Wednesday, March 18, 2015

Pilihan Hati (Part 3)


Part 3

Ify dan Via melangkah menuju ke dalam kelas mereka sambil bersenda gurau, tertawa bersama, dan membahas kejadian di lapangan tadi. Terkadang Via memuji Ify. Terkadang juga Via mencibirnya.
Sedang asiknya bercanda ria, tiba-tiba saja tubuh langsing Shilla sudah berada di depan mereka. Mencegat langkah mereka berdua. Membuat Ify dan Via terpaksa menghentikan langkah dan canda mereka.
Ify dan Via seketika menghentikan aktifitas mereka. Ditatapnya Shilla yang sedang berdiri di hadapan mereka dengan tangan terlipat di depan dada. Ify mengangkat satu alisnya. Bingung.
“Ada urusan apa ya?” tanya Ify mencoba sebiasa mungkin.
Shilla tersenyum miring. Lantas membuang pandangannya ke arah lain. Lalu kembali ditatapnya Ify. Dan Shilla melangkah maju mendekati Ify.
“Berani banget lo ya nantangin Kak Rio?!” tanyanya seperti meremehkan.
“Emang kenapa? Lo nggak suka?”
“Nggak usah belagu deh lo ya jadi orang! Baru segitu aja udah sok paling hebat lo! Ciih..”
“Heh, gue nggak ngerasa kalo gue paling hebat ya!? Tapi kalo lo berpikirnya kaya gitu, yaudah… terserah lo!”
“Ciiih. Lo tuh pengen banget banget banget gue anggep hebat ya? Kasian banget sih lo…” Shilla kembali tersenyum meremehkan.
“Yang harusnya bilang kaya gitu tuh gue! Lo tuh jangan mentang-mentang senior gue, terus lo bisa dengan seenak jidat lo ngejajah gue. Ngerasa gue ini nggak ada apa-apanya. Sori ya Kak Shilla yang katanya terhormat, gue nggak takut sama senior sengak kaya lo!”
Shilla memicingkan mata menatap tajam Ify. Merasa teremehkan dengan ucapan Ify.
“Terserah deh ya lo mau ngomong apa! Gue cuma mau peringatin elo! Jangan pernah macem-macem sama Kak Rio, karna lo bakal langsung berurusan sama gue! Ngerti lo!?”
Whatever deh ya. I don’t care…. Misi ah, gue mau balik ke kelas. Yuk Vi!”
Via pasrah saja mengikuti Ify yang menarik tangannya menjauh dari Shilla. Lagi-lagi Via hanya bisa menonton adegan Ify dan Shilla tanpa bisa membuka suaranya. Ia memang akan lebih memilih diam daripada harus ikut campur dan menambah masalah.
*****

