Thursday, April 30, 2015

Pilihan Hati (Part 15)

Part 15

"Tak ku mengerti mengapa begini
Waktu dulu ku tak pernah merindu
Tapi saat semuanya berubah
Kau jauh dari ku, pergi tinggalkanku

Mungkin memang ku cinta
Mungkin memang ku sesali
Pernah tak hairaukan rasamu, dulu

Aku hanya ingkari kata hatiku saja
Tapi mengapa kini
Cinta datang terlambat..."

(Maudy Ayunda - Cinta Datang Terlambat)

Jemari-jemari lentik Ify menari-nari di atas tuts-tuts hitam putih piano. Menghayati sebuah lagu milik Maudy Ayunda dengan judul Cinta Datang Terlambat. Meresapi setiap makna lirik yang mengalun dari bibirnya. Lagu yang seolah menjelaskan segala penyesalan yang dirasakannya. Rasa tak tenang yang selalu saja menghantuinya. Rasa ingin mengulang waktu yang menyiksanya karena Ia tau waktu hanya untuk dijalani, bukan untuk diulangi.

Ketika jam istirahat tiba, Ify lebih memilih berlari ke ruang musik. Mengisi waktu istirahat dengan mencurahkan segala kegundahan hatinya yang tak mampu Ia jelaskan dengan kata apapun. Melampiaskan segala perasaan aneh yang bercampur aduk, yang membuatnya ingin meledakan diri agar terbebas dari rasa menyiksa tersebut.

Ia tau ini tak seharusnya terjadi. Iatau, tak pantas jika Ia menyesali pilihan yang Ia putuskan sendiri tanpa campur tangan siapapun. Namun rasa sesal itu hadir tanpa dimintanya.Dan Ia tak tau siapa yang harus disalahkannya atas perasaan itu. Dirinyakah, karena telah memutuskan pilihan besar tanpa berpikir panjang ke depan? Atau hatinyakah yang mengkhianati pilihannya?

Ify memejamkan matanya. Menguji perasaannya. Meminta jawaban jujur pada hatinya. Siapa yang benar-benar berada di dalam sana. Yang pantas menempatinya. Seseorang dari masa lalunyakah? Atau pemuda manis yang tanpa disadarinya telah berhasil mencuri perhatiannya?

Seketika sekelebat bayangan yang pernah dilewatinya bersama Rio berputar di benaknya bagaikan sebuah film. Masa-masa menyebalkan namun berhasil menjelma menjadi serpihan cerita manis yang ternyata Ia rindukan kehangatannya. Segala macam bentuk kelakuan Rio yang awalnya membuatnya ingin meninju wajah manis itu, namun berakhir dengan dikenangnya masa itu dengan senyuman. Ia merindukan Rio.

Bulir-bulir air mata perlahan menetes dari pelupuk matanya. Rasa rindu yang tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam hatinya itu kembali membuat perasaannya tak tenang. Ingin sekali rasanya Ia menghampiri pemuda itu dan memeluknya seerat mungkin. Mengatakan segala perasaan yang menyiksanya.

Tuhan, bolehkah Ia mengharapkan sebuah keajaiban dari-Mu? Bolehkah Ia meminta satu kesempatan saja untuk mengungkapkan ketidakjujuran hatinya? Ia hanya ingin bahagia. Ia hanya ingin mendapatkan sebuah kisah manis yang seharusnya Ia dapatkan. Bukan rasa menyiksa yang selalu membuat tidurnya tak lelap. Hanya satu kesempatan saja. Ia berjanji.

*****



Hari semakin terik. Mataharipun berada semakin dekat dengan bumi. Sinarnya bak membakar siapapun yang berada di bawahnya tanpa pelindung apapun. Sekolahpun sudah bubar sejak tiga puluh menit yang lalu.Namun Rio tak memperdulikan sang mentari yang terus saja mencoba mengalahkan semangatnya. Ia terus saja berlari sambil membawa bolanya ke sana kemari. Bermain basket di tengah hari bolong adalah satu-satunya cara Ia untuk melampiaskan segala emosi hati yang tak mampu Ia luapkan.

Dengan penuh luapan emosi, Rio mendrible bola orange itu. Lalu dilemparkannya menuju ring dan masuk secara nulus tanpa cacat. Rasa sesak yang menyulutkan emosinya itu membuatnya kalut hingga mengabaikan tubuhnya yang telah basah kuyup karena keringat.

