Monday, April 27, 2015

Pilihan Hati (Part 12)

Part 12




Suasana pagi menjelang siang kala itu membuat makhluk penghuni bumi mengucurkan keringat dengan deras. Panas terik sang surya bagaikan membakar seluruh isi bumi. Begitupun dengan siswa-siswi SMA Global Bintang yang tengah menikmati waktu istirahat mereka.

Ify mengisi salah satu meja di kantin dan duduk dengan melipatkedua tangan di atas meja. Mendengarkan pemuda yang beberapa bulan lalu memutuskan hubungan mereka secara sepihak dan mendadak, berbicara, setelah Gabriel memohon pada Ify untuk ikut dengan Gabriel demi menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Ify yang luluh akhirnya mengikuti Gabriel yang akhirnya membawanya ke kantin.

"Aku udah berusaha sekuat tenaga buat bikin papa ngebatalin rencananya ngejodohin aku sama anak partner kerjanya. Tapi papa tetep keras kepala. Katanya partner kerjanya itu juga sahabatnya. Kalo aku enggak nurutin kemauan papa, papa nggak mau nganggep aku anak lagi. Terpaksa aku ikutin deh."

"Terus kenapa kamu malah mutusin aku?"

"Aku pikir cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Tapi, bahkan takdir nggak ngizinin waktu buat ngehapus bayang-bayang kamu, Fy."

Ify menyenderkan tubuhnya pada senderan kursilalu menghembuskan nafasnya keras. Ia mengalihkan pandangannya ke lain arah.Akal sehatnya berusaha mencerna penjelasan yang diberikan oleh pemuda dihadapannya itu. Ify kembali menatap lawan bicaranya ketika lelaki itu kembali buka suara.

"Setelah aku berusaha buat turutin kemauan papa dengan ikut papa ke Kuala Lumpur dan berusaha ngelupain kamu, ternyata aku ngerasa tersiksa yang sangat amat. Beberapa hari pertama, aku pikir perasaan yang tersiksa itu karna baru awal. Tapi ternyata setelah hampir 2 bulan, perasaan itu nggak berubah. Dan aku nggak bisa ngelupain kamu. Sampe akhirnya masuk bulan ke enam, aku udah nggak kuat. Aku kangen sama kamu. Akhirnya aku putusin buat kabur lagi ke sini."

"Terus papa kamu?"

"Papa aku? Dia marah banget. Semua fasilitas aku dicabut. Untung aja ada om aku yang ngizinin aku masuk ke sekolahnya yang kebetulan juga sekolah kamu. Jadi aku tetep bisa sekolah di sini. Bukan cuman sekolah, aku juga numpang hidup sama beliau."

Ify menelan ludah mendengarkan penjelasan Gabriel. Ia tak menyangka, Gabriel rela melakukan semuanya hanya untuk dirinya. Cerita yang selama ini diketahuinya hanya ada dalam sinetron, kini menimpa Ia dan Gabriel.

"Kak, aku nggak nyangka, kaka sampe segitunya. Demi aku..."

Gabriel tertawa miris, lalu menggapai tangan Ify yang tengah tertumpuk di atas meja. Menyentuhnya. Berusaha menyalurkan rasa rindu yang teramat dalam yang tengah dirasakannya untuk gadis yang masih menempati ruang di hatinya itu.

Ify terkesiap kala merasakan sebuah sentuhan hangat di tangannya. Hatinya berkata ada sesuatu yang aneh saat merasakan sentuhan yang sudah lama dirindukannya itu kini dapat kembali menyentuhnya.

"Aku masih sayang banget sama kamu, Fy."

Ify berusaha tersenyum sebiasa mungkin agar tidak terlihat dipaksakan dan menumpukan tangan kanannya di atas tangan Gabriel. Mencoba menata perasaan yang terasa sangat asing untuknya.

Bukankah ini yang diinginkannya? Tapi mengapa rasanya aneh sekali mendapati segala harapannya terkabul dalam wujud kenyataan?

*****

"Tadi itu siapa, Yo?" tanya Alvin ketika mereka sudah sampai di dalam kelas.