Rio mengayuh sepeda fixie hijaunya di sepanjang jalanan sekitar kompleks rumahnya. Sambil menikmati udara sore yang sejuk. Jarang-jarang Ia bisa berkeliling dengan sepedanya. Biasanya dia hanya sibuk mengurus tugas-tugas OSIS dan tugas-tugas sekolah yang menumpuk. Hari ini, hari Sabtu. Hari yang pas untuk refreshing setelah hari-hari sebelumnya bergumul dengan tugas-tugas sekolah yang membosankan.
Rio melihat di depan sana banyak orang-orang yang berteriak heboh hingga terdengar dari jarak lima ratus meter.
‘Palingan topeng monyet. Tapi kayanya seru. Liat aaah…’ Rio membantin.
Dikayuhnya sepeda hijaunya itu dengan kecepatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Bahkan berkali-kali lipat lebih tinggi. Namun tiba-tiba saja terdengar seseorang berteriak.
“AAAAAAA STOOOOOP!!!!!!”
BRAK BRUK PRANG
“Aaaaww!!!!” pekik si korban.
Rio yang ketika insiden tadi terjadi ikutan terjatuh karena sepedanya tidak memiliki rem, celingak-celinguk mencari korban tabrak sepedanya. Dan ternyata si korban ada di sebrang jalan sana. Rio berdecak melihat korbannya itu meniup sambil mengipas-ngipaskan tangannya ke lututnya yang berdarah.
Rio bangkit dari duduknya dan menghampiri korbannya itu.
“Lo nggak apa-apa kan?” tanya Rio.
“Nggak apa-apa gimana?! Liat nih lutut gue berdarah… hiks hikss!” omel si korban masih sambil mengipas-ngipaskan lututnya dan meniup-niupkannya.
“Ck… Mana sini gue liat!” Rio berjongkok di sebelah korbannya itu. Korbannyapun menoleh ke arah Rio. Dan matanya melebar ketika melihat sosok Rio di sebelahnya.
“Kak Rio? Ck. Sialan lo!” Ia mendorong pundak Rio hingga Rio hampir saja tersungkur ke belakang jika Rio tidak menumpu tubuhnya dengan kedua tangannya.
“Lo kalo mau bales gue nggak gini caranya dong! Nggak fair banget lo pake cara ngelukain gue!” bentak gadis itu.
Rio berdecak kesal melihat kelakuan dan mendengar tuduhan asbun dari gadis ini.
“Heh, siapa juga yang mau ngebales lo!? Gue aja nggak tau kalo tadi tuh elo yang nyebrang! Kalo tau juga gue males banget nabrak lo!” Rio mengalihkan pandangannya. Lalu bangkit berdiri.
“Heh, siapa nama lo?” tanya Rio dingin.
“Ify.”
“Ify, oke gue minta maaf. Tadi gue udah nawarin bantuan tapi lo nya malah nuduh gue! Terserah lo deh sekarang. Gue mau pulang! Udah sore!” Rio membalikkan tubuhnya hendak berjalan meninggalkan Ify. Namun baru dua langkah, tiba-tiba saja Ify memanggilnya.
“Kak Rio!”
Rio berhenti melangkah namun tanpa membalikkan tubuhnya.
“Kaki gue perih. Gue nggak bisa bangun!” ucap Ify mengeluh.
“Terus?” tanya Rio tak perduli.
“Bantuin gue! Lo kok nggak bertanggung jawab banget sih!” kesal Ify.
Rio mencoba melirik Ify dengan ekor matanya. Karena ternyata tidak terlihat, akhirnya Rio membalikkan tubuhnya. Lalu menaikkan satu alisnya.
“Tadi gue mau bantuin, lonya malah nuduh gue bales dendam. Sekarang gue mau pergi lonya malah minta gue bantuin. Mau lo tuh apa sih?!” tanya Rio sewot.
“Jahat lo kak!”
Ify pun mencoba untuk bangun dari posisi duduknya. Rio hanya memperhatikan gerak- gerik Ify sambil melipat kedua tangannya di dada. Namun karena kakinya masih terasa perih akhirnya usahanya gagal. Ia hampir saja terjatuh terantuk batu jika Rio tak menahan tubuhnya.