Ia sudah lelah dengan semuanya. Ia lelah merasakan sakit hati yang terus menyiksanya, merapuhkan jiwanya. Ia lelah terus bertahan pada luka yang tak pernah berhenti menyayat. Ia ingin mengakhiri penderitaan batin yang dirasakannya itu. Ia menyerah. Menyerah untuk memenangkan perasaan Ify. Menyerah untuk merubah takdir. Menyerah untuk mendapatkan apa yang seharusnya Ia dapatkan. Ia takkan lagi berharap. Takkan lagi memperdulikan apapun yang hanya akan membuatnya merasakan lagi sesak itu.

Ia menutup pintu hatinya.

Rio membungkukan tubuhnya sambil memegang lututnya sebagai penumpu. Ia sangat lelah. Keringatnya mengucur deras. Nafasnyapun tersengal.

Tiba-tiba saja sebuah botol tersodor dihadapannya. Membuatnya mau tak mau mendongak melihat tangan siapa yang mengulurkan air mineral itu padanya. Seketika tubuhnya membeku. Nafasnya tercekat. Gadis itu berdiri di depannya. Namun di detik ke sekian, Rio berusaha bersikap biasa saja. Ia menegakan kembali tubuhnya. Lalu menatap tajam gadis cantik yang telah berhasil mengobrak-abrik hatinya.

"Buat Kak Rio. Pasti haus," Ify berusaha memperlihatkan senyum yang biasanya.

"Nggak perlu," ketus Rio datar. Ia membalikan tubuhnya lalu melangkah ke tepi lapangan. Menyampirkan tasnya ke bahu kanannya, lalu melangkah pergi. Namun baru beberapa langkah, Ify langsung menahan tangannya yang langsung dihentakannya hingga tangan Ifypun terlepas.

"Kak Rio, gue mau minta maaf sama lo. Maaf buat semua luka yang udah gue buat di hati lo. Maaf karna udah nyia-nyiain perasaan lo."

Rio menatap lurus ke depan tanpa membalikan tubuhnya. Rahangnya mengeras mendengar permintaan maaf Ify.

"Maaf juga karna gue udah ngebohongin perasaan gue."

"Itu bukan urusan gue!" ujar Rio dengan emosi yang masih mampu ditahannya. Melihat gadis yang telah membuatnya hancur membuat emosinya selalu tersulut.

"Tapi gue udah nggak sanggup nahan semuanya lagi, Kak. Gue sayang sama lo. Gue sakit kalau gue kangen sama lo. Gue nggak kuat nyimpen kebohongan ini lagi. Gue nyesel, Kak."

Tangan Rio terkepal. Emosinya semakin tersulut. Rasa sakit itu kembali menyergapnya mendengar penuturan Ify. Rahangnya kembali mengeras.

"Kak Rio, gue nggak mau hidup tanpa lo."

Ify menundukan kepala sedalam-dalamnya. Benar-benar menyesali semua pilihan bodohnya. Menyesali keterlambatannya menyadari ada hati yang sangat berharga untuknya yang ternyata telah Ia sia-siakan. Menyesali kebodohannya memilih pengorbanan masa lalu dan mengacuhkan pengorbanan seseorang yang ternyata telah mengisi seluruh ruang di hatinya tanpa menyisakan celah untuk laki-laki lain.

Emosi Riopun memuncak. Iapun membalikan tubuhnya menghadap Ify yang tengah menundukan kepalanya.

"Brengsek lo!" sentak Rio langsung, membuat Ify mendongakan kepalanya terkejut mendengar makian Rio.

"Lo brengsek! Waktu gue bilang gue sayang sama lo, apa balesan lo? Apa?! Lo lebih milih cowok itu daripada gue! Lo pergi sama dia! Lo nggak perduli sama gue! Lo tau nggak gimana perasaan gue waktu itu?! TAU NGGAK?! Gue hancur setiap gue ngeliat lo berdua mesra-mesraan! Sakit, sakit saat gue dapetin kenyataan itu. Kenyataan kalau gue kalah! Gue kalah dari masa lalu lo! Gue udah hancur sekarang! Lo udah puas belum?! HA?!"