Baru saja Rio, Alvin, dan Cakka ingin melangkah ke dalam kantin, langkah mereka dicegat oleh Rio yang tiba-tiba saja berhenti melangkah dan mematung menatap ke satu sisi kantin, di mana di atas sebuah meja tangan Ify dan Gabriel saling betumpuan. Dan mau tak mau, Alvin dan Cakka yang mengerti perasaan sahabatnyapun memilih untuk mengorbankan rasa lapar mereka demi perasaan Rio.

"Mantannya."

"Jangan-jangan mereka balikan?" ceplos Cakka yang membuat Rio sontak menoleh dan menatap tajam Cakka. Alvin memelototi Cakka, membuat Cakka meringis dan menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal sama sekali.

"Lo kayanya udah masuk tahap sayang ya, Yo, sama Ify? Kalo nggak, lo nggak mungkin segini cemburunya."

Rio menghembuskan nafas berat.

"Yah, padahal gue udah seneng banget lo naksir sama Ify. Lo banyak berubah loh semenjak sering sama Ify. Lo nggak arogan lagi, nggak emosian lagi, nggak seenaknya lagi. Lo lebih ngehargain orang lain. Pokoknya beda bangetlah sama yang dulu."

"Kali ini gue setuju sama Cakka, Yo. Lo emang banyak berubah belakang ini. Yang pasti lo jadi lebih sering senyum."

Cakka mengangguk-angguk menyetujui ucapan Alvin.

"Gue nggak pernah ngerasain ini sebelumnya. Dan gue nggak tau apa yang harus gue lakuin sekarang," lirih Rio sambil memijit bagian tengah dahinya yang terasa berdenyut-denyut.

*****



Via merentangkan kedua tangannya. Merenggangkan otot-otot di tubuhnya. Melalukan stretching di pagi hari untuk memulai aktifitasnya. Via mengedarkan pandanganke seluruh penjuru sekolah yang terjangkau pengelihatannyayang kini tengah berdiri di depan pintu kelas yang menghadap langsung ke lapangan.

Via membelalak ketika matanya menangkap sahabatnya, Ify, tengah berjalan bergandengan dengan seorang siswa yang memang belum diketahui identitasnya oleh Via. Masih belum mempercayai apa yang baru saja dilihatnya, Via mengucek-ngucek matanya. Lalu kembali melihat kearah yang sama.

Namun apa yang ditemukannya tadi, tak berubah. Ify berjalan bergandengan dengan seorang siswa dan semakin mendekat ke arahnya. Via melangkah mundur dan bersembunyi di balik tembok kelas.

"Nanti pulang bareng aku, kan?"

Ify mengangguk seraya tersenyum menjawab pertanyaan Gabriel ketika mereka sudah tiba di depan kelas Ify. Via berusaha mengintip dari balik tembok.

"Kalo gitu aku ke kelas dulu ya, sayang. Kamu belajar yang bener ya. Jangan mikirin aku terus."

"Aku? Kamu? Sayang? Ha?" gumam Via. Kecurigaannya semakin kuat.

"Okeh deh. Kaka juga ya."

"Iya Ifyku sayang. Dadah," Gabriel melambaikan tangannya lalu melangkah pergi. Ify hanya tersenyum masam melihat kelakuan Gabriel.

Ify membalikan tubuhnya hendak masuk ke dalam kelas. Namun baru saja ingin menggerakan kakinya, tiba-tiba saja Via muncul dihadapannya. Mengagetkannya. Ify mengelus dada.

"Via! Hampir aja jantung gue jatoh ke bawah."

"Tadi itu siapa?" tanya Via langsung tanpa memperdulikan protes Ify.

Ify terkesiap mendengar pertanyaan Via. Wajahnya menegang tiba-tiba. Apalagi ketika Ify menangkap ekspresi curiga Via. Ify sampai menahan nafas saking tegangnya.

"Ha? Lo liat Vi?"

"Iya! Sekarang jelasin kenapa lo sama dia bisa dateng berdua sambil gandengan tangan udah gitu pake acara sayang-sayangan!"

Ify menghembuskan nafas lesu. Percuma Ia berusaha menyembunyikan yang sebenarnya. Toh, semuanya memang pasti akan terbongkar juga. Ifypun menatap Via.