“Nggak usah sok bisa deh kalo ga bisa!” ucap Rio dingin. Sambil membantu Ify untuk berdiri dengan sempurna.
Ify terdiam membenarkan ucapan Rio. Ia hanya ingin menunjukkan pada Rio, bahwa Ia juga bisa sendiri tanpa bantuan Rio. Namun pada kenyataannya, Ia memang tidak bisa.
“Tunggu di sini lo! Gue ambil sepeda dulu!” suruh Rio. Ify hanya mengangguk pasrah mengikuti perintah sang kakak kelas.
Rio pun meninggalkan Ify untuk mengambil sepedanya. Ify hanya bisa menghela nafas. Tak lama kemudian, Rio kembali sudah dengan mengayuh sepedanya.
“Naik lo!” suruh Rio.
Ify memperhatikan sepeda Rio dari depan sampai belakang, lalu menatap Rio.
“Gue mau duduk di mana, Kak?” tanya Ify sambil menggaruk kepalanya. Pasalnya, Ia tidak menemukan boncengan pada sepeda Rio.
Rio menunjuk besi sepeda yang ada di depannya dengan matanya. Memberitahu Ify bahwa di situlah Ify duduk.
“Haaa? Di situu?!” Ify membelalakan matanya dan langsung menggelengkan kepalanya pertanda Ia tidak mau.
“Lo mau gue anterin pulang atau pulang sendiri aja sana?!” ancam Rio.
“Tap.. tapi… masa gue duduk di situ sih kak?!” tanya Ify pasrah.
“Ya emangnya kenapa? Tenang aja sepeda gue selalu gue cuci tiap dua hari sekali. Jadi nggak bakal ada cacing atau kumannya!” jelas Rio datar tanpa menoleh ke Ify.
“Bukan gitu.. tapi….”
“Nggak pake banyak protes! Lo mau gue anterin atau jalan sendiri!?”
“Heeuh, iya deh ah…”
Dengan sangat terpaksa, Ifypun akhirnya menyetujui dan duduk di besi depan sepeda Rio itu. Setelah sekiranya sudah siap, Riopun mulai mengayuh sepedanya.
Sepanjang jalan, Ify merasakan sesuatu yang aneh. Jantungnya berdebar cepat. Tubuhnya terasa memanas. Ia tidak pernah berada dalam jarak sedekat ini dengan seorang laki-laki sekalipun dengan mantan kekasihnya dulu.
Keheningan terjadi di antara keduanya. Tidak ada yang membuka suara. Entah untuk alasan apa. Hanya sesekali Ify memberitahukan jalan menuju rumahnya. Rio hanya menatap lurus ke depan. Ia benar-benar terlihat dingin sekali dengan ekspresi seperti itu.
Sekitar lima belas menit terlewat, akhirnya mereka sampai juga di rumah Ify. Rio menurunkan standar sepedanya. Ifypun turun dari sepeda Rio. Ify menghela nafas panjang. Mencoba menetralkan perasaannya. Menetralkan detak jantungnya yang berdebar tak karuan itu.
‘Gilaaa, kok bisa-bisanya sih gue ngerasa deg-degan kaya tadi? Ya Tuhaaaan, apa apaan coba ini..’ batinnya berteriak.
Ify kembali menarik nafasnya, mencoba kembali menetralkan detak jantungnya yang masih lompat-lompat tak jelas itu.
“Heh, ngapain lo diem di situ?!” tanya Rio membuyarkan pikiran Ify.
Ify merenggut kesal mendengar pertanyaan Rio yang diucapkan dengan nada seperti membentak itu. Ify membalikkan tubuhnya lalu mendengus sebal sambil menyipitkan matanya.
“Suka-suka guelah! Kaki kaki gue! Kenapa lo yang sewot?!” sewot Ify tak mau kalah.
Rio mengangkat satu alisnya mendengar sewotan Ify. Namun tak Ia ambil pusing akan itu, dinaikinya kembali sepedanya itu.
“Gue pulang dulu, udah mau maghrib,” pamitnya dingin tanpa menoleh ke Ify. Setelah itu, digenjotnya kembali sepedanya itu. Lalu perlahan menjauh dari pandangan Ify dan menghilang di belokan. Ify menghembuskan nafas berat untuk kesekian kalinya.
“Dasar rese!”
*****

