepanikan Via semakin menjadi. Iapun berusaha berteriak mencari sosok Alvin yang menghilang ketika tercebur tadi. Via celingak-celinguk ke bawah. Berusaha menemukan sosok Alvin. Namun Ia tetap tak dapat menemukannya.

"Kak Alvin! Kak Alvin di mana? Kak, jangan bikin aku panik gini dong! Kak Alvin!"

Saking paniknya, Viapun ikut menceburkan diri ke dalam danau. Berenang ke sana kemari, namun tetap tak menemukan Alvin.

Via putus asa. Ia berenang ke tepi danau, menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Terisak di dalam sana. Viapun kembali melihat ke sekeliling danau. Lalu matanya berhenti di satu titik. Ia melihat seseorang pingsan di pinggir danau. Via bangkit lalu berlari menghampiri orang itu.

Via membelalakan mata mendapati Alvinlah yang tengah terkapar itu. Seluruh tubuhnya basah.

"Kak Alvin!!!"

Via menepuk-nepuk pipi Alvin. Namun Alvin tak kunjung bangun. Via menggigit bibirnya. Rasa panik kembali menyergapnya. Iapun berusaha menggotong Alvin menjauh dari danau dengan susah payah.

Via berusaha membangunkan Alvin dengan berbagai macam cara. Menekan-nekan perutnya. Memukulnya, mencubitnya, hingga menggelitikinya. Namun Alvin tetap saja tak sadar-sadar.

Tiba-tiba saja sebuah ide terbesit di benaknya. Cara yang pernah Ia baca di buku-buku. Cara yang paling ampuh untuk membagunkan orang yang pingsan karena tenggelam.

Namun Via bimbang. Haruskah Ia menerapkan cara itu? Namun ini demi keselamatan Alvin. Ah, sudahlah. Ini demi keselamatan sang kekasih.

Dengan ragu, Via memencet hidung Alvin. Lalu perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Alvin. Semakin mendekat ke wajah Alvin. Dengan jantung yang berdebar kencang, Via terus menjalankan aksinya. Meyakinkan dirinya sendiri, ini semua demi keselamatan Alvin.

Ketika wajahnya sudah berjarak kurang dari sepuluh centi dengan wajah Alvin, Via menghentikan aktifitasnya. Ia memadangi wajah Alvin yang jika dilihat dalam jarak yang sangat dekat ternyata benar-benar menawan. Membuat debaran di dadanya meningkat berkali-kali lipat.

Namun dalam hati, Via benar-benar mensyukuri anugrah Tuhan yang tercipta untuknya itu. Alvin adalah anugrah terindah yang pernah Tuhan berikan untuknya selain kedua orang tuanya. Via tersenyum melihat wajah menawan itu.

Tersadar, Via kembali melanjutkan aksinya yang tertunda tadi. Ia semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Alvin. Ketika hidungnya sudah menyentuh hidung Alvin, tiba-tiba saja mata Alvin terbuka. Membuat Via terkejut dan terjengkang ke belakang. Untung saja kedua tangannya segera menumpu tubuhnya, hingga Ia tidak benar-benar terjatuh ke belakang.

"Hahahahaha..."

Tawa Alvin membahana di seluruh penjuru taman yang sepi itu. Alvinpun mengubah posisinya menjadi duduk. Alvin tertawa melihat ekspresi terkejut Via.

"Kak Alvin?"

"Seneng deh dikhawatirin sama kamu."

"Kak Alvin nyebelin! Huh!"

Via mendorong wajah Alvin dengan telapak tangannya lalu bangkit dan berlari pergi. Ia dongkol sekali karena merasa Alvin mempermainkannya. Untung saja tadi Alvin langsung terbangun. Jika tidak.... Ah, Alvin benar-benar menyebalkan.

"Via!"

Alvin berlari mengejar Via. Iapun berhasil menangkap tangan Via, hingga membuat Via mau tak mau berhenti. Dengan wajah cemberut, Ia membalikan tubuhnya menghadap Alvin.

"Jangan marah dong?! Akukan cuma bercanda."

"Bercandanya kelewatan! Aku khawatir tau!"

"Iya deh, iya. Maafin aku dong. Maaf ya."

Via melipat kedua tangannya di dada lalu memalingkan wajahnya dari Alvin sambil menggelembungkan kedua pipinya, bete.

"Maafin aku, ya, please."

Alvin menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Memohon pada Via agar dimaafkan. Tadinya Ia hanya berniat mengerjai Via saja. Ia hanya ingin tau, apakah Via benar-benar takut kehilangannya. Dan Ia mendapatkan jawaban yang memuaskan. Namun Ia tak tau jika Via akan menjadi benar-benar marah padanya.

"Ayolaaaah, maafin aku."

Bukannya menjawab ya atau tidak, Via malah mencubit perut Alvin sekeras mungkin hingga membuat Alvin meringis.

"Aw aw. Sakit Vi. Kok dicubit sih?" Alvin mengelus-elus perutnya yang terasa perih akibat cubitan dahsyat Via.

"Hukuman!"

"Iya deh, iya. Aku rela deh dicubit-cubitin sama kamu, asal kamu mau maafin aku. Maafin aku ya," pinta Alvin memelas. Membuat Via tak tega melihatnya. Iapun kembali mencubit-cubiti perut Alvin, hingga Alvin meliuk-liukan tubuhnya karena bukan hanya merasa sakit, namun juga geli.

Setelah Via merasa puas, Iapun menghentikan cubitannya pada Alvin. Lalu mengerucutkan bibirnya.

"Aku kesel sama kamu! Huh!"

"Tapi sayang kan?" goda Alvin sambil menaik-turunkan alisnya.