Air mata Ify tak mampu ditahan lagi. Semuanya menyeruak turun membasahi pipinya. Hatinya seperti dibunuh saat itu juga. Sakit. Sakit yang paling sakit diantara sakit yang pernah dirasakannya. Bentakan Rio itu bagaikan sebuah pisau yang menyayatkan kembali luka hatinya. Hatinya kembali berdarah.

"Sekarang lo dateng ke gue, lo bilang lo nyesel, dan lo mau gue. Otak lo di mana?! HA?! Brengsek banget lo!"

"KAK RIO!!!" bentak Ify. Membuat Rio mengatupkan bibirnya dan menatap Ify tajam dengan nafas yang memburu akibat emosi.

Rasa sakit Ify bertambah dua kali lipat saat Rio mencacinya. Ia tau Ia bersalah. Namun di manakah hati Rio? Ify hanyalah seorang gadis biasa. Ia masih memiliki hati. Bukan hanya Rio yang terluka, Ia bahkan terluka lebih dalam. Tak bisakah berbicara dengan suara yang dikecilkan sedikit?

"Gue tau gue salah! TAPI LO NGGAK PERLU MAKI-MAKI GUE KAYA GITU! Sakit Kak Rio! Sakit! Gue udah nyeselin semuanya dan gue mau perbaikin kebodohan gue. Tapi kenapa lo malah maki-maki gue seakan gue nggak punya harga diri kaya gini?" bentak Ify di awal kalimatnya, namun melirih di akhir. Air mata yang terus turun tanpa henti menjelaskan bahwa ada luka berdarah yang tengah tersayat dihatinya.

Rio terdiam. Menyesali ucapan kasarnya. Air mata Ify membuat hatinya semakin teriris.

"Gue benci sama lo!" Ify berlari pergi setelah menghapus kasar air matanya. Hatinya sudah sakit karena penyesalannya. Mengapa harus dilukai lagi dengan kata-kata yang menyakitkan?

Tak ada luka yang paling membunuh, selain luka karena kobodohan sendiri.

*****



Gabriel memperhatikan Ify yang menatap kosong mangkuk mie ayam di hadapannya. Ify seperti mayat hidup hari ini. Itu juga yang Via tuturkan padanya. Memang semenjak tadi Gabriel menjemputnya, Ify sudah seperti orang mati. Tak fokus dengan ucapannya, memberikan senyum yang selalu dipaksakan.

Gabriel menghela nafas melihatnya.

"Fy, kamu kenapa?"

Ify terkesiap lalu menggelengkan kepalanya sambil memaksakan sebuah senyum untuk meyakinkan Gabriel.

"Kamu sakit?"

"Aku nggak apa-apa, Kak."

Gabriel bangkit berdiri lalu memutari meja dan duduk di sebelah Ify. Digenggamnya lembut tangan Ify. Lalu dipaksanya Ify untuk menatap kedua matanya.

Ify yang sedang tidak bergairah untuk melakukan apapun akhirnya memilih menuruti saja. Iapun menatap kedua manik mata Gabriel. Tiba-tiba saja perasaan aneh kembali menyergapnya. Mata itu mengingatkannyadengan mata Rio. Mata yang selalu mampu menghipnotisnya.Mata yang selalu membuat dadanya berdebar kuat. Mata yang ternyata menjadi daya tarik utama Rio. Mata yang meluluhlantahkan hatinya.

Rasa sesak itu kembali menyerangnya. Ia sangat merindukan mata itu. Merindukan keteduhan yang dipancarkan dari mata itu. Merindukan debaran yang selalu membuatnya tak mengerti ada apa dengan hidupnya jika Ia berada di dekat Rio. Karena setiap di dekat Rio semua berubah menjadi taman bunga yang indah. Rio selalu tau bagimana cara untuk membuatnya berbunga-bunga. Ia benar-benar merindukan Rio.

Bukan hanya matanya. Ifypun merindukan senyumnya. Kehangatan senyumnya yang selalu berhasil membuat perasaan Ify bertambah semakin dalam dan dalam lagi. Namun hatinya terlanjur sakit atas perkataan kasar Rio kemarin.