"Dia itu Gabriel Steven Damanik. Mantan gue yang pernah gue ceritain sama lo dulu."

"Ha?! Jangan bilang kalo lo berdua..."

"Ya, kita balikan."

"IFYYYYYYYYYYYY!!!"

*****



"Aku mau dong disuapin juga sama kamu."

Gabriel merajuk pada Ify setelah tadi Ia menyuapi Ify sesendok nasi rames. Kini mereka sedang berada di kantin karena sekarang adalah waktunya mereka istirahat.

"Ha?"

Ify gelagapan sendiri mendengar permintaan Gabriel. Ifypun memaksakan sebuah senyum pada Gabriel. Lalu menusuk sebuah bakso yang dipesannya dengan garpu. Diulurkannya tangannya ke Gabriel. Dengan tawa bahagianya,Gabriel memasukan bakso itu ke dalam mulutnya.

"Makasih sayang."

Gabriel mengacak rambut Ify. Ify mengangguk sambil tersenyum.

Dari salah satu meja tak jauh dari meja Ify dan Gabriel, Rio meremas sendok yang tengah digunakannya untuk memakan nasi goreng pesanannya. Hatinya bagai dipukul palu besar. Menyaksikan adegan demi adegan yang terjadi di salah satu meja kantin.

Ingin sekali rasanya Rio berlari menghampiri kedua insan Tuhan yang menurut pandangannya tengah berbunga itu. Lalu ditonjoknya wajah sok mupengnya Gabriel hingga tak berbentuk. Namun tak punya hak untuk melakukannya, Rio lebih memilih melampiaskannya dengan meremas sendok di tangannya.

"Kalo jodoh nggak akan ke mana kok, Kak."

Via muncul tiba-tiba dengan membawa nampan yang berisi semangkuk mie ayam dan segelas orange juice. Setelah memindahkan isi nampannya ke atas meja, Viapun duduk di sebelah Alvin.

Rio mengalihkan pandangannya dari Gabriel dan Ify ke Via.

"Ya, kalo Kak Rio jodoh sama Ify, hubungan mereka pasti cuman sesaat kok."

Via menjelaskan maksud pernyataannya pada Rio. Mengerti tatapan mata Rio yang meminta penjelasan darinya. Sambil mengaduk-aduk mie ayam pesanannya, Via melirik Rio. Ingin tahu ekspresi yang muncul di wajah Rio.

"Iya, bener kata Via, Yo. Kalo nggak balik ke lo, berarti dia bukan yang terbaik buat lo. Dan lo tenang aja, Tuhan udah siapin bidadari yang jauh lebih baik dari Ify."

Rio menghela nafas.

"Gue cuman nggak tau apa yang harus guelakuin sekarang. Kadang, gue nggak bisa ngendaliin perasaan gue."

"Kak Rio, Ify pernah cerita sama gue. Ada sesuatu dibalik hubungan mereka."

Rio mengerutkan keningnya. Tak mengerti.

"Sesuatu?"

Via mengangguk.

"Kak Gabriel itu nyeritain semua pengorbanannya buat Ify. Karena nggak tega Kak Gabriel sampe nggak diakuin anak lagi sama bokapnya, ya akhirnya Ify terima."

Rio menatap Gabriel dan Ify yang kini tengah tertawa bersama. Sepengelihatannya, mereka benar-benar tengah menikmati masa-masa indah yang dulu pernah hilang namun kini telah kembali lagi. Menatap kedua insan Tuhan yang sedang berbahagia itu dengan tajam, namun lirih.

Ada rasa tak rela melihat gadis yang memiliki tempat spesial di hatinya itu tertawa bahagia dengan laki-laki lain. Seandainya saja, Ia memiliki hak untuk menarik Ify menjauh dari Gabriel. Seandainya saja.

*****



Awan hitam memayungi kota metropilitan siang itu. Rintik-rintik air mulai jatuh menandakan bahwa langit akan segera mengguyurkan hujan lebat karena petir mulai menyambar-nyambar langit.