Via memukul lengan Alvin namun akhirnya Ia tersenyum malu.

"Iya, sayang sama cowok nyebelin kaya Kak Alvin."

"Biar nyebelin yang penting kan sayang," Alvin terkekeh karena ucapannya sendiri.

Alvinpun mencubit lembut pipi Via, lalu mengelus lembut rambut Via. Ia yakin Ia takkan menyesal dengan apa yang dipilihnya. Via. Vialah yang dipilihnya. Ia sangat menyayangi gadis cantik berambut panjang itu.

Merekapun melangkah berdua mengelilingi taman dengan tawa canda dan senyuman bahagia yang menghiasi wajah keduanya. Sama-sama mensyukuri anugrah terindah Tuhan. Saling memiliki adalah anugrah terindah yang pernah Tuhan berikan untuk mereka berdua.

Jika Tuhan menginzinkan mereka untuk mengajukan sebuah permintaan, hanya satu permintaan yang mereka inginkan. Jangan pernah bunuh segala rasa yang ada itu. Rasa yang membuat mereka selalu berseri dan berbunga. Rasa yang selalu menciptakan senyum bahagia. Cinta.

Mereka terus melangkah dengan satu keinginan pasti. Semoga cinta itu selalu tumbuh dan tumbuh, tak pernah layu apalagi mati. Mereka ingin selalu terus bersama.

Semoga saja Tuhan mengabulkan apa yang mereka impikan saat ini. Doa mereka di setiap langkah mereka.

*****



TOKTOKTOK

Terdengar ketukan pintu yang lebih tepat disebut dengan gedoran. Ify yang sedang berada di ruang keluarga, akhirnya bangun dari duduknya dan melangkah ke pintu untuk melihat siapa yang sudah membuat rusuh di depan rumahnya.

"Iya, iya, sabar."

Setelah memutar kunci, ditariknya pintu itu ke dalam. Terlihatlah sosok Alvin, Via, dan Cakka berdiri di hadapannya dengan wajah panik. Ify mengerutkan kening melihatnya.

"Kalian? Ada apa?"

"Fy, Rio mau pergi!" ujar Alvin, membuat Ify kembali mengerutkan kening.

"Pergi?"

"Iya. Dia lulus test di Humboldt Universität Jerman, Fy."

"Jadi, Kak Rio mau pergi ke Jerman?"

Alvin dan Cakka mengangguk. Raut cemas masih tergambar di wajah Alvin dan Cakka.

"Dia nitip ini, Fy. Buat lo," Cakka menyerahkan secarik kertas yang diterimanya dengan perasaan gusar. Ada rasa tak rela mendengar Rio akan melanjutkan pendidikan di negeri orang. Ifypun membuka kertas itu.



Gue minta maaf karna udah ngeluarin kata-kata kasar buat lo waktu itu. Gue pergi. Gue mau lo hilang dari hidup gue, juga hati gue.....

Mario



Surat singkat itu seperti menyentil hatinya. Rio ingin Ia hilang dari hidup pemuda itu. Rasa sesak kembali menyeruak ke hatinya. Rio sudah tak mau mengenalnya lagi. Rio sangat membencinya. Memikirkannya, air matanyapun tak terbendung lagi.

"Fy....," panggil Alvin bingung melihat Ify yang tiba-tiba menangis. Mendengar panggilan Alvin, Ify segera menghapus air matanya lalu memaksakan sebuah senyum kepada tiga temannya.

"Lo nggak apa-apa kan, Fy?" tanya Via khawatir. Namun Ify menggeleng sambil tersenyum.

"Sebenernya gue pengen banget nonjok nih orang. Cuman orangnya nggak ada di sini. Haha. Jadinya nggak bisa deh," Ify tertawa gusar. Air matanya kembali turun namun dengan segera dihapusnya.

"Lo nggak mau susul dia? Cegah dia gitu...," tanya Alvin heran.

Ify menggeleng.

"Nggak, Kak. Hak dia buat nentuin masa depannya. Gue nggak punya hak buat ngelarang dia."

Ify menunduk meremas surat Rio, meluapkan emosi. Dadanya naik turun akibat menahan emosinya. Namun Ia tak tau harus bagaimana melampiaskannya.

Ia biarkan Rio memilih pilihan yang menurutnya adalah jalan terbaik untuk Rio. Ia tak memiliki hak untuk merubahnya. Toh, akhir menyedihkan ini akibat kebodohannya juga. Meskipun ada rasa tak rela, namun Ia takkan menahan pemuda itu untuk meninggalkannya.

Rio, aku iklaskan kamu tinggalkan aku. Jika menurutmu melupakan aku adalah cara terbaik untuk menghapus lukamu, aku coba untuk merelakannya. Meski ada serpihan hati yang tak rela jika kamu pergi. Namun aku tau, inilah jalan terbaik yang Tuhan tunjukan untuk kita. Dan aku harus menerimanya dengan lapang dada sebagai konsekuensi dari kebodohan yang telah aku perbuat. Maafkan untuk luka yang telah tercipta. Terima kasih karena pernah menjadi sepenggal kisah indah yang telah mewarnai sebagian perjalanan hidupku. Serpihan cinta ini akan selalu mengenang semuanya.

*****



1 comment:

  1. apa????????? apaaa??????? hwaaaaaaaaaaa..... Rio ke jerman??? OHH NOOOOO... kenapa bisa gitu?????? terus gimana sama nasib Rify.. wihh gue kaget loh kaka ini udah ada part 16 nya yaa.., walaupun dikit...gak papa deh..


    wkwk bakal nunggu hari jumat deh..

    ReplyDelete