"Fy, aku sayang banget sama kamu. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Dan aku yakin sekarang lagi ada yang nggak beres sama kamu. Aku nggak pernah ngeliat kamu sampe kaya orang yang raganya hidup tapi jiwanya mati kaya gini. Kamu kenapa?"

Ify hanya mampu menggelengkan kepalanya. Ia menunduk. Menyembunyikan matanya yang sudah berkaca-kaca siap untuk meluncurkan air matanya kapanpun.

"Ify..."

"Aku nggak apa-apa, Kak."

"Yasudah kalau emang menurut kamu kamu nggak kenapa-napa. Tapi kalau ada apa-apa, kamu bilang sama aku ya?"

Ify mengangguk sambil lagi-lagi menyunggingkan sebuah senyum yang sangat dipaksakan. Gabriel menghela nafas. Lalu kembali menatap Ify.

"Aku mau ngomong sesuatu, Fy."

"Apa?"

"Kamu mau nggak janji sama aku? Apapun yang terjadi, kita nggak akan terpisah. Kamu akan selalu ada di samping aku apapun yang terjadi. Kamu mau janji?"

Ify menatap Gabriel dan menangkap keseriusan dari wajah Gabriel. Ia menelan ludah mendengar permintaan Gabriel itu. Ifypun menunduk.

"Fy..."

"Maaf, Kak Gabriel. Aku nggak bisa," Ify melepaskan tangan Gabriel yang tadi menggenggamnya.

"Kenapa, Fy?"

Gabriel merasakan hatinya dilanda ketakutan yang sangat besar. Ia takut apa yang ditakutkannya akan benar-benar terjadi. Ia tak mau kehilangan Ify. Ia tau Ia egois. Namun Ia benar-benar menyayangi Ify. Ia takkan mau jika harus kehilangan Ify untuk alasan apapun. Dan Ia biarkan keegoisannya menang.

Namun mendengar jawaban Ify tadi membuat rasa takut itu kembali menghantuinya. Ketakutan yang merajalela di dadanya. Ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi sekarang ini.

"Kak, aku udah nggak bisa lagi bohongin perasaan aku. Semuanya udah berubah, Kak. Perasaan itu udah nggak sama lagi. Cinta itu udah bukan milik kamu."

"Rio kan? Dia kan yang udah nyingkirin aku dari hati kamu."

Ify menggeleng kuat.

"Bukan. Bukan Kak Rio yang udah nyingkirin kamu dari hati aku. Tapi kamu sendiri yang bergerak keluar dari hati aku. Dan saat kamu coba buat masuk lagi ke hati aku, hati aku udah kekunci dan cuman Kak Rio yang punya kuncinya."

"Fy, aku nggak mau kehilangan kamu."

"Kamu nggak akan kehilangan aku kok. Kita bisa jadi temen. Tapi aku mohon, lupain semua yang pernah terjadi sama kita. Anggep itu semua cuma masa lalu yang nggak akan mungkin diulang lagi."

Ifypun bangkit dari duduknya dan melangkah pergi dari kantin. Memeberikan waktu pada Gabriel untuk sendiri. Memikirkkan ucapannya tadi. Karena masa lalu memang bukan untuk diulang. Masa lalu hanya untuk dikenang dan dijadikan pelajaran. Agar mampu menjadi pribadi yang lebih baik dari yang lalu.

Masa lalu bagaikan buku catatan yang sudah penuh. Disimpan untuk bekal masa depan. Jika ujian tiba, barulah kita buka dan pelajari buku catatan itu agar dapat melewati ujian itu dengan baik.

Meskipun ini berat untuk Gabriel, namun Ify yakin Gabriel bisa menerimanya. Ify tak ingin ada yang terluka lebih lagi dari ini.

*****

2 comments:

  1. kyaaaaaaaaaaaaaaaaa.... aishhhhhhhh nyesekkkkk na naudzubillah ka amel.. duhh gue udah gak sabar nunggu rify bersatu... keep next kaka...

    fighting.. gue selalu nunggu cerita ini.. thank you karena lo pengertian banget tiap hari lanjut... semoga terus begitu..


    ReplyDelete
  2. Huuuuuwaaaaa kak ini keren bangett jleebbb binggo kak, huuuuuwaaaaa gue harap rify cepet bersatu deh huuufftt biar si shilla sadar juga nantinya kak, semangattt hehe nulisnya kak :D

    ReplyDelete