Dan benar saja, tak lama kemudian hujan bak berlomba-lomba untuk membasahi bumi. Membuat seluruh siswa-siswi yang sudah merindukan kamar dan kasur mereka, terpaksa mengurungkan niatnya agar tidak terkena amukan air yang jatuh dari langit itu. Sedangkan yang sudah terlanjur basah lebih memilih menerobos hujan dan segera melesat pulang.

Namun Ify lebih memilih berteduh di tepi koridor menunggu hujan reda ditemani dengan keksaihnya, Gabriel. Mereka berencana pulang bersama hari ini. Ify menegadah ke atas, memandangi tetesan-tetesan hujan yang jatuh membasahi tanaman-tanaman yang berada di tepi lapangan.

Gabriel memperhatikan kelakuan Ify itu. Ia tersenyum.

"Fy, ayo kita pulang. Udah reda tuh hujannya. Sebelum hujannya deras lagi."

Ify menoleh pada Gabriel lalu menatap ke depan. Air yang tadi bagaikan mengguyur tanpa ampun, kini sudah menjadi tetes-tetes air. Ify kembali menoleh pada Gabriel, lalu mengangguk.

"Ayo."

Dalam perjalanan, tak ada suara terdengar selain suara mesin mobil yang menderu di jalanan Ibu Kota. Ify lebih memilih menatap jalanan yang siang itu lenggang dan sedikit becek. Hujan yang tadi sudah berhenti, telah kembali mengguyur. Dan Gabriel memfokuskan diri mengemudikan mobil, demi keselamatannya dan Ify.

Suasana hening yang menyelimuti mobil Gabriel kala itu, membuat keduanya berada dalam kecanggungan. Bingung apa yang harus dilakukan ataupun dikatakan. Maka dari itu, perjalanan mereka siang itu ditemani oleh keheningan.

Tiba-tiba saja Gabriel menginjak pedal remnya. Membuat mobilnya berhenti mendadak karena sebuah mobil dengan tak terduga menyalip mobil Gabriel dari kanan dan berhenti di depan mobilnya, mengejutkan keduanya.

"Sialan banget itu orang! Mau mati apa, ya?!" umpat Gabriel.

Ify menahan nafas melihat pemilik mobil yang memang sudah dikenalinya itu keluar dari dalam mobil tanpa memperdulikan tubuhnya yang langsung diserang air hujan. Rio, si pengendara mobil yang membuat Gabriel terpaksa menginjak pedal rem secara mendadak itu melangkah menuju ke pintu mobil Gabriel sebelah kiri.Ify tau pasti pemuda itu mencarinya.

Ify menoleh ke sebelah kirinya. Di mana Rio mengetuk atau lebih tepat jika dikatakan menggedor kaca jendela mobil Gabriel. Menyerukan nama Ify. Membuat jantung Ify berdebar cepat. Apa yang harus dilakukannya?

"Ify!! Turun!!" teriak Rio mengimbangi suara hujan masih menggedor kaca jendela sebelah kiri mobil Gabriel.

Ify melirik Gabriel yang membelalakan mata melihat tingkah kakak kelas yang belum dikenalnya secara langsung itu. Lalu kembali menoleh ke sebelah kirinya. Melihat aksi Rio yang tak juga berhenti, Ifypun membuka seatbeltnya. Ia memutuskan untuk turun menghampiri Rio. Mengabaikan panggilan Gabriel terhadap dirinya.

Tanpa pelindung apapun, Ify tak mengacuhkan hujan yang mengguyurnya tanpa ampun. Membiarkan tubuhnya basah kuyup akibat guyuran hujan. Setelah menutup pintu mobil Gabriel, Ify menatap tajam Rio yang memperhatikannya dengan nafas yang terengah.

Tanpa peringatan terlebih dahulu, Rio menarik Ify ke dalam pelukannya. Mendekap gadis itu seerat mungkin. Ify terkejut. Tubuhnya menegang. Debaran itu kembali dirasakannya. Debaran dada yang bergemuruh yang hanya dirasakannya karena Rio. Hanya jika bersama Rio. Dan debaran itu memang milik Rio.