Via melangkah perlahan di sepanjang koridor utama yang bersebelahan dengan lapangan. Via menoleh ke arah lapangan. Lalu berhenti melangkah. Dilihatnya Alvin sedang melempar-lemparkan bola basketnya itu ke dalam ring. Beberapa kali bola itu masuk, namun tak jarang juga meleset.
Diperhatikannya sosok menawan itu dari pinggir lapangan. Permainannya benar-benar menakjubkan. Alvin memang salah satu kakak kelas/siswa yang paling diidolakan oleh sebagian siswi. Selain karena Alvin itu ganteng, Alvin juga ramah kepada semua orang.
Pemuda oriental dengan bola mata berwarna coklat. Hidung mancung dan bibir berwarna merah merekah. Menggoda setiap gadis yang melihatnya. Apalagi, bibir sempurna itu selalu merekahkan senyum kepada siapapun. Dengan tubuh tinggi tegap, membuatnya terlihat semakin gagah. Alvin berbeda dengan pemuda oriental lainnya. Meski keturunan pribumi, matanya tidak hanya terlihat segaris.
Dibalik watak cuek cool nya, Alvin adalah seseorang yang sangat murah senyum dan baik hati kepada siapapun. Itulah yang membuat Via jatuh cinta pada sosok Alvin. Dilihatnya Alvin mengelap keringatnya yang bercucuran di wajah putihnya itu.
Via membetulkan letak kacamatanya yang sedikit terasa tidak nyaman, lalu tersenyum senang karena mendapatkan suatu ide. Iapun melangkah pergi dari sana.
*****
Alvin merasakan sinar matahari hari ini lebih panas menyengat tubuhnya. Baru dua puluh menit bermain, keringatnya sudah bercucuran deras hingga membasahi kemejanya. Padahal Alvin memakai baju dobel dengan kaos. Tetapi tetap saja kemejanya itu ikutan basah.
Ia berhenti sejenak untuk mengelap keringatnya yang membasahi pelipisnya itu. Ia seperti mandi keringat. Kulit putihnya telah berubah warna menjadi merah. Sialnya Ia tidak membawa air minum.
“Huuuftt.”
Alvin membungkukan badannya. Tangannya memegang lututnya untuk menyangga tubuhnya.
Tiba tiba saja sebuah botol minum tersodor di hadapannya. Alvin mendongak untuk melihat siapa yang memberikan minum itu padanya. Lalu Ia tersenyum mendapati gadis manis berdiri di hadapannya. Alvinpun kembali menegakkan tubuhnya.
“Buat gue?” tanya Alvin.
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. “Iya, ini buat Kak Alvin.”
Alvin mengambil botol minum itu. Lalu dibukanya dan diminumnya air minum itu.
Thanks yaa.. Tau aja lo kalo gue lagi haus, hehe.”
Gadis itu tersenyum melihat Alvin cengengesan seperti itu.
“Sama-sama kak..”
Btw, nama lo siapa? Gue belum tau nama lo deh kayanya…”
“Sivia kak. Tapi panggil Via aja.”
“Okeh, Via. Temennya Ify kan ya?”
“Iya Kak, kenapa?”
“Nggak apa-apa nanya doang. Hehe. Ify tuh ternyata jago juga ya main basketnya…”
Merekapun terlibat percapakan seru. Sesekali diselingi oleh gurauan dari Alvin sehingga mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Sedang asik asiknya bercanda, tiba-tiba saja seseorang menyerukan nama Alvin. Membuat mereka berdua terpaksa menghentikan obrolan mereka.
“Kak Alvin!”
“Eh Shilla, kenapa Shil?”
Shillapun menghampiri Alvin. Diliriknya Via yang berada dihadapan Alvin itu. Lalu Ia kembali menatap Alvin. Via yang dilirik hanya mendengus sebal karena acaranya dengan Alvin diganggu oleh nenek sihir satu ini.
“Kak, liat Kak Rio nggak? Daritadi gue cariin nggak ketemu ketemu.”
“Oh Rio… Kayanya di ruang OSIS deh. Udah ke sana belum?”
“Oh iya, belum hehe… Yaudah gue ke sana dulu deh kak.. Hehe, thanks Kak.”
“Mau ngapain lo nyariin Rio?”
“Enggak, cuman kangen aja hehe.”
DEG.
Alvin merasakan sesuatu menembus hatinya ketika Shilla mengatakan bahwa Ia kangen Rio. Alvin tersenyum masam yang diusahakan telihat biasa aja.
“Oh, hehe, yaudah bareng aja yuk sama gue. Gue juga mau ke ruang OSIS…”
“Oke deh kak.”
Via semakin jengkel dibuatnya. Dasar nenek sihir emang rese.
“Via, gue duluan ya.”
“Eh, iya, Kak.”
Shilla kembali melirik Via. Kali ini Via menatap Shilla tajam.
“Apa lo liat-liat gue kaya gitu?!” ketus Shilla.
“Yeee, pengen banget banget ya gue liatin!? Nggak usah kamseupay deh lo!”
Untuk pertama kalinya Via melawan kakak kelas. Tapi masa bodolah. Kakak kelas yang satu ini emang perlu dibales agar tak seenaknya.
“Yee, enak aja lo ngatain gue kamseupay! Yang kamseupay tuh ya elo! Liat dong tuh penampilan lo.. Udah cupu, make kaca mata segede pipa paralon, terus ini apa lagi rambut dikepang-kepang kaya gini (sambil memegang rambut Via. Dengan kasar ditepisnya tangan Shilla). Iuuuh, kamseupay banget tau nggak! Kampungan sekaleee udiiik payahh!” ejek Shilla.
“Eh, udah. Nggak boleh gitu Shil. Ayo ah! Katanya mau ketemu Rio?” Alvin menghentikan perdebatan mereka. Takut jika Shilla makin menjadi dan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti Via.
“Oh iya, ya… Ada urusan yang lebih penting daripada sekedar ngurusin si kamseupay ini. Iiiuh. Ayo ah kak!” Shillapun berbalik badan
dan melangkah duluan.
Alvin hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Shilla. Viapun manyun semanyun-manyunnya diejek seperti itu oleh Shilla.
‘Kurangajar tuh kakak kelas. Liat aja nanti dia!’ batin Via gondok.
“Udah ya Vi, omongannya Shilla jangan dimasukin hati. Dia emang begitu orangnya.”
“Emang!”
“Hihi,” Alvin terkikik meihat ekspresi Via.
“Yaudah, gue duluan yaaa..,” Alvin mengacak-acak poni Via yang dibiarkan ke depan menutupi jidatnya itu.
“Iya Kak, huuuh…,” Via merapikan poninya sambil manyun.
Alvin kembali tertawa. Lalu Iapun pergi menyusul Shilla.
Via memperhatikan Alvin dan Shilla yang sudah jalan berdampingan sambil berbincang entah apa yang diperbincangkan.
“Huuuh, Kak Alvin tuh orangnya emang baik sih sama siapa aja. Tapi kayanya terlalu baik deh sampe sama kakak kelas yang lebih mirip nenek sihir kaya gitu aja tetep baik juga…,” Via manyun melihat Alvin dan Shilla sedekat itu.
“Emang sih gue nggak punya hak buat ngelarang larang kak Alvin. Tapiiiii~ uuuuhh, rese ah!” Via menggerutu sendiri.
“Kak Shilla kan cantik. Apa mungkin ya gue bisa jadi kaya Kak Shilla gitu? Emang gue kamseupay banget ya?” Via melihat penampilannya yang terjangkau oleh matanya.
Bajunya yang dimasukkan ke dalam rok. Roknya yang di bawah lutut. Berbeda jauh dengan gaya pakaian Shilla yang modis. Rambut yang terurai dengan bebasnya. Menari-nari mengikuti gerakan tubuhnya. Baju yang juga keluar dan rok yang berada di atas lutut.
“Iiiih, gue mikir apaan siiih?!”
“Wee, gue cariin juga. Taunya di sini. Ngapain lo?”
Tiba-tiba Ify menepuk pundaknya. Membuat lamunannya buyar.
“Eeh, enggak, hehe.”
“Yaudah yuk ah balik ke kelas!” ajak Ify.
“Iya iya, ayooo…”
Mereka berduapun pergi dari lapangan.
*****

3 comments:

  1. Yeayyyyyyy akhirnya di lanjut juga udah lama loh ini ka... gue selalu nunggu cerita ini...


    part 4 nya gak bisa di buka yaa ka??

    salam kenal..



    nurdiana.web.id

    ReplyDelete
  2. yg diawal kan shilla ya kak kok di part ini jadi sheila. hehe cuma pengen koreksi kak
    bagus kak. LANJUT. . .

    ReplyDelete
  3. Ya ampun kaa... Akhirnya ini di lanjut juga :D hampir putus asa aku nunggunya :D hehe keren deh pokoknya

    ReplyDelete