Ify terdiam. Memejamkan mata menikmati debaran yang kembali hadir. Membiarkan dirinya hanyut akan debaran yang kembali membangkitkan perasaan yang sudah dipendamnya dengan susah payah selama beberapa waktu belakangan ini. Tak dapat disangkal, Ia merindukan Rio.

Rio semakin mempererat pelukannya pada Ify yang tak membalas memeluknya namun juga tak meronta. Ia tau, Ify memiliki rasa rindu yang sama seperti yang dirasakannya. Dan Ia tau, tak ada yang mampu melunturkan rasa rindu itu, meskipun air hujan mengguyurnya tanpa belas kasihan seperti ini.

Gabriel turun dari dalam mobilnya dengan niat memisahkan gadisnya dari dekapan laki-laki lain. Namun entah apa yang menahannya, Gabriel menghentikan langkahnya di samping mobilnya. Memperhatikan keduanya yang sepertinya tengah dilanda sesuatu yang tak dimengerti Gabriel. Gabriel hanya mampu mengepalkan tangannya tanpa bisa melayangkannya ke wajah Rio. Tubuhnya terpaku seperti ada yang mengunci tubuhnya.

Setelah puas menikmati debaran liar nan indah itu, Rio melepaskan pelukannya. Ia menyentuh kedua lengan Ify. Menatap mata Ify tepat di manik matanya. Membuat Ify yang hendak mengalihkan pandangan terhipnotis dan terpaku.

"Kenapa, Fy?" lirih Rio namun tajam.

Ify terdiam. Ia masih tak mengerti dengan potongan kalimat tanya yang Rio lontarkan. Menunggu kelanjutan dari kalimat itu.

"Kenapa lo nggak perduliin perasaan gue? Kenapa lo balik sama dia?"

Ify menelan ludah mendengar kelanjutan pertanyaan Rio yang juga menjelaskan rasa sakit yang dimiliki Rio secara tersirat.

"Kak Rio..."

"Gue sayang sama lo, Fy."

"Kak..."

Ify melepaskan kedua tangan Rio yang masih mencengkram lengannya. Tatapan tajam Rio tak mampu menyembunyikan luka yang terpancar dari matanya. Sesungguhnya Ifypun terluka melihat luka tersirat itu. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ada rasa meluap-luap yang tak pernah Ia rasakan termasuk pada Gabriel. Rasa meluap-luap yang mungkin orang sebut dengan jatuh cinta. Dan jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Ia ingin mengucapkan kalimat yang sama seperti yang Rio ucapkan padanya tadi. Namun sisi kemanusiaannya melarangnya untuk hanyut lebih jauh dengan perasaan yang tengah menggebu-gebu di dadanya.

Air mata yang untung saja tersamar dengan air hujan itu runtuh tanpa bisa dibendung lagi. Ketidakjujurannya pada Rio, membuat hatinya bak teriris.

"Maaf, Kak. Gue nggak bisa."

Ify mengucapkannya dalam satu tarikan nafas agar tidak tersendat dan menimbulkan kecurigaan. Dengan susah payah, Ify berbohong pada hatinya.

"Fy..."

"Ada yang lain, Kak."

"BOHONG!"

Ify menggeleng. Menghindari tatapan mata Rio. Rio kembali mencengkram lengan Ify. Namun Ify kembali melepaskan tangan Rio. Ia tidak ingin kalimat yang tadi sudah susah payah dilontarkan bibirnya, harus ditariknya kembali karena tatapan dan sentuhan Rio yang pasti mampu meluluhkannya.

"Maaf, Kak."

"Fy." Gabriel berteriak mengimbangi suara hujan memanggil Ify. Ify menoleh pada Gabriel. Rasa bersalah langsung menghantuinya saat Ia melihat raut wajah merah padam Gabriel. Ia tau Gabriel cemburu pada Rio. Dan kalimat Gabriel beberapa waktu lalu terputar kembali di benaknya.

'Papa aku? Dia marah banget. Semua fasilitas aku dicabut. Untung aja ada om aku yang ngizinin aku masuk ke sekolahnya. Jadi aku tetep bisa sekolah di sini yang kebetulan juga sekolah kamu. Bukan cuman sekolah, aku juga numpang hidup sama beliau.'

Bagi Ify, pengorbanan Gabriel demi dirinya sudah terlalu berlebihan. Apa jadinya jika pengorbanan itu ditukar dengan luka oleh Ify? Ify tak mau Gabriel berfikir jika Ify tak tau kata menghargai. Maka dari itu, membohongi hatinya adalah pilihan terbaik untuk sekarang ini.

Ify tersenyum miris lalu menundukan kepalanya. Memantapkan hati atas apa yang telah dipilihnya. Bukankah dalam kisah cinta harus ada yang dikorbankan? Ify tak mau egois. Gabriel telah mengorbankan segala-galanya hanya untuk dirinya.

Ify membalikkan tubuhnya. Hendak melangkah kembali ke mobil sebelum tangan Rio kembali menggenggam tangannya, menahannya.

"Jangan pergi, Fy! Gue mohon."

Permintaan Rio yang terdengar lirih namun tajam itu menyentil hatinya. Sesungguhnya Ify ingin sekali kembali membalikan tubuhnya dan memeluk pemuda itu. Melampiaskan seluruh rasa rindu yang hadir. Namun sekali lagi, Ia takkan membiarkan keegoisannya menang.

Ify kembali tak dapat membendung air matanya untuk tak jatuh. Akhirnya air mata itupun kembali mengalir membasahi pipinya dan tersamar oleh air hujan yang belum juga puas mengguyurnya. Ify menghela nafas.

"Maaf, Kak."

Untuk yang ke sekian kalinya Ify melepaskan tangan Rio yang mencengkramnnya. Tanpa berani menatap mata Rio yang pasti akan mengobrak-abrik perasaannya, Ify melangkahkan kakinya langsung ke dalam mobil Gabriel. Mengabaikan permintaan Rio. Meninggalkan Rio, juga lukanya. Membuat Rio terpaku tak percaya dengan jawaban Ify.

Setelah Gabriel menyusul Ify ke dalam mobil, mobil Gabrielpun melesat pergi dari sana. Benar-benar tak memperdulikan Rio yang tengah terluka.

Rio mengepalkan tangannya kuat-kuat mendapati kenyataan Ify lebih memilih murid baru itu daripada Ia. Ini bukan jawaban yang diinginkannya. Ini bukan akhir yang diharapkannya. Pertama kalinya Ia merasakan indahnya jatuh cinta. Pertama kalinya juga Ia merasakan hancurnya tak diacuhkan.

Luka berdarah yang baru saja tercipta menggoyahkan sisi kelelakiannya. Ia jatuh tak berdaya. Rasanya benar-benar hancur. Tak pernah Ia merasakan sebuah kehancuran yang benar-benar mengoyaknya seperti ini. Sakit. Dan rasa sakit itu tak mampu Ia jelaskan dengan kata apapun.

Inikah yang orang sebut patah hati?

'Kau hancurkan aku dengan sikapmu. Tak sadarkah kau telah menyakitiku. Lelah hati ini meyakinkanmu. Cinta ini membunuhku...' (D'Masiv - Cinta Ini Membunuhku)

*****





5 comments:

  1. gilaaaaaaaaa..... nyesekk abis kak... huhu...duh.. duh.. Ify kenapa lo pilih RYAN!!!! Rio fy Rio.. ahelahh.. semoga waktu menyadarkan Ify untuk menyadari perasaan yang di sangkalnya untuk Rio...

    wkwk... Gue ngikutin cerita ini dari awal duhh makin kece..

    Keep lanjut kak.. gue nunggu...*hihi sorry gue komen mulu*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salah, bukan Ryan itu Gabriel. wkwk lupa diedit :D
      gapapa. selalu koment ya disetiap part.;) aku selalu nunggu koment kamu:D

      Delete
  2. Huuuuuwaaaaa gue baru tau kak kalau ini dilanjut.... Huuueee seneng banget akhirnya setelah lama nunggu dilanjut dan makon kereeennnnn... Next kak :) aku menunggu :)

    ReplyDelete
  3. omaigaaat kok Ify nya balikan sama Gabriel sih? aaaak potek-potek nih kaaaak

    ReplyDelete